• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAKSAMANA KEUMALAHAYATI

Dalam dokumen Perspektif sejarah dan budaya terhadap p (Halaman 102-118)

Rusdi Sufi

I

Aceh terletak di ujung bagian utara Pulau Sumatera, bagian paling barat dan paling utara dari kepulauan Indonesia. Secara astronomis dapat ditentukan bahwa daerah ini terletak antara 95013’ dan

98017’ bujur timur dan 2048’ dan 5040’ lintang utara

(JMBRAS, 1879: 129). Dengan melihat posisinya yang demikian, Aceh dapat disebut sebagai pintu gerbang sebelah barat kepulauan Indonesia. Karena letaknya yang strategis ini, dalam perjalanan sejarahnya, Aceh banyak didatangi oleh berbagai bangsa asing dengan berbagai macam kepentingan seperti kepentingan perdgangan, diplomasi, dan sebaginya.

12

Tulisan ini dipernah dimuat dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah. Ismail Sofyan dkk (editor).

Kedatangan berbagai bangsa asing itu merupakan hal yang penting bagi perkembangan Aceh sendiri, baik secara politis, kultural, maupun ekonomis. Meskipun demikian, diantara para pendatang asing itu terdapat pula pendatang yang melakukan tindakan-tindakan yang didorong oleh kolonialisme dan imperialisme, baik di Aceh sendiri maupun di kawasan sekitarnya. Oleh karena itu, timbullah sikap antagonistis dan reaksi dari berbagai pihak yang dirugikan, misalnya pihak Aceh, dalam bentuk perlawanan-perlawanan terhadap bangsa asing yang melakukan tindakan di atas. Perlawanan- perlawanan itu terutama dilakukan hanya demi mempertahankan eksistensi pihak yang bersangkutan.

Bangsa asing pertama, tepatnya Barat, yang melakukan kontak dan kemudian berkonflik dengan Aceh adalah bangsa Portugis. Kedatangannya yang

pertama sekali di Aceh pada awal abad XVI, usahanya merebut kota Malaka dari tangan orang-orang Islam pada tahun 1511, dan intervensinya ke dalam kerajaan- kerajaan di sekitar Selat Malaka, telah membuahkan konflik dengan Aceh. Aceh yang sudah tumbuh menjadi sebuah kerajaan besar, sebagai pengganti Malaka yang telah direbut Portugis, mencoba melawan dan mengusir bangsa asing tersebut dari kawasan Selat Malaka. Hal ini dilakukannya karena Portugis dianggap sebagai agresor yang telah merusak keharmonisan kehidupan dan jaringan perdagangan yang sudah mentradisi di kawasan tersebut. Konflik Aceh-Portugis ini berlangsung sepanjang abad XVI hingga akhir perempatan abad XVII.

Dalam konflik yang berlangsung relatif lama ini muncullah figur-figur atau tokoh-tokoh terkemuka dari kedua pihak yang bersangkutan. Dari karya-karya penulis asing aaatau penulis bangsa Indonesia sendiri tentang sejarah Aceh dapat ditemukan sejumlah nama yang pernah menjadi figur semacam itu. Diantaranya adalah Keumalahayati yang secara tradisional disebut oleh orang Aceh sebagai Malahayati atau Hayati saja (Van Zeggelen, 1935: 89). H.M. Zainuddin, 1961: 294).

Keumalahayati adalah wanita yang berpangkat laksamana (admiral) Kerajaan Aceh dan merupakan salah seorang pemimpin armada laut pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayatsyah Al Mukammil (1589-1604) yang populer disebut sebagai Sultan Al Mukammil saja (J.Davis dalam Jacobs, 1894: 185).

Sebelum diangkat sebagai admiral, Keumalahayati pernah menjabat sebagai pimpinan pasukan ketentaraan wanita di Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935: 89). Karena keberhasilannya dalam memimpin pasukan wanita itu dan juga karena mendapat kepercayaan dari sultan yang pada waktu itu kurang mempercayai laki- laki sebagai pemegang jabatan, wanita itupun diangkat sebagai admiral (Davis dalam Jacobs, 1894).

II

Menurut sebuah manuskrip (M.S.) yang tersimpan di Universiti Kebangsaan Malaysia dan berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu. Ayahnya bernama Mahmud Syah, seorang laksamana. Kakeknya, dari garis ayahnya, adalah juga seorang laksamana yang bernama Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah tahun 936-945 H atau sekitar 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah sendiri putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530), pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.

Dilihat dari asal keturunan Keumalahayati seperti yang terdapat dalam M.S. di atas ternyatalah bahwa ayah dari kakeknya pernah juga menjabat sebagai laksamana. Selain merupakan orang kepercayaan sultan, karena memang dianggap mampu, pengangkatan Keumalahayati sebagai laksamana mungkin pula

disebabkan oleh adanya semangat kebaharian atau kelautan yang ada dalam dirinya, yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya kepadanya meskipun ia adalah seorang perempuan.

Pada saat berkuasa sultan sudah berada dalam usia yang sangat tua, berumur sekitar 94 tahun (Wap, 1862: 12). Karenanya, pada waktu itu di istana muncul intrik-intrik dalam hubungan dengan suksesi dan berbagai usaha untuk menyingkirkan sultan itu dari singgasananya. Karena kecurigaan terhadap kaum laki- laiki (Davis dalam Jacobs, 1894), sultan akhirnya sampai pada keputusan untuk mengangkat seorang perempuan sebagai laksamananya.

Kemungkinan di atas semakin kuat karena bersamaan dengan pengangkatan Keumalahayati menjadi laksamana di atas, terjadi pula pengangkatan seorang wanita lainnya sebagai pimpinan “dewan rahasia” istana yang oleh Van Zeggelen disebut sebagai geheimraad. Wanita itu adalah Cut Limpah (Van Zeggelen, 1935).

Sebagaimana telah disinggung, sebelum diangkat sebagai laksamana, Keumalahayati telah pernah menduduki jabatan sebagai pimpinan suatu pasukan wanita. Menurut sumber yang berupa tradisi lisan, pasukan wanita yang dipimpin oleh wanita tersebut terdiri dari para janda yang suaminya telah gugur dalam peperangan-peperangan yang terjadi antara Kerajaan Aceh dengan Portugis, termasuk suami Keumalahayati

sendiri. Pembentukan pasukan wanita ini juga merupakan ide yang berasal dari Keumalahayati, permintaannya kepada sultan. Maksudnya adalah, agar para wanita janda itu dapat menuntut balas atas kematian suami mereka.

Rupa-rupanya permohonan itu mendapat sambutan baik dari Sultan Al Mukammil. Selanjutnya, dibentuklah sebuah pasukan wanita yang dinamakan Armada Inong Bale. Untuk kepentingan pasukan ini dan juga sebagai tempat pangkalan mereka, didirikanlah sebuah benteng yang dalam istilah Aceh disebut Kuta Inong Bale (Benteng Wanita Janda). Hingga sekarang bekas benteng itu masih dapat ditemukan di Teluk Krueng Raya, dekat pelabuhan Malahayati.

Setelah memangku jabatan sebagai laksamana, Keumalahayati harus mengkordinir sejumlah pasukan laut, mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah syahbandar (Van Zeggelen, 1894: 88-89) dan juga kapal-kapal jenis galey milik Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935: 149). John Davis, seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nakhoda pada sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada Masa Keumalahayati menjadi laksamana, menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah kapal perang (galey), diantaranya ada yang berkapasitas muatan sampai 400-500 penumpang. Yang menjadi pimpinannya

adalah laksamana wanita (Davis dalam Jacobs, 1894), Keumalahayati.

Waktu itu awal abad XVII. Kerajaan Aceh dapat dikatakan memiliki angkatan perang yang kuat. Kekuatannya yang terpenting adalah kapal-kapal galey yang dimiliki armada lautnya, di samping pasukan gajah yang dimiliki oleh pasukan daratnya. Selain di Kerajaan Aceh sendiri yang beribukotakan Bandar Aceh Darussalam, kapal-kapal tersebut juga ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah kuasa atau pengaruh kerajaan tersebut, misalnya Daya dan Pedir. Diantara kapal-kapal itu terdapat kapal yang besarnya bahkan melebihi kapal-kapal yang dibuat di Eropa pada kurun waktu yang sama (Braddel, 1851: 19).

Kekuatan Keumalahayati sebagai laksamana mulai memasuki ujian berat ketika untuk pertama kalinya terjadi kontak antara Kerajaan Aceh dengan pihak Belanda. Pada tanggal 21 Juni 1599 dua buah kapal Belanda yang bernama de Leeuw dan de Leeuewin berlabuh di pelabuhan ibukota Kerajaan Aceh. Kedua kapl tersebut masing-masing dipimpin oleh dua bersaudara, yaitu Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman. Mulanya, kedua kapal Belanda itu mendapatkan sambutan yang baik dari pihak Aceh karena darinya diharapkan aakan dapat dibangun pasaran yang baik bagi hasil-hasil bumi Kerajaan Aceh, khususnya lada. Namun, dalam perkembangannya, akibat adanya hasutan yang dilakukan oleh seorang

Portugis yang kebetulan sedang berbaik dengan Aceh sehingga dijadikan sebagai penerjemah sultan, mereka menjadi tidak disenangi sultan. Pihak Aceh kemudian melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda yang sedang berada di kapal mereka. Yang menjadi pimpinan penyerangan tidak lain daripada Laksamana Keumalahayati. Dalam peperangan itu Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh. Sementara Frederick de Houtman ditawan dan dijebloskan ke dalam tahanan Kerajaan Aceh (Van Zeggelan, 1935: 157; Davis dalam Jacobs, 1894: 180. Tiele, 1881: 146-152).

Frederick de Houtman mendekam dalam tahanan kerajaan Aceh selama dua tahun. Dalam masa itu ia telah berhasil menyusun sebuah karya ilmiah, berupa sebuah kamus Melayu-Belanda yang merupakan kamus Melayu- Belanda pertama dan tertua di Nusantara.

Tidak berapa lama sesudah peristiwa tersebut, pada tanggal 21 November 1600 datang lagi bangsa Belanda lain ke Kerajaan Aceh dengan dua buah kapal yang dipimpin oleh Paulus van Caerden (Wap, 1862: 13. Valentijn, 1862: 87). Rupa-rupanya, sebelum memasuki pelabuhan Aceh, mereka telah melakukan tindakan yang ceroboh, yaitu menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dahulu memindahkan segala muatan lada dari kapal itu ke dalam kapal-kapal mereka dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan Pantai Aceh.

Setelah peristiwa di atas datang lagi rombongan kapal Belanda di bawah pimpinan laksamana Jakob van Neck. Mereka tidak mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Van Caerden. Sewaktu mendarat di ibukota Kerajaan Aceh pada tanggal 31 Juni 1601, mereka memperkenalkan diri kepada sultan Aceh bahwa mereka adalah pedagang bangsa Belanda dan datang ke Aceh untuk berdagang dan membeli sejumlah lada. Begitu mengetahui bahwa rombongan tersebut adalah rombongan orang Belanda, Keumalahayati langsung memerintahkan anak-anak buahnya menahan mereka dan memperlakukan mereka secara tidak baik. Oleh keumalahayati diberitahukan bahwa dua buah kapal Belanda yang datang sebelumnya telah menenggelamkan sebuah kapal milik Aceh dan membawa sejumlah lada tanpa bayaran. Karena itu, sebagai ganti rugi, sultan telah memerintahkan untuk menawan setiap kapal dan orang-orang Belanda yang datang ke Aceh (Jacobs, 1894: 189-198).

Menjelang tahun 1602 pedagang-pedagang bangsa Belanda lainnya, di bawah pimpinan Gerard de Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa kapal tiba di pelabuhan Aceh. Yang kemudian ini sengaja datang ke Aceh, atas perintah Pangeran Maurits dari negeri Belanda, untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Aceh. Untuk itu keduanya disuruh menyampaikan beberapa hadiah dan sepucuk surat dari pangerannya untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Secara garis besar isi surat itu mengakui betapa baik sambutan pihak Aceh

kepada para pedagang Belanda ketika mereka pertama kali tiba di pelabuhan. Karena adanya hasutan dari pihak luarlah sultan dan aparat-aparatnya menjadi bertindak tidak baik terhadap para tamunya tersebut. Selanjutnya, dalam surat itu, Pangeran Maurits juga meminta kepada Sultan Aceh untuk tidak mempercayai lagi hasutan- hasutan dari pihak luar. Ia memohon pula agar pihak Aceh mau membebaskan kembali orang-orang Belanda yang sedang ditawannya.

Laurens Bicker, sebagai salah seorang pemimpin rombongan, mengemukakan pula rasa penyesalannya atas perbuatan yang telah dilakukan oleh Van Caerden dan kawan-kawannya dahulu. Sekembalinya ke negeri Belanda, ia berjanji akan menuntut kompeni dagang Van Caerden atas tindakan-tindakannya itu. Bickers ternyata tidak hanya berbasa basi. Janjinya kepada Kerajaan Aceh ditepatinya. Hal itu terbukti dari hukuman denda yang dijatuhkan oleh Mahkamah Amsterdam atas Van Caerden, yaitu yang berupa keharusan baginya untuk membayar denda sebanyak 50.000 gulden kepada pihak Aceh. Dan, uang sejumlah itu benar-benar dibayarkan kepada yang berhak (de Jonge, 1862: 234).

Pihak Belanda yang dipimpin Bicker di atas berhasil menyakinkan pihak Aceh melalui Keumalahayati. Karenanya, Sultan Aceh kemudian bersedia menerima mereka di istananya. Mereka diberi izin berdagang di Aceh dan Frederick de Houtman dibebaskan kembali oleh laksamana.

Peristiwa penting lainnya yang terjadi pada masa Keumalahayati menjadi laksamana adalah pengiriman tiga orang utusan Aceh menghadap Pangeran Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Ketiga utusan itu adalah Abdoelhamid, Sri Muhammad, salah seorang perwira armada laut di bawah Keumalahayati, dan seorang bangsawan yang bernama Mir Hasan (Wap, 1862: 17). Ketiganya merupakan duta-duta yang pertama kali dari sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda. Pihak Belanda yang pada waktu itu sedang melakukan perang kemerdekaan melawan Spanyol yang dalam sejarah Belanda dikenal dengan perang 80 tahun, menerima utusan Aceh itu dengan suatu upacara kenegaraan. Dalam upacara itu hadir pula tamu-tamu terhormat dari beberapa negara Eropa yang menyaksikan pengakuan de jure dari Kerajaan Aceh (Wap, 1862: 17). Dengan demikian Republik Belanda yang baru lahir di bawah pimpinan Pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye itu, telah terangkat derajatnya di kalangan negara-negara Eropa. Selanjutnya, salah seorang dari utusan tersebut, yaitu Abdoelhamid yang berumur 71 tahun, meninggal di kota Middelburg dan dimakamkan di tempat itu atas biaya penguasa kompeni Hindia Timur (VOC) (Wap, 1862: 18-19). Dua utusan lainnya kembali ke Aceh dengan selamat.

Pada tanggal 6 Juni 1602 James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut Inggris, tiba di pelabuhan Aceh bersama rombongannya. Ia membawa sepucuk surat dari ratunya, Elizabeth I, untuk dipersembahkan

kepada sultan Aceh, Al Mukammil (Jakobs, 1894: 202). Setibanya di Aceh, sebelum bertemu dengan sultan, Lancaster terlebih dahulu mengadakan pembicaraan atau perundingan pendahuluan dengan Laksamana Keumalahayati. Pembicaraan itu dilakukan dengan bahasa Arab. Lancaster dapat mengerti bahasa itu karena ia membawa serta seorang Yahudi dari Inggris sebagai penerjemah dari bahasa Arab ke bahasa Inggris (Jakobs,1894: 202). Dalam perundingan itu utusan Inggris tersebut mengemukakan perihal pentingnya penjalinan hubungan perdagangan antara Inggris dengan Aceh. Selain itu, Lancaster meminta kepada Keumalahayati aaagar tetap memusuhi Portugis dan berbaik hati kepada orang-orang Inggris yang mengunjungi Aceh. Orang- orang Aceh hendaknya bersedia membantu utusan- utusan mereka di Aceh. Setelah perundingan selesai, Keumalahayati meminta kepada Lancaster agar semua keinginan tersebut dimintakan atas nama Ratu Inggris, dibuat secara tertulis untuk disampaikan kepada sultannya. Setelah surat permohonan itu selesai dibuat, James Lancaster baru diperkenankan oleh Keumalahayati menghadap sultan. Dan dengan didampingi oleh laksamana tersebut, sultan bersedia berunding dengan Lancaster sebagai wakil Ratu Inggris.

Kedatangan orang-orang Belanda dan Inggris di atas tidak menyenangkan pihak Portugis. Pihak yang kemudian itu mencoba merebut sebuah pulau yang terletak di Pantai Aceh. Tujuannya adalah untuk memdirikan sebuah benteng di tempat itu. Hal ini tentu

saja ditentang oleh pihak Aceh dan merupakan batu ujian baru bagi Keumalahayati.

Pada tahun 1603 Sultan Alaudin Riayat Syah Al Mukkamil menempatkan anak lelakinya yang tertua, diantara anak-anaknya yang masih hidup, sebagai pendampingnya di atas tahta Kerajaan Aceh. Oleh karena berambisi untuk menjadi sultan penuh, putranya itu mneyingkirkan si ayah dari kedudukan sebagai sultan dan mengangkat dirinya sendiri sebagai pengganti sultan dengan menggunakan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607). Tahun-tahun pertama pemerintahan sultan yang baru ini ditandai dengan adanya bencana-bencana yang menimpa Kerajaan Aceh, seperti adanya musim kemarau yang luar biasa, pertikaian berdarah dengan saudaranya, dan juga adanya ancaman dari pihak Portugis.

Sultan tampaknya tidak mampu mengatasi kesulitan tersebut. Apalagi, pemerintahannya sendiri berjalan dengan tidak memuaskan hati rakyat. Hal ini antara lain disebabkan oleh caranya mencapai jabatan sultan yang dilakukan dengan menyingkirkan ayahnya sendiri. Rasa tidak puas serupa diperlihatkan pula oleh kemenakannya sendiri yang bernama Darma Wangsa Tun Pangkat, yang kemudian atas perintah sultan ditangkap dan dipenjara.

Darwa Wangsa masih berada dalam tahanan ketika pada bulan Juni1606 orang-orang Portugis pimpinan Alfonso de Castro datang menyerang Aceh.

Meskipun demikian, ia tidak tinggal diam. Ia memohon kepada sultan agar dibebaskan dari tahanan supaya dapat ikut serta melawan orang-orang Portugis. Dengan diperkuat oleh permintaan Keumalahayati, permohonan kemenakannya itu dikabulkan sultan. Bersama dengan Keumalahayati, Darma Wangsa yang nantinya akan bergelar Iskandar Muda itu akhirnya berhasil mengusir Portugis (Lombard, 1986: 128-129).

III

Dari seluruh uraian di atas dapat diketahui bahwa sepanjang sejarahnya imperialisme dan kolonialisme bangsa asing di Indonesia mendapat berbagai perlawanan, baik besar maupu kecil. Pengalaman- pengalaman itu merupakan modal berharga dalam usaha Indonesia mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa.

Bagi bangsa Indonesia yang memperoleh kembali kemerdekaan dan kedaulatannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sesudah melalui perjuanagan fisik yang cukup lama dan melelahkan, perlawanan serupa itu menempati kedudukan utama dan mempunyai nilai yang tinggi. Kedudukan dan nilai yang demikian diberikan pula kepada figur-figur yang berperan penting di dalamnya. Diantara sekian nama atau pahlawan tersebut terdapat seorang wanita Aceh yang bernama Keumalahayati atau yang lebih populer disebut Malahayati.

Karena jasa-jasa kepahlawanannya dalam membela tanah air, Keumalahayati menjadi figur yang selalu dikenang dan dihormati. Itulah sebabnya, pemerintah Republik Indonesia mengabdikan namanya pada sebuah Kapal Perang Republik Indonesia, yaitu Kri Malahayati.

Daftar Pustaka

Braddel, T. 1851, “On the History of Acheen”, JIAEA, Vol.V. Singapore.

De Jonge, J.K.J. 1862, De Opkompst van Nederlandsch Gezag in Oost-Indie, S-Gravenhage.

Geography of Achin, 1879, JMBRAS.

Jakobs, Julius, 1894, Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh, Leiden : E.J. Brill.

Lombard, Denys, 11986, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda, Jakarta: Balai Pustaka.

Manuskrip (M.S.) Milik Universiti Kebangsaan Malaysia, Belum dikatalogkan.

Tiele, P.A. 1881, “Frederick de Houtman Te Atjeh”, De Indische Gids, halaman 146-152.

Valentijn, F, 1862, Oud en Nieuw Oost Indie I, Amsterdam: Wed Y. C. Kesterem $ Zoon.

Van Zeggelen, Marie, 1935, Oude Glorie, Den Haag: Uitge-verij Conserne.

Wap. 1862, het Gezantschap van de Sultan van Achin AO 1602 Aan

Prins Maurits van Nassau, Rotterdam: H.Nijgh. Zainuddin, H.M., 1961, Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan :

Pustaka Iskandar Muda.

POCUT MEURAH INTAN

13

Dalam dokumen Perspektif sejarah dan budaya terhadap p (Halaman 102-118)

Dokumen terkait