• Tidak ada hasil yang ditemukan

Landasan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

BAB III : PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK

2. Landasan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Peristiwa-peristiwa terorisme di atas, jika tidak diberantas akan membawa dampak besar terhadap stabilitas perekonomian suatu negara, memperburuk citra negara itu, menimbulkan ketakutan warga negara sehingga pembangunan nasional pun dapat terganggu. Oleh karenanya, pemerintah Indonesia terus melakukan upaya dan langkah-langkah memberantas tindakan-tindakan.

Pasca serangan teroris terhadap WTC dan Pentagon pada tanggal 11 September 2001 dan serangan teror bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 organisasi teroris Qaeda dan kelompok-kelompok teroris yang terkait dengan Al-Qaeda termasuk Jamaah Islamiah di Asia Tenggara telah dijadikan prioritas dan target utama dalam perang melawan terorisme. PBB telah mengeluarkan resolusi Majelis Umum PBB No.A/Res/56/1 tanggal 12 September 2001 mengenai serangan teroris terhadap WTC dan Pentagon dan resolusi Dewan Keamanan PBB No.1438 tanggal 14 Oktober 2002 tentang peristiwa peledakan bom di Bali. Masyarakat internasional telah sepakat untuk bekerjasama memerangi terorisme. Pada tingkat nasional tanggal 18 Oktober 2002 pemerintah RI telah mengeluarkan Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diikuti Inpres No. 4 Tahun 2002 tentang Penunjukan Instansi Pemerintah yang Berwenang untuk Mengkoordinasikan Tindakan Memerangi Terorisme. Kemudian dilanjutkan dengan penetapan Perpu No.1 Tahun 2002 menjadi undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).

Kepolisian Republik Indonesia berada di garda terdepan melakukan perlawanan terhadap terorisme untuk melakukan pemberantasan. Peran Kepolisian sebagaimana telah didasarkan dan diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Dibentuknya Detasemen Khusus 88 bersamaan dengan pemisahan tugas dan peran sektor keamanan antara TNI dan Polri di awal tahun 2000 membawa dampak sosial politik yang tidak sederhana. Hal ini berimplikasi pada pengendalian sektor keamanan dalam negeri yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Polri dan keamanan negara secara umum menjadi porsi TNI bersama Departemen Pertahanan.

Ada tiga badan yang bertugas dalam bidang-bidang tertentu berada di bawah struktur organisasi Mabes Polri yaitu Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam), Badan Resesre Krminal (Bareskrim), Badan Pemelihara Keamanan (Baharkam), dan Korps Brigade Mobil (Korbrimob). Bareskrim Polri merupakan unsur pelaksana utama Polri pada tingkat Markas Besar yang berada di bawah dab bertanggung jawab kepada Kapolri. Bareskrim Polri dipimpin oleh Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (Kabareskrim Polri) yang bertanggung jawab kepada Kapolri dan dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari di bawah kendali Wakapolri. Susunan Organisasi Bareskrim

Polri berdasarkan Lampiran Keputusan Kapolri No. Pol.: KEP/22/VI/2004 tanggal 30 Juni 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar, terdiri dari tiga unsur:

a. Unsur Pimpinan. Yaitu: Kepala Bareskrim Polri (Kabareskrim Polri) dan

Wakil Kabareskrim Polri (Wakabareskrim Polri).

b. Unsur Pembantu Pimpinan dan Pelaksana Staf. Yaitu: Biro Perencanaan dan

Administrasi (Rorenmin) dan Biro Analisis (Roanalisis).

c. Unsur Pelaksanaan Staf Khusus/Teknis. Yaitu: Pusat Laboratorium Forensik

(Pus Labfor), Pusat Identifikasi (Pus Ident), Bidang Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Bidkorwas PPNS), Unsur Pelaksana Utama Direktorat Bareskrim Polri (Ditbareskrim Polri) terdiri dari 5 (lima) Direktorat dan 1 (satu) Detasemen Khusus sebagai berikut:

1) Direktorat I (Dit I) yang menangani tindak pidana terhadap keamanan

Negara dan tindak pidana umum.

2) Direktorat II (Dit II) yang menangani tindak pidana dalam bidang

ekonomi dan keuangan/perbankan serta kejahatan khusus lainnya.

3) Direktorat III (Dit III) yang menangani tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme.

4) Direktorat IV (Dit IV) yang menangani tindak pidana narkoba.

5) Direktorat V (Dit V) yang menangani tindak pidana tertentu yang tidak

6) Detasemen Khusus 88/Anti Teror (Densus 88/AT) yang menangani kejahatan Terorisme.

Badan Polri yang secara khusus menangani kriminal pada tahun 1997 masih bernama Korps Reserse Polri dipimpin oleh Komandan Korps Reserse dengan pangkat Mayor Jenderal Polisi berdasarkan Skep Panglima ABRI No: Kep/10/VII/1997 tanggal 7 Juli 1997 tentang Validasi Organisasi di lingkungan Polri membawahi: Direktorat Serse Umum; Direktorat Serse Ekonomi; Direktorat Serse Narkoba; Direktorat Serse Udpal; Direktorat Korwas PPNS dan Tipiter; Direktorat Tipikor; dan Pusat Informasi Kriminil.

Korps Reserse Polri pada tanggal 30 Juni 2004 berganti nama menjadi Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) dipimpin oleh Kabareskrim dengan pangkat Komisaris Jenderal Polisi berdasarkan Keputusan Kapolri No Pol: Kep/22/VI/2004 tanggal 30 Juni 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Bareskrim. Bareskrim membawahi: Biro Renmin; Biro Analis; Pus Labfor; Pus Ident; Bid Korwas PPNS; Direktorat I Trannas; Direktorat II Eksus; Direktorat III Pidkor; Direktorat IV Narkoba; Direktorat V Tipiter; dan Densus 88/AT.

Densus 88 Anti Teror dibentuk melalui Surat Keputusan (Skep) Kapolri pada masa Jenderal Da’i Bachtiar, Nomor: 30/VI/2003 tanggal 30 Juni 2003. alasan utama pembentukan Densus 88 Anti Teror adalah untuk menanggulangi meningkatnya kejahatan terorisme di Indonesia, khususnya aksi teror dengan modus peledakan bom. Densus 88 Anti Teror dibentuk tiga bulan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT).

Pengenaan undang-undang menyangkut dengan kejahatan peledakan bom, selama ini dijerat berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, namun sekarang, jenis kejahatan peledakan bom termasuk tindak pidana terorisme dijerat melalui UUPTPT sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1963 tentang Subversi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, kemudian dibentuknya Densus 88 Anti Teror melalui Surat Keputusan (Skep) Kapolri Nomor: 30/VI/2003 tanggal 30 Juni 2003 yang berada di bawah Bareskrim Polri, maka dengan demikian Densus 88 Anti Teror memiliki dasar hukum yang kuat untuk melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia.

Densus 88 Anti Teror merupakan unit pelaksana tugas penanggulangan teror dalam negeri oleh Polri yang memiliki keterkaitan yang erat dengan substansi dalam UUPTPT. Pembentukan Densus 88 di tingkat Kepolisian Daerah (Polda) pertama kali duputuskan melalui Surat Perintah (Sprint) Kapolda Metro Jaya, Irjen Polisi Firman Gani, Nomor 883/VIII/2004 tanggal 24 Agustus 2004. Densus 88 Polda Metro Jaya awalnya memiliki 75 orang anggota terdiri dari perwira dan bintara. Hingga sampai saat ini anggota Densus 88 di tingkat Polda diberlakukan di seluruh Indonesia.

3. Kebijakan Penanggulangan dan Pemberantasan Tindak Pidana