• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Kebijakan BOSP

Dalam dokumen 6ea8dbc0 9be1 447b b1a3 0251fffe4bee (Halaman 102-105)

Hasil penghitungan BOSP adalah dasar rancangan kebijakan kepala daerah mengenai BOSP, yaitu peraturan kepala daerah (bupati/walikota) tentang Alokasi BOSDA Beserta Perunjuk Teknisnya dan Penyediaan Anggaran untuk Implementasinya. Kebijakan tersebut disusun sesuai dengan prosedur yang diatur peraturan perundang-undangan untuk pembentukan kebijakan. Anggota Tim Penyusunan BOSP dan MSF dapat ikut serta dalam proses pembentukan kebijakan kepala daerah dengan dua cara, sebagai berikut:

● Para aparat dapat ikut proses perancangan untuk memastikan hasil yang dihitung tetap menjadi basis

pembentukan kebijakan tersebut.Kami sebut peran ini sebagai pengawalan, karena kepentingan masyarakat dalam perhitungan BOSP dikawal dalam proses perancangan kebijakan

● MSF dan organisasi-organisasi non pemerintah dapat melakukan advokasi untuk kepentingan masyarakat,

dengan mendorong dan memberi masukan dalam proses perancangan kebijakan tersebut.Advokasi merupakan bentuk komunikasi persuasif, yang bertujuan untuk mempengaruhi pemangku kepentingan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan untuk kepentingan pihak tertentu. Proses advokasi ini sangat penting, agar tujuan penghitungannya tercapai, yaitu, sekolah dapat anggaran yang dibutuhkan demi pendidikan anak-anak bangsa.

Adapun langkah-langkah penyusunan setiap instrumen hukum berbeda satu dari yang lain, tetapi secara umum proses penyusunannya harus mencerminkan delapan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Sebagai contoh, untuk menyusun kebijakan baru, para perancang peraturan sebaiknya melalui enam langkah yaitu:

Langkah 1: Identiikasi masalah. Perancang peraturan mengawali penyusunan naskah peraturan

dengan menganalisa masalah secara ilmiah bersama para pakar untuk mengidentiikasi bahaya dan risiko,

masyarakat terkena dampak, tindakan yang diperlukan, dan prioritas.

Pendahuluan

Langkah 2: Identiikasi peraturan dan hukum yang relevan. Pada langkah ini, penyusun peraturan

mengidentiikasi perangkat hukum yang relevan, menganalisa kapasitas pemerintah untuk menegakkan

peraturan dan anggaran, serta mengawasi lembaga terkait dalam pelaksanaan peraturan.

Langkah 3: Penyusunan kertas kerja kebijakan tentang tiga masalah substansial: alasan kebijakan perlu disusun, komponen utama dan cakupan peraturan tersebut, serta proses penyusunan dan pengesahan. Bagi kebijakan yang perlu penelitian lebih dalam atau pembahasan lebih luas, disusun naskah akademik yang terdiri dari: Visi, misi, kajian ilmiah, kerangka hukum dan kelembagaan, serta cakupan dan serta rencana proses penyusunan.

Langkah 4: Perancangan usulan kebijakan dengan Konsultasi Publik. Masalah dan perkembangan pikiran tentang usulan kebijakan perlu dibahas dengan pemangku kepentingan.Rancangan naskah dapat disajikan kepada panel atau melakukan diskusi kelompok terfokus dengan komunitas khusus, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kalangan akademik, untuk mendapatkan tanggapan dan umpan balik. Konsultasi ini juga merupakan caramensosialisasikan rancangan naskah kepada media, pemangku kepentingan dan masyarakat luas.Hasil dari langkah ini adalah usulan rancangan peraturan perundang- undangan.

Langkah 5: Pembahasan usulan rancangan peraturan perundang-undangan. Langkah ini mulai dengan proses harmonisasi usulan rancangan agar konsisten dengan kebijakan yang sudah ada, dan sesuai dengan standar perancangan. Proses pembahasan dengan kepala daerah, DPRD dan Gubernur biasa diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pembahasan dengan kelompok lain yang berkepentingan dapat diatur seperti asosiasi, universitas, dan masyarakat berisiko. Proses ini dilanjutkan

sampai ada keputusan untuk menetapkan usulan sebagai rancangan kebijakan yang deinitif.

Langkah 6: Pengesahan. Rancangan kebijakan berlaku demi hukum bila disahkan dan masuk kedalam berita daerah.Langkah ini merupakan langkah akhir dari penyusunan perangkat hukum.Langkah pertama penerapannya adalah sosialisasi ke masyarakat.

Berdasarkan prinsip ini, daerah akan menentukan proses untuk membentuk kebijakan BOSP, dan proses itu akan memberi kesempatan bagi aparat dari tim penyusunan BOSP untuk mengawali penghitungan BOSP dan bagi organisasi masyarakat advokasi untuk kepentingan masyarakat umum.

Dalam penyusunan perundang-undangan di Indonesia tidak terlepas dari partisipasi masyarakat itu sendiri. Masyarakat dapat menyampaikan pendapat dan masukan-masukan kepada pemerintah atau lembaga pemerintah yang berwenang untuk membuat perundang-undangan tersebut.

Partisipasi atau peranan masyarakat dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Mengoptimalkan lembaga-lembaga penyalur aspirasi masyarakat yang telah ada, yaitu MPR, DPR, DPRD, Orsospol, Badan Permusyawaratan Desa, dan media massa. Lembaga-lembaga itu melakukan pengembangan dalam bidang politik sesuai dengan isi UUD 1945 pasal 28 yaitu “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya yang ditetapkan

dengan undang-undang.” Undang-undang tersebut adalah Undang-Undang RI No.9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

2. Mengawasi berlangsungnya proses pengolahan penyusunan peraturan perundang-undangan dengan

menjunjung tinggi nilai-nilai obyektiitas dan tanggung jawab serta hak dan kewajiban sebagai warga

masyarakat yang baik.

3. Sebagai motivator percepatan penyusunan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan.

4. Sebagai subyek pendukung ketertiban suasana penyusunan peraturan perundang-undangan. Contoh: Dalam sidang DPR atau MPR yang sedang menyusun RUU atau ketetapan Majelis harus selalu didukung oleh suasana yang aman, tertib, dan teratur dalam pelaksanaannya. Hal ini tidak terlepas dari partisipasi masyarakat yang tanpa membuat gaduh suasana sidang, baik di dalam maupun di luar sidang.

Apabila di dalam pelaksanaan undang-undang yang telah ada dan disahkan oleh pihak berwenang seperti yang dikemukakan di atas terdapat undang-undang yang tidak mengakomodasi aspirasi

masyarakat Indonesia, maka undang-undang tersebut tidak akan mungkin terlaksana dengan baik. Oleh karena dalam pelaksanaan undang-undang tersebut harus terdapat keinginan, harapan dan kenyataan yang diaspirasikan oleh masyarakat itu sendiri.

Pemerintah atau pihak yang berwenang harus dapat menerima aspirasi rakyatnya karena pemerintah tanpa rakyat tidak akan berarti apa-apa. Begitu pula sebaliknya rakyat tanpa ada pemerintah yang berdaulat tidak berarti apa-apa. Pihak yang satu membutuhkan pihak yang lain sebagai subyek maupun objek pelaksana undang-undang itu sendiri. Pemerintah harus memperhatikan, menindaklanjuti aspirasi- aspirasi masyarakatnya dengan bertanggung jawab.

Dalam dokumen 6ea8dbc0 9be1 447b b1a3 0251fffe4bee (Halaman 102-105)