• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian tentang makna nama orang masyarakat Minangkabau ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu:

a. Sebagai pengetahuan bagi masyarakat khususnya bagi mahasiswa program studi Sastra Indonesia agar berminat mengadakan penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah di Indonesia.

b. Dapat digunakan sebagai bahan perbandingan penelitian mengenai makna nama orang pada waktu yang akan datang pada suku-suku yang ada di Indonesia.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu dengan teori yang ada.

b. Sebagai sumber pengetahuan mengenai ragam budaya khususnya mengenai nama sebagai salah satu wujud ragam budaya Minangkabau.

BAB II

KONSEP, KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI

2.1 Konsep

Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi dkk, 2005:588). Dalam penelitian ini, istilah yang hendak diberikan pada konsep ini adalah makna, nama, masyarakat Minangkabau, uraiannya sebagai berikut.

2.1.1 Makna

Makna adalah arti, maksud pembicara atau penulis, dan pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan (Alwi dkk, 2005:703). Makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar. Dari pengertian tersebut dapat diketahui adanya unsur pokok yang mencakup di dalamnya, yaitu:

a. Makna adalah hasil hubungan bahasa dengan dunia luar,

b. Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai, serta

c. Perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling mengerti.

Dalam penelitian ini, makna yang digunakan peneliti adalah makna untuk menyampaikan informasi secara langsung kepada orang lain sehingga orang lain dapat mengetahui apa makna nama, serta peristiwa apa yang ada di balik nama tersebut (Alwi, dkk. 2005).

2.1.2 Nama

Nama adalah suatu kata atau kelompok kata untuk mengidentifikasi dan menyebut orang, hewan, benda, tempat (Robert dan Henry, 1990:8). Memiliki sebuah nama adalah hak istimewa atau kehormatan bagi setiap orang. Dalam Odyssey (Ulmann, 2007:84-85) dinyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang rendah maupun tinggi derajatnya yang hidup tanpa nama begitu dia lahir di dunia, setiap orang diberi nama oleh orang tuanya ketika dia lahir. Setiap orang pasti memiliki setidaknya satu nama yang disandangnya. Nama begitu dekat dengan pemiliknya sehingga nama itu menggambarkan reputasi baik atau buruk, cerita baik, sedih, maupun bahagia di balik nama itu.

2.1.3 Masyarakat Minangkabau

Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama (Alwi Hasan dkk, 2005:721). Masyarakat Minangkabau merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500 – 2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah Timur pulau Sumatera, menyusuri aliran Sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Minangkabau atau disingkat Minang merujuk pada entitas kultural dan geografis yang ditandai dengan penggunaan bahasa, adat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, dan identitas agama Islam.

Secara geografis, Minangkabau meliputi daratan Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian Utara Bengkulu, bagian Barat Jambi, Pantai Barat Sumatera Utara, Barat Daya

Aceh, dan Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk pada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat Kota Padang. Dalam penelitian ini, peneliti menetapkan masyarakat Minangkabau di Kecamatan Luhak Nan Duo sebagai wilayah penelitian.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Antropolinguistik

Antropolinguistik adalah cabang linguistik yang menaruh perhatian pada: (a) pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan budaya yang luas dan (b) peran bahasa dalam mengembangkan dan mempertahankan aktifitas budaya serta struktur sosial.

Dalam hal ini, antropolinguistik memandang bahasa melalui konsep antropologi yang hakiki dan melalui budaya, menemukan makna di balik penggunaannya, serta menemukan bentuk-bentuk bahasa, register, dan gaya.

Bahasa dan antropologi memunyai hubungan yang sangat erat, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan (Halliday, dalam Suryatna, 1996:59).

Antropolinguistik menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dengan kebudayaan dalam suatu masyarakat (Sibarani, 2004:50). Selanjutnya, Kridalaksana menggunakan istilah kajian antropolinguistik ini adalah kajian linguistik kebudayaan. Linguistik kebudayaan adalah cabang ilmu lingustik yang mempelajari variasi dan pemakaian bahasa dalam hubungannya dengan pola kebudayaan dan ciri-ciri bahasa yang berhubungan dengan kelompok sosial, agama, pekerjaan dan kekerabatan (Sibarani dan Henry, 1993:128).

Linguistik kebudayaan merupakan kajian tentang kedudukan dan fungsi bahasa di dalam konteks sosial dan budaya secara lebih luas yang memiliki peran untuk membentuk dan mempertahankan praktik-praktik kebudayaan dan struktur sosial masyarakat (Beratha 1998:42).

Hubungan kekerabatan, serta adat istiadat yang berkaitan dengan ini dilakukan dengan tata cara adat sesuai dengan daerah masing-masing tetapi masyarakat Minangkabau juga dapat melakukan pesta adat Minangkabau di daerah yang bukan merupakan daerah suku yang bersangkutan tetapi dengan syarat harus meminta izin kepada pengetua adat atau masyarakat setempat. Dalam hal ini, tampak adanya usaha untuk membentuk dan mempertahankan praktik kebudayaan tersebut.

2.2.2 Nilai Budaya

Dalam antropolinguistik, bahasa digunakan sebagai sarana ekspresi nilai-nilai budaya. Sibarani (2004:59) mengatakan bahwa nilai-nilai budaya yang dapat disampaikan oleh bahasa sebagai jalur penerus kebudayaan terbagi atas tiga bagian kebudayaan yang saling berkaitan, yaitu kebudayaan ekspresi, kebudayaan tradisi, dan kebudayaan fisik. Kebudayaan ekspresi mencakup perasaan, keyakinan intuisi, ide, dan imajinasi kolektif, kebudayaan tradisi mencakup nilai-nilai religi, adat-istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan; kebudayaan fisik mencakup hasil-hasil karya asli yang dimanfaatkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai budaya tersebut akan terdapat pada masing-masing makna nama masyarakat Minangkabau yang akan diperoleh di Kecamatan Luhak Nan Duo.

Nilai budaya dipahami sebagai nilai yang mengacu kepada berbagai hal.

Basaria dalam artikelnya yang berjudul ‟Hipotesis Sapir-Whorf pada umpasa Batak Toba‟ menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara adat dan budaya yang dianut penutur dengan bahasa Batak Toba. Ia menyebutkan bahwa hubungan antara kosakata dan nilai budaya bersifat multidireksional. Bahasa mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan ditunjukkan dengan sifat dari keduanya. Selain mencerminkan kebudayaan, bahasa dan kebudayaan disebut saling menentukan. Dalam artikelnya Basaria mengaitkan hipotesis Sapir-Whorf pada penggunaan umpasa. Dalam hal penamaan dan makna nama orang pada masyarakat Batak Toba, proses penamaan juga menggunakan acara adat. Pada umumnya nilai-nilai budaya masyarakat Batak Toba meliputi nilai kekerabatan, religi, hukum, dan konflik

Terdapat enam belas jenis kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai budaya:

(1) kesejahtraan, (2) kerja keras, (3) displin, (4) pendidikan, (5) kesehatan, (6) gotong royong, (7) pengelolaan gender, (8) pelestarian dan kreativitas budaya, (9) peduli lingkungan, (10) kedamaian, (11) kesopansantunan, (12) kejujuran, (13) kesetiakawanan sosial, (14) kerukunan dan penyelesaian konflik, (15) komitmen, (16) pikiran positif dan rasa syukur Sibarani, (2012:135).

2.2.3 Onomastika

Secara umum kajian mengenai makna adalah semantik. Semantik adalah, (a) ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandainya, (b) ilmu tentang makna atau arti (Parera, 1991:25). Namun, semantik telah berkembang lagi menjadi kajian yang lebih khusus. Kajian khusus mengenai

nama disebut onomastik. Onomastik dibagi lagi menjadi antroponomastik dan toponimi. Antroponomastik adalah cabang ilmu onomastik yang menyelidiki seluk-beluk nama orang. Toponimi adalah cabang ilmu onomastik yang mempelajari nama tempat (Sibarani dan Henry 1993:8). Dari pengertian tersebut nama itu dibuat dan diberikan kepada seseorang untuk membedakan dengan orang lain, untuk anggota keluarga dan masyarakat memanggilnya, menyuruhnya bila perlu. Menurut Thatcher, dkk. 1970:332 (dalam Sibarani dan Henry 1993:10) ada tujuh persyaratan dalam pemberian nama yaitu:

1. Nama harus berharga, bernilai dan berfaedah, 2. Nama harus mengandung makna yang baik, 3. Nama harus asli,

4. Nama harus mudah dilafalkan, 5. Nama harus bersifat membedakan,

6. Nama harus menunjukkan nama keluarga, dan 7. Nama harus menunjukkan jenis kelamin.

Syarat pertama, menyatakan bahwa pemberian nama harus didasarkan pada pertimbangan kasih sayang dan pertimbangan keindahan bunyi. Dengan demikian orang tua sebaiknya memberi nama yang dapat menimbulkan inspirasi dan kebanggaan kepada anaknya. Bunyi nama yang indah dan asosiasi nama yang baik tentu akan memberikan kesan tersendiri atau kebanggaan pada pemilik nama tersebut.

Seluk beluk nama orang yang disebutkan di atas tidak terlepas dari makna yang terdapat pada nama tersebut. Berhubungan dengan hal itu, Sibarani (2004 :114-118) dalam antropolinguistik membagi tiga makna nama yaitu:

1. Makna Nama Futuratif mengandung pengharapan agar kehidupan pemilik nama seperti makna namanya. Selanjutnya, Sibarani mengemukakan makna nama futuratif banyak terdapat pada nama orang, nama usaha dan nama tempat. Hal ini, mengacu pada makna nama diri pemilik nama yang mengandung pengharapan.

2. Makna Nama Situasional yang mengandung harapan pada situasi pemberian nama.

Selanjutnya, Sibarani mengemukakan makna nama situasional ini diberikan sesuai dengan nama yang mengacu pada situasi pada saat itu. Pada makna nama situasional, pemaknaan dikaitkan dengan nilai-nilai budaya atau suatu kepercayaan bagi pemilik nama terhadap suatu hal yang dikaitkan dengan situasi dan kondisi.

Makna nama situasional ini banyak ditemukan di tengah masyarakat, dan makna situasional mengandung harapan sesuai dengan situasi.

3. Makna Nama Kenangan yang mengandung kenangan. Selanjutnya Sibarani mengemukakan makna nama kenangan ini diberikan sesuai dengan kenangan yang dialami pemberi nama. Makna nama kenangan memiliki pengharapan di dalamnya sesuai dengan kenangan yang dialaminya.

2.3 Kajian Pustaka

Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penamaan dan maknanya adalah sebagai berikut :

Sinaga (2010), dalam skripsinya yang berjudul Makna Nama Orang pada Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Balige, mengatakan bahwa penelitian ini berusaha menguraikan proses (upacara) menyambut kelahiran seorang anak sampai

proses pemberian nama pada anak dalam masyarakat Batak Toba, menguraikan jenis nama dalam masyarakat Batak Toba, dan menguraikan makna dan kategorisasi makna nama orang dalam masyarakat Batak Toba yang terdapat di kecamatan Balige. Data penelitian ini adalah data lisan yang bersumber dari masyarakat Batak Toba yang berada di Kecamatan Balige. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropolinguistik yaitu teori onomastik yang menyatakan bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandainya. Pengumpulan data didukung oleh metode cakap yaitu percakapan dengan penutur sebagai narasumber dan teknik yang digunakan adalah teknik dasar, teknik lanjutan I, teknik lanjutan II, teknik lanjutan III, dan teknik lanjutan IV. Dari hasil pengkajian data dapat disimpulkan bahwa pemberian nama orang pada masyarakat Batak Toba di kecamatan Habinsaran dilakukan dengan cara adat istiadat (proses) berupa upacara penyambutan sampai kelahiran hingga pemberian nama. Penelitian Sinaga memberikan banyak sumbangan terhadap penelitian makna nama dalam masyarakat Minangkabau dari segi makna nama dan model analisis makna nama tersebut.

Bukit (2017), dalam skripsinya yang berjudul Makna Nama Orang pada Masyarakat Batak Karo di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo: Kajian Antropolingustik, mengatakan bahwa pemberian nama orang pada masyarakat Batak Karo di Kecamatan Juhar dilakukan dengan cara adat istiadat dalam pemberian nama.

Penelitian ini mendeskripsikan nama makna orang pada masyarakat batak karo di kecamatan juhar kabupaten karo yang syarat-syaratnya pemberian nama, jenis nama orang, kategorisasi makna nama orang dan nilai-nilai budaya dalam nama orang pada masyarakat Batak Karo. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropolinguistik

yang dikemukakan oleh Kridalaksana dan Beratha yang menyatakan bahwa lingusitik kebudayaan merupakan kajian tentang kedudukan dan fungsi bahasa dalam konteks sosisal dan budaya secara lebih luas yang memiliki peran untuk membentuk dan mempertahankan praktik-praktik kebudayaan dan struktur sosisal masyarakat.

Penelitian ini juga menggunakan teori onomastik yang menyatakan bahwa semantik adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandainya. Pengumpulan data didukung oleh metode cakap yaitu percakapan dengan penutur sebagai narasumber dan teknik yang digunakan adalah teknik dasar teknik lanjutan I, teknik lanjutan II , teknik lanjutan III, teknik lanjutan IV. Dari hasil pengkajian data dapat disimpulkan bahwa pemberian nama orang pada masyarakat Batak Karo di Kecamatan Juhar dilakukan dengan cara adat istiadat dalam pemberian nama. Jenis nama orang pada masyarakat Batak Karo di Kecamatan Juher yaitu:

Pranama, gelar kitik, dan merga. Nama-nama orang di Kecamatan Juhar mengandung makna pengharapan dan makna kenangan. Selanjutnya, nama-nama orang pada masyarakat Batak Karo di Kecamatan Juhar mengandung nilai praktis yaitu konotasi formal, konotasi non formal, konotasi kelaki-lakian, dan konotasi kewanitaan.

Penelitian ini memberi banyak sumbangan terhadap makna nama masyarakat Minangkabau yang akan dikaji peneliti.

Mungkur (2017), dalam skripsinya Makna Nama Orang dalam Masyarakat Pakpak Dairi: Kajian Antropolinguistik, mengatakan bahwa proses pemberian nama, dan nilai-nilai budaya yang berhubungan dengan nama tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pemberian nama orang di kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe. Menunjukkan makna nama orang pada masyarakat Batak Pakpak

Dairi. Menunjukkan nilai-nilai budaya yang terkandung dalam makna nama orang pada masyarakat Batak Dairi. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Antropolinguistik. Daerah penelitian yang ditetapkan di Desa Maholida yang terdapat di kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe. Pengumpulan data menggunakan metode cakap dengan teknik pancing, teknik cakap semuka, teknik catat, dan teknik rekam.

Kemudian, dalam menganalisa data digunakan metode padan dengan menggunakan alat penentu pertama dan ketiga. Alat yang digunakan bersifat mental yaitu daya pilah referensial. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa makna nama di kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe dalam bidang antropolinguistik dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: Makna nama situasional, makna nama pengharapan, dan makna nama kenangan.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentag apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, presepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2017:6). Penggunaan metode kualitatif dalam penelitian ini karena peneliti langsung terjun ke lapangan dengan penelitian pada beberapa orang yang paham dengan makna nama.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah penelitian tersebut akan dilakukan. Adapun lokasi penelitian berada di Kecamatan Luhak Nan Duo, Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat. Daerah ini merupakan daerah penutur asli bahasa Minangkabau. Penulis menganggap tempat ini layak dijadikan lokasi penelitian karena penduduknya asli suku Minangkabau dan masih banyak masyarakat yang tahu apa makna nama yang disandang oleh mereka. Penelitian ini dilakukan setelah seminar proposal.

3.3 Data dan Sumber Data

Data penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder, data primer berupa data utama yang didapatkan dari informan. Sumber data ini diperoleh melalui informan yang berhubungan dengan kepemilikan nama orang yang bersangkutan.

Sumber informasi tersebut sekaligus bahasa yang digunakan mewakili kelompok tutur di daerah atau desa yang sudah ditetapkan. Sumber data tersebut diperoleh dengan menanyakan beberapa daftar pertanyaan kepada informan di Kecamatan Luhak Nan Duo. Oleh karena itu, seorang informan harus memunyai kriteria tertentu agar informasi yang didapatkan akurat dan tidak menimbulkan keragu-raguan.

Data sekunder adalah data yang berasal dari tangan kedua atau sumber-sumber lain yang telah tersedia sebelum penelitian dilakukan. Data sekunder bisa berupa jurnal ilmiah, buletin statistik, laporan-laporan, arsip organisasi, publikasi pemerintah, informasi dari organisasi, analisis yang dibuat oleh para ahli, hasil survei terdahulu, catatan-catatan publik mengenai peristiwa-peristiwa resmi, serta catatan-catatan perpustakaan (Silalahi, 2006: 266-268).

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakap atau lebih dikenal dengan wawancara, serta mencatat hal-hal yang perlu untuk penelitian ini.

Adanya percakapan antara peneliti dengan informan menimbulkan terjadinya kontak antar mereka. Dalam penelitian antropolinguistik, kontak tersebut dimaksudkan sebagai kontak antara peneliti dengan informan di setiap daerah pengamatan.

Agar keterangan dan data terkumpul, kita harus memilih informan yang baik untuk mendapatkan hasil yang baik pula. Adapun syarat-syarat sebagai informan menurut Mahsun, (1995:166) adalah:

a. Berjenis kelamin pria atau wanita.

b. Berusia antara 25-65 tahun (tidak pikun).

c. Orang tua, istri, dan suami informan lahir dan dibesarkan di desa itu serta jarang atau tidak memiliki mobilitas yang tinggi.

d. Berstatus sosial menengah ke atas.

e. Dapat berbahasa Indonesia.

f. Sehat jasmani dan rohani.

g. Berpendidikan minimal tamat SD atau sederajat.

h. Pekerjaannya bertani atau buruh.

i. Menguasai dialek atau bahasa yang diteliti dan mampu mempergunakannya dengan baik.

Metode cakap menggunakan teknik dasar berupa teknik pancing karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode cakap itu hanya dimungkinkan muncul jika peneliti memberi pancingan pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan peneliti (Mahsun, 1995). Selanjutnya teknik dasar tersebut dijabarkan ke dalam dua teknik lanjutan, yaitu teknik lanjutan catat semuka dan cakap tak semuka.

Teknik lanjutan cakap semuka juga didukung oleh teknik catat dan teknik rekam. Kedua teknik ini berguna untuk melengkapi data dan memperkuat data dalam pengumpulannya. Teknik catat digunakan untuk membantu dan mempermudah peneliti

dalam mengumpulkan data, kemudian digabungkan dengan teknik rekam untuk memperkuat data pada teknik catat dengan memeriksa data pada teknik rekam, di setiap daerah pengamatan. Metode cakap menggunakan teknik dasar berupa teknik pancing karena percakapan yang diharapkan sebagai pelaksanaan metode cakap itu hanya dimungkinkan muncul jika peneliti memberi pancingan pada informan untuk memunculkan gejala kebahasaan yang diharapkan peneliti (Mahsun, 1995).

Selanjutnya teknik dasar tersebut dijabarkan ke dalam dua teknik lanjutan, yaitu teknik lanjutan catat semuka dan cakap tak semuka.

Pada pelaksanaan teknik cakap semuka peneliti langsung melakukan percakapan dengan pengguna bahasa sebagai informan dengan bersumber pada pancingan yang sudah disiapkan (berupa daftar tanya) atau secara spontanitas (pancingan dapat muncul di tengah-tengah percakapan). Penelitian ini menggunakan teknik lanjutan berupa teknik tatap semuka. Peneliti langsung mendatangi setiap orang yang menjadi target penelitian dan melakukan percakapan melalui daftar pertanyaan yang telah disediakan kepada informan.

Teknik lanjutan cakap semuka juga didukung oleh teknik catat dan teknik rekam. Kedua teknik ini berguna untuk melengkapi data dan memperkuat data dalam pengumpulannya. Teknik catat digunakan untuk membantu dan mempermudah peneliti dalam mengumpulkan data, kemudian digabungkan dengan teknik rekam untuk memperkuat data pada teknik catat dengan memeriksa data pada teknik rekam.

3.5 Teknik Analisis Data

Metode dalam pengkajian data dalam penelitian “Makna Nama Orang pada masyarakat Minangkabau di Kecamatan Luhak Nan Duo” ini adalah metode padan.

Disebut metode padan karena metode ini menggunakan alat penentu referen bahasa, organ wicara, bahasa, dan mitra wicara (Sudaryanto,1993:13). Alat penentunya berada di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Metode padan ini dapat dilakukan dengan teknik dasar yang dimaksud teknik pilah unsur penentunya. Makna nama orang pada masyarakat Minangkabau akan diketahui berkat daya pilah yang digunakan oleh peneliti.

Sub-jenis metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode referensial dengan alat penentunya bahasa dan metode pragmatis dengan alat penentunya adalah mitra wicara. Bila tercapai suatu penentuan bahwa suatu nama mengandung makna tambahan dari unsur subjektif pemakainya, nama itu termasuk sub-jenis referensial atau dilihat dari hubungannya dengan dunia luar.

Sesuai dengan teori antropolinguistik yang menyatakan kedudukan dan fungsi bahasa dalam konteks sosial dan budaya secara lebih luas memiliki perbedaan struktur sosial masyarakat, maka Minangkabau juga memiliki adanya upaya tersebut. Salah satunya adalah proses (upacara ) menyambut kelahiran hingga pemberian nama anak pada masyarakat Minangkabau.

Perumusan masalah pertama pada penelitian ini adalah mencari data. Data didapat dari hasil wawancara, pengamatan, dan dari surat kabar, majalah, dan buku yang berkaitan dengan makna nama masyarakat Minangkabau. Setelah dilakukan wawancara untuk mendukung data yang diperoleh melalui metode pengamatan.

Kemudian mencari data sekunder dengan cara menambahkan data dengan mencarinya dari dokumen tertulis (buku, majalah, dan surat kabar), setelah data didapat kemudian data tersebut dicari makna nama yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat Minangkabau dan menunjukkan nilai-nilai budaya pada nama orang masyarakat Minangkabau.

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema Moleong (2006:103). Metode analisis ini juga digunakan untuk mendapatkan suatu gambaran yang jelas yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Adapun prosedur dalam menganalisis data kualitatif, menurut Miles dan Huberman (1994) dalam Denzim dan Lincoln (2009:592) adalah sebagai berikut :

a. Reduksi Data, mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema, dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.

b. Penyajian Data, setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikanan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dengan

b. Penyajian Data, setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikanan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dengan

Dokumen terkait