DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP
KINERJA PEREKONOMIAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH
BETRIXIA BARBARA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KALIMANTAN TENGAH
BETRIXIA BARBARA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(The Impact of Fiscal Decentralization On Economic Peformance of Districts nad Municipalities in Central Kalimantan)
Betrixia Barbara , Harianto, Nunung Nuryartono
ABSTRACT
Fiscal decentralization is important part of regional autonomy. Fiscal decentralization has caused increasing Original regional income(Pendapatan Asli Daerah) and increase budget equalization in Central Kalimantan Province, then has increased regional government expenditure. That has allocated more to routin expenditure. As a consequently, it reduced allocation of development expenditure. In the future, regional government should reduce the routine expenditure and allocated them to be development expenditure because simulation result show that increasing in development expenditure result in regional fiscal and economic performance positively. eventhough, increasing in routine expenditure result in regional fiscal and economic performance negatively.
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP
KINERJA PEREKONOMIAN PROVINSI
KALIMANTAN TENGAH
BETRIXIA BARBARA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KALIMANTAN TENGAH
BETRIXIA BARBARA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(The Impact of Fiscal Decentralization On Economic Peformance of Districts nad Municipalities in Central Kalimantan)
Betrixia Barbara , Harianto, Nunung Nuryartono
ABSTRACT
Fiscal decentralization is important part of regional autonomy. Fiscal decentralization has caused increasing Original regional income(Pendapatan Asli Daerah) and increase budget equalization in Central Kalimantan Province, then has increased regional government expenditure. That has allocated more to routin expenditure. As a consequently, it reduced allocation of development expenditure. In the future, regional government should reduce the routine expenditure and allocated them to be development expenditure because simulation result show that increasing in development expenditure result in regional fiscal and economic performance positively. eventhough, increasing in routine expenditure result in regional fiscal and economic performance negatively.
RINGKASAN
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya desentralisasi fiskal yang
diimplementasikan pada tahun 2001 berdasarkan Undang-Undang Otonomi
Daerah yang terdiri dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Desentralisasi fiskal
menyebabkan penerimaan daerah meningkat menjadi 642 miliar rupiah dari
sebelumnya sebesar 272 miliar atau naik sebesar 135.95 persen. Peningkatan
penerimaan tersebut diikuti dengan diberikannya keleluasaan kepada pemerintah
daerah untuk menggunakan sumber penerimaan sesuai kebutuhan daerah.
Peningkatan penerimaan diikuti keleluasaan dalam penggunaannya oleh daerah
sangat mempengaruhi PDRB dan penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut.
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:(1) mendeskripsikan kondisi
penerimaan dan pengeluaran fiskal Kalimantan Tengah, (2) menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, (3)
menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran
pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah, dan (4) menganalisis
dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran
daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data seluruh
kabupaten dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005.
Kabupaten dan kota yang digunakan dalam analisis adalah seluruh kabupaten dan
Penelitian ini dilatarbelakangi adanya desentralisasi fiskal yang
diimplementasikan pada tahun 2001 berdasarkan Undang-Undang Otonomi
Daerah yang terdiri dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Desentralisasi fiskal
menyebabkan penerimaan daerah meningkat menjadi 642 miliar rupiah dari
sebelumnya sebesar 272 miliar atau naik sebesar 135.95 persen. Peningkatan
penerimaan tersebut diikuti dengan diberikannya keleluasaan kepada pemerintah
daerah untuk menggunakan sumber penerimaan sesuai kebutuhan daerah.
Peningkatan penerimaan diikuti keleluasaan dalam penggunaannya oleh daerah
sangat mempengaruhi PDRB dan penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut.
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:(1) mendeskripsikan kondisi
penerimaan dan pengeluaran fiskal Kalimantan Tengah, (2) menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, (3)
menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran
pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah, dan (4) menganalisis
dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran
daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data seluruh
kabupaten dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005.
Kabupaten dan kota yang digunakan dalam analisis adalah seluruh kabupaten dan
ke kabupaten induknya, sehingga jumlah kabupaten dan kota yang akan diteliti
berjumlah enam yaitu: Kota Palangka Raya, Kabupaten Kotawaringin Barat,
Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito Utara dan
Kabupaten Barito Selatan.
Model dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian
Provinsi Kalimantan Tengah disusun dalam persamaan simultan. Model
dikelompokkan dalam tiga blok yaitu: (1) blok perekonomian daerah, (2) blok
penerimaan fiskal daerah, dan (3) blok pengeluaran fiskal.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah desentralisasi fiskal menyebabkan
sumber penerimaan yang berasal dari pendapatan asli daerah dan bagi hasil mengalami peningkatan. Apabila dilihat dari kontribusinya, kontribusi dana
perimbangan masih sangat besar terhadap pembentukan penerimaan daerah,
artinya ketergantungan Kalimantan Tengah terhadap pusat masih sangat besar.
Desentralisasi fiskal telah meningkatkan penerimaan daerah yang berasal
dari pajak daerah dan bagi hasil pajak, meningkatkan pengeluaran rutin dan
pengeluaran sektor pertanian, tetapi menurunkan pengeluaran sektor luar
pertanian. Selanjutnya, desentralisasi fiskal menyebabkan produk domestik
regional bruto (PDRB) menurun dan penyerapan tenaga kerja tidak meningkat
signifikan. Penurunan PDRB tersebut diduga karena signifikannya pengurangan
pengeluaran sektor luar pertanian, dimana pengeluaran sektor tersebut signifikan
dalam meningkatkan PDRB. Selain itu, penurunan pengeluaran sektor luar
pertanian juga diduga menyebabkan penyerapan tenaga kerja tidak maksimal
tenaga kerja. Hasil simulasi juga menunjukan bahwa peningkatan pengeluaran
pembangunan berdampak lebih baik terhadap peningkatan PDRB dan penyerapan
tenaga kerja, dimana peningkatan yang lebih besar dalam pengeluaran sektor luar
pertanian memberikan peningkatan kinerja perekonomian yang paling baik. Oleh
karena itu penulis menyarankan apabila pengeluaran rutin sudah terpenuhi,
sebaiknya pengalokasian pengeluaran di arahkan lebih besar ke pengeluaran
pembangunan. Selanjutnya, pengalokasian dana ke pengeluaran pembangunan
harus proposional baik terhadap sektor pertanian maupun luar pertanian, mengingat sektor pertanian merupakan sektor penting di Kalimantan Tengah
sedangkan sektor luar pertanian memberikan stimulus paling besar terhadap
Hak Cipta milik IPB, tahun 2007
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan
dalam tesis saya yang berjudul
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA
PEREKONOMIAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan parakomisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya. Tesis ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat
diperiksa kebenarannya.
Bogor, Pebruari 2008
Judul Tesis : Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah
Nama Mahasiswa : Betrixia Barbara
Nomor Pokok : A151050041
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN)
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Mengetahui,
2.Ketua Program Studi 3.Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga,MA Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro,MS
Tanggal Ujian : 6 Pebruari 2008 Tanggal Lulus : Dr. Ir. Harianto, MS
Ketua
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkatnya maka
tesis ini dapat terselesaikan. Tesis ini dilatarbelakangi adanya otonomi daerah
yang terjadi di Indonesia, dimana Kalimantan Tengah termasuk di dalamnya.
Otonomi daerah menyebabkan perlunya desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal
menyebabkan dana yang ditransfer ke daerah meningkat. Tapi bagaimana dampak
peningkatan penerimaan daerah tersebut terhadap perekonomian daerah harus
dilakukan penelitian lebih mendalam, karena itulah penelitian ini dilakukan.
Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis
ini. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih
kepada:
1. Staf Administrasi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.
2. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS, selaku penguji luar komisi yang telah banyak
memberikan masukan kepada penulis.
3. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, selaku Ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian.
4. Dr. Ir. Harianto, MS dan Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si, selaku ketua
dan anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian tesis.
5. Kedua Orang Tua, Adik dan Kakak di Palangka Raya
6. Teman-teman Sekerja di Jurusan Sosek Universitas Palangka Raya di
Palangka Raya dan teman-teman dosen Pertanian Universitas Palangka
7. Teman-teman EPN, terutama buat Iyur (selalu semangat yur mencapai
impian), Ila yang sudah bantu konsumsi saat sidang, Mas Yusuf (terima
kasih atas ilmu SAS nya) dan teman-teman angkatan 2005 lainnya.
Tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan masukan bagi perbaikkan penulisan berikutnya. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih kepada pembaca dan semoga hasil penelitian ini
berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Pebruari 2008
Penulis dilahirkan di Palangka Raya, 25 Januari 1980 sebagai anak
ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Selwi Lesa dan Ibu Lundiana.
Tahun 1998 penulis kuliah di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas
Pertanian Universitas Palangka Raya. Desember 2003, Penulis diterima bekerja
sebagai staf pengajar pada tempat yang sama ketika Penulis kuliah sarjana. Tahun
2005 Penulis melanjutkan S2 di program studi Ilmu Ekonomi Pertanian IPB
dengan biaya dari BPPS. Sebagai tugas akhir, Penulis melakukan penelitian
tentang Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... xiii
DAFTAR GAMBAR... xvi
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Ruang Lingkup Penelitian... 7
II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teoritis ... 9
2.1.1. Permintaan Agregat ... 9
2.1.2. Penawaran Agregat ... 11
2.1.3. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Keseimbangan Permintaan Agregat dan Penawaran Agregat ... 12
2.2. Tinjauan Pustaka ... 14
2.2.1. Desentralisasi Fiskal... 14
2.2.2. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah... 14
2.2.3. Pendapatan Asli Daerah ... 16
2.2.4. Dana Perimbangan ... 24
2.2.5. Lain-Lain Pendapatan yang Sah ... 33
2.2.6. Tinjauan Studi Terdahulu... 34
2.3. Kerangka Konseptual ... 41
III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data ... 44
3.2.3. Perekonomian Daerah ... 46
3.3. Prosedur Analisis ... 47
3.3.1. Identifikasi dan Metode Estimasi... 47
3.3.2. Validasi Model ... 50
3.3.3. Simulasi Model ... 51
IV. KONDISI FISKAL PEMERINTAH DAERAH 4.1. Kondisi Penerimaan Pemerintah Daerah ... 53
4.2. Kondisi Pengeluaran Pemerintah Daerah ... 62
V. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH 5.1. Penerimaan Fiskal Daerah ... 66
5.2. Pengeluaran Fiskal Daerah... 69
5.3. Kinerja Fiskal Daerah ... 72
VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH 6.1. Hasil Validasi Model ... 75
6.2. Simulasi Kebijakan Perubahan Komponen Penerimaan Daerah terhadap Kinerja Perekonomian ... 77
6.3. Simulasi Kebijakan Perubahan Komponen Pengeluaran Daerah terhadap Kinerja Perekonomian ... 81
6.4. Kesimpulan Hasil Simulasi ... 85
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan ... 82
7.2. Saran ... 88
DAFTAR PUSTAKA... 90
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perkembangan Penerimaan Fiskal Kalimantan Tengah Atas Tahun
Dasar 1996, Tahun 1995-2005... 4
2. Nama-nama Kabupaten dan Kota di Kalimantan Tengah... 7
3. Jenis Pajak Provinsi menurut Undang-Undang No 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah
No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah ... 19
4. Jenis Pajak Kabupaten/kota menurut Undang-Undang No 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan
Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah ... 20 5. Objek atau Jenis Retribusi Daerah Menurut Undang-Undang
No. 34 Tahun 2000... 22
6. Proporsi Pembagian Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah
Diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 ... 26
7. Perbandingan Formula Dana Alokasi Umum Tahun 2001 dan
2002 ... 31
8. Ringkasan Tinjauan Studi Terdahulu... 39
9. Perkembangan Kontribusi Komponen Pembentuk Penerimaan Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996,
Tahun 1995-2005 ... 53
10. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Pembentuk Penerimaan Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan
Tahun 1996, Tahun 1995-2005 ... 54
11. Perkembangan Kontribusi Komponen Pembentuk Pendapatan Asli Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan
Tahun 1996, Tahun 1995-2005 ... 56
12. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Pembentuk Pendapatan Asli Daerah Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005... 57
13. Perkembangan Kontribusi Komponen Dana Perimbangan Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996,
14. Perkembangan Pertumbuhan Komponen Dana Perimbangan Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996,
Tahun 1995-2005 ... 61
15. Perkembangan Alokasi Pengeluaran Rutin dan Pembangunan Kalimantan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996,
Tahun 1995-2005 ... 63
16. Perkembangan Pertumbuhan Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan
Tahun 1996, Tahun 1995-2005 ... 64
17. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Penerimaan Fiskal
Daerah ... 67
18. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Pengeluaran Fiskal
Daerah ... 70
19. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Kinerja Fiskal Daerah ... 73
20. Hasil Validasi Model ... 76
21. Hasil Simulasi Berbagai Alternatif Perubahan Komponen
Penerimaan Daerah ... 78
22. Perubahan Nilai Simulasi Terhadap Nilai Dasar dari Berbagai
Alternatif Perubahan Penerimaan Daerah... 79
23. Hasil Simulasi Berbagai Alternatif Perubahan Komponen
Pengeluaran Daerah ... 82
24. Perubahan Nilai Simulasi Terhadap Nilai Dasar dari Berbagai
xv
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kurva Perpotongan Keynesian... 10
2. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Pendek... 12
3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang... 13
4. Kerangka Konseptual Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap
Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 42
5. Keterkaitan Antar Blok dan Persamaan dalam Model Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Sumber Data Penelitian... 93
2. Keterangan Peubah ... 94
3. Model Sebelum Respesifikasi ... 95
4. Perhitungan Persentase Perubah Berbagai Alternatif Kebijakan
yang Digunakan dalam Simulasi... 97
5. Program Komputer Estimasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 98 6. Hasil Estimasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap
Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 99
7. Program Komputer Validasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal
Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 106
8. Hasil Validasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap
Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah... 108
9. Contoh Program Komputer Simulasi Model Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem
pemerintahan sentralistik. Sistem pemerintahan sentralistik tersebut tercermin dari
dominasi pemerintah pusat dalam merencanakan dan menetapkan prioritas
pembangunan (top down) di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders di
daerah. Selain itu, pemerintah daerah juga harus tunduk kepada berbagai arahan
berupa petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis dari pemerintah pusat.
Menurut Said (2004), sebelum desentralisasi fiskal, pemerintah daerah tidak
terlibat banyak dalam menentukan sektor-sektor pembangunannya termasuk
sektor-sektor penting di daerah.
Besarnya peran pemerintah pusat dalam mengatur rumah tangga
pemerintah daerah menyebabkan besarnya kewenangan keuangan yang dikelola
oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak diberikan keleluasaan untuk
memperoleh pendapatan daerah. Sumber pendapatan daerah relatif terbatas, yakni
hanya mengandalkan pendapatan asli daerah dan persentase bagi hasil yang
relatif sedikit. Salah satu dana bantuan pusat berupa subsidi daerah otonom yang
digunakan untuk membiayai pegawai pemerintah di daerah dan instruksi presiden
yang digunakan untuk kegiatan pembangunan di daerah.
Peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri semakin
meningkat pada tahun 2001 ketika diberlakukan Undang-Undang Otonomi
Daerah yang terdiri dari Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, konsekuensi otonomi daerah adalah penyerahan
wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengurus
daerahnya sendiri (desentralisasi), termasuk menentukan sektor-sektor
pembangunan yang paling tepat dan dibutuhkan masyarakat lokal, karena
pemerintah daerah dianggap lebih mengerti kebutuhan masyarakatnya dibanding
pemerintah pusat. Adanya penyerahan sebagian wewenang pusat ini menyebabkan
semakin besarnya dana transfer ke daerah guna mendukung penyerahan
wewenang tersebut. Menurut Alm (2001), apabila desentralisasi berhasil
diterapkan di Indonesia, maka Indonesia merupakan salah satu negara paling
desentralistik yang sebelumnya berasal dari salah satu negara besar paling sentralistik di dunia.
Desentralisasi fiskal merupakan bagian penting dari otonomi daerah.
Desentralisasi fiskal ditandai dengan meningkatnya alokasi dana transfer dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah (dana perimbangan), yaitu berupa: (1)
peningkatan persentase bagi hasil bagi pemerintah daerah, (2) peningkatan dana
alokasi umum yang sebelumnya dikenal dengan subsidi daerah otonom dan
Instruksi presiden, dan (3) pelimpahan dana alokasi khusus.
Sistem bagi hasil yang terdiri dari penerimaan pajak dan bukan pajak
merupakan instrumen untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical
imbalance) antara pusat dan daerah. Dana alokasi umum merupakan dana transfer
dari pemerintah pusat ke daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi
ketimpangan fiskal antar daerah. Sedangkan dana alokasi khusus merupakan dana
untuk membantu membiayai kebutuhan khusus pada tiap daerah yang
3
umum. Peningkatan dana transfer ini menyebabkan penerimaan daerah meningkat
signifikan.
Peningkatan yang cukup signifikan pada transfer dana ke daerah melalui
dana perimbangan menyebabkan pengelolaan fiskal pemerintah pusat dalam
pengelolaan fiskal pemerintah secara umum telah berkurang. Sebaliknya proporsi
fiskal dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah
sepenuhnya melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) akan
meningkat tajam. Perubahan peta pengelolaan fiskal ini juga diikuti dengan
kenyataan bahwa pemerintah daerah akan mempunyai fleksibilitas yang cukup
tinggi, atau bahkan diskresi penuh dalam pemanfaatkan sumber-sumber utama pembiayaan tersebut (Sidik, 2002).
Berbagai argumen yang mendukung desentralisasi antara lain
dikemukakan oleh Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996),
Weingast (1995), sebagaimana dikutip oleh Litvack et al (1998) yang mengatakan
bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh
wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena: (1)
pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya, (2) keputusan
pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga
mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana
yang berasal dari masyarakat, dan (3) persaingan antar daerah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk
meningkatkan inovasinya.
Kalimantan Tengah merupakan provinsi terbesar ketiga di Indonesia
pulau Jawa. Sebagian besar wilayah Kalimantan Tengah belum dimanfaatkan
secara maksimal di mana 87.87 persen wilayahnya masih berupa hutan dan
pertanahan lainnya. Perekonomian Kalimantan Tengah masih bertumpu pada
sektor pertanian. PDRB Kalimantan Tengah tahun 2005 (1996=100) sebesar Rp
5.55 triliun, meningkat sebesar 0.6 persen dari tahun sebelumnya dengan rata-rata
kontribusi sektor pertanian sebesar 45.97 persen. Sedangkan jumlah tenaga kerja
yang terserap pada tahun yang sama adalah sebesar 825.4 ribu jiwa meningkat
3.84 persen dengan rata-rata kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian
sebesar 59.61 persen.
Tabel 1. Perkembangan Penerimaan Fiskal Kalimantan Tengah Atas Tahun Dasar 1996, Tahun 1995-2005
Komponen Penerimaan Penerimaan
PAD Dana Perimbangan Tahun Nominal (Juta Rp) Tumbuh (%) Nominal (Juta Rp) Rasio (%) Nominal (Juta Rp) Rasio (%) Sebelum Desentralisasi Fiskal
1995 268 799.28 10 764.61 4.00 241 159.74 89.72 1996 264 542.38 -1.58 11 817.98 4.47 240 950.67 91.08 1997 256 649.64 -2.98 11614.14 4.53 231 680.75 90.27 1998 252 302.76 -1.69 7 433.98 2.95 238 977.77 94.72 1999 272 895.43 8.16 8 308.50 3.04 251 842.35 92.29 2000 272 037.55 -0.31 17 125.91 6.30 245 685.22 90.31
Setelah Desentralisasi Fiskal
2001 641 877.01 135.95 72 436.99 11.29 543 753.68 84.71 2002 640 040.22 -0.29 42 998.81 6.72 528 762.32 82.61 2003 920 104.06 43.76 41 997.92 4.56 749 164.32 81.42 2004 967 845.80 5.19 42 470.59 4.39 770 669.84 79.63 2005 1 018 351.12 5.22 50 838.69 4.99 823 251.04 80.84 Sumber: Badan Pusat Statistik (Berbagai Tahun)
Desentralisasi fiskal menyebabkan Kalimantan Tengah memiliki
kesempatan yang besar untuk meningkatkan pendapatan melalui pendapatan asli
daerah dan dana perimbangan. Menurut Aswin (2005), Kalimantan Tengah
5
yang dieksploitasi. Selain itu provinsi ini memiliki wilayah yang luas yang masih
belum digunakan secara maksimal.
Dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan daerah seperti yang
digambarkan pada Tabel 1 menunjukan bahwa setelah desentralisasi fiskal tahun
2001 penerimaan daerah meningkat menjadi 642 miliar rupiah dari sebelumnya
sebesar 272 miliar atau naik sebesar 135.95 persen. Kontribusi terbesar penyusun
penerimaan daerah adalah dana perimbangan dimana lebih dari 80 persen
pendapatan daerah berasal dari dana perimbangan. Semakin besarnya dana
perimbangan mengindikasikan bahwa semakin banyak dana dari pusat yang
ditransfer ke Kalimantan Tengah. Peningkatan penerimaan daerah ini merupakan instrumen desentralisasi fiskal guna membiayai peningkatan pengeluaran
pemerintah daerah yang disebabkan oleh adanya penyerahan sebagian wewenang
pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
1.2. Permasalahan
Desentralisasi fiskal menyebabkan penerimaan Kalimantan Tengah
meningkat signifikan. Peningkatan penerimaan tersebut diikuti dengan
diberikannya keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan sumber
penerimaan sesuai kebutuhan daerah. Peningkatan penerimaan diikuti dengan
keleluasaan dalam penggunaannya oleh daerah sangat mempengaruhi PDRB dan penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut. Pengaruh desentralisasi fiskal
terhadap kinerja perekonomian untuk tiap daerah berbeda-beda tergantung dari
kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk melihat
komprehensif haruslah dilakukan penelitian lebih lanjut. Dari uraian di atas,
dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Kalimantan
Tengah?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran
pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah?
3. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran
pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah?
4. Bagaimanakah dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan
komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah
Kalimantan Tengah.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran
pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah sebelum dan
sesudah desentralisasi fiskal.
3. Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran
pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah.
4. Menganalis dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen
7
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan di provinsi Kalimantan Tengah dengan menggunakan
panel data (pooled data) 13 kabupaten dan satu kota tahun 1995-2005. Kinerja
perekonomian yang akan diteliti adalah PDRB dan penyerapan tenaga kerja.
Sebelum ada pemekaran wilayah pada tahun 2002, Kalimantan Tengah
memiliki lima kabupaten dan satu kota. Setelah terjadi pemekaran daerah
berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2002, terjadi penambahan delapan
kabupaten baru seperti terlihat pada Tabel 2. Kabupaten dan kota yang digunakan
dalam analisis adalah seluruh kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah dengan
menggabungkan kabupaten pemekaran baru ke kabupaten induknya, sehingga jumlah kabupaten dan kota yang akan diteliti berjumlah enam yaitu: Kota
Palangka Raya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Kotawaringin Timur,
[image:31.612.103.519.449.663.2]Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan.
Tabel 2. Nama-Nama Kabupaten dan Kota di Kalimantan Tengah
Kabupaten/kota Induk Kabupaten pemekaran
Kabupaten/kota Setelah Pemekaran 1. Kota Palangka Raya 1. Kota Palangka Raya
2. Kab. Kotawaringin Barat 3. Kab. Lamandau
2. Kab. Kotawaringin Barat Kab. Lamandau Kab. Sukamara
4. Kab. Sukamara
5. Kab. Kotawaringin Timur
6. Kab. Katingan 3. Kab. Kotawaringin
Timur
Kab. Katingan Kab. Seruyan
7. Kab. Seruyan 8. Kab. Kapuas 9. Kab. Gunung Mas 4. Kab. Kapuas Kab. Gunung Mas
Kab. Pulang Pisau
10. Kab. Pulang Pisau 11. Kab Barito Utara 5. Kab Barito Utara Kab. Murung Raya
12. Kab. Murung Raya 13. Kab. Barito Selatan 6. Kab. Barito Selatan Kab. Barito Timur
Fokus penelitian ini hanya pada dampak desentralisasi fiskal terhadap
kinerja perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah, dimana kinerja perekonomian
dibatasi pada PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Keberhasilan desentralisasi
fiskal tidak lepas dari kinerja pemerintah daerah, tetapi dalam penelitian ini tidak
II. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teoritis
Pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem
perekonomian tertutup. Pendekatan teori tersebut diawali dengan dampak
perubahan pengeluaran pemerintah terhadap perpotongan Keynesian yang
berlanjut pada terbentuknya keseimbangan di pasar barang/jasa dan keseimbangan
di pasar uang. Keseimbangan di kedua pasar tersebut akan berinteraksi dengan
keseimbangan di pasar tenaga kerja, sehingga terbentuk kurva permintaan dan
penawaran agregat yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi daerah.
2.1.1. Permintaan Agregat
Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga
dan tingkat pendapatan. Kurva permintaan agregat terbentuk bila terjadi
keseimbangan di pasar barang dan jasa dan keseimbagan di pasar uang. Kebijakan
pemerintah mempengaruhi perekonomian akan terjadi di pasar barang dan jasa, sehingga pada penjelasan selanjutnya akan lebih membicarakan keseimbangan di
pasar ini.
Keseimbangan di pasar barang dan jasa dimulai dengan model dasar yang
disebut perpotongan Keynesian (Keynesian cross). Model ini adalah interpretasi
paling mudah dari teori pendapatan Keynes (Mankiw, 2002). Perpotongan
Keynesian akan menjelaskan bagaimana konsumsi, investasi, dan pengeluaran
pemerintah mempengaruhi pendapatan. Ekuilibrium dari perpotongan Keynesian
terjadi ketika pengeluaran aktual (AE) sama dengan pengeluaran yang
pendapatan nasional atau produk domestik bruto (PDB), pada tingkat daerah
disebut dengan PDRB) Teori pendapatan nasional Keynesian dalam Mankiw
(2002) dituliskan kembali sebagai berikut:
Y = C + I + G ...(2.1)
Gambar 1 menunjukan apabila terjadi peningkatan pengeluaran
pemerintah (G) sebesar ΔG, maka AE akan bergeser dari AE1 ke AE2 sehingga
output akan meningkat dari Y1 ke Y2. Pengganda pengeluaran pemerintah dalam
Mankiw (2002) dituliskan kembali sebagai berikut:
d bt b G Y
+ + − = Δ Δ
[image:34.612.155.474.380.532.2]1 1
...(2.2)
Sumber: Mankiw (2002)
Gambar 1. Kurva Perpotongan Keynesian
Gambar 1 adalah kurva perpotongan keynesian yang merupakan kerangka
dasar terbentuknya keseimbangan di pasar barang dan jasa. Apabila keseimbangan
di pasar barang dan jasa berinteraksi dengan keseimbangan di pasar uang, maka
11
2.1.2. Penawaran Agregat
Menurut Dornbusch dan Fischer (1997), kurva penawaran agregat (AS)
menggambarkan kombinasi output dan tingkat harga sedemikian rupa sehingga
perusahaan berusaha, pada tingkat harga tertentu, menawarkan jumlah output
yang tertentu atau dengan kata lain kurva penawaran agregat mencerminkan
berbagai kondisi pada pasar faktor produksi terutama pasar tenaga kerja. Teori
penawaran agregat dapat dijelaskan dengan teori klasik dan teori Keynesian.
Pada kasus klasik, kurva penawaran agregat berbetuk vertikal,
menunjukan bahwa berapapun tingkat harga yang berlaku, jumlah barang yang
bersedia ditawarkan tidak berubah. Kurva penawaran agregat klasik didasarkan
atas asumsi bahwa pasar tenaga kerja selalu berada pada kondisi ekuilibrium dengan penggunaan tenaga kerja penuh dari angkatan kerja. Jika seluruh angkatan
kerja yang ada telah digunakan, maka output tidak dapat naik di atas tingkat yang
sekarang meskipun tingkat harga naik. Tidak ada lagi tenaga kerja yang bersedia
untuk memproduksi output tambahan. Dengan demikian bentuk kurva penawaran
agregat akan menjadi vertikal pada tingkat output yang sesuai dengan
penggunaan tenaga penuh dari angkatan kerja. Asumsi yang mendasari bentuk
skedul yang vertikal ini adalah bahwa pasar tenaga kerja selalu berada pada
kondisi ekuilibrium karena tingkat upah akan menyesuaikan diri secara cepat guna
mempertahankan kondisi ekuilibrium.
Pada kasus keynesian, kurva penawaran agregat tidak vertikal karena
tenaga kerja lambat menyesuaikan upahnya untuk mempertahankan kondisi
ekuilibrium. Pada kasus yang ekstrim, kurva penawaran agregat horisontal, hal ini
yang ada), berapapun jumlah barang yang diminta. Gagasan yang mendasari
kurva penawaran agregat Keynesian ini adalah karena terdapat pengangguran,
perusahaan dapat memperoleh tenaga kerja sebanyak yang mereka perlukan
dengan upah yang berlaku sekarang. Karena itu, peningkatan biaya produksi
rata-rata mereka tidak berubah meskipun tingkat outputnya berubah.
2.1.3. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Keseimbangan Pemintaan Agregatdan Penawaran Agregat
Kasus klasik terjadi untuk perilaku perekonomian dalam jangka panjang.
Kasus Keynesian terjadi untuk perilaku perekonomian dalam jangka pendek,
karena dalam jangka pendek harga-harga bersifat kaku. Apabila terjadi ekspansi
fiskal dalam jangka pendek, misalnya pemerintah meningkatkan pengeluarannya atau pemerintah memotong pajak maka dalam jangka pendek akan menggeser
kurva permintaan agregat ke kanan dari AD1 menjadi AD2, sehingga akan
meningkatkan output dari Y1 ke Y2. Apabila terjadi kontraksi fiskal, misalnya
pemerintah mengurangi pengeluarannya atau pemerintah meningkatkan pajak
maka dalam jangka pendek akan menggeser kurva permintaan agregat ke kiri dari
AD1 menjadi AD0 seperti pada Gambar 2.
Sumber: Mankiw (2002)
13
Sumber: Mankiw (2002)
Gambar 3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, kebijakan ekspansi ataupun kontraksi fiskal akan
mempengaruhi harga jangka panjang tetapi tidak akan mempengaruhi output (Y)
jangka panjang. Misalkan perekonomian dimulai dalam ekuilibrium jangka
panjang pada titik A, kebijakan ekspansi pemerintah menyebabakan kurva
permintaan agregat bergeser ke atas dari AD1 menjadi AD2, dimana
perekonomian bergeser dari titik A ke titik D (output berada di atas tingkat
alamiah). Ketika harga naik, output secara berangsur-angsur kembali ketingkat
alamiah, dan perekonomian bergerak dari titik B ke E.
Sedangkan kebijakan kontraksi pemerintah menyebabkan kurva
permintaan agregat bergeser ke bawah dari AD1 menjadi AD0, dimana
perekonomian bergeser dari titik A ke titik B (output berada di bawah tingkat
alamiah). Ketika harga turun, perekonomian secara perlahan-lahan pulih dari
Sumber: Mankiw (2002)
Gambar 3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, kebijakan ekspansi ataupun kontraksi fiskal akan
mempengaruhi harga jangka panjang tetapi tidak akan mempengaruhi output (Y)
jangka panjang. Misalkan perekonomian dimulai dalam ekuilibrium jangka
panjang pada titik A, kebijakan ekspansi pemerintah menyebabakan kurva
permintaan agregat bergeser ke atas dari AD1 menjadi AD2, dimana
perekonomian bergeser dari titik A ke titik D (output berada di atas tingkat
alamiah). Ketika harga naik, output secara berangsur-angsur kembali ketingkat
alamiah, dan perekonomian bergerak dari titik B ke E.
Sedangkan kebijakan kontraksi pemerintah menyebabkan kurva
permintaan agregat bergeser ke bawah dari AD1 menjadi AD0, dimana
perekonomian bergeser dari titik A ke titik B (output berada di bawah tingkat
alamiah). Ketika harga turun, perekonomian secara perlahan-lahan pulih dari
14
2.2. Tinjauan Pustaka 2..2.1. Desentralisasi Fiskal
Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada daerah
adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Karena itu, perlu diatur perimbangan
keuangan (hubungan keuangan) antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk
membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Apabila dilihat dari sisi
keuangan negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa
konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar.
Perubahan dimaksud ditandai dengan makin tingginya transfer dana dari anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) ke daerah.
Menurut Boediono (2002), kebijakan fiskal dilaksanakan melalui
kebijakan pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)
dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Dengan demikian tersirat
pengertian bahwa kebijakan fiskal dilakukan melalui kebijakan yang dilakukan
oleh pemerintah melalui: (1) kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan
pendapatan, dan (2) kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan pengelolaan
belanja.
2.2.2. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
Sebelum terjadi desentralisasi fiskal, hubungan keuangan pusat dan daerah
diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 1956 kemudian diperbaharui oleh
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Menurut Sidik (2002), pemikiran terhadap perlunya undang-undang yang
mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah timbul atas pengalaman selama
kepada daerah, terakhir berupa subsidi (untuk belanja rutin daerah) dan bantuan
berupa instruksi presiden (untuk belanja pembangunan daerah) sering kurang
jelas. Paling tidak, permasalahan yang sering timbul adalah: (1) aspek
perencanaan, dominannya peranan pusat dalam menetapkan prioritas
pembangunan (top down) di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders; (2)
aspek pelaksanaan, harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk
pelaksanaan maupun petujuk teknis dari Pusat; dan (3) aspek pengawasan,
banyaknya institusi pengawasan fungsional, seperti Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jendral Departemen, Inspektur Jenderal
Pembangunan (Irjenbang), Inspektorat Daerah, yang satu sama lain dapat saling
tumpang tindih.
Menurut Boediono (2002), beberapa kelemahan tersebut di atas menjadi
bahan untuk pokok-pokok pemikiran tentang pembaharuan di bidang hubungan
keuangan pusat dan daerah. Oleh karena itu, lahirnya undang-undang hubungan
keuangan pusat dan daerah tidak bisa lepas kaitannya dengan upaya untuk
mendukung pelaksanaan otonomi daerah, efisiensi penggunaan keuangan negara,
serta prinsip-prinsip good governance seperti partisipasi, transparansi, dan
akuntabilitas.
Selanjutnya Boediono (2002) mengungkapkan, pelaksanaan otonomi
daerah yang mendukung efisiensi penggunaan keuangan negara dapat dilihat dari
sisi pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintahan yang bersifat lokal. Sebelum
otonomi daerah dilaksanakan, fungsi pemerintahan yang bersifat lokal (seperti pembangunan prasarana yang manfaatnya hanya bersifat lokal) sering dikelola
16
besar daripada apabila fungsi tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah daerah.
Konsep good governance di bidang dana perimbangan sebagaimana diatur melalui
Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 paling tidak dapat dilihat dalam proses
pengambilan keputusannya. Perumusan alokasi dana perimbangan telah
melibatkan pihak universitas/pakar, kemudian sebelum ditetapkan dengan
Keputusan Presiden, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang mayoritas anggotanya berasal dari
pemerintah daerah. Kemudian selanjutnya produk dari keputusan tersebut dapat
diketahui semua lapisan masyarakat.
2.2.3. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah terdiri atas: hasil pajak daerah, hasil retribusi
daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
lainnya yang dipisahkan, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Menurut
Simanjuntak (2001), kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi
pada zaman orde lama diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1957 tentang
Peraturan Umum Pajak Daerah dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1957 tentang
Peraturan Umum Retribusi Daerah serta peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kedua undang-undang ini menyebabkan
bermunculannya berbagai jenis pajak dan retribusi baru. Jenis pajak dan retribusi
yang demikian banyak terutama karena daerah melihat potensi untuk meningkatkan penerimaan adalah dari sekian jenis pajak/retribusi yang umumnya
kecil-kecil itu. Sebagaimana diketahui celah yang diberikan kepada daerah untuk
menggali penerimaannya adalah “lapangan pajak yang belum dipergunakan oleh
Selanjutnya Simanjuntak (2001) memberikan gambaran bahwa
Undang-Undang No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan umum Pajak Daerah mencatat 5
buah jenis pajak provinsi dan tidak kurang 20 jenis pajak kabupaten/kota. Karena
undang-undang ini memberi kewenangan kepada daerah untuk “menggali dan
mengembangkan jenis pajak baru”, maka dalam praktiknya jumlah pajak daerah
yang ada jauh lebih banyak dari itu, yaitu sekitar 40 jenis. Hal sama terjadi untuk
retribusi daerah. Peraturan yang berlaku dalam Undang-Undang No. 12 Tahun
1957 terdapat 36 jenis retribusi provinsi dan 58 retribusi daerah kabupaten/kota.
Dalam praktiknya, jumlah retribusi daerah di Indonesia saat itu tidak kurang dari
180 jenis. Masalahnya adalah sebagian dari pajak-pajak dan retribusi-retribusi
tersebut tidak efisien dan cenderung mendistorsi kegiatan ekonomi sehingga mengganggu para pengusaha dan investor dalam melakukan kegiatannya di
daerah. Prosedur pembayaran dari pungutan yang beraneka ragam itu cenderung
rumit, tidak transparan dan kurang memiliki dasar pungutan yang kuat. Itulah
sebabnya Undang-Undang No. 18 tahun 1997 dikeluarkan dengan tujuan untuk:
(1) menyederhanakan jenis pajak dan retribusi daerah, (2) mengurangi ekonomi
biaya tinggi, (3) menata kembali beberapa jenis retribusi yang pada hakekatnya
bersifat pajak, dan (4) meningkatkan jumlah peneriman daerah (hanya) dari jenis
pajak/retribusi daerah yang potensial serta mencerminkan kegiatan ekonomi
daerah. Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 kemudian disempurnakan dengan
Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya
dengan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan
Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah. Berbagai
18
penyempurnaan dan penyesuaian agar tidak mengganggu perekonomian. Tetapi,
tetap saja terjadi pembengkakan jumlah pungutan pajak dan retribusi seperti yang
dikemukakan oleh Fitrani, Hofman, and Kaiser (2005) yang mengemukakan
bahwa otonomi daerah telah menciptakan banyak pemekaran daerah baru. Setiap
daerah pemekaran ternyata juga menciptakan jenis pajak dan retribusi baru yang
menambah jumlah daftar pajak dan retribusi baru di Indonesia.
1. Pajak Daerah
Berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah, yang dimaksud
dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan
badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pembangunan daerah.
Lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah merupakan landasan hukum bagi pemerintah daerah dalam
mengeluarkan peraturan daerah untuk memungut pajak dan retribusi di daerahnya
masing-masing. Namun demikian peraturan daerah yang akan dikeluarkan
pemerintah daerah tentu tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk terhadap Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 yang telah diamandemen melalui Undang-Undang No. 34 Tahun 2000.
Berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000, ada empat jenis pajak
provinsi dan tujuh jenis pajak kabupaten/kota. Pajak provinsi terdiri atas: (1) pajak
bermotor dan kendaraan di atas air, (3) pajak bahan bakar kendaraan bermotor,
dan (4) pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Rincian jenis pajak provinsi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis Pajak Provinsi menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah
(%)
No Jenis Pajak Tarif
Tertinggi
Tarif Final 1. Pajak Kendaraan Bermotor:
- Kendaraan bermotor bukan umum - Kendaraan bermotor umum
- Kendaratan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar
5 1.5
1.0 0.5
2. Pajak Kendaraan di atas air 5 1.5
3. Bea balik nama kendaraan bermotor:
Penyerahan pertama:
a. kendaraan bermotor non umum b.kendaraan bermotor umum c. kendaraan alat-alat berat & besar
Penyerahan kedua dan seterusnyat:
a.kendaraan bermotor non umum b.kendaraan bermotor umum c.kendaraan alat-alat berat & besar
Penyerahan karena warisan:
a. kendaraan bermotor non umum b. kendaraan bermotor umum c. kendaraan alat-alat berat dan besar
10 10 10 3 1 1 0.3 0.1 0.1 0.03 4. Bea balik nama kendaraan di atas air:
- penyerahan pertama - penyerahan kedua
- penyerahan karena warisan
10
5 1 0.1
5. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor 5
6. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air
bawah tanah 20
7. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air
pemukaan 10
20
Adapun jenis pajak kabupaten/kota adalah sebagai berikut: (1) pajak hotel,
(2) pajak restoran, (3) pajak hiburan, (4) pajak reklame, (5) pajak penerangan
jalan, (6) pajak pengambilan bahan galian golongan C ,dan (7) pajak parkir.
Rincian jenis pajak kabupaten/kota dapat dilihat pada Tabel 4. Undang-Undang
No. 34 Tahun 2000 telah menetapkan tarif pajak maksimal yang bisa dipungut
oleh provinsi dan kabupaten/kota. Kemudian melalui Peraturan Pemerintah No.
65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, pemerintah menetapkan tarif final untuk
jenis-jenis pajak provinsi.
Tabel 4. Jenis Pajak Kabupaten/kota menurut Undang-UndangTahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah
No Jenis Pajak Tarif Tertinggi
(%)
1. Pajak Hotel 10
2. Pajak Restoran 10
3. Pajak Hiburan 35
4. Pajak Reklame 25
5. Pajak Penerangan Jalan 10
6. Pajak Penggalian Bahan Galian Golongan C 20
7. Pajak Parkir 20
Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001
Selain jenis pajak daerah seperti yang disebutkan di atas, daerah melalui
peraturan daerah juga dapat menetapkan jenis pajak kabupaten/kota asalkan sesuai
dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Beberapa kriteria yang harus
dipenuhi dalam menciptakan pajak baru adalah sebagai berikut: (1) bersifat pajak
dan bukan retribusi, (2) objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah
serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
kepentingan umum, (4) objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi
dan/atau objek pajak Pusat, (5) potensinya memadai, (6) tidak memberikan
dampak ekonomi yang negatif, (7) memperhatikan aspek keadilan dan
kemampuan masyarakat, dan (8) menjaga kelestarian lingkungan.
Jika suatu jenis pajak tidak mampu memenuhi kriteria di atas maka
pemerintah daerah tidak dapat memungut pajak kepada masyarakat. Oleh sebab
itu jenis pajak daerah sama pada semua daerah, kecuali retribusi yang bisa
tergantung pada banyaknya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Menurut Lewis (2006), setelah desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mengelola
pajak secara tidak efisien. Biaya rata-rata dari administrasi pajak sebagai
persentase dari penerimaan pajak tersebut diestimasi lebih dari 50 persen.
2. Retribusi Daerah
Selain pajak daerah, sumber pendapatan asli daerah juga meliputi retribusi
atau perijinan yang diperbolehkan dalam undang-undang. Retribusi daerah
merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipungut sebagai pembayaran
atau imbalan langsung atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah
kepada mayarakat. Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas
jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (Undang-Undang
No. 34 Tahun 2000).
Menurut Saragih (2003), Undang-Undang No. 12 Tahun 1957 tentang
Peraturan Umum Retribusi daerah memiliki beberapa kelemahan: (1) hasilnya
kurang memadai jika dibandingkan dengan penyediaan jasa oleh daerah, (2) biaya
22
dalam hal pengenaan, penetapan, struktur, dan besar tarif, (4) beberapa retribusi
pada hakekatnya bersifat pajak, karena pungutannya tidak dikaitkan secara
langsung dengan pelayanan pemda kepada pembayar retribusi, (5) adanya jenis
retribusi perijinan yang tidak efektif dalam usaha untuk melindungi kepentingan
umum dan kelestarian lingkungan, dan (6) adanya retribusi yang mempunyai
dasar pengenaan dan objek yang sama. Adanya kelemahan Undang-Undang
No.12 Tahun 1957 menyebabkan perlunya diperbaharui dengan Undang-Undang
No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 34
Tahun 2000.
Tabel 5. Objek atau Jenis Retribusi Daerah Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000
No Objek atau Jenis Retribusi Daerah
Prinsip atau kriteria pengenaan tarif
1. Retribusi Jasa Umum
•Kebijakan daerah yang bersangkutan
•Besarnya biaya penyediaan jasa yang bersangkutan
•Kemampuan masyarakat •Aspek keadilan
2. Retribusi Jasa Usaha Tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak 3. Retribusi Perijinan
tertentu
Tujuan untuk menutup sebagian/seluruh biaya penyelenggaraan ijin yang bersangkutan
Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000
Berdasarkan undang-undang terbaru tersebut, ada tiga jenis retribusi
daerah, yaitu: (1) retribusi jasa umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan
umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan, (2) retribusi jasa
usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan
menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh
tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi
atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan
pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam,
barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan
umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Jenis-jenis retribusi jasa umum terdiri dari: (1) retribusi pelayanan
kesehatan, (2) retribusi pelayanan persampahan/kebersihan, (3) retribusi
penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil, (4) retribusi
pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat, (5) retribusi pelayanan parkir di tepi
jalan umum, (6) retribusi pelayanan pasar, (7) retribusi pengujian kendaraan
bermotor, (8) retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran, (9) retribusi penggantian biaya cetak peta, dan (10) retribusi pengujian kapal perikanan.
Jenis-jenis retribusi jasa usaha terdiri dari: (1) retribusi pemakaian kekayaan daerah, (2)
retribusi pasar grosir dan/atau pertokoan, (3) retribusi tempat pelelangan, (4)
retribusi terminal, (5) retribusi tempat khusus parkir, (6) retribusi tempat
penginapan/pesanggrahan/villa, (7) retribusi penyedotan kakus, (8) retribusi
rumah potong hewan, (9) retribusi pelayanan pelabuhan kapal, (10) retribusi
tempat rekreasi dan olah raga, (11) retribusi penyeberangan di atas air, (12)
retribusi pengolahan limbah cair, dan (13) retribusi penjualan produksi usaha
daerah. Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu terdiri dari: (1) retribusi izin
mendirikan bangunan, (2) retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol, (3)
retribusi izin gangguan, dan (4) retribusi izin trayek.
Menurut Saragih (2003), penggolongan retribusi berdasarkan
24
jenis pelayanan yang diberikan pemerintah daerah yang dapat dipungut retribusi
menjadi terbatas dan rasional sehingga pada tahap awal pelaksanaan
undang-undang ini berdampak pada penurunan penerimaan retribusi daerah. Menurut
Damuri et al (2003), undang-undang tersebut juga memberikan peluang
pemerintah daerah untuk menetapkan retribusi yang mendistorsi pasar dan
berbahaya bagi perdagangan domestik dan mengganggu investasi dan iklim bisnis
di daerah. Tetapi dampak negatif ini bisa dikurangi apabila pemerintah pusat
melakukan kebijakan pembatasan/seleksi terhadap retribusi daerah yang dapat
mengganggu perekonomian tersebut.
3. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Pendapatan daerah yang termasuk kelompok ini adalah pendapatan yang
tidak termasuk pajak daerah, retribusi daerah ataupun hasil perusahaan milik
daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan.
2.2.4. Dana Perimbangan
Dana perimbangan berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
terdiri dari: (1) bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, (2) bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam,
(3) dana alokasi umum, dan (4) dana alokasi khusus. Dimensi ekonomi-politik
hubungan keuangan dan daerah tercermin dalam proses pengambilan kebijakan
tentang dana perimbangan. Dana perimbangan yang merupakan instrumen
penyeimbang dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Saragih (2003)
mengemukakan beberapa model hubungan keuangan pusat dan daerah yang dapat
dijadikan sebagai alternatif pendekatan antara lain adalah: (1) By Percentage,
(PBB), royalti atau license fee, land rent, dibidang kehutanan dan pertambangan
umum serta pertambangan migas yang diberikan sebagian hasilnya kepada daerah
dengan persentase tertentu; (2) By Origin, yakni bahwa distribusi penerimaan ke
daerah di dasarkan pada atau menurut asal sumber penerimaan; (3) By Formula,
yakni distribusi penerimaan ke daerah yang didasarkan kepada suatu formula
tertentu atau mempertimbangkan faktor-faktor tertentu; by grant to reimburse:
artinya transfer keuangan kepada daerah untuk membiayai satu jenis pengeluaran
tertentu; dan (4) By Hoc Grants, yakni transfer keuangan yang didesain oleh
pemerintah pusat yang didasarkan pada antara lain alokasi prioritas nasional atau
alokasi tambahan yang ditujukan untuk tujuan tertentu untuk satu tahun anggaran
tertentu.
Berdasarkan berbagai pendekatan di atas, maka pendekatan dalam
merumuskan dana perimbangan untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi
adalah: by percentage of share sebagai pendekatan dalam menghitung bagi hasil
pajak dan non pajak (share taxes dan non taxes), by formula sebagai pendekatan
dalam menghitung dana alokasi umum (block grant) dan by hoc atau special grant
sebagai pendekatan dalam menghitung dana alokasi khusus (special grant) yang
sebagian besar didasarkan atas kebutuhan khusus atau yang sifatnya sangat
mendesak.
1. Dana Bagi Hasil
Untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat
dan daerah dilakukan sistem bagi hasil. Pola bagi hasil ini dilakukan dengan
persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil (by origin). Bagi hasil
26
dan bangunan, dan bagi hasil sumber daya alam yang terdiri dari sektor kehutanan,
[image:51.612.107.499.175.672.2]pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan.
Tabel 6. Proporsi Pembagian Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999
( %)
Lama Baru
No. Jenis Penerimaan
Pusat Prop Kab/
Kota Pusat Prop
Semua Kab/ Kota Kab/ Kota Penghasil Kab/ Kota Lain
I Bagian daerah
1. Pajak bumi & bangunan (PBB)
2. Bea perolehan atas tanah & bangunan (BPHTB)
3. Pajak penghasilan (PPh) perorangan
4. SDA kehutanan:
- Iuran hasil hutan (IHH)
- Provisi sumber daya
hutan (PSDH)
5. SDA pertambangan
umum:
- royalti 3.3% dari 13.5% (batu bara + emas)
- landrent (iuran tetap)
6. SDA migas:
- royalti migas
a. Minyak bumi
b. gas alam
7. Agraria
8. Royalti perikanan
- pungutan pengusaha perikanan (PPP) & pungutan hasil perikanan (PHP) 10 20 80 55 30 20 20 100 100 40 - 16.2 16 20 30 70 16 16 - - 40 - 64.8 64 - 15 - 64 64 - - 20 - 10 20 80 20 20 20 20 85 70 100 20 16.2 16 20 16 16 16 16 3 6 - - 64.8 64 - - - - - - - - 80 - - - 64 32 32 64 6 12 - - - - - - 32 32 - 6 12 - -
II (DAU) SDO dan Inpres 75 2.5 22.5 - -
III DAK Dialokasikan tergantung pada kebutuhan
Bagi hasil dialokasikan kepada daerah dengan persentase tertentu yang
diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No.
104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2001. Selanjutnya berdasarkan
Undang-Undang PPh yang baru (UU No. 17 Tahun 2000), mulai Tahun Anggaran 2001
daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi
(personal income tax), yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Karyawan (Pasal 21) serta
Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Pasal 25/29). Ditetapkannya pajak penghasilan
Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan
penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya alam tetapi
memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara.
Dari Tabel 6 terlihat bahwa dana bagi hasil setelah desentralisasi fiskal
telah mempertimbangkan daerah penghasil, seperti pos iuran hasil hutan (IHH),
provisi sumber daya hutan (PSDH), royalti dan land rent sumber daya alam
pertambangan umum, dan royalti sumber daya alam migas. Selain
mempertimbangkan daerah penghasil, undang-undang yang baru ini memberikan
persentase bagi hasil yang lebih besar dari pada undang-undang sebelumnya untuk
beberapa pos.
2. Dana Alokasi Umum
Pola sistem bagi hasil berhasil mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat
dan daerah karena sebagian keuangan pusat telah di limpahkan ke daerah untuk
mendukung desentralisasi tetapi akan menimbulkan ketimpangan horizontal
(horizontal imbalance) antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini
28
daya alam secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam, pertambangan, dan
kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari pajak
bumi dan bangunan, bea perolehan atas tanah & bangunan, dan pajak penghasilan
perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa
daerah saja. Dana alokasi umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat ke
daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah.
Secara umum pada pemerintahan orde baru terdapat tiga jenis transfer
uang dari pusat ke daerah yaitu dalam bentuk subsidi daerah otonom, instruksi
presiden dan daftar isian proyek (DIP). Kedua jenis pertama merupakan bantuan
antar tingkat pemerintah daerah (intergovernmental grant) sebab menjadi
anggaran pemerintah daerah. Sementara daftar isian proyek diklasifikasikan sebagai “in-kind” alocation, sebab walaupun dana mengalir ke daerah, namun
tidak termasuk ke dalam anggaran pemerintah daerah. Subsidi daerah otonom
adalah jenis bantuan dari pemerintah pusat untuk mendukung anggaran rutin
pemerintah daerah untuk membantu menciptakan perimbangan keuangan antar
tingkat pemerintahan. Oleh karena itu sebagian besar dana subsidi daerah otonom
(95 persen) untuk membiayai pegawai pemerintah di daerah. Sementara instruksi
presiden adalah bantuan untuk kegiatan pembangunan di daerah. Ada beberapa
instruksi presiden yaitu: Instruksi Presiden Daerah Tingkat I, Instruksi Presiden
Daerah Tingkat II, Instruksi Presiden Sekolah Dasar, Instruksi Presiden
Kesehatan, Instruksi Presiden Penghijauan dan Reboisasi, Instruksi Presiden
Pasar, Instruksi Presiden Peningkatan Jalan Provinsi, Instruksi Presiden untuk
Menjelang otonomi daerah diberlakukan sistem transfer dari pusat ke
daerah di Indonesia tidak mempunyai perbedaan yang berarti dengan pola subsidi
daerah otonom dan instruksi presiden. Istilah yang digunakan untuk transfer
selama tahun anggaran 1999-2000 adalah dana rutin daerah (DRD) untuk
pengganti subsidi daerah otonom dan dana pembangunan daerah (DPD) untuk
mengganti instruksi presiden. Dana pembangunan daerah tahun 1999/2000 terdiri
dari empat bagian yaitu dana pembangunan desa, dana pembangunan
kabupaten/kota, dana pembangunan provinsi dan jaring pengaman sosial (JPS).
Setelah otonomi daerah, dana rutin daerah dan dana pembangunan daerah
diganti dengan dana alokasi umum. Nilai dana alokasi umum meningkat
signifikan dibanding dengan pola lama karena jumlahnya paling tidak 25 persen dari penerimaan dalam negeri pemerintah sesudah dikurangi bagian dari pajak dan
sumber daya alam yang diserahkan ke daerah. Jadi tujuannya lebih kepada
pemerataan.
Riyanto (2003) menjabarkan dana alokasi umum sebagai berikut. Formula
dana alokasi umum tahun 2001 disusun dari tiga komponen yaitu faktor
penyeimbang (FP) daerah, faktor formula dan faktor lum-sump. Faktor
penyeimbang untuk menghitung dana alokasi umum 2001 menggunakan patokan
“minimal sama dengan dana rutin daerah dan dana pembangunan daerah tahun
sebelumnya”. Demi menghindari tidak diterimanya pembagian dana tersebut oleh
daerah. Dalam formula, ini merupakan “faktor penyeimbang” untuk menjamin
tidak ada daerah yang mendapat transfer lebih rendah dari tahun sebelumnya.
Untuk faktor formula digunakan pendekatan fiskal gap yaitu selisih antara
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data 13 kabupaten
dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005. Data sekunder
yang digunakan berasal dari: Badan Pusat Statistik Pusat Jakarta, Badan Pusat
Statistik Kalimantan Tengah, dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kalimantan
Tengah. Jenis dan sumber data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.2. Spesifikasi Model
Model dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian
Provinsi Kalimantan Tengah disusun dalam persamaan simultan. Model
dikelompokkan dalam tiga blok yaitu: (1) blok perekonomian daerah, (2) blok
penerimaan fiskal daerah, dan (3) blok pengeluaran fiskal.
3.2.1. Penerimaan Fiskal Daerah
Blok penerimaan fiskal daerah terdiri atas dua persamaan struktural yaitu
persamaan pajak daerah, dan bagi hasil pajak; dan empat persamaan identitas
yaitu penerimaan asli daerah, transfer, bagi hasil dan total penerimaan pemerintah
daerah.
1. Pajak daerah (Pajak)
PAJAK = a0 + a1PDRB + a2KPOP + a3LPAJAK + a4DDF...(3.1)
Parameter estimasi yang diharapkan: a1, a2, a3, a4 > 0
2. Bagi hasil pajak (BHP)
BHP = b0 + b1PDRB + b2LBHP + b3DDF...(3.2)
3.1. Jenis Dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pool data 13 kabupaten
dan satu kota di Kalimantan Tengah selama periode 1995-2005. Data sekunder
yang digunakan berasal dari: Badan Pusat Statistik Pusat Jakarta, Badan Pusat
Statistik Kalimantan Tengah, dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kalimantan
Tengah. Jenis dan sumber data tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.2. Spesifikasi Model
Model dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian
Provinsi Kalimantan Tengah disusun dalam persamaan simultan. Model
dikelompokkan dalam tiga blok yaitu: (1) blok perekonomian daerah, (2) blok
penerimaan fiskal daerah, dan (3) blok pengeluaran fiskal.
3.2.1. Penerimaan Fiskal Daerah
Blok penerimaan fiskal daerah terdiri atas dua persamaan struktural yaitu
persamaan pajak daerah, dan bagi hasil pajak; dan empat persamaan identitas
yaitu penerimaan asli daerah, transfer, bagi hasil dan total penerimaan pemerintah
daerah.
1. Pajak daerah (Pajak)
PAJAK = a0 + a1PDRB + a2KPOP + a3LPAJAK + a4DDF...(3.1)
Parameter estimasi yang diharapkan: a1, a2, a3, a4 > 0
2. Bagi hasil pajak (BHP)
BHP = b0 + b1PDRB + b2LBHP + b3DDF...(3.2)
45
3. Pendapatan asli daerah (PAD)
PAD = Retribusi + Pajak + LabaUsaha + PADLain2...(3.3)
4. Transfer (Transf)
Transf = DAU + DAK + BH ...(3.4)
5. Bagi hasil (BH)
BH = BHP + BHB; ...(3.5)
6. Total penerimaan daerah (TOTINC)
TOTINC = PAD+Transf + Pinjam + RevLain + SisaLebih ...(3.6)
3.2.2. Pengeluaran Fiskal Daerah
Blok pengeluaran fiskal daerah terdiri atas tiga persamaan struktural yaitu:
persamaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan sektor pertanian dan
pengeluaran pembangunan sektor luar pertanian; dan dua persamaan identitas
yaitu persamaan pengeluaran pembangunan dan persamaan total pegeluaran
pemerintah daerah.
1. Pengeluaran rutin (EXPR)
EXPR = c0 + c1TOTINC + c2DDF ...(3.7)
Parameter estimasi yang diharapkan: c1, c2 > 0
2. Pengeluaran pembangunan sektor pertanian (EXPPA)
EXPPA = d0 + d1TOTINC + d2LEXPPA + d3DDF ...(3.8) Parameter est