• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

2.2.5. Lain-Lain Pendapatan yang Sah

2.3. Kerangka Konseptual ... 41 III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 44 3.2. Spesifikasi Model... 44

3.2.3. Perekonomian Daerah ... 46 3.3. Prosedur Analisis ... 47

3.3.1. Identifikasi dan Metode Estimasi... 47

3.3.2. Validasi Model ... 50 3.3.3. Simulasi Model ... 51 IV. KONDISI FISKAL PEMERINTAH DAERAH

4.1. Kondisi Penerimaan Pemerintah Daerah ... 53 4.2. Kondisi Pengeluaran Pemerintah Daerah ... 62 V. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL

TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH

5.1. Penerimaan Fiskal Daerah ... 66 5.2. Pengeluaran Fiskal Daerah... 69 5.3. Kinerja Fiskal Daerah ... 72 VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL

TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH

6.1. Hasil Validasi Model ... 75 6.2. Simulasi Kebijakan Perubahan Komponen Penerimaan

Daerah terhadap Kinerja Perekonomian ... 77 6.3. Simulasi Kebijakan Perubahan Komponen Pengeluaran

Daerah terhadap Kinerja Perekonomian ... 81 6.4. Kesimpulan Hasil Simulasi ... 85 VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan ... 82 7.2. Saran ... 88 DAFTAR PUSTAKA... 90

xiii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Perkembangan Penerimaan Fiskal Kalimantan Tengah Atas Tahun

Dasar 1996, Tahun 1995-2005... 4 2. Nama-nama Kabupaten dan Kota di Kalimantan Tengah... 7 3. Jenis Pajak Provinsi menurut Undang-Undang No 34 Tahun 2000

tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah

No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah ... 19 4. Jenis Pajak Kabupaten/kota menurut Undang-Undang No 34

Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan

Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah ... 20 5. Objek atau Jenis Retribusi Daerah Menurut Undang-Undang

No. 34 Tahun 2000... 22 6. Proporsi Pembagian Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah

Diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 ... 26 7. Perbandingan Formula Dana Alokasi Umum Tahun 2001 dan

2002 ... 31 8. Ringkasan Tinjauan Studi Terdahulu... 39 9. Perkembangan Kontribusi Komponen Pembentuk Penerimaan

Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996,

Tahun 1995-2005 ... 53 10. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Pembentuk Penerimaan

Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan

Tahun 1996, Tahun 1995-2005 ... 54 11. Perkembangan Kontribusi Komponen Pembentuk Pendapatan

Asli Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan

Tahun 1996, Tahun 1995-2005 ... 56 12. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Pembentuk Pendapatan

Asli Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga

Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005... 57 13. Perkembangan Kontribusi Komponen Dana Perimbangan

Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996,

14. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Dana Perimbangan Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996,

Tahun 1995-2005 ... 61 15. Perkembangan Alokasi Pengeluaran Rutin dan Pembangunan

Kalimantan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996,

Tahun 1995-2005 ... 63 16. Perkembangan Pertumbuhan Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran

Pembangunan Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan

Tahun 1996, Tahun 1995-2005 ... 64 17. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penerimaan Fiskal

Daerah ... 67 18. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Pengeluaran Fiskal

Daerah ... 70 19. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Kinerja Fiskal Daerah ... 73 20. Hasil Validasi Model ... 76 21. Hasil Simulasi Berbagai Alternatif Perubahan Komponen

Penerimaan Daerah ... 78 22. Perubahan Nilai Simulasi Terhadap Nilai Dasar dari Berbagai

Alternatif Perubahan Penerimaan Daerah... 79

23. Hasil Simulasi Berbagai Alternatif Perubahan Komponen

Pengeluaran Daerah ... 82 24. Perubahan Nilai Simulasi Terhadap Nilai Dasar dari Berbagai

xv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Kurva Perpotongan Keynesian... 10 2. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Pendek... 12 3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang... 13 4. Kerangka Konseptual Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap

Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 42 5. Keterkaitan Antar Blok dan Persamaan dalam Model Dampak

Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Sumber Data Penelitian... 93 2. Keterangan Peubah ... 94 3. Model Sebelum Respesifikasi ... 95 4. Perhitungan Persentase Perubah Berbagai Alternatif Kebijakan

yang Digunakan dalam Simulasi... 97 5. Program Komputer Estimasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal

Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 98 6. Hasil Estimasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap

Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 99 7. Program Komputer Validasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal

Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 106 8. Hasil Validasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap

Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 108 9. Contoh Program Komputer Simulasi Model Dampak Desentralisasi

Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem pemerintahan sentralistik. Sistem pemerintahan sentralistik tersebut tercermin dari dominasi pemerintah pusat dalam merencanakan dan menetapkan prioritas pembangunan (top down) di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders di daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis dari pemerintah pusat. Menurut Said (2004), sebelum desentralisasi fiskal, pemerintah daerah tidak terlibat banyak dalam menentukan sektor-sektor pembangunannya termasuk sektor-sektor penting di daerah.

Besarnya peran pemerintah pusat dalam mengatur rumah tangga pemerintah daerah menyebabkan besarnya kewenangan keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak diberikan keleluasaan untuk memperoleh pendapatan daerah. Sumber pendapatan daerah relatif terbatas, yakni hanya mengandalkan pendapatan asli daerah dan persentase bagi hasil yang relatif sedikit. Salah satu dana bantuan pusat berupa subsidi daerah otonom yang digunakan untuk membiayai pegawai pemerintah di daerah dan instruksi presiden yang digunakan untuk kegiatan pembangunan di daerah.

Peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri semakin meningkat pada tahun 2001 ketika diberlakukan Undang-Undang Otonomi Daerah yang terdiri dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Menurut Undang-

Undang No. 25 Tahun 1999, konsekuensi otonomi daerah adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengurus daerahnya sendiri (desentralisasi), termasuk menentukan sektor-sektor pembangunan yang paling tepat dan dibutuhkan masyarakat lokal, karena pemerintah daerah dianggap lebih mengerti kebutuhan masyarakatnya dibanding pemerintah pusat. Adanya penyerahan sebagian wewenang pusat ini menyebabkan semakin besarnya dana transfer ke daerah guna mendukung penyerahan wewenang tersebut. Menurut Alm (2001), apabila desentralisasi berhasil diterapkan di Indonesia, maka Indonesia merupakan salah satu negara paling desentralistik yang sebelumnya berasal dari salah satu negara besar paling sentralistik di dunia.

Desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dari otonomi daerah. Desentralisasi fiskal ditandai dengan meningkatnya alokasi dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (dana perimbangan), yaitu berupa: (1) peningkatan persentase bagi hasil bagi pemerintah daerah, (2) peningkatan dana alokasi umum yang sebelumnya dikenal dengan subsidi daerah otonom dan Instruksi presiden, dan (3) pelimpahan dana alokasi khusus.

Sistem bagi hasil yang terdiri dari penerimaan pajak dan bukan pajak merupakan instrumen untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah. Dana alokasi umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah. Sedangkan dana alokasi khusus merupakan dana untuk membantu membiayai kebutuhan khusus pada tiap daerah yang kebutuhannya tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus dana alokasi

3

umum. Peningkatan dana transfer ini menyebabkan penerimaan daerah meningkat signifikan.

Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke daerah melalui dana perimbangan menyebabkan pengelolaan fiskal pemerintah pusat dalam pengelolaan fiskal pemerintah secara umum telah berkurang. Sebaliknya proporsi fiskal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah sepenuhnya melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) akan meningkat tajam. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga diikuti dengan kenyataan bahwa pemerintah daerah akan mempunyai fleksibilitas yang cukup tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatkan sumber-sumber utama pembiayaan tersebut (Sidik, 2002).

Berbagai argumen yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast (1995), sebagaimana dikutip oleh Litvack et al (1998) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena: (1) pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya, (2) keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat, dan (3) persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.

Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbesar ketiga di Indonesia setelah Papua dan Kalimantan Timur dengan luas 153 564 km2, atau 1.5 kali luas

pulau Jawa. Sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah belum dimanfaatkan secara maksimal di mana 87.87 persen wilayahnya masih berupa hutan dan pertanahan lainnya. Perekonomian Kalimantan Tengah masih bertumpu pada sektor pertanian. PDRB Kalimantan Tengah tahun 2005 (1996=100) sebesar Rp 5.55 triliun, meningkat sebesar 0.6 persen dari tahun sebelumnya dengan rata-rata kontribusi sektor pertanian sebesar 45.97 persen. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang terserap pada tahun yang sama adalah sebesar 825.4 ribu jiwa meningkat 3.84 persen dengan rata-rata kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian sebesar 59.61 persen.

Tabel 1. Perkembangan Penerimaan Fiskal Kalimantan Tengah Atas Tahun Dasar 1996, Tahun 1995-2005

Komponen Penerimaan Penerimaan

PAD Dana Perimbangan Tahun Nominal (Juta Rp) Tumbuh (%) Nominal (Juta Rp) Rasio (%) Nominal (Juta Rp) Rasio (%) Sebelum Desentralisasi Fiskal

1995 268 799.28 10 764.61 4.00 241 159.74 89.72 1996 264 542.38 -1.58 11 817.98 4.47 240 950.67 91.08 1997 256 649.64 -2.98 11614.14 4.53 231 680.75 90.27 1998 252 302.76 -1.69 7 433.98 2.95 238 977.77 94.72 1999 272 895.43 8.16 8 308.50 3.04 251 842.35 92.29 2000 272 037.55 -0.31 17 125.91 6.30 245 685.22 90.31

Setelah Desentralisasi Fiskal

2001 641 877.01 135.95 72 436.99 11.29 543 753.68 84.71 2002 640 040.22 -0.29 42 998.81 6.72 528 762.32 82.61 2003 920 104.06 43.76 41 997.92 4.56 749 164.32 81.42 2004 967 845.80 5.19 42 470.59 4.39 770 669.84 79.63 2005 1 018 351.12 5.22 50 838.69 4.99 823 251.04 80.84 Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun)

Desentralisasi fiskal menyebabkan Kalimantan Tengah memiliki kesempatan yang besar untuk meningkatkan pendapatan melalui pendapatan asli daerah dan dana perimbangan. Menurut Aswin (2005), Kalimantan Tengah mempunyai potensi sumberdaya alam yang sangat besar, namun baru sebagian

5

yang dieksploitasi. Selain itu provinsi ini memiliki wilayah yang luas yang masih belum digunakan secara maksimal.

Dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan daerah seperti yang digambarkan pada Tabel 1 menunjukan bahwa setelah desentralisasi fiskal tahun 2001 penerimaan daerah meningkat menjadi 642 miliar rupiah dari sebelumnya sebesar 272 miliar atau naik sebesar 135.95 persen. Kontribusi terbesar penyusun penerimaan daerah adalah dana perimbangan dimana lebih dari 80 persen pendapatan daerah berasal dari dana perimbangan. Semakin besarnya dana perimbangan mengindikasikan bahwa semakin banyak dana dari pusat yang ditransfer ke Kalimantan Tengah. Peningkatan penerimaan daerah ini merupakan instrumen desentralisasi fiskal guna membiayai peningkatan pengeluaran pemerintah daerah yang disebabkan oleh adanya penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

1.2. Permasalahan

Desentralisasi fiskal menyebabkan penerimaan Kalimantan Tengah meningkat signifikan. Peningkatan penerimaan tersebut diikuti dengan diberikannya keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan sumber penerimaan sesuai kebutuhan daerah. Peningkatan penerimaan diikuti dengan keleluasaan dalam penggunaannya oleh daerah sangat mempengaruhi PDRB dan penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut. Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian untuk tiap daerah berbeda-beda tergantung dari kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian di Kalimantan Tengah secara

komprehensif haruslah dilakukan penelitian lebih lanjut. Dari uraian di atas, dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Kalimantan Tengah?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah?

3. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah?

4. Bagaimanakah dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Kalimantan Tengah.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal.

3. Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah.

4. Menganalis dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah.

7

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan di provinsi Kalimantan Tengah dengan menggunakan panel data (pooled data) 13 kabupaten dan satu kota tahun 1995-2005. Kinerja perekonomian yang akan diteliti adalah PDRB dan penyerapan tenaga kerja.

Sebelum ada pemekaran wilayah pada tahun 2002, Kalimantan Tengah memiliki lima kabupaten dan satu kota. Setelah terjadi pemekaran daerah berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2002, terjadi penambahan delapan kabupaten baru seperti terlihat pada Tabel 2. Kabupaten dan kota yang digunakan dalam analisis adalah seluruh kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah dengan menggabungkan kabupaten pemekaran baru ke kabupaten induknya, sehingga jumlah kabupaten dan kota yang akan diteliti berjumlah enam yaitu: Kota Palangka Raya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan.

Tabel 2. Nama-Nama Kabupaten dan Kota di Kalimantan Tengah Kabupaten/kota Induk Kabupaten

pemekaran

Kabupaten/kota Setelah Pemekaran 1. Kota Palangka Raya 1. Kota Palangka Raya

2. Kab. Kotawaringin Barat 3. Kab. Lamandau

2. Kab. Kotawaringin Barat Kab. Lamandau Kab. Sukamara

4. Kab. Sukamara

5. Kab. Kotawaringin Timur

6. Kab. Katingan 3. Kab. Kotawaringin Timur Kab. Katingan Kab. Seruyan 7. Kab. Seruyan 8. Kab. Kapuas 9. Kab. Gunung Mas 4. Kab. Kapuas Kab. Gunung Mas

Kab. Pulang Pisau

10. Kab. Pulang Pisau 11. Kab Barito Utara 5. Kab Barito Utara Kab. Murung Raya

12. Kab. Murung Raya 13. Kab. Barito Selatan 6. Kab. Barito Selatan Kab. Barito Timur

14. Kab. Barito Timur Sumber: Kalimantan Tengah dalam Angka (2006)

Fokus penelitian ini hanya pada dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah, dimana kinerja perekonomian dibatasi pada PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Keberhasilan desentralisasi fiskal tidak lepas dari kinerja pemerintah daerah, tetapi dalam penelitian ini tidak dibahas masalah kinerja pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.

II. KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teoritis

Pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem perekonomian tertutup. Pendekatan teori tersebut diawali dengan dampak perubahan pengeluaran pemerintah terhadap perpotongan Keynesian yang berlanjut pada terbentuknya keseimbangan di pasar barang/jasa dan keseimbangan di pasar uang. Keseimbangan di kedua pasar tersebut akan berinteraksi dengan keseimbangan di pasar tenaga kerja, sehingga terbentuk kurva permintaan dan penawaran agregat yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi daerah.

2.1.1. Permintaan Agregat

Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga dan tingkat pendapatan. Kurva permintaan agregat terbentuk bila terjadi keseimbangan di pasar barang dan jasa dan keseimbagan di pasar uang. Kebijakan pemerintah mempengaruhi perekonomian akan terjadi di pasar barang dan jasa, sehingga pada penjelasan selanjutnya akan lebih membicarakan keseimbangan di pasar ini.

Keseimbangan di pasar barang dan jasa dimulai dengan model dasar yang disebut perpotongan Keynesian (Keynesian cross). Model ini adalah interpretasi paling mudah dari teori pendapatan Keynes (Mankiw, 2002). Perpotongan Keynesian akan menjelaskan bagaimana konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah mempengaruhi pendapatan. Ekuilibrium dari perpotongan Keynesian terjadi ketika pengeluaran aktual (AE) sama dengan pengeluaran yang direncanakan (PE). Ekuilibrium dari perpotongan Keynesian merupakan

pendapatan nasional atau produk domestik bruto (PDB), pada tingkat daerah disebut dengan PDRB) Teori pendapatan nasional Keynesian dalam Mankiw (2002) dituliskan kembali sebagai berikut:

Y = C + I + G ...(2.1)

Gambar 1 menunjukan apabila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah (G) sebesar ΔG, maka AE akan bergeser dari AE1 ke AE2 sehingga output akan meningkat dari Y1 ke Y2. Pengganda pengeluaran pemerintah dalam Mankiw (2002) dituliskan kembali sebagai berikut:

d bt b G Y + + − = Δ Δ 1 1 ...(2.2) Sumber: Mankiw (2002)

Gambar 1. Kurva Perpotongan Keynesian

Gambar 1 adalah kurva perpotongan keynesian yang merupakan kerangka dasar terbentuknya keseimbangan di pasar barang dan jasa. Apabila keseimbangan di pasar barang dan jasa berinteraksi dengan keseimbangan di pasar uang, maka akan terbentuk kurva permintaan agregat (AD).

11

2.1.2. Penawaran Agregat

Menurut Dornbusch dan Fischer (1997), kurva penawaran agregat (AS) menggambarkan kombinasi output dan tingkat harga sedemikian rupa sehingga perusahaan berusaha, pada tingkat harga tertentu, menawarkan jumlah output yang tertentu atau dengan kata lain kurva penawaran agregat mencerminkan berbagai kondisi pada pasar faktor produksi terutama pasar tenaga kerja. Teori penawaran agregat dapat dijelaskan dengan teori klasik dan teori Keynesian.

Pada kasus klasik, kurva penawaran agregat berbetuk vertikal, menunjukan bahwa berapapun tingkat harga yang berlaku, jumlah barang yang bersedia ditawarkan tidak berubah. Kurva penawaran agregat klasik didasarkan atas asumsi bahwa pasar tenaga kerja selalu berada pada kondisi ekuilibrium dengan penggunaan tenaga kerja penuh dari angkatan kerja. Jika seluruh angkatan kerja yang ada telah digunakan, maka output tidak dapat naik di atas tingkat yang sekarang meskipun tingkat harga naik. Tidak ada lagi tenaga kerja yang bersedia untuk memproduksi output tambahan. Dengan demikian bentuk kurva penawaran agregat akan menjadi vertikal pada tingkat output yang sesuai dengan penggunaan tenaga penuh dari angkatan kerja. Asumsi yang mendasari bentuk skedul yang vertikal ini adalah bahwa pasar tenaga kerja selalu berada pada kondisi ekuilibrium karena tingkat upah akan menyesuaikan diri secara cepat guna mempertahankan kondisi ekuilibrium.

Pada kasus keynesian, kurva penawaran agregat tidak vertikal karena tenaga kerja lambat menyesuaikan upahnya untuk mempertahankan kondisi ekuilibrium. Pada kasus yang ekstrim, kurva penawaran agregat horisontal, hal ini menunjukan bahwa perusahaan akan bersedia menawarkan (pada tingkat harga

yang ada), berapapun jumlah barang yang diminta. Gagasan yang mendasari kurva penawaran agregat Keynesian ini adalah karena terdapat pengangguran, perusahaan dapat memperoleh tenaga kerja sebanyak yang mereka perlukan dengan upah yang berlaku sekarang. Karena itu, peningkatan biaya produksi rata- rata mereka tidak berubah meskipun tingkat outputnya berubah.

2.1.3. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Keseimbangan Pemintaan Agregatdan Penawaran Agregat

Kasus klasik terjadi untuk perilaku perekonomian dalam jangka panjang. Kasus Keynesian terjadi untuk perilaku perekonomian dalam jangka pendek, karena dalam jangka pendek harga-harga bersifat kaku. Apabila terjadi ekspansi fiskal dalam jangka pendek, misalnya pemerintah meningkatkan pengeluarannya atau pemerintah memotong pajak maka dalam jangka pendek akan menggeser kurva permintaan agregat ke kanan dari AD1 menjadi AD2, sehingga akan meningkatkan output dari Y1 ke Y2. Apabila terjadi kontraksi fiskal, misalnya pemerintah mengurangi pengeluarannya atau pemerintah meningkatkan pajak maka dalam jangka pendek akan menggeser kurva permintaan agregat ke kiri dari AD1 menjadi AD0 seperti pada Gambar 2.

Sumber: Mankiw (2002)

13

Sumber: Mankiw (2002)

Gambar 3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang

Dalam jangka panjang, kebijakan ekspansi ataupun kontraksi fiskal akan mempengaruhi harga jangka panjang tetapi tidak akan mempengaruhi output (Y) jangka panjang. Misalkan perekonomian dimulai dalam ekuilibrium jangka panjang pada titik A, kebijakan ekspansi pemerintah menyebabakan kurva permintaan agregat bergeser ke atas dari AD1 menjadi AD2, dimana perekonomian bergeser dari titik A ke titik D (output berada di atas tingkat alamiah). Ketika harga naik, output secara berangsur-angsur kembali ketingkat alamiah, dan perekonomian bergerak dari titik B ke E.

Sedangkan kebijakan kontraksi pemerintah menyebabkan kurva permintaan agregat bergeser ke bawah dari AD1 menjadi AD0, dimana perekonomian bergeser dari titik A ke titik B (output berada di bawah tingkat alamiah). Ketika harga turun, perekonomian secara perlahan-lahan pulih dari resesi, yang bergerak dari titik B ke C seperti pada Gambar 3.

2.2. Tinjauan Pustaka 2..2.1. Desentralisasi Fiskal

Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Karena itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Apabila dilihat dari sisi keuangan negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Perubahan dimaksud ditandai dengan makin tingginya transfer dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) ke daerah.

Menurut Boediono (2002), kebijakan fiskal dilaksanakan melalui kebijakan pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Dengan demikian tersirat pengertian bahwa kebijakan fiskal dilakukan melalui kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui: (1) kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pendapatan, dan (2) kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan pengelolaan belanja.

2.2.2. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Sebelum terjadi desentralisasi fiskal, hubungan keuangan pusat dan daerah diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 1956 kemudian diperbaharui oleh Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Menurut Sidik (2002), pemikiran terhadap perlunya undang-undang yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah timbul atas pengalaman selama ini khususnya berkaitan dengan siklus pengelolaan dana yang berasal dari pusat

15

kepada daerah, terakhir berupa subsidi (untuk belanja rutin daerah) dan bantuan berupa instruksi presiden (untuk belanja pembangunan daerah) sering kurang jelas. Paling tidak, permasalahan yang sering timbul adalah: (1) aspek perencanaan, dominannya peranan pusat dalam menetapkan prioritas pembangunan (top down) di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders; (2) aspek pelaksanaan, harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk pelaksanaan maupun petujuk teknis dari Pusat; dan (3) aspek pengawasan, banyaknya institusi pengawasan fungsional, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jendral Departemen, Inspektur Jenderal Pembangunan (Irjenbang), Inspektorat Daerah, yang satu sama lain dapat saling tumpang tindih.

Menurut Boediono (2002), beberapa kelemahan tersebut di atas menjadi bahan untuk pokok-pokok pemikiran tentang pembaharuan di bidang hubungan keuangan pusat dan daerah. Oleh karena itu, lahirnya undang-undang hubungan keuangan pusat dan daerah tidak bisa lepas kaitannya dengan upaya untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, efisiensi penggunaan keuangan negara, serta prinsip-prinsip good governance seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.

Selanjutnya Boediono (2002) mengungkapkan, pelaksanaan otonomi daerah yang mendukung efisiensi penggunaan keuangan negara dapat dilihat dari sisi pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintahan yang bersifat lokal. Sebelum otonomi daerah dilaksanakan, fungsi pemerintahan yang bersifat lokal (seperti pembangunan prasarana yang manfaatnya hanya bersifat lokal) sering dikelola oleh instansi pusat. Hal ini sering memberikan dampak biaya yang relatif lebih

besar daripada apabila fungsi tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah daerah. Konsep good governance di bidang dana perimbangan sebagaimana diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 paling tidak dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusannya. Perumusan alokasi dana perimbangan telah melibatkan pihak universitas/pakar, kemudian sebelum ditetapkan dengan Keputusan Presiden, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang mayoritas anggotanya berasal dari pemerintah daerah. Kemudian selanjutnya produk dari keputusan tersebut dapat

Dokumen terkait