• Tidak ada hasil yang ditemukan

POCUT MEURAH INTAN 13 Profil Pejuang Wanita

Dalam dokumen Perspektif sejarah dan budaya terhadap p (Halaman 118-129)

Rusdi Sufi

Perang Belanda di Aceh, yang meletus sejak tahun 1873 hingga awal abad XX, belum berakhir. Berbagai uapaya telah dilakukan Belanda untuk dapat mengakhiri perang yang telah banyak memakan korban pada kedua belah pihak itu. Salah satu upaya yang ditempuh Belanda menjelang akhir abad XIX dan awal abad XX ialah pembentukan sebuah pasukan elit yang mereka namakan Her Korps Marechaussee (Pasukan Marsose). Pasukan ini terdiri dari serdadu-serdadu pilihan yang memiliki keberanian luar biasa dan semangat tempur yang tinggi (Doup, 1940 : 37; Van’t Veer, 1969 : 174). Mereka ini diserahi tugas melacak dan mengejar para pejuang/gerilyawan Aceh yang masih melakukan perlawanan kepada Belanda ke segenap pelosok daerah Aceh. Mereka akan memusnahkan atau setidaknya membuangnya terutama ke Pulau Jawa apabila para

13

Tulisan ini dipernah dimuat dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah. Ismail Sofyan dkk (editor).

pejuang/gerilyawan yang berhasil mereka temukan tetap melakukan perlawanan atau memperlihatkan kebencian pada Belanda. Mereka akan menangkap dan menjebloskannya ke penjara di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) jika para pejuang atau gerilyawan yang mereka temukan itu bersedia menyerah, tidak melakukan perlawanan lagi.

Dari karya-karya sejarah, khususnya yang berbicara tentang Perang Belanda di Aceh, dapat diketahui sejumlah nama pejuang Aceh yang ditawan Belanda dan dibuang ke luar Aceh. Diantara sekian banyak nama yang ada terdapat satu nama wanita, yaitu Pocut Meurah Intan atau yang biasa pula disebut dengan nama Pocut Meurah Biheue.

Pocut Meurah Intan adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh. Ayahnya keujruen Biheue, berasal dari keturunan Pocut Bantan (Veltman, 1919 : 154). Itulah sebabnya, wanita tersebut mempunyai nama Pocut Meurah yang merupakan nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga Sultan Aceh. Nama panggilan khusus bagi laki-laki keturunan Sultan Aceh adalah Tuanku.

Namun, seperti dikatakan di atas, Pocut Meurah juga biasa dipanggil dengan nama Pocut Meurah Biheue. Nama tambahan Biheue ini berkaitan dengan nama tempat kelahirannya. Biheue adalah sebuah kenegerian atau ke-uleebalangan yang pada masa jaya Kerajaan Aceh berada di bawah wilayah sagi XXII mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad XIX, kenegerian itu kemudian menjadi bagian wilayah XII mukim: Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale dan Laweueng.

Suami Pocut meurah bernama Tuanku Abdul Majid, putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah (Veltman, 1919: 104,149). Tuanku Abdul Majid salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda itulah, tokoh itu disebut oleh beberapa penulis belanda sebagai Zeerover (Perompak Laut) (Doup 1940: 179, 289; Veltman, 1919: 151). Dalam dan lewat karyanya yang berjudul De Atjehers C. Snouck Hurgronjeikut pula

mempopulerkan nama panggilan tersebut. Dalam buku itu ia memojokkan orang-orang Aceh dengan sebutan Perompak Laut, pengganggu keamanan bagi kapal-kapal yang lewat di wilayah perairannya. Sebutan yang demikian tampaknya berkaitan erat dengan profesi yang bersangkutan, yakni sebagai pejabat kesultanan yang ditugaskan untuk mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee (Veltman, 1919: 151).

Dari perkawinannya dengan Tuanku Abdul Majid itu Pocut Meurah Intan memperoleh tiga orang putera, yaitu Tuanku Muhammad yang biasa dipanggil pula dengan nama Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin.

Dalam catatan Belanda Pocut Meurah Intan termasuk figur dari kalangan Kesultanan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Hal ini dapat diketahui, misalnya, dari Kolonial Verslag tahun 1905. Dalam laporan kolonial ini disebutkan bahwa hingga awal tahun 1904 satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Acah yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalah Pocut Meurah Intan (Kolonial Verslag, 1905: 10). Semangat anti Belanda yang teguh itulah yang kemudian diwariskannya pada putera- puteranya sehingga merekapun ikut terlibat dalam kancah peperangan bersama-sama ibunya dan pejuang- pejuang Aceh yang lain.

Setelah berpisah dengan suaminya yang telah menyerah kepada belanda, Pocut Meurah Intan

mengajak putera-puteranya untuk tetap berperang. Ketika pasukan marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya, dalam rangka pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang, perempuan tersebut terpaksa melakukan perlawanan secara bergerilya. Dua diantara ketiga orang puteranya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, kemudian menjadi terkenal sebagai pimpinan utama dalam berbagai gerakan perlawanan terhadap Belanda yang terjadi di wilayah XII mukim, Pidie dan sekitarnya. Karena itu, mereka menjadi bagian dari orang-orang terdaftar sebagai buronan dalam catatan pasukan marsose. Dalam karangannya yang berjudul Gedenkboek van Het Marechaussee van Atjeh en Order-hoorigheden, Doup, mencantumkan sejumlah nama pimpinan pasukan marsose yang bertugas melacak dan mengejar kedua putera Pocut Meurah Intan tersebut. Para pemimpin itu antara lain adalah Letnan J.J. Burger, Letnan Jhr. J.J. Boreel, dan Sersan Feenstra (Doup, 1940: 179).

Pasukan marsose Belanda semakin meningkatkan aktivitas patrolinya dalam rangka pelacakan dan pengejaran di atas. Akibatnya, ruang gerak para gerilyawan menjadi menyempit. Situasi terjepit itulah yang akhirnya menjadi penyebab tertangkapnya Tuanku Muhammad Batee pada bulan Februari 1900, tertangkap oleh satuan marsose Belanda yang beroperasi di wilayah Tangse, Pidie. Dan, karena masih dianggap berbahaya, pada tanggal 19 April tahun itu juga tokoh tersebut dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, dengan dasar Surat

Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No.25, berdasarkan pasal 47 R.R. (Veltman 1919: 151-152; Kolonial Verslag 1905: 10).

Peningkatan intensitas patroli Belanda di atas juga menyebabkan tertangkapnya Pocut Meurah Intan dan kedua puteranya oleh suatu pasukan marsose yang bermarkas di Padang Tiji (Veltman, 1919: 154). Namun, sebelum tertangkap, ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak lawan sendiri. Veltman yang menyaksikan sendiri peristiwa perlawanan tersebut akhirnya menyebutnya sebagai heldhafrig yang berarti gagah berani. Zentgraaff (1989: 128-130) melukiskan keberanian Pocut Meurah Intan itu sebagai berikut:

”…Veltman yang terkenal dengan sebutan “tuan pedoman”, tetapi juga seorang yang baik hati, pernah mengenal seorang wanita Aceh yang hingga kinipun ia menaruh hormat kepadanya. Pada salah satu patroli yang diadakan di daerah Pidie telah ditahan seorang wanita bangsawan Aceh bernama Pocut Meurah. Wanita itu disangka menyembunyikan sebuah kelewang di dalam kainnya. Tiba-tiba ia mancabut rencongnya dan dengan meneriakkan: “Kalau begitu, biarlah aku mati”. Iapun menyerbu brigade. Anggota-anggota pasukan tampaknya kurang bernafsu bertempur dengan seorang wanita yang berlaku sebagai seorang gila, yang menikam

ke kiri dan ke kanan dan sebentar kemudian wanita itupun jatuh terbaring di tanah.

Ia mengalami luka-luka parah. Ia memperoleh dua tatakan di kepalanya dan dua buah dibahunya, sedang salah satu urat ketingnya putus.begitulah ia terbaring di tanah, penuh dengan darah dan lumpur laksana setumpuk daging yang dicencang-cencang. Seorang sersan yang melihatnya dengan perasaan yang penuh belas kasihan berkata kepada komandannya: “Bolehkah saya melepaskan tembakan pelepas nyawanya?” yang dibentak oleh Veltman dengan: “Apa kau sudah gila?’ Lalu mereka meneruskan perjalanannya. Mereka menginginkan agar wanita itu meninggal di tangan bangsanya sendiri.

Beberapa hari telah berlalu ketika Veltman berjalan-jalan di kedai Biheue (antara Sigli dan Padang Tiji); di sana ia mendengar bahwa Pocut Meurah bukan saja masih hidup, tetapi bahkan ia mempunyai rencana hendak membunuh seluruh penduduk dalam pemukiman itu! Sungguh suatu hal yang agak dungu kedengarannya, bahwa di dalam sosok tubuh yang begitu rusak masih bersemi semangat yang agung sekali. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi. Keadaannya lemah akibat banyak kehilangan darah, dan tubuhnya menggigil, ia mengerang karena kesakitan. Walaupun begitu ia tetap menolak bantuan dokter; lebih baik mati daripada dijamah tubuhnya oleh seorang “kaphe”. Veltman yang sangat fasih berbahasa Aceh,

lama berbicara dengan wanita itu dengan cara yang amat hormat, sesuai dengan kedudukannya. Akhirnya, ia menerima juga bantuan serdadu itu yang ditolaknya dari seorang dokter. Orang-orang Aceh sangat sportif; serdadu-serdadu dari semua negara dan keturunan dapat sama-sama menghargai. Wanita itu membiarkan dirinya dirawat olehnya; ia membersihkan luka-lukanya yang telah berulat, kemudian ia membalutnya baik-baik.

Masa penyembuhannya berjalan lama. Akhirnya ia baik juga walaupun menjadi pincang selama hidupnya. Ketika komandan militer Scheuer, seorang perwiraa yang berpendirian, semuanya hanya berharga seketip sewaktu mengempuri Puri cakra Negara- membaca di dalam buku harian betapa wanita itu dengan hanya seorang diri dan dengan gagah berani serta hanya bersenjatakan sebilah rencong telah menyerbu sebuah brigade yang terdiri dari delapan belas pucuk karaben dan kelewang-kelewang tajam, ia telah menyatakan keinginannya untuk menjumpai wanita itu.

Demikianlah pejuang Lombok terkenal itu mengunjungi Pocut Meurah yang pada ketika itu masih belum sembuh seluruhnya. Di hadapan wanita itu ia mengambil sikap sebagai seorang prajurit dan mengambil hormat dengan meletakkan jari-jarinya di pinggir topi petnya. ”Katakan kepadanya, “ ia berkata kepada Veltman, bahwa saya merasa sangat kagum kepadanya.”.

Veltman berbuat apa yang dimintakan kepadanya. Pada wajah wanita yang kurus itu terkulum sebuah senyum. “Kaphe ini boleh juga”, pikirnya. Dan sesudah sembuh dari luka-lukanya itu Kompeni tidak pernah mendapat kesukaran lagi dari wanita itu” (Zentgraaaff, 1989: 128-130).

Rupanya sebutan heldhafrig yang diberikan Veltman kepada Pocut meurah memang tepat. Gambaran Zentgraaff di atas telah membuktikannya.

Pocut Meurah kemudian sembuh dari sakit dan luka-lukanya. Bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman, ia dimasukkan ke dalam penjara di Kuraraja. Sementara itu, Tuanku Nurdin, puteranya yang lain, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pimpinan para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kale. Dalam Kolonial Verslag, 1905, disebutkan bahwa setelah ibunya ditangkap, Tuanku Nurdin melaksanakan siasat perlawanan yang baru. Dengan seolah-olah sukarela ia melapor diri/menyerah kepada penguasa Belanda yang bermarkas di Padang Tiji. Hal ini terjadi pada bulan Juni 1904. dengan cara itu ia tampaknya ingin pihak Belanda bersedia membebaskan ibu dan saudaranya yang sedang mendekam di penjara (Kolonial Verslag, 1910: 10). Namun, ternyata, pemerintah Belanda tidak memenuhi keinginan Tuanku Nurdin tersebut. Pada bulan Agustus tahun itu juga ia kembali lagi ke wilayah Biheue, bergabung kembali dengan rekan-rekan seperjuangannya dalam rangka meneruskan perlawanan terhadap Belanda.

Pada 1 November 1904 pihak marsose, yang memang terus menerus melakukan pelacakan, berhasil menemukan tempat persembunyian putera Pocut Meurah dan para pengikutnya tersebut. Sebuah pasukan marsose yang dipimpin Letnan J.J.Burger segera mengepung tempat itu. Pada waktu itu, di tempat tersebut, tidak hanya terdapat pasukan Aceh, melainkan juga anak-anak dan wanita. Burger memerintahkan agar anak-anak dan wanita diberi kesempatan keluar. Ketika anak-anak dan wanita itu bergerak keluar, pimpinan pasukan Belanda itupun bergerak mendekat ke tempat persembunyian pasukan Aceh. Kesempatan ini tidak disia-siakan Tuanku Nurdin. Ia langsung menembak dan jatuhlah J.J. Burger sehingga menimbulkan kepanikan di pihak belanda. Dalam situasi panik itulah Tuanku Nurdin menyelinap pergi dan lolos dari blokade Belanda. Ia meninggalkan empat orang pengikutnya yang gugur, dua orang anggota marsose yang juga tewas tertembak, dan J.J. Burger sendiri yang menderita luka parah (Doup, 1940: 179).

Belanda merasa “ditelanjangi” akibat kejadian itu. Mereka selanjutnya melakukan tindakan yang keji. Pada bulan Desember 1904 mereka menangkap isteri Tuanku dengan harapan agar si suami mau menyerah. Tuanku Nurdin tidak melakukan hal tersebut. Baru pada tanggal 18 Februari 1905 Belanda berhasil menangkapnya. Peristiwa itu dimulai dengan keberhasilan pasukan marsose pimpinan J.J. Boreel mengepung tempat persembunyian Tuanku Nurdin di sebuah desa yang

bernama Lhok Kaju. Dalam pertempuran yang terjadi di desa itulah putera Pocut Meurah tersebut tertangkap dan enam orang pengikutnya syahid (Kolonial Verslag,1905: 10).

Kegagahan dan keberanian Tuanku Nurdin di atas merupakan warisan saja dari kegagahan dan keberanian ibunya, Pocut Meurah Intan. Kegagahan dan keberanian itu telah mengagumkan Scheuer, membuat Veltman jatuh simpati, menjadi kenangan bercampur teror tak terlupakan bagi penjajah Belanda. Bagaimana dengan kita, bangsa Indonesia?. Layakkah bila ia juga mendapat tempat dalam pantheon Pahlawan Kemerdekaan Nasional?.

DAFTAR PUSTAKA

Doup, A.Gedenkboek van Het Korps Marechaussee van Het van Atjeh en Ondehoorigheden. Medan: N.V. Deli Caurant, 1940.

Kolonial Verslag 1905, zitting 1905-1906.

Van’t Veer, Paul, De Atjeh Oorlog. Amssterdam: Uitgeverij De Arbeiderspers, 1969.

Veltman, T.J. “Nota Over de geschiedenis van Het landschap Pidie”, Tijdschrift Bataviaasch Genootschap, 58, 1919. Zentgraaff, H.C. Aceh, Jakarta: Beuna, 1983. Terjemahan Aboe

Bakar.

Dalam dokumen Perspektif sejarah dan budaya terhadap p (Halaman 118-129)

Dokumen terkait