• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP, KAJIAN PUSTAKA, DAN LANDASAN TEORI

2.2 Landasan Teori

Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang menaruh perhatian pada: (a) pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang luas dan (b) peran bahasa dalam mengembangkan dan mempertahankan aktifitas budaya serta struktur sosial.

Dalam hal ini, antropolinguistik memandang bahasa melalui konsep antropologi yang hakiki dan melalui budaya, menemukan makna di balik penggunaannya, serta menemukan bentuk-bentuk bahasa, register, dan gaya.

Bahasa dan antropologi memunyai hubungan yang sangat erat, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan (Halliday, dalam Suryatna, 1996:59).

Antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dengan kebudayaan dalam suatu masyarakat (Sibarani, 2004:50). Selanjutnya, Kridalaksana menggunakan istilah kajian antropolinguistik ini adalah kajian linguistik kebudayaan. Linguistik kebudayaan adalah cabang ilmu lingustik yang mempelajari variasi dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan pola kebudayaan dan ciri-ciri bahasa yang berhubungan dengan kelompok sosial, agama, pekerjaan dan kekerabatan (Sibarani dan Henry, 1993:128).

Linguistik kebudayaan merupakan kajian tentang kedudukan dan fungsi bahasa di dalam konteks sosial dan budaya secara lebih luas yang memiliki peran untuk membentuk dan mempertahankan praktik-praktik kebudayaan dan struktur sosial masyarakat (Beratha 1998:42).

Hubungan kekerabatan, serta adat istiadat yang berkaitan dengan ini dilakukan dengan tata cara adat sesuai dengan daerah masing-masing tetapi masyarakat Minangkabau juga dapat melakukan pesta adat Minangkabau di daerah yang bukan merupakan daerah suku yang bersangkutan tetapi dengan syarat harus meminta izin kepada pengetua adat atau masyarakat setempat. Dalam hal ini, tampak adanya usaha untuk membentuk dan mempertahankan praktik kebudayaan tersebut.

2.2.2 Nilai Budaya

Dalam antropolinguistik, bahasa digunakan sebagai sarana ekspresi nilai-nilai budaya. Sibarani (2004:59) mengatakan bahwa nilai-nilai budaya yang dapat disampaikan oleh bahasa sebagai jalur penerus kebudayaan terbagi atas tiga bagian kebudayaan yang saling berkaitan, yaitu kebudayaan ekspresi, kebudayaan tradisi, dan kebudayaan fisik. Kebudayaan ekspresi mencakup perasaan, keyakinan intuisi, ide, dan imajinasi kolektif, kebudayaan tradisi mencakup nilai-nilai religi, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan; kebudayaan fisik mencakup hasil-hasil karya asli yang dimanfaatkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai budaya tersebut akan terdapat pada masing-masing makna nama masyarakat Minangkabau yang akan diperoleh di Kecamatan Luhak Nan Duo.

Nilai budaya dipahami sebagai nilai yang mengacu kepada berbagai hal.

Basaria dalam artikelnya yang berjudul ‟Hipotesis Sapir-Whorf pada umpasa Batak Toba‟ menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara adat dan budaya yang dianut penutur dengan bahasa Batak Toba. Ia menyebutkan bahwa hubungan antara kosakata dan nilai budaya bersifat multidireksional. Bahasa mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan ditunjukkan dengan sifat dari keduanya. Selain mencerminkan kebudayaan, bahasa dan kebudayaan disebut saling menentukan. Dalam artikelnya Basaria mengaitkan hipotesis Sapir-Whorf pada penggunaan umpasa. Dalam hal penamaan dan makna nama orang pada masyarakat Batak Toba, proses penamaan juga menggunakan acara adat. Pada umumnya nilai-nilai budaya masyarakat Batak Toba meliputi nilai kekerabatan, religi, hukum, dan konflik

Terdapat enam belas jenis kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai budaya:

(1) kesejahtraan, (2) kerja keras, (3) displin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas budaya, (9) peduli lingkungan, (10) kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13) kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16) pikiran positif dan rasa syukur Sibarani, (2012:135).

2.2.3 Onomastika

Secara umum kajian mengenai makna adalah semantik. Semantik adalah, (a) ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandainya, (b) ilmu tentang makna atau arti (Parera, 1991:25). Namun, semantik telah berkembang lagi menjadi kajian yang lebih khusus. Kajian khusus mengenai

nama disebut onomastik. Onomastik dibagi lagi menjadi antroponomastik dan toponimi. Antroponomastik adalah cabang ilmu onomastik yang menyelidiki seluk-beluk nama orang. Toponimi adalah cabang ilmu onomastik yang mempelajari nama tempat (Sibarani dan Henry 1993:8). Dari pengertian tersebut nama itu dibuat dan diberikan kepada seseorang untuk membedakan dengan orang lain, untuk anggota keluarga dan masyarakat memanggilnya, menyuruhnya bila perlu. Menurut Thatcher, dkk. 1970:332 (dalam Sibarani dan Henry 1993:10) ada tujuh persyaratan dalam pemberian nama yaitu:

1. Nama harus berharga, bernilai dan berfaedah, 2. Nama harus mengandung makna yang baik, 3. Nama harus asli,

4. Nama harus mudah dilafalkan, 5. Nama harus bersifat membedakan,

6. Nama harus menunjukkan nama keluarga, dan 7. Nama harus menunjukkan jenis kelamin.

Syarat pertama, menyatakan bahwa pemberian nama harus didasarkan pada pertimbangan kasih sayang dan pertimbangan keindahan bunyi. Dengan demikian orang tua sebaiknya memberi nama yang dapat menimbulkan inspirasi dan kebanggaan kepada anaknya. Bunyi nama yang indah dan asosiasi nama yang baik tentu akan memberikan kesan tersendiri atau kebanggaan pada pemilik nama tersebut.

Seluk beluk nama orang yang disebutkan di atas tidak terlepas dari makna yang terdapat pada nama tersebut. Berhubungan dengan hal itu, Sibarani (2004 :114-118) dalam antropolinguistik membagi tiga makna nama yaitu:

1. Makna Nama Futuratif mengandung pengharapan agar kehidupan pemilik nama seperti makna namanya. Selanjutnya, Sibarani mengemukakan makna nama futuratif banyak terdapat pada nama orang, nama usaha dan nama tempat. Hal ini, mengacu pada makna nama diri pemilik nama yang mengandung pengharapan.

2. Makna Nama Situasional yang mengandung harapan pada situasi pemberian nama.

Selanjutnya, Sibarani mengemukakan makna nama situasional ini diberikan sesuai dengan nama yang mengacu pada situasi pada saat itu. Pada makna nama situasional, pemaknaan dikaitkan dengan nilai-nilai budaya atau suatu kepercayaan bagi pemilik nama terhadap suatu hal yang dikaitkan dengan situasi dan kondisi.

Makna nama situasional ini banyak ditemukan di tengah masyarakat, dan makna situasional mengandung harapan sesuai dengan situasi.

3. Makna Nama Kenangan yang mengandung kenangan. Selanjutnya Sibarani mengemukakan makna nama kenangan ini diberikan sesuai dengan kenangan yang dialami pemberi nama. Makna nama kenangan memiliki pengharapan di dalamnya sesuai dengan kenangan yang dialaminya.

Dokumen terkait