• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS

Dalam dokumen 6ea8dbc0 9be1 447b b1a3 0251fffe4bee (Halaman 184-188)

A. Landasan Filosois

Pada pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa sesungguhnya, salah satu dari tujuan Pembangunan Nasional adalah tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan menjadi salah satu hak dasar semua warga negara (education for all) yang wajib dipenuhi dan diselenggarakan secara terencana, sistematis dan dengan penuh tanggung-jawab oleh Negara.

Berdasarkan tinjauan ilosois tersebut, maka pembiayaan oleh Negara (termasuk di dalamnya keuangan

daerah) menjadi salah satu faktor yang paling menentukan keberlangsungan layanan pendidikan yang dipenuhi negara. Tanpa pembiayaan dimaksud, maka tujuan pembangunan nasional berupa mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tidak dapat dicapai dan akhirnya hanya sekedar menjadi cita-cita hukum yang utopis belaka3.

Demi tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dimaksud, maka penyelenggaraan pendidikan yang baik dan benar serta menjangkau seluruh lapisan masyarakat dimana pun ia berada, adalah hal yang sangat perlu diperhatikan secara adil, merata dan terbuka. Oleh karenanya, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31 ayat (4) menegaskan secara eksplisit bahwa: ”Negara memprioritaskan Anggaran Pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari anggaran-anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi pembiayaan penyelenggaraan Pendidikan Nasional”. Pembangunan di Indonesia, termasuk pembangunan pendidikan yang diselenggarakan oleh Negara harus dilihat sebagai upaya terencana, terprogram, sistematik dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup seluruh warga masyarakat4, yang didasarkan pada konsep negara kesejahteraan5.

3 Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, Rajagraindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 3.

4 Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya, Ed. 2, Cet. 4, Jakarta, Penerbit Bumi Aksara, 2005, hal. 77

Norma-norma yang dirumuskan dalam penyelenggaraan pendidikan harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum, berupa keadilan dan kepastian, yang merupakan prinsip yang dapat berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan serta penilaian fundamental, yang mengandung nilai-nilai, dan tuntutan-tuntutan etis6. Melalui prinsip-prinsip hukum, keadilan dan kepastian, kiranya dapat menjadi nilai intrinsik dalam suatu

tatanan etis yang sesuai dengan nilai-nilai kemasyarakatan. Disamping itu, dapat pula mempola kesediaan dirinya untuk hidup bersama berdampingan secara damai dan mutualis simbiosis.

Ada beberapa prinsip dalam pendanaan pendidikan bagi daerah, yang sangat penting menurut Pasal 47 dan

48 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah, prinsip keadilan, kecukupan, keberlanjutan, eisiensi dan

efektivitas, transparansi dan akuntabilitas publik.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa prinsip keadilan merupakan prinsip utama yang harus diemban dan diperhatikan secara seksama dalam pengalokasian anggaran dan pengelolaan dana pendidikan, karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan7 dan salah satu tujuan hukum adalah untuk

menciptakan keadilan.

Melalui prinsip keadilan ini, perlu diupayakan pemberian hak persamaan, tapi bukan per-samarata-an. Aristoteles membedakan hak persamaannya sesuai dengan hak proporsional8. Kesamaan hak dalam

pandangan manusia, dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara di hadapan hukum adalah sama dan sejajar. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukannya.

Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi ke dalam dua macam keadilan, keadilan “distributive” dan keadilan “commutative.” Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi sesuai menurut pencapaian prestasinya. Sedangkan Keadilan Komunikatif memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan pencapaian prestasinya, dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa9. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia dijabarkan batasan indikatifnya sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum.

Upaya untuk mewujudkan keadilan merupakan proses yang sering kali membutuhkan banyak waktu, yang

berlangsung dalam ruang dialektika sosial yang niscaya bergerak dinamis. Penjabaran deinitif dan indikatif

6 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya bakti, Bandung, 2000, hal. 45.

7 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet VIII, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 196. 8 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004, hlm. 25. 9 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, cetakan ke duapuluh enam, 1996, hlm. 11-12.

tentang batasan-batasan keadilan ini, acapkali juga dipengaruhi dan didominasi oleh kekuatan-kekuatan politik yang bertarung dalam kancah sosial-politik, yang kemudian menghasilkan kerangka umum tatanan social politik sebagai wahana bagi aktualisasi keadilan tersebut10.

Filosoi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah suatu upaya pemerintah untuk memastikan bahwa

kegiatan belajar-mengajar di kelas, dapat berlangsung sedemikian rupa. Betapapun sesungguhnya diyakini, bahwa BOS itu belumlah mampu membiayai seluruh kebutuhan pembiayaan pendidikan yang pasti akan saling berbeda-beda satu sama lain antar daerah-daerah. Sehingga dapatlah dipahami bahwa pemberian dana BOS itu lebih sebagai bentuk stimulan dari pemerintah Pusat bagi menggerakkan keberlangsungan pendidikan secara nasional yang merupakan amanah konstitusi. Kendati demikian, aturan pelaksanaan dan petunjuk distribusi pengalokasian BOS, tentu terus perlu dikritisi dan dikembangkan dalam pola-pola yang lebih memberi rasa keadilan dan kepastian anggaran dalam usaha pengembangan kemajuan sekolah.

Selama ini, perhitungan dana BOS dari Pemerintah Pusat, demikian pula BOSDA yang berasal dari Pemerintah Kota Banda Aceh, hanya didasarkan pada jumlah siswa di sekolah. Sehingga sekolah-sekolah kecil, yang jumlah siswanya kurang dari 90 orang, dapatlah dipastikan bahwa dana BOS yang diterima sebuah sekolah kecil tersebut tidak dapat membiayai berbagai kebutuhan operasionalnya. Disini tampak bahwa kebijakan distribusi dana BOS luput dari pertimbangan terhadap sekolah-sekolah kecil yang jumlah siswanya sedikit.

Oleh karena itu dana BOS dan BOSDA tentu memerlukan pendekatan dan perspektif lain dalam konteks aturan-aturan pendistribusiannya. Hal ini selain untuk memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan keseimbangan, juga untuk mewujudkan prinsip kecukupan bagi pembiayaan operasional pendidikan dan keberlanjutan keberadaan suatu lembaga pendidikan sebagaimana harapan yang telah dituangkan dalam Pasal 47, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Adalah sudah semestinya, bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah niscaya mempertimbangkan perwujudan nilai-nilai kesamaan atau kesetaraan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan pada setiap satuan pendidikan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Yaitu bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

B.

Landasan Sosiologis

Dewasa ini dunia pendidikan di Indonesia telah dan sedang dihadapkan pada berbagai problema krusial yang amat membutuhkan perhatian kita semua. Mulai dari persoalan ketidakmerataan akses pendidikan dan mutu

layanan pendidikan, kurang efektif dan eisiennya proses pendidikan yang berlangsung di sekolah-sekolah,

dalam upaya membentuk Sumber Daya Manusia yang handal dan berkarakter, dan luputnya pertimbangan konstektual terhadap entitas kurikulum dalam perspektif link and match (relevansi lulusan dengan dunia kerja). Itulah sejumlah masalah-masalah besar yang harus dicermati dan dikritisi secara seksama, untuk kemudian dapat ditemukan jalan-jalan pemecahannya. Sesungguhnya, bahwa berbagai problema krusial tersebut tidaklah semata disebabkan keterbatasan anggaran yang tersedia, dari berbagai sumber, yang seringkali dijadikan alas an dari keterpurukan dunia pendidikan Indonesia. Tetapi juga menyangkut kebijakan-kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh para penyelenggara Negara/pemerintah yang acapkali tidak didasarkan pada kajian-kajian sosiologis yang memadai, dalam rangka upaya menjawab berbagai realitas permasalahan sosial melalui kebijakan pendidikan.

Angka Partisipasi Kasar (APK ) di Kota Banda Aceh yang tertinggi terdapat di tingkat SD yaitu 136,48 persen dan yang terendah di tingkat SM yaitu 107,65 persen. Tingginya APK adalah akibat banyaknya siswa usia di luar usia sekolah yang berada di jenjang tersebut ditambah dengan siswa lain penduduk luar Kota Banda Aceh yang bersekolah di Kota Banda Aceh. Demikian juga halnya dengan Angka Partisipasi Murni (APM)SD 114, 99 persen lebih dipengaruhi oleh anak diluar usia sekolah.

Penyebaran sekolah untuk jenjang SD sampai sekolah menengah sudah merata dan menjangkau seluruh wilayah Kota Banda Aceh sampai ke daerah pinggiran Kota, namun jumlah siswa pada satuanpendidikante rdapatkesenjangan.Oleh karenanya, berdasarkan jumlah siswanya, maka sekolah dimaksud dibagi menjadi sekolah kecil, sekolah sedang, dan sekolah besar. Yang dimaksud dengan sekolah kecil adalah sekolah yang jumlah siswanya kurang dari 190 orang, sekolah sedang adalah sekolah-sekolah yang jumlah siswanya antara 191 sampai dengan jumlah 220, berikutnya sekolah besar adalah sekolah yang jumlah siswanya di atas 220 orang.

Dari segi penyebaran letak sekolah, SD dan SMP yang berada di pada pusat kota jumlah siswa lebih banyak dibandingkan pada SD di pinggiran kota. Penyebaran siswa di berbagai Sekolah Dasar ini dapat dilihat pada table berikut:

TABEL 1

Dalam dokumen 6ea8dbc0 9be1 447b b1a3 0251fffe4bee (Halaman 184-188)