• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAMUNAN KULI BANGUNAN

Dalam dokumen Kumpulan Tulisan Prof Ali (Halaman 30-33)

April 19th, 2013 | Posted by admin_tsb in Artikel - (5 Comments) LAMUNAN KULI BANGUNAN

Oleh: Prof Dr Moh Ali Aziz, M, Ag

Penulis Buku 60 Menit Terapi Shalat Bahagia

“Kreek breek.. aduh.,” itulah suara yang mengundang semua guru dan karyawan berlarian menolong kuli bangunan yang jatuh dari atap bagian depan SD Kyai Ibrahim Surabaya. Ia lalu dibawa ke ahli pijat tulang, karena pada tahun 1990-an, belum ada bantuan pengobatan Jamkesmas di Rumah Sakit seperti sekarang. Karena tulang kakinya patah, ia tidak bisa lagi bekerja. Padahal ia harus menanggung uang kontrak rumah dan biaya hidup istri dan dua anaknya. Ia hanya menunggu kesembuhan secara alami dengan mengusap-usap kakinya dengan air penghangat dari ramuan jahe, bawang merah dan garam. Istrinya yang bekerja sebagai buruh cuci baju tetangganya, harus bekerja lebih kratif lagi untuk mengambil alih tanggungjawab ekonomi keluarga. Tapi ia tidak tahu pekerjaan apa lagi yang bisa dilakukan.

Ketika sampai di rumah setelah menjenguk kuli itu, dalam hati, saya mengajukan pertanyaan kepada Allah, “Wahai Allah, tidakkah Engkau berfirman, “Kami tidak membebani seseorang di luar kekuatannya. Mengapa hamba-Mu yang miskin Engkau beri cobaan seberat itu?” Belum memperoleh jawaban dari pertanyaan itu, saya sudah mendapat berita duka yang lebih mengerikan lagi. Kuli bangunan yang sudah bekerja di rumah beberapa minggu, tiba-tiba pulang dan bunuh diri di Pacitan. Ia tidak sanggup menanggung beban hidup keluarganya. Lebih-lebih penagih hutang dari rentenir selalu datang dengan wajah dan suara yang menakutkan.

Pembaca yang budiman, sebelum membaca lanjutan tulisan ini, jawablah terlebih dahulu pertanyaan Allah, “Masih adakah alasan bagimu untuk tidak berterima kasih kepada Tuhanmu/ fabi-ayyi alaa-i rabbikuma tukadzdziban?”. Rehab bangunan rumah terus dilanjutkan bersama kuli-kuli lainnya. Sewaktu mereka istirahat selepas makan siang dengan sayum asam, sambal trasi dan pepesan ikan asin, saya mengajak mereka berbincang-bincang ringan. Saya memulai

dengan memuji mereka sebagai orang-orang yang sehat dan kuat. Tidak pernah flu, seperti yang lebih sering saya alami. Saat itulah bos para kuli, Pak Warji menjelaskan rahasia kesehatan atau sebut saja “kuliah kebugaran.” Ia langsung berdiri mengambil pipa air yang biasa dipakai mengukur kesamaan tinggi rendahnya bangunan. Pipa berisi air itu digerak-gerakkan, lalu ia katakan, “Lihat pak, tidak ada kotoran yang menempel di dalam pipa ini kan?” Ia meyakinkan, air dalam pipa yang tidak bergerak akan menimbulkan krak yang menyempitkan saluran pipa. “Bapak kan banyak duduk di kantor, sedangkan saya mulai pagi dan petang terus mengangkat bata?” katanya. Ia menambahkan dengan semangat bahwa orang-orang yang banyak makan tapi kurang gerak terkena macam-macam penyakit: asam urat, kolestereol, diabet dan sebagainya. Bagi saya, “kuliah” itu lebih memberi motifasi untuk berolah raga daripada buku-buku yang saya baca. Pak Warji benar-benar mengikuti petunjuk Les Giblin (2009) yang mengatakan “Jika Anda menjelaskan sesuatu kepada seseorang dengan peragaan yang memukau, dijamin lebih dari dua bulan ia akan tetap mengingatnya.” Ada lagi yang lebih mengesankan saya, yaitu cita-cita salah satu kuli bangunan di antara mereka, “Saya ingin anak saya menjadi dosen seperti bapak.” Saya lebih tepat menyebutnya lamunan, karena ia selalu mengakhiri harapan itu dengan pesimisme, “Tapi apa ya mungkin?”

Cita-cita kuli bangunan itu sangat mulia. Orang besar tidak dijamin melahirkan orang besar pula. Nabi Nuh a.s ternyata tidak bisa mencetak anaknya sehebat dirinya. Bahkan, berlawanan arah hidup dengannya. Orang besar tidak harus lahir dari keluarga kaya. Orang terhormat, tidak selalu dari lingkungan orang-orang mulia. Anda menyukai kopi luwak? Kopi itu justru menjadi mahal setelah bercampur dengan kotoran luwak. Tidak sedikit orang hebat lahir dari keluarga paling miskin di kampungnya. Kuli bangunan mempunyai hak yang sama untuk melahirkan orang besar. Melalui tulisan ini, saya ingin mengangkat tangan semua kuli bangunan dan mengepalkannya untuk menumbuhkan optimisme. Bekerjalah yang benar dan semangat agar makanan untuk keluarga Anda halal. Berdoalah dengan penuh keyakinan bahwa Allah mengabulkan doa Anda. Jangan sekali-kali berdoa sambil membiarkan lintasan keraguan, “Apa ya mungkin?” “Setan saja dikabulkan doanya oleh Allah, apalagi Anda,” nasehat Sufyan bin Uyainah.

Bagi semua kuli bangunan yang ingin mengantarkan anaknya menjadi orang besar, saya tidak bisa membantu biaya. Saya hanya menyumbangkan suport keyakinan Anda. Rukuk dan sujudlah yang sangat, sangat lama setiap shalat sendirian, lebih-lebih detik-detik terakhir menjelang shubuh. Bacalah doa-doa dari Rasulullah SAW dalam rukuk dan sujud itu. Lalu katakan dalam hati, “Wahai Allah, Engkau Maha Tahu bahwa aku hanya kuli bangunan yang harus membesarkan anakku yang bernama….. Wahai Allah, Engkau Maha Besar, Maha Menguasai alam semesta. Aku yakin x3, Engkau pasti x3 Maha Kuasa menolong aku mendidiknya. Engkau pasti x3 Maha Kuasa menjadikan anakku itu orang besar dan sholeh. Wahai Allah, usahaku sudah maksimal dan umurku sangat terbatas. Aku pasrah x3 kepada-Mu.

Selamat memulai pekerjaan dengan semangat dan riang hati. Matahari dhuha pagi ini adalah simbol cerahnya masa depan anak Anda atas pertolongan Allah.

TANGAN EMAS, KERINGAT MUTIARA

Oleh: Prof Dr Moh Ali Aziz, M, Ag

Penulis Buku 60 Menit Terapi Shalat Bahagia

“Pak, tolong hentikan gerobak sebentar,” pinta pria bercelana selutut sambil berlari kepada penarik sampah. Saya mengamati pria berusia 60an itu sejak lama setiap saya olahraga pagi di halaman kantor perdagangan dekat rumah. Setiap pagi buta setelah subuh, pria itu mencari botol bekas, kertas dan sebagainya di sekitar kantor. Ia menghentikan penarik sampah, semata-mata untuk mencari “barang berharga” sebelum dibawa ke tempat pembuangan. Ia mengais sampah dengan tangan telanjang, tanpa risih dan tanpa takut terkena pecahan kaca.

Saya sempat istighfar dan menghentikan olah raga sejenak. “Betapa kontras kehidupan ini. Saya berolah raga untuk membakar kalori akibat kelebihan makan, sedangkan ia mencari makan dari tempat sampah untuk kebutuhan kalori,” heran saya dalam hati. Lalu saya mengingatkan diri sendiri dengan teguran Allah yang diulang berkali-kali dalam Al Qur‟an, “fabi-ayyi aalaa-i

rabbikumaa tukadz-dziban/maka nikmat manakah dari Tuhanmu yang (bisa) kamu ingkari?”

(QS. Ar-Rahman [55]: 16). Dengan kata lain, “Masih adakah alasan untuk tidak berterima kasih kepada Tuhanmu?”

Ketika sampai di rumah, saya membuka kitab suci Al Qur‟an untuk menghitung berapa kali Allah menegur saya dengan kalimat itu. Ternyata teguran itu diulang sebanyak 31 kali atau 45% dalam satu surat yang berisi 78 ayat. Saya berbisik dalam hati, “Ali, jika telingamu berfungsi dan mata hatimu terbuka, pasti teguran 31 kali itu cukup untuk merubah karaktermu yang suka mengeluh.”

Kembali ingatan saya tertuju kepada pencari barang bekas tadi. Betapa berat beban hidupnya. Agar tidak kedahuluan teman sprofesinya, ia harus bangun lebih awal. Kadang jam 02. 00 WIB atau lebih awal. Itupun sekarang lahan sumber nafkahnya berkurang karena ada tren di kota-kota besar masyarakat menempel peringatan, “Pemulung dilarang masuk. ” Bagaimana nasib mereka kelak jika papan peringatan itu dipasang di semua gang kampung? Lahan mereka kemudian tinggal satu: TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Jangan dikira di situ tidak ada tantangan. Persaingan antar para pemulung juga sangat keras dan kejam.

Semakin berat tantangan hidup para pemulung, semakin besar apresiasi Allah untuk mereka. Mereka bertahan hidup dan pantang menggantungkan hidup pada orang lain, apalagi meminta-minta. Tidak sedikit di antara mereka menyekolahkan anak-anaknya dengan biaya yang bersumber dari lahan sampah. Nabi SAW memberi apresiasi pekerja halal dan mencela para peminta, ”Sungguh, sekiranya seorang di antara kamu mencari kayu bakar dan dipikulnya

ikatan kayu itu, maka itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang yang mungkin diberi atau ditolaknya” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Nabi SAW bahkan

menunjukkan kehinaan para peminta di akhirat kelak. ”Siapapun di antara kalian yang selalu

meminta-minta, kelak ia menghadap Allah Ta‟ala dengan muka yang tidak berdaging sama sekali” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu „Umar r.a).

Suatu saat saya berbincang dengan seorang dari para pengais sampah. Lalu ia memberi taushiyah, “Pak, lebih baik hidup dari sampah, daripada menjadi sampah.” Sebenarnya, ini sindiran yang diperhalus untuk orang-orang berdasi tapi sebenarnya pencuri. Atau

berpenampilan orang terhormat, tapi sebenarnya perampok uang rakyat. Hanya harum busana, tapi busuk prilakunya.

Pekerja keras demi beberapa butir biji beras itulah manusia bertangan emas. Butiran keringat mereka itulah mutiara termahal di mata Allah. Rintihan kelelahan mereka adalah paduan suara malaikat untuk penghibur mereka di surga. Jika Anda faham tulisan ini, pasti Anda lebih peduli kepada mereka. Saatnya Anda lebih menunjukkan kepedulian itu: siapkan sejumlah uang untuk memberi apresiasi kemandirian mereka, agar Anda ikut berbahagia mendengarkan paduan suara malaikat kelak.

Dalam dokumen Kumpulan Tulisan Prof Ali (Halaman 30-33)