PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA TERORISME
TESIS
Oleh:
HENDRA LION HUTASOIT 097005094 / ILMU HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA TERORISME
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh:
HENDRA LION HUTASOIT 097005094 / ILMU HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(LEMBAR PENGESAHAN)
JUDUL TESIS : PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA TERORISME
NAMA MAHASISWA : HENDRA LION HUTASOIT
N.I.M. : 097005094
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
MENYETUJUI : KOMISI PEMBIMBING
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.H. Ketua
Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H. Syafruddin S. Hasibuan, S.H., M.H. Anggota Anggota
Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum
Telah lulus diuji pada
Tanggal 28 Juni 2011
PANITIA PEGUJI TESIS :
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H.,MH
Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
2. Syafuddin S. Hasibuan, S.H.,MH., DFM
3. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum
ABSTRAK
Terorisme dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan dalam negeri, stabilitas negara Indonesia, hilangnya nyawa manusia, pelanggaran terhadap hak-hak hidup manusia. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, terhadap pelaku tindak pidana terorisme harus diberantas untuk mewujudkan perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum terhadap masyarakat. Salah satu peran Polri untuk memberantas terorisme adalah membentuk Deasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai pasukan khusus untuk melakukan pemberantasan.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Pertama,
bagaimanakah pengaturan tindak pidana terorisme menurut Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme? Kedua,bagaimanakah peran Polri dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana terorisme?
Ketiga, apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan bagaimana solusi
mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme?
Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu yuridis normatif. Penelitian dengan menggunakan metode yuridis normatif mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kesimpulan dalam penelitian ini, bahwa peran Polri dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme melalui berbagai upaya dan langkah-langkah ditempuh, penerapan peraturan-peraturan hukum dan sanksi terhadap pelaku teror, serta menerapkan kebijakan penal dan non penal dengan melakukan pendekatan terhadap akar lahirnya persoalan terorisme dari sudut sosial serta melibatkan peran Detasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai bagian terdepan melakukan penindakan. Hambatan-hambatan ditemui bersifat eksternal, internal, dan yuridis.
Diharapkan terhadap Polri dapat mengefektifkan peran Polisi Masyarakat (Polmas) secara terpadu, sebab Polmas penting sebagai deteksi dini terhadap perkembangan masyarakat setempat. Diharapkan metode atau cara harus dimiliki Densus 88 Anti Teror melakukan penangkapan pelaku tidak sampai dengan cara menembak mati teroris secara tidak manusiawi. Diharapkan pula cara yang digunakan adalah gas yang bisa ditembakkan ke arah pelaku sehingga membuat teroris pingsan menghirup gas tersebut, dengan demikian dapat meminimalisir pelanggaran Hak Asasi Manusia.
ABSTRACT
Terrorism can cause a threat to domestic security, Indonesian stabilization, deaths, and violation against human rights. As a constitutional state, Indonesia is responsible for protecting its people. Through law No.15/2003 on the Combating against Terrorism and law No.15/2002 on the Indonesian National Police Force, terrorists have to be combated in order to realize the protection, shelter, and legal force for the people. One of the Police’s roles in combating against terrorism is by
forming Densus 88 (Special Anti-Terrorism Detachment 88) as a special force to
carry out the task.
The problems which aroused in this research were as follows: First, how was the role of the police force in combating against terrorism? Secondly, what obstacles were faced by the police force and how was the solution of overcoming the obstacles in combating against terrorism?
The research used a judicial normative method. This kind of method was referred to the judicial values and norms stipulated in the legal provisions; namely, Law No. 15/2003 on the Combating against Terrorism and Law No. 2/2002 on the Indonesian National Police Force.
The results of the research showed that the Police’s role in combating against terrorism was through various efforts and measures, application of legal provisions and sanctions to terrorists, and application of penal and non-penal policy by finding out the root of terrorism problems from the social context, and involving Densus 88 as the avant garde in the operation against terrorism. The obstacles were external, internal, and judicial.
It is recommended that the Police Force should make the role of Polmas (Public Police) become effective and integrated because Polmas is able to directly detect the condition in the community. It is also recommended that Densus 88 should have the special method in capturing terrorists without killing them since it is inhuman. The Police can shoot terrorists by gas bullets so that they will fall unconscious, and thus the police can minimize the violation against Human Rights.
KATA PENGANTAR
Syalooomm...,
Segala sembah sujud, puji syukur, dan terimaksih penulis ucapkan kepada
Allah Bapa dan Yesus Kristus atas segala cinta kasih, pertolongan, kemurahan, dan
penyertaanNya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir
perkuliahan dalam bentuk Tesis pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus penulis penuhi
guna menyelesaikan studi di Magister Ilmu Hukum USU Medan untuk memperoleh
gelar Magister Hukum. Tesis ini berjudul: “PERAN POLRI DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME”.
Pada kesempatan ini dengan rasa hormat dan bahagia penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
tesis ini dan semua pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis
menjalankan perkuliahan di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara Medan, yaitu :
1. Bapak Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DMT & H., MSC (CTM).,
Sp.A(K)., Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi
mahasiswa pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., Ketua Program Studi Magister Ilmu
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan sekaligus sebagai Anggota
Komisi Pembimbing II, yang telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan studi sampai dengan merampungnya tesis ini.
4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.Hum., Ketua Komisi
Pembimbing tesis penulis yang telah memberikan motivasi mulai sejak
awal perkuliahan sampai pada akhirnya meja hijau selalu memberikan
arahan, bimbingan yang sangat membantu penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.
5. Syafuddin S. Hasibuan, S.H.,MH., DFM, Anggota Komisi Pembimbing II,
untuk bimbingan yang sangat membantu penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.
6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi
Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum USU Medan sekaligus sebagai
dosen penguji yang telah memberikan masukan dan pendapatnya yang
membangun dalam kesempurnaaan tesis ini
7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum., selaku Penguji dalam tesis ini
dengan penuh perhatian memberikan bantuan yang sangat besar dengan
kesabarannya dalam membimbing penulis mulai dari titik awal penulisan
tesis sampai dengan selesainya penulisan tesis ini tepat pada waktunya.
8. Buat kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda Kalopas Hutasoit dan Ibunda
Arta Lina Simanjuntak, serta kedua mertua Toga Sitorus dan Herta
Simanjuntak atas kasih sayang, pengorbanan, doa yang tulus dan
dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Program
Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan semoga kedua orang tua dan mertua
diberikan kesehatan dan umur yang panjang.
9. Kepada seorang wanita yang luar biasa dan yang teristimewa istri tercinta
Junita Sitorus SH.,M.H yang merupakan nafas kehidupanku. Terimakasih
sayang buat segalanya yang tak dapat diucapkan satu persatu atas seluruh
pengorbanan serta doa yang tulus kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan Magister Hukum USU. Semoga apa yang
menjadi rencana dan cita-cita kita tercapai,Amin. Shmily.
10.Kepada Keluarga Besar Op. Desi dan Op. Abed/cindy atas segala doa dan
dukungan kepada penulis.
11.Kepada KADEN GEGANA BRIMOB POLDA SUMUT. Kompol
Adarma Sinaga Sik., M.Hum, yang telah memberikan bantuan kepada
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
12.Kepada DANKI BRIMOB serta seluruh personil Brimob Kompi
dukungan moril kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
menyelesaikan pendidikan Magister Hukum USU.
13.Kepada sahabat-sahabat, Claudya Eterina Purba, S.H, M.H., dan Melda
Simamora, S.H., Mkn serta seluruh rekan-rekan angkatan XIV Kelas
Hukum Ekonomi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
14.Kepada Bapak, Ibu Dosen, Staf dan Pegawai pada Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, yang telam memberikan bantuan dalam proses perkuliahan sampai
dengan penulis menanamkan kuliahnya di Pasca Sarjana fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
Semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak
yang berkepentingan, namun penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak
kekurangan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada
kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Semoga Tuhan Yesus Kristus memberikan
berkat dan kasih karuniaNya kepada kita semua. Amin.
Medan, 28 Juni 2010 Penulis
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Nama Lengkap : Hendra Lion Hutasoit
Tempat/Tanggal Lahir : Sidikalang / 25 Juni 1982
Agama : Kristen Protestan
Status : Menikah
Alamat : Jl. Sei Karang Nomor 1Kecamatan Sei Tualang Raso
Tanjung Balai
II. Keluarga
Orangtua
NamaAyah : Kaliopas Hutasoit
Nama Ibu : Arta Lina Simanjuntak
Mertua
Laki-laki : Toga Sitorus
Perempuan : Herta Simanjuntak
Istri : Junita sitorus S.H., M.H.
III. Pendidikan
1. SD Inpres 033912 Hutagambir di kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi
(1988 – 1994)
2. SLTP Swasta Santu Paulus di Sidikalang Kabupaten Dairi (1994 – 1997)
3. SMU Swasta Santo Thomas-III Medan (1997 – 2000)
4. DIK MA BA POLRI di SPN SAMPALI (2001)
5. S-1 Fakultas Hukum, Universitas Asahan di Kisaran (2004 -2008)
6. S-2 Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera
DAFTAR ISI
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 18
1. Kerangka Teori... 18
BAB II : TINJAUAN TENTANG POLRI DAN TINDAK PIDANA DAN TERORISME ... 37
A. Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ... 37
1. Tindak Pidana Secara Umum ... 38
3. Perumusan Tindak Pidana dan Subjek Dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ... 44
B. Pengertian dan Karakteristik Organisasi Terorisme ... 50
1. Pengertian Terorisme ... 50
2. Karakteristik Organisasi Terorisme ... 55
BAB III : PERAN POLRI DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MELALUI PEMBENTUKAN DENSUS 88 ANTI TEROR ... 58
i. Polri dan Penegakan Hukum ... 58
1. Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Polri ... 58
2. Polri Sebagai Penegak Hukum ... 68
ii. Perkembangan Peran Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ... 73
1. Perkembangan Peristiwa Terorisme ... 73
a. Peristiwa Terorisme di Dunia... 73
b. Peristiwa Terorisme di Indonesia ... 78
2. Landasan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme... 84
3. Kebijakan Penanggulangan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ... 89
a. Kebijakan Penal ... 90
b. Kebijakan Non Penal... 100
iii. Pembentukan Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri ... 103
1. Sejarah Pembentukan Densus 88 Anti Teror Polri ... 104
2. Struktur Organisasi, Kemampuan Personil, Peralatan, dan Pembiayaan Densus 88 Anti Teror Polri ... 108
3. Arti Lambang Densus 88 Anti Teror Polri ... 113
BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI POLRI DAN
SOLUSI MENGATASI HAMBATAN-HAMBATAN DALAM
MEMBERANTAS TINDAK PIDANA TERORISME ... 121
A. Hambatan-Hambatan Dalam Memberantas Tindak Pidana Terorisme ... 121
1. Hambatan Internal ... 121
2. Hambatan Eksternal ... 123
3. Hambatan Yuridis ... 125
B. Solusi Terhadap Hambatan-Hambatan ... 131
1. Solusi Internal ... 132
2. Solusi Eksternal ... 134
3. Solusi Yuridis ... 140
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 146
A. Kesimpulan ... 146
B. Saran ... 148
ABSTRAK
Terorisme dapat menimbulkan ancaman terhadap keamanan dalam negeri, stabilitas negara Indonesia, hilangnya nyawa manusia, pelanggaran terhadap hak-hak hidup manusia. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, terhadap pelaku tindak pidana terorisme harus diberantas untuk mewujudkan perlindungan, pengayoman, dan penegakan hukum terhadap masyarakat. Salah satu peran Polri untuk memberantas terorisme adalah membentuk Deasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai pasukan khusus untuk melakukan pemberantasan.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Pertama,
bagaimanakah pengaturan tindak pidana terorisme menurut Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme? Kedua,bagaimanakah peran Polri dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana terorisme?
Ketiga, apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan bagaimana solusi
mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme?
Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu yuridis normatif. Penelitian dengan menggunakan metode yuridis normatif mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kesimpulan dalam penelitian ini, bahwa peran Polri dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme melalui berbagai upaya dan langkah-langkah ditempuh, penerapan peraturan-peraturan hukum dan sanksi terhadap pelaku teror, serta menerapkan kebijakan penal dan non penal dengan melakukan pendekatan terhadap akar lahirnya persoalan terorisme dari sudut sosial serta melibatkan peran Detasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai bagian terdepan melakukan penindakan. Hambatan-hambatan ditemui bersifat eksternal, internal, dan yuridis.
Diharapkan terhadap Polri dapat mengefektifkan peran Polisi Masyarakat (Polmas) secara terpadu, sebab Polmas penting sebagai deteksi dini terhadap perkembangan masyarakat setempat. Diharapkan metode atau cara harus dimiliki Densus 88 Anti Teror melakukan penangkapan pelaku tidak sampai dengan cara menembak mati teroris secara tidak manusiawi. Diharapkan pula cara yang digunakan adalah gas yang bisa ditembakkan ke arah pelaku sehingga membuat teroris pingsan menghirup gas tersebut, dengan demikian dapat meminimalisir pelanggaran Hak Asasi Manusia.
ABSTRACT
Terrorism can cause a threat to domestic security, Indonesian stabilization, deaths, and violation against human rights. As a constitutional state, Indonesia is responsible for protecting its people. Through law No.15/2003 on the Combating against Terrorism and law No.15/2002 on the Indonesian National Police Force, terrorists have to be combated in order to realize the protection, shelter, and legal force for the people. One of the Police’s roles in combating against terrorism is by
forming Densus 88 (Special Anti-Terrorism Detachment 88) as a special force to
carry out the task.
The problems which aroused in this research were as follows: First, how was the role of the police force in combating against terrorism? Secondly, what obstacles were faced by the police force and how was the solution of overcoming the obstacles in combating against terrorism?
The research used a judicial normative method. This kind of method was referred to the judicial values and norms stipulated in the legal provisions; namely, Law No. 15/2003 on the Combating against Terrorism and Law No. 2/2002 on the Indonesian National Police Force.
The results of the research showed that the Police’s role in combating against terrorism was through various efforts and measures, application of legal provisions and sanctions to terrorists, and application of penal and non-penal policy by finding out the root of terrorism problems from the social context, and involving Densus 88 as the avant garde in the operation against terrorism. The obstacles were external, internal, and judicial.
It is recommended that the Police Force should make the role of Polmas (Public Police) become effective and integrated because Polmas is able to directly detect the condition in the community. It is also recommended that Densus 88 should have the special method in capturing terrorists without killing them since it is inhuman. The Police can shoot terrorists by gas bullets so that they will fall unconscious, and thus the police can minimize the violation against Human Rights.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejalan dengan amanat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara kesatuan yang
berlandaskan hukum dan memiliki tugas serta tanggung jawab untuk memelihara
kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta turut secara aktif memelihara
perdamaian dunia. Oleh sebab itu, pemerintah wajib memelihara dan menegakkan
kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari ancaman baik dari dalam
maupun dari luar negeri. Hal tersebut merupakan tujuan pembangunan nasional.
Mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan
berkesinambungan atas segala tindak pidana yang mengancam NKRI. Hal ini
diperlukan untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Peran serta Indonesia dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, Indonesia mendukung upaya
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui Komite Ad Hoc/Komite VI yang dibentuk
terorisme.1
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
terhadap peradaban yang menjadi ancaman bagi segenap bangsa serta musuh dari
semua agama.
Dua konvensi tersebut adalah International Convention for The
Suppression of Terrorist Bombings tahun 1997 (Konvensi Internasional
Pemberantasan Pengeboman Oleh Teroris, 1997) diratifikasi tanggal 5 April 2006 dan
International Convention for The Suppression Financing of Terrorism tahun 1999
(Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999) diratifikasi
tanggal 5 April 2006.
2
Tantangan dan ancaman bagi NKRI biasanya oleh kelompok ekstrim dan
radikal. Tindakan ektrim dan radikal dari sekelompok orang inilah yang menurut Ali Oleh sebab itu, perang melawan terorisme menjadi komitmen semua
negara dan semua agama di dunia. Terorisme dalam perkembangannya telah
membangun organisasi dan mempunyai jaringan global dimana kelompok-kelompok
terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama satu
sama lain baik dalam aspek operasional infrastruktur maupun infrastruktur
pendukung. Pemerintah Indonesia telah membangun pusat pelatihan Jakarta Center
for Law Enforcement Cooperation pada tanggal 3 Juli 2004 dapat difungsikan sebagai
wadah kerja sama dan saling tukar pengalaman dalam rangka meningkatkan
kemampuan negara-negara memberantas kejahatan lintas negara, termasuk terorisme.
1
http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=6080, diakses tanggal 25 Desember 2010.
2
Masyhar dinamakan dengan istilah teror atau terorisme.3 Munculnya
kelompok-kelompok radikalisme dan ekstrimisme disebabkan oleh paham yang dianut bahwa
“negara yang tidak adil dan menyebabkan kekecewaan terhadap penguasa (negara)”.4
Hal tersebut senada pula disebutkan oleh Poltak Partogi Nainggolan, bahwa
“praktik-praktik kapitalisme ekonomi semakin rentan memunculkan aksi-aksi terorisme sebab
diperlukan toleransi dan kompromistik yang dinilai justru sangat merugikan
kelompok radikalisme dan ekstrimisme”.5
Terorisme, bukan saja mengancam negara-negara maju bahkan juga terjadi di
negera-negara yang sedang berkembang misalnya di Indonesia. Terorisme di NKRI,
berkali-kali telah telah terjadi. Hal tersebut senada dengan yang disebutkan oleh Nasir
Abas dalam bukunya berjudul “Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M.
Top”, yaitu “terorisme ternyata belum mati di Indonesia”.6
Pemikiran yang menyatakan bahwa terorisme belum mati di Indonesia karena
telah terjadi beberapa peristiwa teror misalnya: peristiwa Bom di Mesjid Istiqlal pada
tanggal 19 April 1999, Bom Malam Natal pada tanggal 24 Desember 2000, Bom di
Bursa Efek Jakarta pada bulan September 2000, penyanderaan dan pendudukan
Perusahaan Mobil Oil oleh Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 2000, peristiwa Bom
Bali I pada tanggal 12 Oktober 2002 terjadi di Sari Club dan Peddy’s Club, Kuta,
3
Ali Masyhar., Baya Indonesia Menghadang Terorisme, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal.
2.
4
Republika., Tanggal 15 Oktober 2002, hal. 5.
5
Poltak Partogi Nainggolan., Terorisme dan Tata Dunia Baru, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi, Sekretariat Jenderal DPR RI, 2002), hal. 15.
6
Nasir Abas., Memberantas Terorisme, Memburu Noordin M. Top, (Jakarta: Grafindo
Bali, peledakan bom di JW Marriot pada tahun 2003, bom di depan Kantor Kedutaan
Besar Australia pada tahun 2004, bom Bali II pada tahun 2005, dan sekelompok
pelatihan teroris di Nangro Aceh Darussalam. Hingga kemudian Detasemen Khusus
(Densus) 88 Antiteror Polri menembak mati Noordin M. Top di Temanggung tanggal
8 Agusutus 2009.7 NKRI kembali diancam dengan aksi peledakan bom yang
mengguncang dua hotel JW Marriot dan Ritz Carlton pada tanggal 17 Juli 2009 di
Kawasan Bisnis Kuningan Jakarta.8 Hingga pada akhirnya pada tahun 2010 terjadi
peristiwa perampokan terhadap Bank CIMB Niaga di Sumatera Utara pada tanggal 18
Agustus 2010 dimana bahwa pelaku perampokan bank tersebut terkait dengan
jaringan organisasi terorisme dalam hal pendanaan operasional terorisme.9
Berdasarkan rangkaian peristiwa pemboman dan aksi-aksi teroris yang terjadi
di wilayah NKRI telah mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban.
Maksudnya korban dari peledakan bom tidak memandang suku, agama, ras
kewarganegaraan, semuanya menjadi sasaran sebab umumnya teroris meledakkan
bom tersebut di tempat-tempat keramaian bahkan bom juga diledakkan di dalam
dalam Mesjid ketika melaksanakan ibadah sholat jum’at di lingkungan Markas
Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat tanggal 15 April 2011.
10
7
Noordin M. Top dikenal sebagai tokoh utama dalam terorisme berhasil ditembak mati pada tanggal 8 Agustus 2009 oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri.
8
Nasir Abas., Loc. cit.
9
http://www.antaranews.com/berita/1284997005/kapolri-perampokan-bank-cimb-niaga-terkait-terorisme, diakses tanggal 23 Desember 2010. Lihat juga, Antara News., Tanggal 20 September 2010, hal. 1.
10
Hal ini tentu dapat menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, dan
kerugian harta benda, sehingga menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan
sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Ketakutan itu bukan saja terjadi
pada masyarakat umumnya bahkan terhadap kaum muslimin juga menjadi ancaman.
Oleh karena itu, terorisme terkait dengan jaringan internasional, tindakan terorisme
ini sebagaimana disebutkan Ali Masyhar merupakan kejahatan lintas negara,
terorganisasi, dan mempunyai jaringan luas sehingga mengancam perdamaian dan
keamanan nasional maupun internasional.11
Hilangnya nyawa manusia karena tindakan sekelompok orang yang tergabung
dalam aksi terorisme, dan apapun alasannya merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan.12 Sebab hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling dasar bagi
seluruh manusia. Hak hidup merupakan bagian dari hak asasi yang memiliki sifat
tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights).13
11
Ali Masyhar., Op. cit., hal. 3.
Dengan pengertian lain bahwa hak
untuk hidup mutlak harus dimiliki setiap orang, karena tanpa adanya hak hidup, maka
tidak ada hak-hak asasi lainnya. Jadi, hak hidup merupakan hak paling utama dimana
setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada orang lain yang berhak untuk
menghilangkan hak hidup yang lain melalui tindakan terorisme. Akan tetapi
ditentukan sanksi pidana mati (menghilangkan nyawa) pelaku terorisme yang
terpidana menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
12
Nasir Abas., Op. cit.,hal. 10.
13
I. Sriyanto., dan Desiree Zuraida., Modul Instrumen HAM Nasional: Hak Untuk Hidup,
Tindak Pidana Terorisme (UUPTPT) bahwa sanksi pidana mati dalam tindak pidana
terorisme dibuat karena tindakan terorisme jelas telah melecehkan nilai kemanusiaan
secara luas, martabat, dan norma agama. Terorisme juga telah menunjukan
gerakannya sebagai tragedi atas hak asasi manusia.14
Tindakan terorisme erat kaitannya dengan pelanggaran atas hak-hak hidup
manusia. Negara Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) memiliki kewajiban
untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Salah satu bentuk perlindungan negara
terhadap warga negaranya dari tindakan atau aksi terorisme adalah melalui penegakan
hukum, termasuk di dalamnya upaya menciptakan produk hukum yang sesuai melalui
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (selanjutnya disebut UUPTPT).
UUPTPT merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi sebuah
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
(UUPTPT). Pada bagian konsideran dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003
(UUPTPT) disebutkan bahwa:15
Untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang tertib, dan aman serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, maka dengan mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan terorisme, Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
14
Abdul Wahid., Sunardi., dan Muhamad Imam Sidik., Kejahatan Terorisme: Perspektif
Agama, HAM dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004), hal. 2.
15
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang.
Pasal 1 Angka 1 UUPTPT mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan
tindak pidana terorisme adalah “segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang ini”. Pengertian tersebut menggambarkan bahwa ruang lingkup tindak pidana
terorisme menurut UUPTPT sangat luas tidak mencakup pada satu aspek saja
melainkan banyak hal yang diatur dalam UUPTPT tersebut. Misalnya setiap
perbuatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 UUPTPT yaitu:
1. Terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negara Republik
Indonesia;
2. Terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri termasuk tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsuler Republik Indonesia;
3. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah
Republik Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
4. Untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
5. Di atas kapal yang berbendera negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau
6. Oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat
tinggal di wilayah negara Republik Indonesia.
Terorisme sebagai suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain.16
16
A.C. Manullang., Menguak Tabu Intelijen, Motif dan Rezim, (Jakarta: Panta Rhei, 2001), hal. 151.
Terorisme menurut Muladi adalah penggunaan kekausaan secara tidak sah oleh
kepentingan dalam melawan kekuasaan yang ada.17
Terorisme menurut Pasal 6 UUPTPT didefinisikan bahwa tindak pidana
terorisme adalah:
Tindakan terorisme adalah
sebagai suatu cara penyimpangan politik menggunakan kekerasan dalam merebut
kekuasaan.
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Objek-objek vital yang strategis dapat berupa infrastruktur berbasis teknologi
informasi, dimana berkemungkinan sangat besar peluangnya untuk diserang
kelompok teroris melalui teknologi informasi pula. Sehingga kerusakannya lebih
cenderung kepada perangkat lunak (software) dan aplikasinya, namun memiliki
dampak politis, ekonomis, keamanan, pertahanan dan ketertiban, serta dampak sosial
dan psikologis lainnya.18
Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana yang unik, karena motif
dan faktor penyebab dilakukannya tindak pidana terorisme tersebut sangat berbeda
dengan motif-motif dari tindak pidana lain. Salahuddin Wahid, menyatakan bahwa
terorisme dilakukan dengan berbagai motivasi yaitu karena alasan agama, alasan
17
Muladi., Demokrasi HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie
Center, 2002), hal. 172.
18
ideologi, alasan untuk memperjuangkan kemerdekaan, alasan untuk membebaskan
diri dari ketidakadilan, dan karena alasan kepentingan.19
Pemicu terorisme antara lain adalah pertentangan agama, ideologi, dan etnis,
serta semakin melebarnya jurang pemisah antara kaya dan miskin. Selain itu,
tersumbatnya komunikasi antara rakyat dengan pemerintah, jumlah penduduk yang
tumbuh dan berkembang tajam, semakin meningkatnya jumlah pengangguran,
generasi muda semakin banyak frustasi, munculnya orang-orang kesepian,
munculnya ideologi fanatisme baru, dan paham paratisme merupakan pemicu
munculnya tindakan terorisme.
20
Alasan-alasan di atas, berbeda dengan yang disebutkan Moch Faisal Salam,
bahwa pemikiran yang bercorak kosmik dalam agama menjadi salah satu penyebab
lahirnya pemikiran teror.
21
Pemikiran kosmik adalah kecenderungan berfikir dalam
memahami suatu masalah spesifik dari sudut pandang yang umum, yang melampaui
kehidupan spesifik individu tempat masalah tersebut terjadi dan untuk melandaskan
pemahaman pada peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat metafisik.22
Dalam kajian Islam kontemporer, salah satu pemikiran kosmik tersebut,
diuraikan oleh Jeurgenmeyer adalah pandangan Sayyid Qutb, seorang ideolog
Ikhwanul Muslimin yang dihukum mati pada tahun 1966 karena ajarannya yang
19
Salahuddin Wahid., dalam Abduh Zulfidar Akaha., Terorisme dan Konspirasi Anti Islam,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), hal. 46.
20
A.C. Manullang., Loc. cit., hal. 151.
21
Moch. Faisal Salam., Op. cit., hal. 6.
22
Azis., Avyanti., dan Harijanto., ”Sebuah Dialog Untuk Mengakhiri Mata Rantai Kekerasan:
Cara Pandang Baru Tentang Terorisme”, Global Jurnal Politik Internasional, Vol. 5 No. 2, Mei 2003,
memicu teror. Menurut Qutb adalah “perang bukanlah larangan dalam Islam dalam
rangka memerangi semua orang musyrik”.23
Pemikiran Qutb di atas, jika dikaitkan dengan perkembangan terorisme saat
ini dapat terjawab bahwa sebelum teror terjadi, pelakunya tidak mendapat
penyerangan, tidak ada penghinaan, tidak disakiti dan lain-lain, akan tetapi pelaku
teror itu sendiri yang memulai dan menjadikan suasana menjadi kacau oleh aksi
terorismenya. Pemikiran tersebut, membuat segelintir penganut Islam konservatif
menaruh kebencian terhadap dunia barat khususnya Amerika Serikat. Inilah menurut
Moch. Faisal Salam merupakan suatu kedangkalan pengetahuan tentang jihad dalam
Islam.
Pandangan Qutb ini menjadi semacam
legitimasi bagi segelintir kaum Muslimin melakukan tindakan kekerasan, dimana
bahwa Qutb juga mencela kaum yang mengaitkan jihad (berjuang atau berperang di
jalan Allah) dengan tindakan defensif yaitu melawan apabila diserang.
24
Contoh yang dapat diberikan adalah seperti Asmar Latin Sani (peledakan bom
di J.W. Marriot) lulusan Pesantren Nguruki telah memiliki semangat jihad sebelum
bertemu dengan Noordin M. Top dan Dr. Azhari, demikian juga Heru Gulun
(peledakan bom Kuningan) yang pernah mengikuti pelatihan Negara Islam Indonesia
(NII) di Banten jauh sebelum berkenalan dengan Noordin M. Top dan Dr. Azhari.
Setelah berjumpa dengan Noordin M. Top dan Dr. Azhari, mereka menganggab
23
Jeurgenmeyer., dalam Moch. Faisal Salam., Loc. cit., hal. 6.
24
bahwa cita-citanya untuk jihad akan tercapai. Hal ini disebabkan karena kedangkalan
pemahaman mereka tentang arti jihad yang sebenarnya dalam Islam.25
Terorisme telah mengalami perkembangan modus operandinya dimana para
pelaku teror, telah mahir memanfaatkan Teknologi Informasi (TI). Dalam
perkembangannya pelaku terorisme bahkan telah memanfaatkan teknologi melalui
media internet sebagai sarana untuk menjalin komunikasi antar sesama teroris yakni
situs www.anshar.net yang dibuat oleh Agung Setyadi, dosen salah satu perguruan
tinggi di Semarang, dan M. Agung Prabowo Max Fiderman alias Kalingga alias
Maxhaser, mahasiswa salah satu universitas di kota Semarang, dipakai untuk
menyampaikan informasi terorisme atas pesanan Noordin M. Top sebagai media
informasi perjuangannya.
26
Dampak kejahatan terorisme ini sangat besar, dimana teroris dapat
memanfaatkan dan menggunakan perkembangan teknologi mutakhir yang sangat
maju di bidang alat peralatan, komunikasi, transportasi, bahan peledak dan senjata
dalam kegiatan operasinya maka dampak aksi terorisme berskala sangat besar, luas
dan kompleks dalam bentuk kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan, baik yang
berbentuk fisik maupun non fisik. Dampak yang ditimbulkan tindakan terorisme
adalah:27
1. Bidang politik, hukum, pemerintahan, antara lain:
a. Gangguan terhadap kehidupan demokrasi;
25
Nasir Abas., Op. cit., hal. 108.
26
Pengadilan Negeri Semarang dengan Perkara: 84/PID/B/2007 PN SMG..
27
b. Hukum dan tata tertib terganggu;
c. Roda Pemerintahan tidak berjalan lancar; d. Pada tahap tertentu isu terjadi vaccum of power; e. Suatu pemerintahan yang lemah bisa jatuh. 2. Bidang ekonomi, antara lain:
a. Gangguan terhadap mekanisme ekonomi: kegiatan produksi, distribusi
barang dan jasa, harga saham jatuh;
b. Investasi/penanaman modal menurun drastis; c. Kehancuran sarana prasarana ekonomi;
d. Timbul pengangguran dalam jumlah besar.
3. Bidang psikologi, antara lain:
a. Timbul rasa takut dalam masyarakat;
b. Akibat trauma, masyarakat bersikap apatis dan bereaksi tidak wajar. 4. Bidang sosial, antara lain:
a. Hubungan dalam masyarakat terganggu;
b. Bisa menimbulkan perpecahan dalam masyarakat;
c. Bisa menyebabkan terjadinya perubahan nilai dan pergeseran norma
dalam masyarakat.
5. Bidang keamanan, diantaranya:
a. Kemanan dan ketertiban masyarakat terganggu;
b. Ruang gerak anggota masyarakat terganggu.
6. Bidang hubungan internasional, yaitu hubungan antar negara bisa terganggu.
Dampak terorisme mencakup berbagai aspek kehidupan. Oleh sebab itu,
pemberantasan terorisme telah menjadi prioritas utama pemerintah dalam kebijakan
politik dan keamanan secara global dan terorisme digolongkan kepada kejahatan luar
buasa (extra ordinary crime) dan penangangannya pun harus dilakukan secara luar
biasa pula. Oleh sebab, Pemerintah Indonesia bertekad melakukan perang melawan
terorisme dan mengambil langkah-langkah kebijakan dalam pemberantasan yang
serius dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2002, Perpu Nomor 2 Tahun
2002 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002. Landasan hukum tersebut di atas diikuti
dengan penetapan Skep Menko Polkam Nomor Kep-26/Menko/Polkam/11/2002
telah menaruh perhatian dan telah memberikan dukungan kongkrit dalam upaya
pengungkapan para pelaku teror dan mengajukan para pelaku teror ke sidang
pengadilan serta mengungkap jaringannya.
Perubahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2002 menjadi undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diperlukan karena tindak pidana terorisme
merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime) dan dibutuhkan
pula penanganan yang luar biasa (extraordinary measures).28
Kepolisian Republik Indonesia merupakan ujung tombak dalam memberantas
pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia, menangkap pelaku, mencegah,
melakukan penyelidikan dan penyidikan, bahkan menembak mati para pelaku teror,
membentuk Tim Khusus yaitu Densus 88 Antiteror yang berada pada garis terdepan DalamUUPTPT selain
mengatur aspek materil juga diatur mengenai aspek formil. Sehingga, UUPTPT
merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Oleh
karenanya, negara Indonesia harus memberantas tindak pidana terorisme ini melalui
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak
Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
28
T. Nasrullah., ”Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”,
Makalah Disampaikan Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara”, diselenggarakan: Indonesia Police
memberantas terorisme tersebut. Dapat dipastikan, peranan Polri untuk
pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut tidak terlepas dari tiga fungsi sebagai
pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat dimana bahwa Polri harus melindungi
masyarakat dari tindakn-tindakan yang mengancam jiwa warga negara Indonesia. Hal
ini Polri melalui Densus 88 Antiteror harus berpedoman kepada undang-undang yang
mendasari yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonsia (selanjutnya disebut UU Kepolisian).
Memberantas pelaku terorisme di Indonesia, Polri mendapat pujian dari
masyarakat dunia internasional dan bukan merupakan suatu rekayasa akan tetapi
sesuai dengan bukti forensik hasil pengolahan Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang
cermat dan penyidikan kriminal secara ilmiah (scientific crime investigation). Bahkan
Polisi-Polisi asing datang ke Indonesia setidaknya menjadi saksi bahwa Polri bekerja
secara profesional dengan standar internasional.29
Tugas dan wewenang Polri sebagaimana ketentuan Pasal 13 UU Kepolisian,
ditentukan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2. Menegakkan hukum; dan
3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tindak pidana terorisme mengancam stabilitas keamanan masyarakat dan
bahkan menjadi tolok ukur bagi negara-negara di dunia untuk menjalin hubungan
29
Wawan H. Purwanto., Kontroversi Seputar Hukuman Mati Amrozi Cs, (Jakarta: Cipta
internasional dengan negara Indonesia apabila tindakan-tindakan teroris tersebut tidak
segera dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Hal tersebut sangat erat kaitannya jika
dikaitkan dengan fungsi Kepolisian Negara Indonesia dalam Pasal 2 UU Kepolisian
disebutkan bahwa “fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Berdasarkan Pasal 2
UU Kepolisian tersebut, jelas bahwa tindakan terorisme mengancam NKRI dan Polri
memiliki tugas dan fungsi serta wewenang memberantas dan menanggulangi
terorisme berada pada garda terdepan.
Tindak pidana terorisme umumnya memiliki jaringan terorganisir dan
dilengkapi dengan persenjataan layaknya alat persenjataan yang dimiliki oleh TNI
dan Polri. Apabila tindakan teroris seperti ini dihubungkan dengan peranan Polri
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Karena selain Tentara Nasional
Indonesia (TNI), Polri juga diberikan hak dan wewenang oleh Negara atas
persenjataan lengkap untuk menjaga stabilitas keamanan di dalam negara Indonesia
termasuk ancaman dari aksi-aksi teroris yang mengancam keselamatan jiwa warga
negara Indonesia.30 oleh karena itu, penting untuk dilakukan penelitian tentang
”Peran Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, sebagai judul dalam
penelitian ini.
30
Awaloedin Djamin., Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, dari Zaman Kuno
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil
tiga pokok permasalahan, yaitu:
1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana terorisme menurut Undang-undang
Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme?
2. Bagaimanakah peran Polri dalam melakukan pemberantasan terhadap tindak
pidana terorisme?
3. Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan bagaimana solusi
mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan pemberantasan tindak
pidana terorisme?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan mendalami peranan Polri dalam melakukan
pemberantasan terhadap tindak pidana terorisme.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri dan
bagaimana solusi mengatasi hambatan-hambatan dalam melakukan
pemberantasan tindak pidana terorisme.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik
1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir
dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya
pemahaman tentang sejauhmana peranan Polri dalam penanggulangan dan
pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia. Selain itu, penelitian ini
dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti selanjutannya
serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga
sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak
pidana terorisme di Indonesia;
2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum
khususnya aparat Kepolisian Republik Indonesia (Polri), agar dapat lebih
mengetahui dan memahami tentang peranan lembaga Kepolisian sebagai
institusi yang diharapkan berada pada garda terdepan dalam penanggulangan
dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Peranan Polri tersebut meliputi
pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam praktik di lapangan.
E. Keaslian Penulisan
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang
sama, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan penelusuran di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum USU. Hasil penelusuran ditemukan judul tesis: “Kedudukan
Pembuktian Kode Wibe Site Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, Oleh:
kedudukan alat bukti berupa informasi elektronik dalam hukum acara pidana di
Indonesia, Kedua, kekuatan pembuktian alat bukti informasi elektronik dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana teorisme, Ketiga, kendala-kendala
dalam pembuktian kode wibe site dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana
terorisme.
Judul penelitian di atas jika dibandingkan dengan judul dalam penelitian ini,
jauh berbeda baik dari judul maupun dari permasalahan yang dibahas, dimana fokus
pembahasan dalam penelitian ini dititikberatkan pada: “Peranan Polri Dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme”. Oleh karena itu, judul dan permasalahan di
dalam penelitian ini, dapat dikatakan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis
pihak lain.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Pemberantasan tindak pidana terorisme melalui optimalisasi peranan Polri
merupakan suatu kebijakan.31
31
Ali Masyhar., Baya Indonesia Menghadang Terorisme, Op. cit., hal. 26.
Oleh sebab itu, teori-teori mengenai kebijakan hukum
pidana sangatlah relevan untuk dijadikan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.
Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana terorisme di Indonesia termasuk tindak
pidana khusus, dimana bahwa pengaturannya berbeda dengan tindak pidana pada
pembuktian alat-alat bukti, bahkan Polri membentuk tim khusus pemberantasan
tindak pidana terorisme yaitu Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
Pemerintah Indonesia bertekad melakukan perang melawan terorisme dan
mengambil kebijakan dalam pemberantasan dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1
Tahun 2002, Perpu Nomor 2 Tahun 2002 dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002. Landasan
hukum tersebut di atas diikuti dengan penetapan Skep Menko Polkam Nomor
Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang Pembentukan Koordinasi Pemberantasan
Terorisme. Kemudian Perpu Nomor 1 Tahun 2002 dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002
dan Inpres Nomor 4 Tahun 2002 telah ditetapkan menjadi undang-undang melalui
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (UUPTPT).
Pembentukan Densus 88 dan tekad pemerintah mengundangkan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tersebut merupakan langkah-langkah atau kebijakan
penanggulangan kejahatan terorisme. Menurut Amara Raksasataya, kebijakan
(policy) adalah sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu
tujuan. Taktik atau strategi menurut Andi Hamzah diartikan sebagai suatu metode,
rencana untuk mencapai tujuan tertentu.32
32
Andi Hamzah., Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hal. 550.
Penanggulangan kejahatan terorisme,
terorisme, setidaknya dapat mengurangi dan menghambat perkembangannya. Suatu
kebijakan (policy) memuat tiga elemen penting yaitu:33
1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
2. Taktik dan strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan; dan
3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata
dari taktik atau strategi.
Kejahatan merupakan perilaku menyimpang yang akan senantiasa ada dan
melekat pada setiap individu dalam masyarakat .34 kejahatan senantiasa membayangi
kehidupan manusia karena kejahatan tersebut merupakan masalah sosial dan akan
tetap menjadi urusan manusia sepanjang masa. Sebagai masalah sosial, kejahatan
merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang dinamis yang selalu tumbuh dan
terkait dengan fenomena dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks.
Oleh sebab itu, kejahatan harus ditanggulangi dan diberantas karena apabila tidak
ditanggulangi dan diberantas, kejahatan tersebut dapat membawa akibat-akibat
sebagai berikut:35
1. Mengganggu atau merusak dan merintangi tercapainya tujuan nasional; dan
2. Mencegah penggunaan optimal dari sumber-sumber nasional.
Upaya strategis yang dilakukan dalam penanggulangan dan pemberantasan
kejahatan adalah upaya membuat kebijakan hukum. Meskipun senantiasa digunakan
sebagai sarana untuk mengatur kehidupan sosial, namun satu hal yang menarik adalah
33
Amara Raksasataya., dalam M. Islam Irfany., Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan
Negara, (Jakarta: Bina Aksara, 2002), hal 17-18.
34
Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
1984), hal. 148.
35
Barda Nawawi Arief., Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan
bahwa hukum itu selalu tertinggal di belakang obyek yang diaturnya.36
Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya
untuk mengatasi masalah sosial, termasuk dalam bidang kebijakan penegakan
hukum.
Hukum
dimaksud dalam arti hukum positif. Hukum selalu tertinggal jauh dibelakang obyek
yang diaturnya, maka sangat diperlukan kebijakan membuat pengaturan-pengaturan
baru/ulang dalam menanggulangi kejahatan.
37
Sebagai masalah kebijakan secara politis, maka penggunaan hukum pidana
untuk mengatasi masalah sosial tidak dapat dilakukan secara absolut. Tidak ada
absolutisme dalam membuat kebijakan, karena pada hakikatnya, orang dihadapkan
pada masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.38 Karena
memang politik hukum dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu politik hukum dan
politik kriminal. Politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan
yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.39 Politik hukum itu
sendiri merupakan kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan
dalam masyarakat untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.40
Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian
banyak alternatif, mana yang lebih efektif dalam usaha penanggulangan dan
36
Satjipto Rahardjo., Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hal. 99.
37
Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Op. cit., hal. 149.
38
Ibid.
39
Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., (Bandung: Alumni, 1981), hal. 159.
40
Soedarto., Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan
pemberantasan kejahatan,41 tidak hanya disesuaikan dengan keadaan dan situasi pada
suatu waktu, namun juga untuk masa-masa yang akan datang.42 Soedarto,
mendefinisikan kebijakan kriminal dalam tiga pengertian yaitu:43
1. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dari rekasi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara-cara dari pengadilan dan Polisi; dan
3. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk mengeakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Menurut Soedarto, kebijakan kriminal (politik kriminal) adalah usaha yang
rasional dari masyarakat dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan.44
Kebijakan kriminal dapat diaplikasikan melalui dua jalur yaitu jalur penal dan
nonpenal.45 A. Mulder, menyebutkan bahwa politik hukum pidana atau
strafrechtspoliiek adalah garis kebijakan untuk menentukan:46
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui;
2. Apa yang perlu diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; dan
3. Dengan cara bagaimana penyidikan, penyelidikan, penuntutatan, peradilan
dan pelaksanaan pidana harus dilakukan.
41
Soedarto., Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 114.
42
Soedarto., Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan
Hukum Pidana, Loc. cit., hal. 93
43
Soedarto., Kapita Selekta Hukum Pidana, Op. cit., hal. 113-114.
44
Ibid.
45
G. Peter Hoefnagels., The Other Side Of Criminology, (Holland: Klower-Deventer, 1969), hal. 57.
46
A. Mulder., dalam Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Definisi Mulder di atas bertolak dari Marc Ancel mengenai sistem hukum
pidana yang menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir memiliki sistem
hukum pidana yang terdiri dari:47
1. Peraturan-peraturan hukum pidana dan sanksinya;
2. Suatu prosedur hukum pidana; dan
3. Suatu mekanisme pelaksanaan hukum pidana.
Barda, menyebutkan bahwa operasionalisasi dan fungsionalisasi dari
kebijakan hukum pidana (penal policiy) dilaksanakan melalui tiga tahap pertama
tahap kebijakan formulatif, yaitu penetapan atau perumusan hukum oleh badan
pembuat undang-undang, atau disebut juga tahap penegakan hukum in abstracto;
kedua tahap kebijakan aplikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat
pengak hukum mulai dari Kepolisian sampai kepada Pengadilan; ketiga tahap
kebijakan eksekutif, yaitu pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksanaieksekusi
pidana.48
Keseluruhan proses tahap penegakan hukum pidana, maka tahap kebijakan
legislatif merupakan tahap yang paling penting strategis dari keseluruhan kebijakan
untuk mengoperasionalisasikan sanksi pidana.49
47
Ibid., hal. 26
Hal ini karena pada tahap legislasi
inilah dirumuskan konsep atau asas yang menjadi garis besar dan dasar recana di
48
Barda Nawawi Arief., Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 75.
49
dalam penegakan hukum,50 sekaligus menurut Barda, menjadi landasan legalitas bagi
dua tahap berikutnya.51 Kebijakan legislatif (formulatif) dalam penanggulangan
kejahatan meliputi:52
1. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang
akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan;
2. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem penerapannya; dan
3. Perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem
peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.
Barda, menyebutkan bahwa kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana
penal (hukum pidana), berpusat pada dua masalah sentral yaitu masalah penentuan:53
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau digunakan kepada si pelanggar.
Membicarakan teori-teori mengenai kebijakan kriminal khususnya melalui
upaya penal, dengan sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi, yang
mengatur baik ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum (actus reus),
pertanggungjawaban pidana (mens rea), maupun sanksi yang dapat dijatuhkan baik
berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment).54
50
Nyoman Serikat Putra Jaya., Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2001), hal. 49.
Soedarto, menyebutkan
51
Barda Nawawi Arief., Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan
Pidana Penjara, Op. cit., hal. 3.
52
Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni,
1992), hal. 158.
53
Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 29.
54
bahwa ada 4 (empat) hal yang harus diperhatikan sebelum memberi ancaman pidana
(kriminalisasi) tersebut yaitu:55
1. Tujuan hukum pidana;
2. Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki;
3. Perbandingan antara sarana dan hasil; dan
4. Kemampuan badan-badan penegak hukum.
Penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana merupakan suatu
kebijakan, maka upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan
kebijakan tersebut mengandung arti adanya keterpaduan antara politik kriminal dan
politik sosial melalui upaya penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan
nonpenal. Soedarto, menekankan bahwa apabila hukum pidana digunakan, perlu
dilihat berdasarkan politik kriminalnya sebagai bagian terintegral dari rencana
pembangunan nasional.56
Menurut Barda, hukum pidana memiliki keterbatasan dalam menanggulangi
kejahatan, misalnya sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal
tidak bersifat struktural/fungsional, keterbatasan jenis sanksi pidana, sarana
pendukung yang bervariasi menuntut biaya tinggi, dan lain-lain.57
55
Soedarto., Hukum dan Hukum Pidana., Op. cit., hal. 44-48.
Karena
keterbatasan hukum pidana tersebut, maka dalam rangka penanggulangannya secara
terpadu, pendekatan penal bukanlah satu-satunya pendekatan yang dapat dipakai
56
Ibid., hal. 104.
57
Barda Nawawi Arief., Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
untuk menanggulangi kejahatan. G.P. Hoefnagels, mengatakan upaya
penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:58
1. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
melalui media massa;
2. Penerapan hukum pidana; dan
3. Pencegahan tanpa pidana.
Pendekatan kebijakan secara non penal sebagai upaya untuk menanggulangi
kejahatan dengan menggunakan saran lain selain hukum pidana. Dikategorikan dalam
pendekatan non penal ini adalah pendidikan, pengajian atau kerohaniaan, dan
lain-lain yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya penanggulangan
kejahatan melalui penal lebih menitikberatkan pada sifat pemberantasan (repressive)
sedangkan non penal lebih menitikberatkan pencegahan atau penangkalan
(preventive).59
Upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan dengan cara non penal
merupakan penanggulangan yang bersifat mendasar. Karena pencegahan atau
penanggulangan terhadap kejahatan tidak menjadi optimal dan tidak menyelesaikan
akar masalah, apabila tanpa diiringi dengan menghapus hal-hal yang menjadi
penyebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan, namun hal ini bukan berarti
upaya penal tidak penting dapat dikesampingkan begitu saja.
58
G.P. Hoefnagels., dalam Ali Masyhar., Op. cit., hal. 28.
59
Upaya penal merupakan sarana sangat vital dalam proses penegakan hukum
(law inforcement) dalam menanggulangi kejahatan. Muladi dan Barda menyebutkan
bahwa, ”Hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk
social defence dalam arti melindungi masyarakat terhadap kejahatan dengan
memperbaiki atau memulihkan kembali (rehabilitatie) si pembuat pidana tanpa
mengurangi keseimbangan kepentingan perorangan (pembuat) dan masyarakat”. 60
Penggunaan jalur penal seharusnya hanya sebagai alternatif terakhir setelah
alternatif-alternatif lain telah ditempuh. Hal ini berarti bahwa setelah upaya
preventif/pencegahan (nonpenal) tidak berhasil maka tumpuan terakhir atau social
defence adalah hukum pidana. Menurut Muladi, jenis-jenis tindakan pencegahan
tindak pidana tersebut dapat berupa:61
1. Pencegahan primer, yaitu diarahkan kepada masyarakat sebagai korban
potensial maupun kepada para pelaku kejahatan yang masih belum tertangkap atau pelaku masih potensial. Kegiatan dalam hal ini dapat berupa penyehatan mental masyarakat yang bersifat abstrak dan dapat pula bersifat fisik serta teknologis;
2. Pencegahan sekunder, yaitu tindakan diarahkan kepada kelompok pelaku atau
pelaku potensial atau sekelompok korban potensial tertentu. Sebagai contoh dalam kaitannya dengan korban kejahatan perampokan nasabah bank, kejahatan perbankan, kejahatan pencurian kenderaan bermotor, dan lain-lain. Dalam hal ini bentuk-bentuk prevensi baik abstrak seperti penamaan etika profesi bagi tenaga-tenaga profesional maupun fisik dan teknologis juga dapat dilakukan; dan
3. Pencegahan tertier, pencegahan diarahkan kepada jenis pelaku tindak pidana tertentu dan juga korban tindak pidana tertentu, misalnya pelaku residivis,
pelaku kejahatan yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime) yang
memakan banayk korban jiwa, dan lain-lain.
60
Muladi., dan Barda Nawawi Arief., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Op. cit., hal. 92.
61
Muladi., Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan
Jenis pencegahan dalam bentuk lain, dapat pula dirumuskan sebagai berikut:
Pencegahan individual, yaitu bentuknya antara lain dapat membuat alarm keenderaan,
alarm rumah, pengawal pribadi, dan lain-lain; dan Pencegahan masyarakat, dapat
berupa siskamling, siskamtibmas swakarsa sebagaimana dikembangkan oleh Polri,
dan lain-lain.
Pendekatan kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, maka
pendekatan kebijakan non penal merupakan pendekatan kebijakan yang mendasar,
karena diorientasikan pada upaya penanggulangan faktor-faktor kondusif penyebab
kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau
kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan
atau menumbuhsuburkan kejahatan itu sendiri.62
Faktor-faktor kondusif yang menimbulkan kejahatan oleh Kongres
Perserikatan Bangsa-Bangsa (Kongres PBB) ke-8 dalam dokumen A/CONF.144/L.3
mengidentifikasikannya sebagai berikut:63
1. Kemiskinan, pengangguran, buta huruf (kebodohan), ketiadaaan/kekurangan
perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latihan yang tidak cocok/serasi;
2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan)
karena proses integrasi sosial, juga karena memburuknya ketimbangan-ketimbangan sosial;
3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga;
4. Keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang
beremigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;
5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan
adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugian/kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan, dan lingkungan pekerjaan;
62
Barda Nawawi Arief., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. cit., hal. 42.
63
6. Menurun atau mundurnya (kualitas) lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan/bertetangga;
7. Kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk
berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di lingkungan kelaurga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya;
8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga
diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas;
9. Meluasnya kativitas kejahatan yang terorganisasi, khususnya perdagangan
obat bius, dan penadahan barang-barang curian;
10.Dorongan-dorongan khususnya medua massa mengenai ide-ide dan
sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap-sikap yang tidak toleran.
Faktor-faktor kondusif tersebut tidak dapat semata-mata diatasi dengan
kebijakan penal (kebijakan kriminal dengan jalur penal), oleh karena itu harus
ditunjang dengan kebijakan nonpenal. Upaya non penal yang paling strategis adalah
segala upaya untuk menjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan
hidup yang sehat (secara material dan immaterial) dari faktor-faktor kriminogen
(faktor-faktor yang mendorong timbulnya tindak pidana). Hal ini berarti, masyarakat
dengan sejumlah potensinya harus dijadikan sebagai faktor penangkal kejahatan atau
faktor ”anti kriminogen” yang merupakan bagian integral dari keseluruhan politik
kriminal.64
Kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, nampaknya jalur
penal menjadi pilihan utama dari pengambil kebijakan. Jalur penal merupakan
langkah maju bila dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya, tetapi jalur penal
memiliki keterbatasan, lebih-lebih dalam menghadapi tindak pidana terorisme yang
64
notabene merupakan transnational organized crime. Oleh sebab itu, harus ditunjang
dengan kebijakan non penal misalnya pendidikan, economic prevention, pendekatan
moral, social walfare, dan sebagainya.
Berdasarkan sisi sosial makro, maka terorisme muncul justru bersamaan
dengan gencarnya isu-isu pembangunan. Jauh sebelum Kongres PBB mengenai The
prevention of crime and the treatment of offenders dalam laporannya Sixth UN
Congress 1981.65
2. Landasan Konsepsional
Mensinyalir bahwa pembangunan itu sendiri dapat bersifat
kriminogen apabila pembangunan itu: pertama, tidak direncanakan secara rasional
atau direncenakan secara timpang, tidak memadai/tidak seimbang; kedua,
mengebaikan nilai-nilai kultural dan moral; dan ketiga, tindak mencakup strategi
perlindungan masyarakat yang menyeluruh atau tidak terintegral.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan
konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi atau
pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berkut:
1. Terorisme adalah perwujudan dari sifat perbuatan dalam penggunaan atau
upaya kekerasan untuk mengintimidasi atau menyebabkan kepanikan
masyarakat dan pemerintah dan mengakibatkan dampak politik.66
65
Ibid., hal. 47.
66
Bryan A. Graner., Black’s Law Dictionary Eighth Edition, (diterjemahkan oleh Ahmad