• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peneliti telah berupaya melakukan penelusuran pustaka yang memiliki relevansi dengan pokok permasalahan yang hampir memiliki kesamaan pada peneliti ini. Hal tersebut dimaksudkan agar fokus penelitian tidak dan bukan merupakan pengulangan atas penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, melainkan untuk mencari sisi lain yang signifikan untuk diteliti lebih mendalam dan efektif. Selain itu penelusuran pustaka juga bermanfaat untuk membangun kerangka teoritik yang mendasari kerangka penelitian ini.

Illailazatus Zakkiya (2012), dalam tugas akhirnya yang berjudul, ”Strategi Pengelolaan Simpanan Wadi‟ah Yad Dhamanah Pada Produk SAHARA di KJKS Bahtera”. Sahara merupakan tabungan yang menggunakan akad

wadi‟ah yad dhamanah yaitu pihak penitip memberikan izin kepada pihak yang diberi titipan untuk mempergunakan barang yang dititipi baik berupa uang ataupun barang untuk diambil manfaatnya. Tentu pihak BMT mendapatkan hasil dari penggunaan dana. BMT dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus (Athaya) akan tetapi tidak diperjanjikan sejak awal.

Syafaatul Jannah (2012), dalam tugas akhirnya yang berjudul “Mekanisme Tabungan Wadi‟ah Salamah di BPRS Ben Salamah Abadi Purwodadi”.Hasil penelitiannya tabungan wadi‟ah salamah merupakan tabungan dalam bentuk simpanan yang menggunakan prinsip wadi‟ah yad dhamanah yang dapat

disetor dan dapat diambil kapan saja dan dengan mendapatkan hasil usaha BPRSBen Salamah Abadi. Adapun mekanisme tabungan wadi‟ah salamah, meliputi: pembukaan rekening wadi‟ah salamah, penyetoran rekening, penarikan atau pengambilan dan penutupan tabungan wadi‟ah salamah. Berdasarkan akad wadi‟ah, sebagai imbalan pemilik dana disamping jaminan keamanan uangnya juga memperoleh bonus sebesar 4% berdasarkan pendapatan bank tiap tahun, tarif bonus wadi‟ah merupakan besarnya tarif yang ditentukan bank sesuai ketentuan. BPRS Ben Salamah Abadi mempunyai asumsi bahwa BPRS Ben Salamah Abadi dapat meningkatkan dan menurunkan prosentase bonus tabungan wadi‟ah salamah tergantung pendapatan dan keuntungan yang didapatkan dari penyaluran dana.

Driya Primasthi (2015), dalam skripsinya yang berjudul “Studi Komparasi

Kualitas Tabungan Akad Wadi‟ah Yad Dhamanah dan Mudharabah Mutlaqah di BRI Syariah dan BNI Syariah” Penentuan bonus tabungan Wadi‟ah Yad

Dhamanah BRI Syariah dan BNI Syariah sama-sama menerapkan kriteria bonus berdasarkan minimal rata-rata saldo nasabah dan jangka waktu tertentu. BNI Syariah menawarkan nisbah dan ER yang lebih besar untuk tabungan mudharabah mutlaqah. Biaya tabungan Wadi‟ah Yad Dhamanah dan mudharabah mutlaqah di BRI Syariah lebih rendah daripada BNI Syariah. BRI Syariah dan BNI Syariah secara umum mempunyai implikasi resiko yang sama. Promosi di BRI Syariah lebih menekankan strategi above the line dan below the lineserta strategi cross selling (penjualan silang) untuk tabungan mudharabah mutlaqah. Sedangkan BNI Syariah lebih menekan pada penjualan

melalui strategi dirrectselling dan personal selling serta strategi jemput. BNI Syariah menawarkan layanan yang lebih luas karena nasabah bisa memanfaatkan office chanelling, selain itu rekening tabungan juga dapat dijadikan sebagai agunan pembiayaan.

Perbedaan mendasar penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan peneliti-peneliti sebelumnya adalah peneliti melakukan penelitian dibidang ekonomi Islam khususnya syariah. Aspek lain yang membedakan penelitian yang dilakukan oleh penulis bisa dilihat disisi variabel yang diambil dalam penelitian dan lokasi penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Illailazatus Zakkiya, penulis lebih fokus terhadap aplikasi akad wadi‟ah yad dhamanah pada produk tabungan wisata. Adapun penelitian yang dilakukan Syafaatul Jannah mengacu pada mekanisme tabungan salamah yang meliputi pembukaan rekening, penyetoran, penarikan dan penutupan. Sedangkan penelitian yang dilakukan Driya Primasthi mengacu pada dalam penentuan bonus tabungan wadi‟ah yad dhamanah BRI Syariah dan BNI Syariah sama-sama menerapkan kriteria bonus berdasarkan minimal rata-rata saldo nasabah dan minimal jangka waktu. BNI Syariah menawarkan nisbah dan ER yang lebih besar untuk tabungan mudharabah mutlaqah Biaya operasional tabungan wadi‟ah yad dhamanah dan mudharabah mutlaqah di BRI Syariah lebih rendah daripada BNI Syariah. BRI Syariah dan BNI Syariah secara umum mempunyai implikasi risiko yang sama.

B. Kerangka Teori 1. Akad

a. Teori Akad

Perjanjian atau akad mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat. Melalui akad seorang lelaki disatukan dengan seorang wanita dalam suatu kehidupan bersama, dan melalui akad juga berbagai kegiatan bisnis dan usaha dapat dijalankan.

Akad memfasilitasi setiap orang dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenanya dapat dibenarkan bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial yang ditemukan oleh peradaban umat manusia untuk mendukung kehidupannya sebagai mahluk sosial. Demikian halnya dengan agama islam, yang memberikan sejumlah prinsip dan dasar-dasar mengenai pengaturan perjanjian sebagaimana tentang dalam Al-Qur‟an dan sunah Nabi Muhammad SAW (Anwar, 2010: 13).

Dalam kitab Fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasi jenis-jenis akad. Secara garis besar adapun pengelompokan macam-macam akad, antara lain:

Gambar 2.1 Pengelompokkan macam-macam Akad.

Berdasarkan Gambar diatas maka dapat dijelaskan tentang pengelompkkan macam-macam akad yang antara lain: (Anwar, 2012: 72).

1. Akad menurut tujuannya a. Akad Tabarru

Akad Tabarru merupakan jenis akad yang berkaitan dengan transakasi non-profit atau transaksi yang tidak bertujuan mendapatkan laba atau keuntungan. Akad Tabarru lebih

Akad

Akad mengikat dan tidak mengikat a. Akad Mengikat b. Akad Tidak

mengikat Dari segi unsur

tempo dalam akad a. Akad Bertempo b. Akad Tidak Bertempo Menurut tujuannya a. Akad Tabarru b. Akad Tijari Dari segi Formalitasnya a. Akad Konsensual b. Akad Formalitas c. Akad Riil Akad dapat di laksanakan/tidak dilaksanakan a. Akad Nafis b. Akad Mauquf Menurut namanya a. Akad Bernama b. Akad tidak bernama Akad menurut tanggungan a. „aqd adh -dhaman b. „aqd al-„amanah

Dari segi dilarang /tidak dilarangnya oleh syara‟ a. Akad Masyru‟ b. Akad Terlarang Menurut kedudukanya a. Akad pokok b. Akad Asesoir 15

berorientasi pada kegiatan Ta‟awun atau tolong-menolong. Dalam akad ini pihak yang berbuat baik tidak boleh diharapkan hanya pahala dari Allah SWT, namun menutupi biaya yang timbul akibat kontrak tersebut kepada mitranya.

Contoh dari akad Tabarru adalah qardh, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi‟ah, hibah, hadiah, wakaf, shadaqoh. b. Akad Tijari

Berbeda dengan Tabarru, akad tijari bertujuan untuk mendapatkan imbalan keuntungan tertentu. Akad ini menyangkut transaksi bisnis dengan motif laba.

Contoh akad ini meliputi Jual beli, sewa menyewa, mudharabah, Musyarakah dan lain-lain.

2. Akad menurut namanya

a. Akad Bernama (al-„uqud al-musamma)

Akad Bernama (al-„uqud al-musamma) merupakan akad yang sudah ditentukan namanya oleh pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad lain.

Contohnya meliputi Ijarah, Qard, Bai, Syirkh, Al-Kafalah, Al-Hibah, Al-Hawalah, Al-Wadi‟ah, Wakalah, Al-Rahn, Al-Shulh, Al-Ju‟alah.

b. Akad tidak bernama (al-„uqud qair al-musamma)

Akad tidak bernama (al-„uqud qair al-musamma) merupakan akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqh dibawah satu nama tertentu.

Contohnya meliputi perjanjian penerbitan, periklanan dan sebagainya.

3. Akad menurut kedudukannya: a. Akad pokok (al-aqd al-ashli)

Akad pokok (al-aqd al-ashli) merupakan akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal. Contohnya meliputi akad jual beli, sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai, dan seterusnya.

b. Akad asesoir (al-aqd at-tabi)

Akad asesoir (al-aqd at-tabi) merupakan akad yang keberadaanya tidak berdiri sendiri, melainkan tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad.

Contohnya meliputi penanggungan (al-kafalah), dan akad gadai (ar-rahn).

4. Akad dari segi unsur tempo didalam akad: a. Akad bertempo (al-aqd az-zamani)

Akad bertempo (al-aqd az-zamani) merupakan akad yang didalamnya unsur waktu merupakan unsur asasi, dalam unsur waktu merupakan bagian dari unsur perjanjian.

Contohnya meliputi sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai, pemberian kuasa, berlangganan majalah dan sebagainya.

b. Akad tidak bertempo (al-aqd al-fauri)

Akad tidak bertempo (al-aqd al-fauri) merupakan akad dimana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian. Contonya seperti akad jual beli.

5. Akad dari segi formalitasnya:

a. Akad konsensual (al-aqd ar-radha‟i)

Akad konsensual (al-aqd ar-radha‟) merupakan jenis akad yang untuk terciptanya cukup berdasarkan kesepakatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas tertentu.

Contonya meliputi jual beli, sewa-menyewa, utang piutang dan sebagainya.

b. Akad formalitas (al-aqd asy-syakli)

Akad formalitas (al-aqd asy-syakli) merupakan akad yang tunduk pada syarat-syarat formalitas yang ditentukan oleh pembuat hukum, dimana apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi akad tidak sah.

c. Akad riil (al-aqd al-aini)

Akad riil (al-aqd al-aini) merupakan akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya penyerahan tunai objek akad, dimana akad tersebut belum terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum apabila belum dilaksanakan.

Contohnya meliputi hibah, pinjam pakai, penitipan, kredit (utang), dan akad gadai.

6. Di lihat dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syara‟:

a. Akad masyru‟

Akad masyru‟ merupakan akad yang dibenarkan oleh syara‟

untuk dibuat dan tidak ada larangan untuk menutupnya.

Contohnya meliputi jual beli, sewa menyewa dan mudharabah dan sebagainya.

b. Akad terlarang

Akad terlarang merupakan akad yang dilarang oleh syara‟

untuk dibuat seperti jual beli janin, akad donasi harta anak dibawah umur, akad yang bertentangan dengan akad islam (kesusilaan) dan ketertiban umum seperti sewa menyewa untuk

melakukan kejahatan, akad nikah mut‟ah. Termasuk juga akad

yang dilarang dalam beberapa mazhab adalah akad jual beli kembali asal (bai‟ al-„inah).

7. Akad menurut dari mengikat dan tidak mengikatnya: a. Akad mengikat (al-aqd al-lazim)

Akad mengikat (al-aqd al-lazim) merupakan akad dimana apabila seluruh rukun dan syaratnya telah terpenuhi, maka akad itu mengikat secara penuh dan masing-masing pihak tidak dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak lain. Akad jenis ini dapat dibedakan menjadi dua macam lagi, yaitu: pertama, akad mengikat kedua belah pihak seperti akad jual beli, sewa menyewa, perdamaian dan sebagainya. Kedua, akad mengikat satu pihak, yaitu akad dimana salah satu pihak tidak dapat membatalkan satu perjanjian tanpa persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain dapat membatalkannya tanpa persetujuan pihak pertama, seperti akad kafalah (penanggungan) dan gadai (ar-rahn).

b. Akad tidak mengikat

Akad tidak mengikat merupakan akad pada masing-masing pihak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akad tidak mengikat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: pertama, akad yang memang sifat aslinya tidak mengikat, seperti akad wakalah (pemberian kuasa), syirkah (persekutuan), akad hibah, akad wadi‟ah (penitipan), dan akad

„ariah (pinajm pakai). Kedua, akad yang tidak mengikat karena didalamnya terdapat khiyar bagi para pihak.

8. Akad menurut dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan: a. Akad nafis

Akad nafis merupakan akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya akad tersebut dilaksanakan. b. Akad mauquf

Akad mauquf merupakan akad yang tidak dapat secara langsung dilaksanakan akibat hukumnya sekalipun telah dibuat sah, melainkan masih tergantung (maukuf) kepada adanya ratifikasi (ijazah) dari pihak berkepentingan.

9. Akad menurut tanggungan:

a. Akad tanggungan („Aqd adh-dhaman)

Akad tanggungan („Aqd adh-dhaman) merupakan akad yang mengalihkan tanggungan risiko atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi dari pelaksana akad tersebut sehingga kerusakan barang yang telah diterimanya melalui akad tersebut berada dalam tanggungannya sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa.

b. Akad kepercayaan („Aqd al-„amanah)

Akad kepercayaan („Aqd al-„amanah) merupakan akad dimana barang yang dialihkan melalui akad tersebut merupakan amanah ditangan penerima barang tersebut, sehingga ia tidak berkewajiban menanggung risiko atas barang tersebut, kecuali kalau ada unsur kesengajaan dan melawan hukum.

Contohnya meliputi akad penitipan, peminjaman, perwakilan (pemberian kuasa).

b. Pengertian Akad

Islam merupakan ajaran Allah yang bersifat universal yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Manusia sebagai mahluk sosial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik secara material maupun spiritual, selalu berhubungan dan bertransaksi antara satu dan yang lain. Dalam berhubungan dengan orang lain inilah antara yang satu dan yang lain sering terjadi interaksi.

Istilah perjanjian dalam hukum Indonesia disebut akad dalam hukum islam. Kata akad berasal dari bahasa arab, yaitu ar-rabtu yang berarti menghubungkan atau mengaitkan, atau mengikat antara beberapa ujung sesuatu (Anwar, 2010: 68).

Ada beberapa definisi akad (perjanjian) yang dikemukakan oleh para ulama. Pertama Menurut pasal 262 Mursyid al-Harian, akad merupakan pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan qabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad. Kedua Menurut Anwar akad adalah pertemuan ijab dan qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya (Anwar, 2010: 68).

Kedua definisi diatas memperlihatkan bahwa, pertama, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan qabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh

salah satu pihak, dan qabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama. Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain karna akad adalah keterkaitan kehendak kedua belah pihak yang tercermin dalam ijab qabul. Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karna akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan qabul yang menyatakan kehendak pihak lain.

c. Landasan Akad

Adapun yang menjadi dasar dalam akad ini pertama adalah firman Allah dalam al-Qur‟an Surat al-Maidah, 5: 1 yang berbunyi:

ابِوُنُ نُ وْنيبِ ا ُنُ وَْأَ ا ُنُىأَآ اأَهذرلَّن ايأٍَيُّذأَ ايذ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.

Adapun yang dimaksud dengan “penuhilah aqad-aqad itu” adalah bahwa setiap mu‟min berkewajiban menunaikan apa yang telah dia

janjikan dan akadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal. Dan kalimat ini merupakan asas „Uqud (Al-Maraghi, 1993: 81). Sedangkan dasar akad dalam kaidah fiqh berbunyi sebagai berikut:

يبِ انُييأَآأَزأَخنبِإايأَآانًُنُخأَجوْيأَخأَوأََابِهوْذاأَدبِقيأَ أَخنُمن ايأَضبِزابِدوْ أَ ن ايبِ انُموْصأَلأ

الَّجن

ابِدنُقايأَ

Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan (Djazuli, 2006:130).

Maksud dari kaidah diatas bahwa keridhaan dalam transaksi ekonomi dan bisnis merupakan prinsip yang utama. Oleh karena itu, transaksi dikatakan sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi.

d. Pembentukan Akad 1. Rukun Akad

Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanaya unsur-unsur tersebut yang membentuknya. Dalam konsepsi hukum islam, unsur-unsur yang membentuk sesuatu itu disebut rukun. Akad juga termasuk karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum kontemporer, rukun yang membentuk akad itu ada empat, yaitu: (Anwar, 2010: 70).

a. Para pihak yang membuat akad (al-„aqidan)

b. Pernyataan kehendak para pihak (shigatul-„aqd)

c. Objek akad (mahallul-„aqd)

d. Tujuan akad (maudhu‟al-„aqd).

2. Syarat Akad

Syarat yang ada dalam akad dapat dikategorikan menjadi syarat sah (shahih), rusak (fasid), dan syarat yang batal (bathil) dengan penjelasan berikut ini: (Zuhaily, 1989: 305).

a. Syarat sahih adalah syarat yang sesuai dengan subtansi akad, mendukung dan memperkuat subtansi akad dan dibenarkan

oleh syara‟, sesuai dengan kebiasaan masyarakat („urf).

Misalnya harga barang yang diajukan oleh penjual dalam jual beli adanya hak pilih (khiyar) dan syarat sesuai dengan „urf

dan adanya garansi.

b. Syarat fasid adalah syarat yang tidak sesuai dengan salah satu kriteria yang ada dalam syarat sahih. Misalnya, memberi mobil dengan uji coba dulu selama satu tahun.

c. Syarat batil adalah syarat yang tidak mempunyai kriteria syarat sahih dan tidak memberi nilai manfaat bagi salah satu pihak atau lainnya, akan tetapi malah menimbulkan dampak negatif. Misalnya, penjual mobil mensyaratkan pembeli tidak boleh mengendarai mobil yang telah dibelinya .

2. Wadi’ah

a. Pengertian Wadi‟ah

Wadi‟ah berasal dari bahasa arab yang berakar dari kata wad‟u

berarti meninggalkan dan wadi‟ah menurut bahasa adalah sesuatu yang

ditinggalkan pada orang yang bukan pemiliknya untuk dijaga (Wiroso, 2005: 196). Wadi‟ah menurut bahasa adalah wadi‟aasyai yang berarti meninggalkannya. Dinamai wadi‟aasyai karena sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada orang lain untuk dijaga dengan sebutan

qadi‟ah lantaran ia meninggalkannya pada orang yang menerima titipan (Sabiq, 1997: 74).

Barang yang dititipkan disebut ida‟, orang yang menitipkan barang disebut mudi‟ dan orang yang menerima titipan barang disebut wadi‟. Dengan demikian maka wadi‟ah menurut istilah adalah akad antara pemilik barang (mudi‟) dengan penerima barang titipan (wadi‟) untuk menjaga harta atau modal (ida‟) dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta (Arifin, 2003: 27). Dalam tradisi fiqh Islam prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-wadi‟ah.

Al-Wadi‟ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki (Antonio, 1999: 121). b. Landasan hukum

Al-Quran:

ابِسيلَّىن اأَهوْيأَ امنُخوْمأَكأَحا أَذبِإأََايأٍَبِهوٌْأَ ا ٰىأَنبِإابِثيأَويأَآأَ وْلأ ا َيُّواأَؤنُحانأَ اوْمنُكاسنُآوْأأَذاأًَـلَّهن الَّنبِإ

اًسيبِصأَ اًعيبِمأَسانيأَكٍـلَّهن الَّنبِئبٍِبِ امنُكنُظبِ أَذايلَّمبِ بِواأًَـلَّهن الَّنبِإابِلوْدأَ وْنيبِ ا ُنُمنُكوْحأَحانأَ

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanyadan (menyuruh kamu) apabilamenetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.(QS. An nissa, 4: 58).

Al hadis

ليقاةسذسٌاى اه

.

مهسَاًيه االلهاىهصايبىن اليقا

.

هأَآاىأَنبِإاأَتأَويأَآأَ وْلأ اِّوأَ ا

اأَ أَويأَ ا وْهأَآا وْهنُ أَحا أَ أََاأَ أَىأَمأَخوْا ا

Abu hurairah meriwayatkan bahwa Rasullawah SAW bersabda, sampaikanlah amanat (titpan) amanat kepada yang berhak menerimannya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah

mengkhianati” ( HRAbu Daud dan menurut Tirmidzi Hadis ini Hasan,

c. Rukun dan syarat wadi‟ah

Rukun wadi‟ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang menyebabkan terjadinya akad wadi‟ah. Adapun Rukun wadi‟ah ada 4 macam, yaitu: (Zulkifli, 2003: 34).

1. Barang yang dititipkan (al wadi‟ah)

2. Pemilik barang/orang yang bertindak sebagai pihak yang menitipkan (muwaddi‟).

3. Pihak yang menyimpan/memberikan jasa custodian (mustawda‟) 4. Ijab qabul (sighot).

Syarat-syarat wadi‟ah adalah sebagai berikut :

1. Baligh adalah seseorang yang sudah sampai pada usia tertentu untuk dibebani hukum syariat (taklif) dan mampu mengetahui atau mengerti hukum tersebut.

2. Berakal adalah orang yang sehat sempurna pikirannya, dapat membedakan baik dan buruk , benar dan salah, mengetahui kewajiban , diperbolehkan dan yang dilarang, serta yang bermanfaat dan yang merusak.

3. Barang titipan : jelas (dapat diketahui jenis atau identitasnya) dapat dipegang, dapat dikuasai untuk dipelihara.

d. Fatwa Dewan Syariah Nasional

Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No:02/DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan 27

yang dibenarkan secara syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan

Wadi‟ah antara lain: 1. Bersifat simpanan

2. Simpanan bisa diambil kapan saja

3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian ('athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.

e. Jenis-Jenis Wadi‟ah

Al-Wadi‟ah adalah perjanjian antara pemilik barang dengan penyimpan dimana pihak penyimpan bersedia untuk menyimpan dan menjaga keselamatan barang yang dititipkan kepadanya (Sumitro, 1996: 31). Prinsip ini dikembangkan berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:(Muhammad, 2002: 86).

1. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik yang ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif.

2. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 3. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti

biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.

4. Ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Wadi‟ah dalam produk perbankan syariah dapat dikembangkan menjadi dua jenis yaitu: (Arifin, 2003: 28).

1. Wadi‟ah yad ammanah.

Wadi‟ah yad ammanah adalah akad titipan dimana penerima titipan (custodian) adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala risiko kehilangan, kerusakan yang terjadi pada titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena‟ akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi‟ah yad dhamanah (Arifin, 2003: 28)

Dengan konsep al-wadi‟ah yad amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan (Antonio, 1999: 123).

Status penerima titipan berdasarkan wadi‟ah yad amanah akan berubah menjadi wadi‟ah yad dhamanah apabila terjadi salah satu dari dua hal ini:

a. Harta dalam titipan telah dicampur, dan

b. Custodian atau penerima titipan menggunakan harta titipan 29

Titipan Barang

Beban Biaya Penitipan

Skema 2.1 Kerja al-Wadi‟ah Yad Amanah 2. Wadi‟ah yad dhamanah.

Wadi‟ah yad dhamanah adalah titipan dimana penerima titipan adalah penerima kepercayaan, yang sekaligus penjamin keamanan barang yang dititipkan. Penerima titipan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada asset titipan tesebut.

Mengacu pada pengertian wadi‟ah yad dhamanah, lembaga keuangan sebagai penerima titipan dapat memanfaatkan al-wadi‟ah sebagai tujuan untuk giro, dan tabungan berjangka. Sebagai konsekuensinya semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik lembaga keuangan termasuk penitip mendapat jaminan keamanan terhadap hartannya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya (Antonio, 1999: 123).

Bank atau

Mustawada‟

(Penyimpanan) USER OF FUND

1.Titipan Barang

4.Beri Bonus

2. Pemanfaatan 3. Bagi Hasil Dana

Skema 2.2 Kerja al-Wai‟ah yad Dhamanah

Dengan konsep al-wadi‟ah yad Dhamanah, pihak yang menerima