• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif sejarah dan budaya terhadap p

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perspektif sejarah dan budaya terhadap p"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

WACANA PEREMPUAN INDONESIA

1

Agus Budi Wibowo

John Naisbitt dan Patricia Aburdene telah meramalkan, dalam bukunya yang amat populer Megatrends 2000, bahwa pada dekade menjelang tahun 2000 kemungkinan perempuan akan muncul sebagai pemimpin di segala bidang. "Ramalan" ini telah menjadi isu yang menyita perhatian para pengamat dan peneliti masalah perempuan di manca negara, termasuk Indonesia. Dalam era globalisasi dan di akhir abad ke 20 ini isu perempuan tidak saja masih menyita perhatian, tetapi juga masih sangat relevan untuk dibicarakan.

Setiap isu yang beredar dalam masyarakat mempunyai dua kemungkinan, bisa benar bisa pula salah sehingga bagi khalayak ramai harus membuka mata dan telinga lebar-lebar agar tidak "terjerembab". Isu tersebut harus dikaji secara mendalam dan dilihat dalam konteks yang lebih luas, tidak saja dilihat dari satu sudut

1

(2)

pandang saja. Dengan demikian, kita dapat menanggapi isu itu dengan kepala dingin dan mencari sesuatu yang mendekati kebenaran.

Menanggapi isu yang menarik ini, saya ikut tertarik untuk menguji kebenarannya. Apakah benar ramalan itu telah terjadi di Indonesia ? Bagaimana kondisi perempuan Indonesia saat ini ? Kemajuan apa saja yang telah mereka capai ? Sudahkah perempuan di Indonesia menjadi pemimpin seperti yang telah diramalkan ?

Era Penindasan Perempuan

Kalau kita merunut ke belakang, kita dapat jumpai perempuan sebagai makhluk yang tertindas. Perempuan tidak lebih sebagai objek belaka. Aristoteles dalam The Politics mengkategorikan wanita (sic!) sama dengan budak. Wanita dianggap sebagai objek seksual. Bila dianggap sebagai objek seksual, wanita mudah diekploitasi (Hardi, 1996).

(3)

reproduksinya, peran perempuan hanya dianggap dengan "sebelah mata". Perempuan tidak mempunyai suara, utamanya dengan hal-hal yang berkaitan pengambilan keputusan. Orang dilarang atau tidak mau mendengarkan saran dari pihak perempuan. Pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah kemasyarakatan didominasi oleh laki-laki.

Saat itu, "citra baku" bahwa fisik perempuan lemah daripada laki-laki masih mendominasi alam budaya masyarakat. Kaum perempuan biasanya diberi predikat pasif, lemah-lembut, sabar, setia, emosional dan irrasional, sedangkan laki-laki menempati kedudukan superior dengan predikat kuat, berkuasa, agresif, dan lain-lain.

"Citra baku" yang kemudian dibungkus oleh rekayasa sosial budaya menyebabkan perempuan terpuruk dalam alam ketidakberdayaan. Perempuan menempati kedudukan sebagai kanca wingking laki-laki. Makhluk yang diatur oleh laki-laki, harus dilindungi dengan macam-macam yang mengekang dan mengurangi hak kewenangannya. Perempuan harus setia dan tunduk pada laki-laki, swarga nunut, neraka katut. Namun ironisnya, perempuan sendiri tidak berani bersuara dengan keadaan mereka yang seperti itu. Perempuan menyetujui dan menerima kekuasaan laki-laki itu sebagai suatu yang wajar.

(4)

"penindasan" perempuan oleh laki-laki. Slogan perempuan sebagai kanca wingking dan swarga nunut neraka katut menjadi bahan yang disosialisasikan oleh para orang tua pada anak-anak mereka. Selain itu, ketidakadilan dalam perkawinan seperti kawin paksa, sistem poligami, sistem selir dan ditambah dengan adanya sistem "nyai" dalam masyarakat kolonial telah membatasi lingkungan hidup perempuan

Era Emansipasi

Zaman sudah berubah. Kata-kata yang sering didengung-dengungkan oleh banyak orang. Kini kita telah memasuki era masyarakat informatika. Globalisasi sudah terjadi dan dunia menjadi kecil. "Batas-batas" negara semakin tipis.

(5)

lebih luas. Mereka tidak hanya bergerak di sektor domestic, tetapi juga di sektor public. Mereka berharap pula ketidakadilan dalam perkawinan dihapuskan.

Dengan pelan tetapi pasti, perempuan Indonesia mulai menampakkan kemajuan yang menggembirakan. Perempuan Indonesia sudah mempunyai peluang dan kesempatan yang sangat besar untuk berkembang. Hal ini ditunjang dengan mulai memudarnya (walaupun belum hilang sama sekali) "citra baku" masyarakat terhadap keberadaan dan peran perempuan di berbagai aspek kehidupan.

Kalau R.A Kartini, Dewi Sartika, dan pelopor emansipasi perempuan lainnya masih hidup, mereka dapat tersenyum bangga bahwa apa yang mereka cita-cita dan perjuangkan selama ini mulai menampakkan hasilnya. Atas kemajuan perekonomian dan pendidikan perempuan mulai menunjukkan dirinya. Mereka mulai memasuki dunia yang selama ini secara tradisional digeluti kaum laki-laki. Banyak kaum perempuan keluar rumah, baik untuk bekerja maupun melakukan kegiatan dalam rangka aktualisasi diri.

(6)

Edi Sedyawati, yang merupakan beberapa contoh ilmuwan yang sukses, yang tentunya masih ada yang lainnya. Dalam dunia bisnis, kita mengenal Martha Tilaar, Siti Hardiyati Rukmana yang dapat dijadikan contoh perempuan yang dapat membuktikan keuletan dan kebolehannya mengendalikan perusahaan. Dalam bidang Hankam, kita juga mengenal Roekmini dan Jean Mandagi dua orang perempuan yang mencapai pangkat jenderal.

Namun kalau kita kaji mendalam ternyata perempuan sebetulnya belum dapat menembus dinding yang tebal yang didirikan oleh pimpinan laki-laki. Memang, diakui beberapa perempuan telah mencapai puncak karir mereka masing-masing. Namun kualitatifnya ? perempuan belum dapat menduduki posisi yang menentukan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan. Dengan kata lain, masih diperlukan suatu kedudukan perempuan untuk turut serta dalam pengambilan keputusan. Karena kenyataanya, dalam banyak contoh, perempuan masih berada dalam posisi nomer dua dalam pengambilan kebijakan atau keputusan.

Hambatan-hambatan

(7)

(human) bukan betina (female) - meminjam istilah yang dipakai Parsudi Suparlan - tentunya mereka mampu memimpin dan jadi pemimpin. Kedua makhluk dikaruniai otak yang sama-sama cerdasnya, sama-sama punya harapan, impian, ambisi, cita-cita dan perlu pula tidur, dicintai dari Tuhan Yang Maha Esa.

Ternyata beban kultural masih begitu kuat menindih mereka, yang sering kali terekspresikan dalam berbagai bentuk humor, ejekan, gosip, dan sebagainya. Betapa sukarnya mereka melepaskan diri dari "citra baku" masyarakat dan mitos yang mengungkung mereka hanya untuk menunjukkan bahwa mereka mampu. Karenanya, tidak sedikit dijumpai adanya cerita mengenai rasa terasing perempuan yang memilih jalan tersebut dari lingkungannya seperti yang tergambar dalam kata-kata, Apa yang kau cari Palupi ? (Krisna dalam Alfian, 1994). Oleh karena itu pula tidak sedikit dari mereka yang akhirnya memilih "rumah yang damai", kembali ke posisi tradisional yang aman (Sumarjo dalam Alfian, 1994).

(8)
(9)

STRUKTUR LAPISAN SOSIAL DAN

OTONOMI WANITA PEDESAAN DALAM

MASYARAKAT ACEH

2

Rusdi Sufi

Dalam kehidupan suatu masyarakat terdapat norma-norma, aturan-aturan atau nilai-nilai yang mengatur pola tingkah laku anggota masyarakat. Namun tidak semua anggota masyarakat dapat memenuhi hak dan kewajibannya sesuai norma, aturan atau nilai yang dituntut masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya lapisan-lapisan masyarakat.1 Lapisan-lapisan masyarakat yang dimaksud sudah ada semenjak zaman dahulu yang secara historis diperkirakan sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama di dalam organisasi sosial. Aristoteles seorang filsof Yunani misalnya, membagi masyarakat dalam tiga lapisan, yaitu lapisan kaya, lapisan miskin dan lapisan yang berada di tengahnya (antara lapisan kaya dan lapisan miskin).2 Diperkirakan jauh sebelum Aristoteles atau pada

(10)

zaman sebelumnya telah adanya lapisan-lapisan sosial di dalam masyarakat. Lapisan-lapisan dalam masyarakat yang dimaksud itu dikenal dalam ilmu kemasyarakatan dengan istilah sosial stratification (stratifikasi sosial).3

Sistem berlapis-lapisan itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur. Bentuk-bentuk lapisan dalam masyarakt ini berbeda-beda dan ada di mana-mana. Apakah lapisan itu terdapat dalam masyarakat modern ataupun dalam masyarakat tradisional dan lain sebagainya. Pada masyarakat sederhana kebudayaannya, lapisan-lapisan ini mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara yang dipimpin/pemimpin, golongan budak belian dengan yang bukan budak belian, golongan berdasarkan pembagian kerja dan perbedaan berdasarkan kekayaan. Semakin kompleks dan semakin majunya perkembangan teknologi sesuatu masyarakat di dunia ini semakin kompleks pula sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat di dunia ini semakin kompleks pula sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat.4 Oleh karena itu dalam masyarakat yang sudah kompleks, perbedaan kedudukan dan perannya juga bersifat kompleks. Oleh karena banyaknya orang dan berbagai ukuran yang dapat diterapkan terhadapnya. 5

(11)

bersifat ekonomis, politis dan didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. Umumnya ketiga bentuk pokok tersebut mempunyai kaitan yang erat satu dengan lainnya, di mana terjadi saling pengaruh memperngaruhi. Misalnya, mereka yang tergolong ke dalam suatu lapisan atas dasar politis, biasanya juga merupakan orang-orang yang menduduki suatu lapisan tertentu atas dasar ekonomis. Demikian pula mereka yang kaya, biasanya menempati jabatan-jabatn yang penting. Akan tetapi tidak semua demikian keadaannya. Hal ini tentu sangat tergantung dari pada sistem nilai yang berlaku serta berkembang dalam masyarakat yang bersangkutan.6

(12)

Adapun penggolongan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan dapat disebutkan sebagi berikut :

1. Penggolongan berdasarkan ukuran kekayaan. Kekayaan/kebendaan seseorang dapat dijadikan suatu ukuran. Siapa yang memiliki kakayaan termasuk lapisan teratas. Kekayaan ini dapat dilihat misalnya pada kebendaan yang dimilikinya seperti rumah, mobil, cara berpakaian, gaya hidup, dan sebagainya.

2. Penggolongan berdasarkan kekuasaan. Biasanya seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang memiliki wewenang terbesar, menempati lapisan tertinggi.

3. Penggolongan berdasarkan kehormatan.Ukuran kehormatan ini mungkin terlapis dari ukuran-ukuran kekayaan dan kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati biasanya mendapat tempat teratas. Ukuran semacam ini dapat dijumpai pada masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa kepada masyarakat.

4. Penggolongan berdasarkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masayrakat yang menghargai ilmu pengetahuan.

5. Penggolongan berdasarkan keturunan.

(13)

Sebenarnya masih banyak ukuran lain yang dapat dipergunakan. Tetapi ukuran-ukuran tersebut si atas adalah yang paling menonjol sebagai dasar timbulnya sistem berlapis-lapisan dalam masayrakat.

II

Secara teoritis semua manusia dapat dianggap sederajat. Tetapi dalam kenyataan kehidupan di daerah ini dan juga di daerah-daerah lain di Indonesia tidaklah demikian. Hal ini antara lain disebabkan karena dalam suatu kelompok masyarakat ada hasrat untuk menghargai sesuatu. Hal inilah yang menjadi embrio untuk menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat yang bersangkutan. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat tersebut mungkin dapat berupa uang/kekayaan, kekuasaan, ke- hormatan, ilmu pengetahuan, keturunan dan sebagainya.

Secara historis sistem berlapis-lapisan di dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Tetapi ada juga yang dengan sengaja disusun untuk mencapai suatu tujuan bersama.

(14)

menonjol dapat dikelompokkan pada dua golongan yaitu golongan umara dan golongan Ulama. Umara dapat diartikan sebagai pemerintah atau pejabat pelaksana pemerintah dalam suatu unit wilayah kekuasaan. Contohnya seperti jabatan Sultan yang merupakan pimpinan atau pejabat tertinggi dalam unit pemerintahan kerajaan, Uleebalang sebagai pinpinan unit

pemerintahan Nanggroe (negeri), Panglima Sagoe

(Panglima Sagi) yang memimpin unit pemerintahan Sagi, Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unti pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler.

(15)

1. Tengku Meunasah, yang memimpin masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan

pada suatu unit pemerintahan Gampong

(kampung).

2. Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang bersangkutan.11

3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang mengerti mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.

4. Teungku-teungku, yaitu pengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tangkat keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek

(16)

juga merupakan lapisan tersendiri dalam masyarakat Aceh.

Pelapisan masyarakat Aceh juga dapat dilihat dari segi harta yang mereka miliki. Untuk itu maka ada golongan hartawan/orang kaya. Mereka adalah pekerja-pekerja keras dalam mengembangakn ekonomi pribadi. Dari mereka yang sudah berada inilah terbentuk suatu golongan dalam masyarakat, yaitu golongan hartawan. Kelompok yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh yaitu lapisan rakyat biasa yang didistilahkan dalam sebutan Ureung leue (orang banyak). Golongan ini merupakan golongan yang mayoritas.

(17)

Dengan adanya perubahan strtifikasi sosial tersebut, maka dewasa ini masyarakat Aceh umumnya dapat dikelompokkan ke dalam:

1. Golongan penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan dan pegawai negeri.

2. Kelompok Ulama, yaituorang-orang yang berpengetahuan di bidang agama.

3. Kelompok hartawan (mereka yang memiliki kekayaan).

4. Kelompok rakyat biasa.

Keempat kelompok tersebut, tidak menunjukkan batas-batas yang tajam. Antar kelompok itu dapat saja memasuki atau menjadi kelompok yang lain. Timbulnya pelapisan-pelapisan tersebut merupakan hasil kompetisi ilmu pengetahuan. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahua, dapat saja masuk ke dalam kelompok penguasa, atau seseorang yang mempunyai pengetahuan di bidang keagamaan dengan sendirinya menjadi bagian dari kelompok Ulama.12 Demikian pula kelompok hartawan, pengusaha atau rakyat biasa, dapat saja beralih ke kelompok atau lapisan lainnya.

(18)

Bila berbicara tentang otonomi wanita pedesaan, maka hal ini tidak terlepas dari pada membicarakan tentang peranan dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat. Seperti diketahui peranan mereka dalam sebuah keluarga adalah sangat besar dan bahkan sangat menentukan. Agama Islam telah menempatkan wanita pada kedudukannya yang sangat penting, terutama dalam pembangunan masyarakat dan negara. Sehubungan dengan hal ini Nabi Muhammad SAW., telah bersabda bahwa "wanita adalah tiang negara", apabila baik wanitanya, maka baiklah negara, sebaliknya apabila rusak wanitanya mak rusak pula negara. Dalam kaitan ini maka ada suatu ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi sebagai berikut : "Meutuah aneuk meusebab ma, meutuah bak donya meunyo na hareuta"artinya, bertuah anak karena jerih payah seorang ibu, bertuah hidup di dunia bila memiliki harta.13 Selain itu tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa "sorga itu terletak di bawah telapak kaki ibu".14

Sebagai ibu wanita adalah yang pertama sekali bertanggungjawab untuk mendidik, membina moral dan akhlak anak-anaknya. Oleh karenanya tidak dapat disangkal bahwa peranan utama seorang ibu di dalam pengawasan anak-anak besar sekali. Ini disebabkan karena secara langsung ialah yang pertama-tama bergaul dengan anak-anak, khususnya di dalam rumah.15

(19)

tuanya setelah ia berkeluarga. Dengan demikian anak-anak biasanya dididik dan dibesarkan di rumah ibu mereka. Selain itu karena rumah adalah milik isteri maka ia bebas bertindak di rumahnya tersebut. Namun sebelum berkeluarga sesungguhnya penghidupan seorang wanita tidak terlalu bebas, baru setelah kawin ia mempunyai kedudukan yang bebas (otonomi) sebagai "nyonya rumah". Dengan demikian dapat dikatakan dengan pasti bahwa anak-anak lebih banyak berkembang di bawah asuhan ibunya atau kerabat ibunya dari pada di bawah bimbingan ayahnya. Hal ini antara lain juga disebabkan karena sang ayah sering tidak berada di rumah, kadang-kadang untuk jangka waktu yang cukup lama.17 Sebagai ibu rumah tangga, selain mengurus/mengasuh anak-anak seorang wanita juga bertugas mengurusi pekerjaan rumah lainnya, seperti memasak, mencuci, menyapu, membersihkan tempat tidur, menata rumah merangkai bunga dan lain sebagainya.18

Bagi masyarakat Aceh tempo doeloe, dalam beberapa linteratur tampaknya peranan wanita dalam masyarakat adalah sangat menonjol, yang sekaligus

memberikan kedudukan tersendiri dalam

(20)

wanita yang menjadi penguasa-penguasa lokal seperti menjadi Uleebalang atau penguasa lainnya yang mempunyai pengaruh besar dalam semua tindak-tanduk jabatannya. Sering pula terjadi ada isteri-isteri penguasa yang melaksanakan kekuasaan suaminya bila sang suami berhalangan.20 Demikian pula pada masa perang dengan Belanda, peranan wanita juga sangat menonjol. Pada waktu itu mereka mempunyai tugas rangkap, yaitu di samping sebagai ibu rumah tangga dan isteri yang tercinta juga ikut bersama berjuang dengan kaum pria melawan penjajah Belanda.21

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa posisi wanita khususnya wanita pedesaan dalam masyarakat Aceh cukup tinggi dan memiliki otonomi-otonomi tersendiri.

Catatan Akhir

1Muhammad Rusli Kasim (ed), Seluk Beluk Perubahan Sosial, (Surabaya : Usaha Nasional, 1983), hal. 93.

2Ibid., hal 94. Lihat juga dalam Elvin M. Tumin, Sosial Stratification The Forms And Functions of Inequality, (New Delhi: Prentice Hall of India, 1978), hal. 2

(21)

4Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: UI Press, 1981), hal.134

5Ibid.

6Ibid., hal.135

7Melvin M.Tumin, op.cit., hal.67

8 Soerjono Soekamto,op.cit., hal.137 9 Ibid., hal 141-142

10Taufik Abdullah (ed),Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta:CV. Rajawali, 1983), hal. 3.

11Th.W.Juynbol, "Atjeh", The Encyclopaedia of Islam, Vol.I, (1960), hal.74.

12Lihat T.Syamsuddin dkk., Adat Istiadat Daerah Propinsi Istimewa Aceh. (Banda Aceh: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan daerah, Depdikbud Propinsi daerah Istimewa Aceh, 1977/1978), hal. 152

13Muhammad Hakim Nyak Pha, Wanita Aceh dan Peranannya, (Banda Aceh: P3IS Aceh, 1987), hal. 2.

14 Ibid., hal. 1.

(22)

16 J.Jongejans, Land En Volk Van Atjeh Vroeger En Nu, (Baarn: Hollandia Drukkerij, 1939), hal.91

17C. Snouck Hurgronje, terjemahan Ng. Singarimbun dkk. Aceh Di Mata Kolonialis, (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), hal. 449.

18 Justus Inkiriwang, op.cit., hal. 21.

19 P.J.Veth, "Vrouwen Regeeringen In Den Indischen Archipel", T.N.I.IV, 1870.

20C. Snouck Hurgronje, loc.cit.

(23)

PERSOALAN PEKERJA PEREMPUAN

3

Agus Budi Wibowo

Visualisasi perempuan Indonesia telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sejak dulu secara tradisional perempuan hanya memainkan peran dalam sektor domestic. Dalam keluarga umumnya perempuan dibatasi perannya pada bidang yang langsung berhubungan dengan rumah tangga, seperti menjadi ibu rumah tangga yang baik, mengasuh dan mendidik anak, serta diwajibkan setia kepada suami, atau tugas-tugas yang tidak jauh dengan itu. Dengan kata lain perempuan yang ideal adalah perempuan yang bisa macak (berhias), masak (masak), dan manak (melahirkan anak). Jarang sekali ditemukan sistem sosial dimana perempuan dalam jumlah yang lumayan berperan dalam bidang di luar rumah tangga. Peran di luar domestik yang dilakukan oleh perempuan belumlah dilirik. Kalaupun ada satu dua perempuan yang mencapai puncak "karier" di luar

3 Tulisan ini pernah dimuat di dalam Harian Umum Serambi

(24)

sektor domestik dianggap sebagai suatu yang asing bagi lingkungannya.

Adanya streotip peran di sektor domestik ini menyebabkan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan. Citra perempuan yang sesuai dengan konstruksi sosial budaya masyarakat kala itu adalah citra domestik. Perempuan hanya dianggap sebagai kanca wingking bagi laki-laki dan yang hanya swarga nunut neraka katut. Peran domestik ini kadang-kadang masih ditambah dengan peran-peran lain yang merugikan dan membelenggu kehidupan perempuan. Boleh dikata tidak ada peran perempuan sebagai individu. Perempuan hanya dipandang sebagai betina (female) dan bukan sebagai manusia (human).

Menjelang abad ke 21 - dimana isu globalisasi dan industrialisasi mulai merebak - gaung emansipasi mulai menampakkan wujud hasilnya. Perempuan yang menurut slogan lama hanya sebagai kanca wingking dan yang hanya swarga nunut neraka katut tidak lagi sepenuhnya berlaku. Hal ini menunjukkan proses perubahan sosial yang terjadi pada perempuan telah berjalan dalam kehidupan masyarakat.

(25)

Perempuan mulai memasuki sektor publik yang secara tradisional dikuasai oleh kaum laki-laki. Karenanya, saat ini kita tidak merasa asing lagi mendengar perempuan terlibat di sektor publik, seperti menjadi TKW, buruh di pabrik, atau menjadi pegawai swasta/negeri.

Meskipun perempuan bekerja seringkali dimasukkan dalam kategori "pencari nafkah tambahan", namun ternyata keberadaan perempuan untuk selalu menambah income keluarga semakin menjadi penting artinya dalam kehidupan ekonomi rumah tangga. Bahkan, dengan demikian, kesejahteraan keluarga pun menjadi semakin meningkat karena itu sumbangan pekerja perempuan pada ekonomi rumah tangganya tidak dapat diabaikan begitu saja (Partini, 1992). Malah kalaupun masih mungkin keadaan ini akan mengurangi pola ketergantungan perempuan pada laki-laki.

(26)

Persoalan yang muncul untuk dikedepankan adalah, apakah dengan masuknya perempuan ke dunia kerja merupakan suatu kemajuan dilihat dari harkat dan martabat hidup manusia ? Tidakkah hal itu merupakan suatu proses "pemiskinan" karena perempuan mengalami "penindasan" dalam bentuk lain ?

Perempuan dan Kerja

Adanya pertumbuhan ekonomi dan pendidikan yang semakin baik di Indonesia menyebabkan perkembangan peran atau kedudukan perempuan mengalami perubahan yang cukup berarti. Pendidikan perempuan yang semakin baik didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menguntungkan posisi perempuan. Ada celah-celah yang memungkinkan terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk keluar dari sektor domestik yang selama ini digelutinya. Dan, tampak bahwa peranan perempuan dalam sektor publik dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.

(27)

jasa 11,7 juta (Kompas 3 Mei 1996). Biasanya, mobilitas kerja ini tidak hanya dialami oleh kaum laki-laki saja, tetapi pekerja perempuan juga mengalaminya. Hal ini boleh jadi disebabkan semakin membaiknya tingkat pendidikan mereka dan keengganan generasi ini untuk terjun ke sektor pertanian. Kemudian, mereka mencari alternatif lain, seperti sektor industri ataupun jasa.

Semakin banyaknya perempuan yang membanjiri sektor publik dapat memberi gambaran bahwa kaum perempuan makin menempati posisi strategis dalam pembangunan di Indonesia, baik pada masa kini maupun di masa yang akan datang. Paling tidak, sektor publik akan bisa membantu kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri mereka. Karenanya, harus dibuat sebuah kebijakan yang tepat agar kaum perempuan tidak malah menerima beban dan akibat dari pembangunan.

Di samping uang, perempuan yang bekerja bisa memetik keuntungan lain, misalnya karir, melayani/membantu orang lain, ataupun sebagai media untuk mengaktualisasikan diri. Kegiatan bekerja ini akan membantu mereka ke suatu pola hidup yang berbeda dari biasanya. Manfaat ini tentunya tidak akan mereka peroleh apabila hanya berkutat di sektor domestik.

(28)

perempuan akan menerima peran dan tanggung jawab yang berbeda apabila dia hanya bergerak di sektor domestik. Keuntungan menjadi pekerja adalah perempuan dapat belajar melakukan berbagai tugas sekaligus dan bekerja sama dengan berbagai jenis karakter manusia dalam sebuah organisasi. Hal ini berarti akan membantu perempuan memperluas cakrawala cara berfikir dan bersikap. Yang pada akhirnya membuka peluang bagi seseorang menjadi mengenal, mengerti, dan menjadi ahli dalam bidang tertentu.

Penguasaan keahlian dalam bidang tertentu akan membantu perempuan menghadapi dan memecahkan suatu persoalan. Ia akan terbiasa berhadapan dengan berbagai persoalan yang sering menghadangnya setiap hari dan mengambil keputusan yang sulit. Apabila ia mampu mengatasi persoalan yang sedang dihadapi tentunya ia akan tertantang untuk dapat memecahkan masalah berikutnya.

Keberhasilan dan kegagalan dalam memecahkan masalah akan membentuk pribadi yang tangguh dan termotivasi untuk terus belajar. Tiada hari tanpa belajar. Hari ini harus lebih dari hari kemarin. Dan motivasi ini akan semakin menambah keyakinan akan kemampuan pada diri sendiri.

(29)

dalam pengambilan keputusan. Perempuan akan mempunyai bargaining power dalam menghadapi kaum laki-laki. Suara perempuan tidak begitu saja dilecehkan. Ini merupakan indikasi kemajuan perempuan karena perempuan tidak lagi terkurung di bilik rumahnya.

Kematian Marsinah dan pelecehan seksual yang dialami perempuan pekerja merupakan sisi gelap dari perempuan yang terjun ke dunia kerja. Namun hendaknya hal itu tidak dilihat dari sisi gelapnya dan mengendorkan semangat untuk melakukan usaha-usaha pemberdayaan perempuan. Hendaknya kita melihat hal itu sebagai suatu "peringatan" bahwa perempuan belum diperlakukan sebagai mitra sejajar laki-laki. Budaya supremasi laki-laki masih menyelimuti dunia kerja. Ada kemunduran dan proses "pemiskinan" terjadi seandainya ada perempuan yang mampu (seperti perempuan yang berpendidikan tinggi), tetapi lebih suka mengurungkan diri di bilik rumah dan senang di tempatkan di "belakang" sehingga ia menjadi orang kurang pergaulan (kuper) (Partini, 1992).

(30)

Masalah Baru

Dengan mulai merebaknya fenomena perempuan

bekerja tentunya kita harus mengantisipasi sejak dini masalah-masalah baru yang mungkin muncul. Agar perubahan sosial yang terjadi tidak menimbulkan ekses negatif bagi perempuan. Namun yang paling penting diingat adalah harus diciptakan suatu mekanisme perubahan budaya masyarakat dan legalitas akan posisi dan kedudukan perempuan di mata hukum yang bertujuan melindungi kaum perempuan.

(31)

EKPLOITASI KAPITALISME TERHADAP

PEREMPUAN

4

Agus Budi Wibowo

Gerakan perempuan dalam menghujat nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang menekan mereka telah lama hadir jauh sebelum pendiri bangsa memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Gerakan yang dipelopori oleh Kartini ini mencoba mendobrak nilai-nilai sosial budaya yang menekan keberadaan perempuan dalam masyarakat yang membuat mereka terbelenggu dalam "rumah yang damai". Saat itu, perempuan boleh dikata hanyalah sosok makhluk yang hanya jadi objek bagi kaum laki-laki. Tidak ada kata "berdampingan" antara laki-laki dan perempuan dalam kamus sosial-budaya masyarakat saat itu. Mereka belum mengenal apa yang disebut dengan relasi gender. Yang mereka kenal perempuan hanyalah kanca wingking kaum laki-laki.

(32)

Menjelang abad ke 21, gaung emansipasi, perempuan karir, perempuan modern makin tampak dalam wujud yang nyata dan kaum perempuan mulai diakui keberadaannya. Gerak maju kaum perempuan dewasa ini bukan hanya sekedar untuk mendapatkan persamaan hak-haknya, tetapi juga dimaksudkan untuk meningkatkan peranannya, baik di dalam keluarga maupun dalam masyarakat dan bangsa.

Saat ini bangsa Indonesia sudah tidak heran lagi melihat kaum perempuan meninggalkan rumah yang damai untuk terjun ke sektor publik. Banyak perempuan yang berbondong-bondong pergi ke kota untuk jadi buruh pabrik, TKW ke luar negeri atau menjadi perempuan "terhormat" sebagai wanita karir dan wanita modern, bahkan wanita kosmopolitan. Melihat gejala semakin semaraknya kaum perempuan yang terjun ke dunia kerja atau sektor publik ini saya jadi tertarik untuk mengkajinya. Seberapa jauh perempuan yang telah terjun ke dunia kerja ini terangkat harkat dan martabatnya.

Eksploitasi Kapitalisme terhadap Perempuan

(33)

pendidikan yang lebih baik. Kemajuan ekonomi memungkin pula para investor menanamkan modalnya. Berdirilah berbagai macam industri-industri yang memerlukan banyak tenaga kerja, baik tenaga kerja perempuan maupun tenaga kerja laki-laki.

Kemajuan dalam hal pendidikan dan sosial ekonomi telah mendorong kaum perempuan mulai terjun ke sektor publik. Hal ini menuntut konsekuensi perempuan meninggalkan rumah. Hal ini membawa sedikit keuntungan bagi kondisi rumah tangga. Walaupun mereka bekerja hanya dikategorikan sebagai pencari nafkah tambahan namun sedikit banyak membantu keuangan rumah tangga.

(34)

perempuan itu sendiri sulit untu secara bebas menentukan pilihan sebagai wanita karir yang memungkinkan mereka mempunyai bargaining power dalam mengambil keputusan.

Memang idealnya tenaga kerja perempuan yang terlibat pada sektor publik selain harus mendapat perlindungan hukum yang layak, mereka juga harus mendapat upah dan tidak diperlakukan diskriminatif. Namun karena akibat proses industrialisasi yang cenderung bercorak kapitalistik yang melanda pembangunan di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, maka yang terjadi kemudian adalah proses eksploitasi, subordinasi, dan marginalisasi posisi kaum perempuan.

Di dalam sistem kapitalistik, kaum perempuan cenderung berada di dalam posisi sebagai objek sistem ekploitasi tiga lapis. Pertama, pada tingkat global sebagai warga masyarakat negara pinggiran, kaum perempuan akan menjadi korban kesenjangan dan ketidakadilan sistem internasional. Kedua, pada tingkat produksi sebagai bagian terbesar lapisan bawah dari sistem stratifikasi kerja industrial, kaum perempuan menjadi korban pertama dari kesenjangan hubungan-hubungan industri kapitalis. Ketiga, pada tingkat kemasyarakatan, kaum perempuan juga harus mengalami perlakuan yang tidak adil dari struktur dan ideologi gender yang telah berlangsung berabad-abad.

(35)

menerapkan pembangunan yang bersifat kapitalistik - dengan logika utama selalu berusaha memaksimalkan produksi - menunjukkan seringkali membuat kaum perempuan terpojok sehingga mereka dengan mudah diekploitasi oleh proses industrialisasi dan modernisasi.

Banyak contoh yang dapat diketengahkan tentang eksploitasi kaum perempuan ini. Arus globalisasi kapitalisme yang melanda dunia memperlihatkan dengan jelas pesan-pesan yang disandangkan perempuan dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan (Rahayu, 1996). Saat ini, tampak bahwa kaum perempuan dijadikan objek sasaran berbagai produk kaum industrialis. Sebagian besar kaum perempuan yang perannya "telah" ditentukan untuk mengurus rumah tangga dan melayani kebutuhan keluarga tampak sekali menghadapi pilihan antara survive dan konsumerisme. Di lain pihak, kaum perempuan yang berada pada level sosial-ekonomi tinggi yang memiliki harta melimpah terus dituntut untuk mempertahankan segala kelebihannya agar dapat memenuhi kebutuhan konsumtifnya. Akhirnya, Semua kaum perempuan dari berbagai lapisan ber-usaha memperoleh uang-uang sebanyak-banyaknya agar dapat memenuhi kebutuhan konsumtifnya.

(36)

mewakili kepentingan laki-laki, baik dalam bentuk gambar, film, maupun secara langsung dipergunakan untuk melayani kepentingan seks laki-laki. Di sektor industri, buruh-buruh perempuan melayani kepentingan pengusaha besar dengan upah yang rendah atau tenaga kerja wanita melayani orang asing dan devisa negara.

Fenomena-fenomena di atas memperlihatkan bagaimana perempuan dieksploitasi untuk memenuhi norma-norm kapitalistik. Ketrampilan atau peningkatan wawasan seperti banyak dilakukan oleh organisasi perempuan belum banyak mengubah posisi perempuan.

Harapan Kartini

Melihat fenomena semakin semaraknya perempuan keluar dari sektor domestik tentunya Kartini akan tersenyum bangga. Ia akan merasa puas karena apa yang diperjuangkannya telah menunjukkan wujud yang nyata. Namun demikian, apabila kita lihat, secara kualitas, mungkin Kartini akan menitikkan air mata. Karena perempuan ideal yang diidamkannya belum sepenuhnya terwujud. Mereka masih berkutat melepaskan diri dari berbagai tekanan yang ada.

(37)

menunjukkan bahwa budaya patriarkhi dalam masyarakat masih kuat tertancap dalam akar budaya masyarakat. Kaum laki-laki masih menduduki posisi yang dominan dalam kamus sosial budaya masyarakat.

(38)

Pemberdayaan Perempuan (Aceh)

5

Agus Budi Wibowo

Dengan mengerutkan dahi penuh keheranan saya perhatikan seorang laki-laki (bapak-bapak) sedang antri di sebuah counter supermarket Banda Aceh membayar beberapa perlengkapan wanita, seperti underwear, dan beberapa kebutuhan rumah tangga lainnya. Kalau saja ia membeli barang-barang perlengkapan pria mungkin tidak menarik perhatian namun karena yang dibeli perlengkapan wanita dan kebutuhan rumah tangga lainnya, maka hal ini menjadi menarik perhatian.

Pada suatu petang ketika saya membeli beberapa keperluan sehari-hari di Pasar Peunayong, saya perhatikan seorang bapak berjalan sendiri sambil menjinjing sekeranjang bahan keperluan sehari-hari dan rumah tangga, seperti ikan, sayur mayur, dan sebagainya. Kedua kalinya dahi ini berkerut lagi.

Pada bagian lain, suatu pagi ketika saya jalan-jalan berkeliling kota Banda Aceh sambil menghirup udara segar pagi hari saya melihat beberapa bapak bergerombol sedang asyik duduk menikmati secangkir kopi dan beberapa panganan ditemani acara Nuansa

5 Tulisan ini pernah dimuat di dalam Harian Umum Serambi

(39)

Pagi RCTI. Padahal di tempat lain, mungkin istrinya sedang sibuk mengurusi anak-anaknya yang sedang rewel atau mengurusi kegiatan rumah tangga lainnya. Seakan-akan tanpa dosa, ia meninggalkan istrinya yang kerepotan mengurus rumah tangga di rumah.

Fenomena-fenomena ini nampaknya sudah menjadi bagian keseharian masyarakat Aceh dan mengkristal dalam budaya mereka. Mengapa hal itu bisa terjadi ? Apakah seorang melakukan tindakan tersebut dilandasi oleh rasa kasih sayangnya terhadap istri, suatu tuntutan sosial budaya, atau kedua-duanya ?

Kalau keinginan berbelanja tersebut dilakukan atas dasar rasa kasih sayang tidaklah menarik untuk dikaji. Karena memang sudah seharusnyalah seorang suami menyayangi dan mencintai istrinya. Namun apabila hal ini dilakukan seorang suami atas dasar tuntutan sosial budaya akan menjadi suatu kajian yang menarik dan menggelitik. Jangan-jangan, aktivitas ini dilakukan karena jaring-jaring kekuasaan laki-laki di Aceh begitu besar sehingga semua aktivitas rumah tangga pun dipegang. Padahal aktivitas seperti ini biasanya sudah menjadi menu keseharian perempuan.

(40)

Tampaknya masih diperlukan suatu uraian tentang kedudukan dan peran perempuan dalam masyarakat. Uraian tentang perempuan masih selalu menarik perhatian, lebih-lebih kenyataannya sampai saat ini masih ada pro-kontra tentang pembicaraan masalah wacana perempuan.

Mengutip apa yang dikatakan oleh John Naisbitt dan Patricia Abudene dalam bukunya Megatrends 2000 bahwa pada dasa warsa 1990-an dan menjelang memasuki abad ke 21 merupakan dasa warsa yang sangat penting bagi kehidupan perempuan. Peranan perempuan akan semakin menonjol dan dibutuhkan, baik sebagai sumber daya manusia, pemikir, maupun sebagai pengambil keputusan, turut meningkatkan perhatian masyarakat terhadap masalah tersebut.

Walaupun menurut ajaran agama Islam jelas-jelas mengajarkan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama. Kedua-duanya mendapat tugas dan kewajiban yang sama terhadap Tuhan penciptanya, terhadap sesama manusia dalam masyarakat, serta sama-sama mendapat hak dan wewenang sesuai dengan amal perbuatan dan kedudukannya. Namun apa yang kita lihat selama berabad-abad ?

(41)

pembagian kerja/peran secara seksual. Perempuan tidak dipadang lagi sebagai makhluk yang sama derajatnya dengan laki-laki. Maka muncullah dua teori besar teori nature dan teori nurture/kebudayaan. Munculnya kedua teori ini dipandang sebagai pembenaran terhadap keadaan kehidupan dan keberadaan perempuan dalam masyarakat. Dan, dua teori besar ini menghasilkan pandangan yang berbeda terhadap kodrat perempuan. Masing-masing pandangan mempunyai argumentasi yang nalar, dan bisa saja orang menentukan teori mana yang dianggap benar menurut keyakinannya sendiri.

Pemberian "citra baku" oleh masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah-lembut, terlalu berperasaan, dan perlu diperhatikan dengan hati-hati seringkali menimbulkan streotip bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Berdasarkan "citra baku" ini, ditambah pula dengan berbagai rekayasa sosial, perempuan ditempatkan pada posisi yang subordinatif, yakni sebagai pihak yang dikuasai. Kaum laki-laki yang menyibukkan dirinya dengan kekuasaan dan kompetisi pasar membutuhkan juga dukungan emosional, pengurus rumah tangga, serta pasangan seksual. Konsekuensinya, perempuan diharuskan untuk memenuhi peran tersebut. Terjadilah pembagian tugas "di dalam" keluarga (domestic) dan "di luar" keluarga (public). Perempuan mendapatkan peran domestik dan laki-laki mendapatkan peran publik.

(42)

keputusan, utamanya keputusan-keputusan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam menentukan tatanan kehidupan bermasyarakat dan dalam memecahkan masalah sosial kemasyarakatan dominasi masih ada pada kaum laki-laki. Perempuan jarang, bahkan tidak pernah diajak bermusyawarah dalam mengambil keputusan hal-hal semacam tersebut di atas.

Adrianne Rich berpendapat bahwa pembagian peran secara seksual dan subordinasi perempuan memiliki asal muasal sejak masa lampau dan pra-kapitalis, yakni pada perasaan iri, ter- pesona, dan ketakutan laki-laki terhadap kapasitas perempuan untuk menciptakan hidup. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa kecemburuan ini akhirnya mengarah kepada pengingkaran aspek-aspek lain dari kreativitas perempuan (Budiman, 1992). Dengan demikian, perempuan menjadi semakin terkungkung pada alam ketidakberdayaan.

(43)

realitas sosial tertentu dimana istri giat bekerja sedang laki-laki asyik dengan aktivitasnya. Begitu pun dengan bentuk-bentuk penindasan yang berupa fisik atau non-fisik. Dalam keluarga pun ada diskriminasi antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Orang tua lebih memprioritaskan pendidikan anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Oleh karenanya diperlukan suatu kajian mendalam untuk usaha-usaha pemberdayaan perempuan.

Pemberdayaan Perempuan

Pada tahun 1879 lahirlah seorang perempuan dari kalangan bangsawan di Jepara. Kelahiran ini menjadi istimewa karena perempuan ini kemudian menjadi salah seorang pelopor pemberdayaan perempuan. Perempuan ini berusaha mendobrak tradisi puritan yang telah ada. Saat itu, perempuan hanya dianggap sebagai kanca wingking. Perempuan yang bercita-cita demikian, kemudian kita kenal dengan nama R. A. Kartini. Selain R. A. Kartini masih banyak perempuan lain di belahan Nusantara yang mencoba mendobrak tradisi puritan tersebut, seperti Dewi Sartika di daerah Sunda, Maria Walanda Maramis di Manado, Martha Christina di Maluku. Sedangkan di daerah Minangkabau diketemukan tokoh Rangkayo Rasuna Said. Bagaimana dengan Aceh ?

(44)

dibanding di daerah lain di Indonesia banyak menyimpan tokoh-toloh pemberdayaan perempuan. Di antara berbagai aktivitas, politik dan militer merupakan wilayah kekuasaan yang secara tradisi biasa dimasuki laki-laki dimasuki oleh para perempuan Aceh. Kalau selama ini ada mitos bahwa aktivitas politik dan militer hanya menjadi kegiatan kaum laki-laki, maka hal itu menjadi disangkal, dilemahkan, atau setidaknya dipertanyakan kembali. Keberanian dan keheroikan Cut Nyak Dhin, Malahayati, Cut Meutia, dan lain-lain merupakan contoh tokoh pemberdayaan perempuan di Aceh. Keberadaan mereka tentu saja membawa aura optimisme bagi perempuan untuk memasuki wilayah kekuasaan yang secara tradisi dimasuki oleh laki-laki sebelumnya.

Namun demikian, memang tidak mudah bagi perempuan Aceh khususnya dan Indonesia umumnya untuk memasuki wilayah-wilayah yang secara tradisi biasa dimasuki oleh laki-laki sebelumnya. Namun hal itu bukan suatu kemustahilan. Mengapa tidak ? Hal itu dapat menjadi suatu kenyataan apabila ada suatu tindakan yang nyata dan berkesinambungan. Tidak hanya didasari oleh sikap reaksioner semata dan tindakan ritual bahwa perempuan dapat berdiri sejajar dengan laki-laki.

(45)

dan politik. Sedangkan perubahan kultural diperlukan agar setiap langkah pemberdayaan perempuan berjalan tanpa suatu beban kultural. Disadari atau tidak, beban kultural kadang-kadang masih begitu kuat menghimpit mereka yang terekspresikan dalam bentuk humor, ejekan, gosip, dan sebagainya.

(46)

hendaknya memberlakukan kesempatan kerja sama, upah yang sama, dan lain-lain.

Walaupun secara legalitas dan politis pemerintah telah mengakui persamaan derajat antara perempuan dan laki-laki, namun masih ada kendala yang menghadang. Oleh karena itu, asas legalitas dan politis harus diikuti dengan perubahan kultural.

Hal ini sejalan dengan perubahan-perubahan kehidupan sosial budaya yang tengah berlangsung dengan cepat. Dari kehidupan yang diatur oleh adat dan agama masing-masing masyarakat daerah beralih ke pengaturan tata kehidupan yang baru sebagai akibat tuntutan ekonomi, politik, dan hukum yang baru. Karenanya, menuntut perubahan yang mendasar pula di bidang sosial budaya. Tanpa ini akan terjadi ketimpangan. Perempuan yang merupakan aset bangsa tidak akan termanifestasikan suara dan potensinya dalam pembangunan.

(47)

menggerakkan perempuan mewujudkan masyarakat yang lebih adil melalui perjuangan dalam masyarakat. Penderitaan perempuan merupakan bagian dari penderitaan anggota masyarakat yang lainnnya. Memang diharapkan yang terjadi adalah perubahan revolusioner tetapi yang dimaksudkan dengan revolusioner disini harus tanpa diikuti dengan kekerasan.

Perubahan kultural ini dapat dimulai dari unit terkecil, yaitu keluarga inti. Di Aceh, sistem sosial masyarakatnya berpokok pangkal pangkal pada keluarga inti. Karenanya, setiap kegiatan atau perbuatan yang dilakukan oleh sebuah keluarga inti akan memberi pengaruh pada keluarga lainnya. Dengan demikian, apabila terjadi perubahan kultural pada sebuah keluarga ini maka ia mendivusi pada keluarga yang lainnya. Dari beberapa keluarga inti diharapkan akan berkembang pada masyarakat.

Dewasa ini, sudah seharusnya

(48)

kekasih/sahabat yang hangat bagi suaminya dan ibu yang penuh kasih sayang bagi putra-putrinya. Dalam konteks ini perempuan berperan sebagai pemancar kehangatan dalam kehidupan keluarga.

Adanya sikap tersebut, mau tidak mau, harus ditumbuh- kembangkan pula sikap jiwa besar dari laki-laki bahwa suatu hari istri mempunyai jabatan yang lebih tinggi darinya. Dan, perempuan menjadi bagian dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. Selain itu, laki-laki dan perempuan merupakan rekan sejawat dan mitra kerja, baik dalam kehidupan profesional maupun kehidupan pribadi, harus menjadi suatu gambaran umum masyarakat sehari-hari.

Kemampuan anggota masyarakat, termasuk perempuan, untuk memperoleh pengetahuan dan pendidikan harus kian ditambah. Usaha peningkatan pendidikan perempuan merupakan usaha membantu kaum perempuan agar mempunyai bargaining power dalam pengambilan keputusan. Menurut Daud Joesoef, besar kecilnya kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan sendiri menentukan secara langsung derajat kebebasannya. Artinya, usaha pendidikan perempuan membuat perempuan mendapat keahlian yang membuatnya mampu untuk mandiri (Tilaar, 1991).

(49)

sendiri harus sadar akan lingkungan tempat mereka berada dan akan kemungkinan dan kemampuan mereka sendiri untuk bertindak sebagai pelaku kemajuan dan perubahan. Perempuan harus memperluas wawasan intelektualnya dan dengan itu juga akan membantu memperluas wawasan masyarakat. Dengan demikian, perempuan menjadi anggota masyarakat yang tampil dengan keberadaannya dalam berbagai peran dengan kukuh.

(50)

Kesiapan Remaja dalam Pelaksanaan Syariat Islam (Studi Perilaku Gaya Busana Muslimah di Kalangan

Remaja Kota Sabang)6

Agus Budi Wibowo

I

Studi ini ingin menjelaskan beberapa aspek tentang perilaku gaya berbusana muslimah di kalangan remaja Kota Sabang. Dengan kata lain, studi ini ingin mencari ide dasar tentang busana yang berkenaan dengan gaya/penampilan di kalangan mereka. Berdasarkan observasi mendalam di lapangan penampilan gaya busana muslimah di kalangan remaja Kota Sabang menunjukkan belum menampilkan busana muslimah yang kaffah.

Padahal Provinsi Nanggore Aceh Darussalam dikenal dengan Islam yang kental. Sejarah menunjukkan bahwa di Indonesia pertama kali ajaran agama Islam masuk di daerah ini. Kemudian dari daerah ini ajaran Islam menyebar ke seluruh pelosok Nusantara. Selain

(51)

itu, ajaran Islam sudah mendarahdaging dalam kehidupan sehari-hari dan adat istiadat. Pada tahun 1999 ditetapkan tentang UU No. 22 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan kedua undang-undang ini kemudian Pemda menetapkan Perda Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 tahun 2000 tentang penyelenggaraan syariat Islam di Aceh, yang salah satunya mengatur tentang tata cara berpakaian.

Pertanyaan pokok yang timbul adalah bagaimana perilaku gaya berbusana muslimah di kalangan remaja Kota Sabang, bagaimana persepsi dan sikap remaja terhadap busana muslimah, serta aspek apa saja yang mempengaruhi perilaku remaja dalam gaya berbusana muslimah. Pertanyaan itu yang akan dijawab dalam studi ini.

Kota Sabang dipilih sebagai lokasi penelitian. Pilihan daerah penelitian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kota Sabang adalah kota yang bersifat heterogen dan sebagai tempat tujuan wisata. Kondisi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di daerah tersebut.

(52)

Penelitian ini bersifat eksploratif dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan grounded research. Pembahasan data dilakukan dengan pendekatan deskriptif. Analisis data dilakukan melalui dua cara, yaitu analisis data di lapangan dan analasis data setelah proses pengumpulan data selesai.

Dengan demikian, studi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin melihat realitas pelaksanaan syariat Islam, khususnya dalam hal berbusana muslimah, sebagai bahan pengambilan keputusan dan untuk pengembangan studi ilmu-ilmu sosial (agama).

II

Penelitian mengenai pakaian dan

(53)

a. Penelitian Agus Budi Wibowo terdapat data bahwa

1. Banyak remaja wanita yang tidak memakai busana muslimah secara kaffah. Hal ini tampak dari 100 responden yang diambil sebagai subjek penelitian hanya 10 persen saja yang memakai baju muslimah secara kaffah sedangkan sisanya memakai pakaian kombinasi celana biasa/jins, baju/kaos ketat, jilbab 4 persen; celana jins/biasa, kaos/baju biasa, jilbab 83 persen; dan baju/celana biasa/jins tanpa jilbab 3 persen. Penelitian tersebut memang belum sampai kepada analisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa wanita remaja berperilaku demikian. Walaupun demikian, penelitian itu dapat memberikan gambaran sekilas gaya berpakaian di kalangan wanita remaja di Kota Banda Aceh.

b. Penelitian Baharoeddin Yahya dkk. terdapat kesimpulan bahwa

1. Eksistensi Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan D.I. Aceh telah mendapat respon yang sangat positif dari Pemda, tokoh masyarakat dan organisasi-organisasi yang ada di Kabupaten/Kota. Namun kendala yang dihadapi selama ini adalah belum adanya interpretasi dan sosialisasi undang-undang tersebut kepada masyarakat secara luas.

(54)

menjanjikan sehingga masyarakat sangat mendukung akan tetapi seberapa jauh kewenangan yang betul-betul dapat diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat masih menjadi tanda tanya besar karena format kewenangan tersebut secara rinci belum diketahui masyarakat.

III

Sabang merupakan sebuah kota dalam wilayah Propinsi Naggroe Aceh Darussalam. Ia terletak di pulau Weh, yang berada di paling ujung wilayah Repbulik Indonesia. Di daerah terdapat tugu nol kilometer, yang menandakan batas jarak nol Republik Indoensia. Sabang merupakan kawasan strategis karena terletak pada jalur masuk bagian barat dan antara kawasan Asia Pasifik dan Asia Barat Daya. Oleh karena itu, Sabang pernah menjadi tempat pengisian bahan bakar, air bersih, dan pusat jasa pelayanan bagi kapal-kapal pelayaran internasional.

Sabang pernah jaya dengann status sebagai pelabuhan bebas. Namun pada tahun 1985 status pelabuhan bebas ini dicabut dan dibuka kembali pada tahun 2000. Saat ini, status Sabang adalah sebagai daerah pelabuhan dan kawasan pengembangan ekonomi terpadu (Kapet).

(55)

berkisar 26.261 jiwa (1985), pada tahun 1998 jumlah penduduk Sabang sebanyak 22.844 jiwa. Penduduk itu terdiri dari berbagai macam etnis, seperti Aceh, Jawa, Padang, Cina, dan sebagainya. Pendidikan masyarakat Kota Sabang cukup baik. Hal ini tampak dari jumlah penduduk yang menamatkan SMU (18,91 persen) dan perguruan tinggi (3,85 persen). Selain dari aspek penduduk, heterogenitas penduduk Sabang dapat dilihat dari aspek agama. Selain agama Islam (sebagian besar), sebagian penduduk Sabang memeluk agama Kristen Protestan, Katholik, Hindu, dan Budha.

IV

(56)

Allah telah memberikan nikmat kepada manusia penampilan di hadapan Allah dan sesama manusia, dan sebagai pelindung. Dengan demikian, kriteria pakaian

maka berbusana muslimah adalah wajib juga. Islam tidak merumuskan secara rinci mode pakaian muslimah. Islam

7

(57)

hanya merumuskan kriteria busana yang harus dan wajib dipedomani oleh semua perancang. Adapun kriteria dimaksud adalah harus menutup seluruh aurat, materialnya harus berasal dari yang halal, tidak terlalu tipis atau jarang sehingga tidak menampakkan warna kulit, tidak ketat (longgar) agar tidak menampakkan bentuk liuk-liuk tubuh, berbeda dengan pakaian khas agama lain, berbeda dengan pakaian khas laki-laki, dan tidak terlalu mencolok untuk dibangga-banggakan (bukan untuk pamer).

Walaupun aturan dalam berbusana muslimah telah ditetapkan dalam ajaran agama Islam, namun dalam pelaksanaannya di Kota Sabang belum berjalan secara optimal. Menurut persepsi masyarakat dan remaja itu sendiri, pemakaian busana muslimah di kalangan remaja belum kaffah. Ada remaja yang berpakaian belum sesuai dengan aturan yang telah diajarkan dalam ajaran agama Islam. Hal ini berkaitan pula persepsi remaja terhadap busana muslimah bahwa pakaian sebagai penutup aurat8, pakaian sebagai salah satu

pemenuhan kewajiban agama9 dan pakaian sebagai salah

satu wujud eksistensi diri. Masih ada remaja yang belum berpakaian busana muslimah secara kaffah berkaitan dengan pakaian berfungsi sebagai wujud eksistensi diri. Artinya, dengan pakaian, para remaja dapat

8 Pakaian sebagai penutup aurat sangat berkaitan dengan konsep malu dalam budaya Aceh dan suci dalam ajaran agama Islam.

9

(58)

menunjukkan keberadaan mereka sebagai remaja. Remaja mempunyai perbedaan kelompok umur lain, yang sering menampilkan sikap dan perilaku “gelisah” dan “sibuk”. Mereka gelisah karena sedang mencari jati diri. Oleh karena itu, perilaku mereka sering kali juga menjadi aneh-aneh, termasuk dalam hal berpakaian.

Sifat remaja yang demikian mempengaruhi pula dalam berpakaian muslimah. Ada tiga gaya pakaian yang dapat diidentifikasi, yaitu gaya pakaian sekolah, gaya pakaian ibadah dan pesta, dan gaya pakaian rekreasi dan di tempat umum. Ketika mereka pergi sekolah, para remaja berusaha berpakaian muslimah secara kaffah karena sekolah telah mewajibkan siswi-siswinya agar berpakaian muslimah. Hal ini tampak pula ketika mereka pergi ke meunasah/masjid. Walaupun tidak ada tertulis, mereka merasa meunasah/mesjid adalah tempat suci, maka mereka berpaksaian muslimah. Namun hal itu amat berbeda ketika mereka pergi ke tempat rekreasi/tempat umum. Para remaja merasa bebas berpakaian, sehingga tampak banyak remaja yang tidak berpakaian secara kaffah. Pakaian berupa baju/kaos ketat, rok/celana (biasa/jeans) tipis dibalut jilbab serta dihiasi lifstick tebal.

(59)

lapisan masyarakat dan tidak dilakukan secara paksa/kekerasan.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui pula bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi para remaja berpakaian muslimah, pembinaan nilai keagamaan, pendidikan dalam keluarga, panutan dan hukuman, sugesti sosial, nilai-nilai industrialisasi dan globalisasi, dorongan lingkungan sosial, dan faktor kelembagaan dan perangkat hukum.

V

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa perilaku gaya berbusana muslimah di kalangan remaja Kota Sabang berhubungan dengan berbagai macam faktor dan aspek kehidupan. Ia dapat ditelusuri dari kajian budaya dan agama. Faktor mana yang dominan tidak menjadi masalah dalam studi ini. Namun dari studi ini ada semacam benang merah yang menghubungkan berbagai fenomena/faktor menjadi satu rangkaian yang saling berkaitan (lihat bagan).

(60)

hasil yang optimal, harus didukung oleh faktor intern dan ekstern.

Daftar Pustaka

Agus Budi Wibowo

2000 Gaya Hidup (Life Style) dan Pakaian di Kalangan Wanita Remaja Kota Banda Aceh. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.

Alibasyah, S. Takdir

tt Antropologi Baru: Nilai-nilai Sebagai Tenaga Integrasi dalam Pribadi, Masyarakat, dan Kebudayaan. Jakarta: Dian Rakyat.

Anonim

2000 “Perubahan dari Mode menjadi Gaya”. Kompas tanggal 27 Agustus.

Aslam Nur

1996 Ramadhan dalam Persepsi Masyarakat Aceh (Sebuah Interpretasi Antropologis). Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.

Basri, Elbi Hasan

(61)

Bogdan, Robert C, dan Sari Knopp Biklen

1982 Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methode. Boston: Allyn and Bacon Inc.

Eyre, Richard dan Linda

1995 Tiga Langkah Menuju Keluarga yang Harmonis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Geertz, Hildred

1985 Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.

Hasan, Ch.

1977 Kelahiran dan Pengasuhan Anak di Pedesaan Aceh Besar” dalam Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Alfian Ed.). Jakarta: LP3ES

Hasyim, Abidin et al.

1997 Budaya Malu. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.

Hendrizal

1997 “Etos Baru Kenakalan Remaja”. Serambi Indonesia, 11 September.

Hoesin, Muhammad

1970 Adat Atjeh. Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudajaan Propinsi Daerah Istimewa Atjeh

Ibrahim, Muslim

(62)

Kartodirdjo, Sartono

1987 Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Khaulah binti Abdul Kadir Darwis

1997 Bagaimana Muslimah Bergaul. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.

Merton, Robert K.

1989 Analisa Fungsional. Jakarta: Rajawali Pers.

Moeljono

1978 “Masalah Persepsi”, Anda: Majalah Psikologi Populer, 19, 32.

M. Hakim Nyak Pha

2000 “Adat dan Penegakan Disiplin Masyarakat”, Haba No. 13/2000. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.

2001 “Jangan berangan-angan Memetik Bintang”, Kutaraja No. 18 Thn I Minggu I September.

M. Yunus, Jailani

2000 “Jilbab; antara Modisme dan Feminisme”, Serambi Indonesia, tanggal 14 Mei.

Nazamuddin, et al.

(63)

Rahmah, Fazlur

1985 “Approach to Islam in Religious Studies; Review Essay”, dalam Richad C. Martin (ed) Approach to Islam in Religious Studies. Tucson: The University of Arizona Press.

Rakhmat, Jalaludin

1994 Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya Offset.

Rogers, Everet M. dan F. Floyd Shoemaker

1987 Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional.

Soelaiman, M. Munandar

1995 Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: Eresco.

Soewondo, Soesmalyah

1995 “Psikologi Perkembangan Pria dan Wanita Usia Dewasa Menengah”, da-lam Diatas 40 Tahun, Saparinah Sadli (ed). Jakarta: Sinar Harapan.

Spradley, James P.

1997 Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sufi, Rusdi

2000 “Runyamnya Struktur Gampong di Aceh Akibat U.U. No. 5 Tahun 1979, Haba No. 13/2000. Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh.

Taryati dkk.

(64)

Wahjosumidjo

1985 Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Widjajanti M. Santoso

(65)

REAKTUALISASI BUDAYA MALU DI KALANGAN REMAJA PUTRI DALAM KERANGKA PENERAPAN

SYARIAT ISLAM10

Agus Budi Wibowo

Pendahuluan

Memasuki awal tahun 2002, masyarakat Aceh memasuki babak baru dalam kehidupan sosial politik, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Mulai tahun 2002 ini, syariat Islam diterapkan dalam berbagai kehidupan masyarakat Aceh. Perjuangan panjang yang melelahkan terlampaui sudah. Secara politis, di Aceh diterapkan syariat Islam melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Berdasarkan kedua undang-undang ini DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh menetapkan Perda Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Syariat Islam.

(66)

Kenyataannya, Islam dalam masyarakat Aceh telah mendarah daging di dalam segala aspek kehidupan sejak zaman dahulu. Ajaran Islam mengakar kuat di dalam sanubari hati dan jejak langkah kehidupan masyarakat. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tolok ukur dan barometer atas segala sikap, tindak-tanduk, perbuatan, dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus-jelek, baik-buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran agama Islam.

Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran agama Islam dalam kehidupannya. Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran agama Islam diwujudkan dalam bentuk akulturasi antara adat dan ajaran agama. Hal ini berarti seseorang yang telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat, ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agama atau sekurang-kurangnya tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut (M. Hakim Nyak Pha, 2000:10).

(67)

ngon mata puteh. Ungkapan-ungkapan tersebut memberikan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktik hidup sehari-hari masyarakat Aceh. Kemudian tidak berlebihan apabila Aceh mendapat gelar Serambi Mekkah, Semangat Perang Sabil, Kerajaan Aceh Darussalam. Kesemua itu wujud dari semangat dan nilai yang lahir dari perpaduan tadi. Namun demikian dalam kerangka penerapan syariat Islam di kalangan remaja putri (baca: busana muslimah) kondisi ideal seperti tersebut di atas perlu dicermati kembali. Hasil penelitian Agus Budi Wibowo di Banda Aceh tahun 2000dan di Sabang tahun 2001 tentang aspek busana muslimah di kalangan remaja putri menunjukkan bahwa masih ada remaja putri muslim yang belum berbusana muslimah secara kaffah dan ada beberapa faktor mengapa mereka masih berperilaku demikian.

Tulisan ini membahas upaya yang dapat dilakukan untuk menyukseskan penerapan syariat Islam melalui penggalian sistem budaya yang dimiliki oleh masyarakat Aceh sehingga remaja putri dapat berbusana muslimah secara kaffah.

Realitas Remaja Putri Masa Kini

(68)

budaya orang Aceh. Perilaku budaya ini tertuang dalam pemahaman dan sikap beragama, berbahasa, adat istiadat, hukum, akhlak, kesenian, cara beribadat dan sebagainya dari masyarakat Aceh itu sendiri. Sejauh mana perilaku budaya itu masih berjalan di atas kondisi normal atau wajar, bukan yang diamalkan secara terpaksa.

Kalau kita amati perilaku budaya Aceh itu nampaknya telah terjadi erosi. Hal itu disebabkan oleh dua faktor, pertama pengaruh dari luar, yaitu sikap budaya Aceh telah bergeser karena adanya tekanan dari luar Aceh yang melanda Aceh karena globalisasi yang tidak dapat dielakkan. Hal ini tampak dari model pakaian yang dipakai, kendaraan yang dinaiki, perlengkapan rumah yang dimiliki sebagai produk global yang melanda dunia. Celana pantelon, jins, sepeda motor, kompor gas, kulkas adalah salah satu wujud realitas dari perkembangan zaman. Kedua, pengaruh dari dalam masyarakat Aceh itu sendiri. Pengaruh dari dalam dapat terjadi ketika orang Aceh sendiri telah melunturkan nilai-nilai keacehannya yang disebabkan oleh mental orang Aceh yang tidak setia kepada budayanya (Yusni Sabi, 2000: 16).

(69)

1999). Otoritas tradisi dalam hal ini mulai melemah yang digantikan dengan rasionalitas yang kemudian menjadi pegangan dalam setiap pengambilan keputusan. Orang tua (akibat perubahan hubungan antargenerasi) atau pemimpin mulai kehilangan otoritas tradisional dalam berhubungan dengan masyarakat sehingga kontrol hanya dilakukan dengan instrumen kekuasaan modern yang lebih kompetitif dan berdasarkan negosiasi.

Hal-hal seperti tersebut di atas sedang dihadapi pula oleh remaja putri di Aceh. Realitas remaja putri kekinian yang tampak adalah mereka lebih “bebas” dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Menurut Abidin Hasyim dkk, di kalangan orang-orang berpendidikan terutama yang hidup di kota telah terjadi pergeseran budaya malu. Bagi golongan ini keserasian hubungan keluarga tidak dicapai melalui sikap menghindar, membatasi pergaulan dan sebagainya (Abidin Hasyim dkk, 1997).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini didasari pada masalah penggunaan metode pembelajaran yang kurang tepat dan rendahnya aktivitas belajar siswa, sehingga berpengaruh pada hasil belajar siswa pada

Packed Red Cell mungkin dapat meningkatkan pasokan hemin sebagai unsur yang diperlukan H.influenza dalam pertumbuhannya.. banyak eritrosit yang ditambahkan, semakin

Finally, ccharacteristicss of the media developed are (1) media of waterfalls and ladders consists of a game board, 4 pieces pawns, 1 dice, cards matter, and the rules of the

Ketrampilan Peserta didik mempunyai ketrampilan yang baik dan mampu menganalisis fungsi sosial, stucture teks dan unsur kebahasan pada ungkapan memberi saran dan tawaran

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan berhitung 1-10 melalui penggunaan kartu bilangan pada siswa kelompok B TK Dharmawanita Persatuan 1 Ngares

Temuan penting Horikoshi adalah bahwa ketahanan pendidikan pesantren ada pada kiai yang ternyata tidak hanya memainkan peran sebagai makelar budaya ( cultural broker ) yang

Berdasarkan hasil penelitian penentuan kadar vitamin C pada cabai merah ( Capsicum annum L.) dengan menggunakan metode Spektrofotometri UV-Vis didapatkan hasil bahwa

Adapun tujuan dari kegiatan magang yang akan dilakukan ini adalah untuk mengetahui analisis kualitas air melalui pengamatan kimia metode titrasi serta