• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: PAPARAN DATA DAN ANALISIS

A. Landasan Teori

1. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Pendidikan berasal dari kata didik, dengan diberi awalan “pe” dan akhiran “an”, yang berarti proses pengubahan sikap dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani paedagogie yang berarti “pendidikan” dan paedagogia yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”. Sementara itu, orang yang tugasnya membimbing atau mendidik dalam pertumbuhannya agar dapat berdiri sendiri disebut

paedagogos (Syafaat, 2008: 11-12).

Pendidikan dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk membimbing atau memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Bimbingan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak dalam pertumbuhannya, baik jasmani maupun rohani, agar berguna bagi diri sendiri dan masyarakatnya (Syafaat, 2008: 12).

Pendidikan merupakan rangkaian proses pemberdayaan potensi dan kompetensi individu untuk menjadi manusia berkualitas yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan bertujuan untuk

menghadapi perubahan-perubahan alamiah yang tidak dapat dihindari (Soyomukti, 2010: 22).

Tujuan pendidikan adalah sebuah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana individu itu hidup (Sudiyono, 2009: 31).

Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan melalui ajaran-ajaran Islam (Al-Quran dan Sunnah) yakni suatu kegiatan bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah menyelesaikan pendidikan mereka akan dapat memahami, menghayati kemudian meyakini secara keseluruhan, selanjutnya ajaran-ajaran Islam tersebut dijadikan suatu prinsip pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan jasmani dan rohani kelak menuju kebahagiaan dunia dan akhirat (Masdub, 2015: 3).

Pendidikan Agama Islam adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam (Umar, 2010: 27). Pendidikan Agama Islam dapat dipahami sebagai proses dan upaya serta cara transformasi ajaran-ajaran Islam kepada peserta didik, agar menjadi rujukan dan pandangan hidup bagi umat Islam (Tantowi, 2009: 8).

Nasir (dalam Syafaat, 2008: 15-16) menyatakan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah suatu usaha yang sistematis dan pragmatis dalam membimbing anak didik yang beragama Islam dengan cara sedemikian rupa, sehingga ajaran-ajaran Islam itu benar-benar dapat menjiwai, menjadi bagian yang integral dalam dirinya. Yakni, ajaran Islam itu benar-benar dipahami, diyakini kebenarannya, diamalkan menjadi pedoman hidupnya, menjadi pengontrol terhadap perbuatan, pemikiran dan sikap mental.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Islam merupakan usaha yang diarahkan pada pembentukan kepribadian anak berupa pengajaran, bimbingan dan asuhan terhadap anak agar kelak dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.

2. Tujuan Pendidikan Agama Islam

Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk menumbuhkan pola kepribadian manusia yang bulat melalui latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan dan indra. Pendidikan ini harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, maupun bahasanya (secara perorangan maupun secara berkelompok). Dan pendidikan ini mendorong semua aspek tersebut kearah keutamaan serta pencapaian kesempurnaan hidup (Arifin, 2000: 40).

Tujuan Pendidikan Agama Islam merupakan adanya kedekatan kepada Allah Swt. melalui pendidikan akhlak dan menciptakan individu untuk memiliki pola pikir yang ilmiah dan pribadi yang puripurna, yaitu pribadi yang dapat mengintegrasikan antara agama dengan ilmu serta amal shaleh, guna memperoleh ketinggian derajat dalam berbagai dimensi kehidupan (Umar, 2010: 62).

Baihaqi (dalam Syafaat, 2008: 33-34) menyatakan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah menanamkan takwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadian dan berbudi luhur menurut ajaran Islam. Tujuan tersebut didasarkan kepada proposisi bahwa Pendidikan Agama Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran-ajaran Islam.

Selain itu, tujuan pendidikan Agama Islam merupakan cara untuk mengasuh, membimbing, mendorong, dan menumbuhkembangkan manusia takwa. Karena takwa merupakan derajat yang menunjukkan kualitas manusia bukan saja di hadapan sesama manusia, tetapi juga di hadapan Allah Swt (Putra dan Lisnawati, 2013: 1).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam yaitu membentuk kepribadian seseorang yang baik menurut ajaran-ajaran agama Islam agar menjadi manusia yang berakhlak mulia, bertakwa kepada Allah Swt. sehingga seseorang lebih

tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. serta menjadi insan yang kamil.

Baihaqi (dalam Syafaat, 2008: 34-35) menyatakan bahwa tujuan akhir Pendidikan Agama Islam adalah membina manusia agar menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Swt. baik secara individual maupun secara komunal dan sebagai umat seluruhnya. Setiap orang semestinya menyerahkan diri kepada Allah Swt. karena penciptaan jin dan manusia oleh Allah Swt. adalah untuk menjadi hamba-Nya yang memperhambakan diri (beribadah) kepada-Nya. Allah Swt. menjelaskan hal ini melalui firman-Nya dalam QS Al-Dzariat: 56:

ِنَُدُبْعَيِن َّلَِإ َسْوِ ْلْاََ َّهِجْنا ُجْقَهَخ اَمََ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.

Ayat tersebut menjelaskakan bahwa tujuan Allah Swt. menciptakan dan menghidupkan manusia di muka bumi ini ialah agar manusia mengabdi kepada Allah Swt. Mengabdi kepada Allah Swt. tidak lain menuruti apa saja yang dikehendaki Allah Swt., menghindari dan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah Swt.

3. Pengertian Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency)

Deliquent berasal dari kata Latin “deliquere” yang artinya terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, anti sosial, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, durjana,

dursila dan lain-lain. Deliquency itu selalu mempunyai konotasi serangan pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda dibawah 22 tahun (Kartono, 2014: 6).

Remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Secara kronologis yang tergolong remaja ini berkisar antara usia 12/13-21 tahun. Untuk menjadi orang dewasa, maka remaja akan melalui masa krisis di mana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (Dariyo, 2004: 13-14).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa remaja adalah tahap peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa, selain itu remaja merupakan umur yang menjembatani antara umur kanak-kanak dan dewasa.

Masa remaja termasuk masa yang sangat menentukan karena pada masa ini anak-anak mengalami banyak perubahan pada psikis dan fisiknya. Perubahan kejiwaan menimbulkan kebingungan di kalangan remaja sehingga masa ini disebut oleh orang Barat sebagai periode

strum and drang. Sebabnya, mereka mengalami penuh gejolak emosi dan tekanan jiwa sehingga mudah menyimpang dari aturan dan norma-norma sosial yang berlaku di kalangan masyarakat (Syafaat, 2008: 89-90).

Masa remaja menurut sebagian orang merupakan masa yang paling indah karena masa tersebut adalah masa seseorang dapat

menghabiskan waktunnya tanpa ada yang menghalanginya. Masa remaja juga merupakan masa seseorang mencari jati dirinya dengan berbagai macam cara, tingkah laku dan sikap yang kadang-kadang bila tidak dikendalikan akan menjurus pasa suatu hal yang negatif.

Istilah baku perdana dalam konsep psikologi adalah juvenile delinquency yang secara etimologis dapat dijabarkan bahwa juvenile

berari anak sedangkan delinquency berarti kejahatan. Dengan demikian, pengertian secara etimologis adalah kejahatan anak. Jika menyangkut subyek atau pelakunya, maka menjadi juvenile delinquency yang berarti penjahat anak atau anak jahat. Suatu perbuatan itu disebut delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat di mana ia hidup, atau suatu perbuatan yang anti sosial di mana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif (Sudarsono, 2004: 10).

Juvenile deliquency ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda. Ini merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang (Kartono, 2014: 6).

Kenakalan remaja merupakan perbuatan/kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, dan menyalahi norma-norma agama. Paham kenakalan remaja dalam arti luas, meliputi perbuatan-perbuatan anak

remaja yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum tertulis, baik yang terdapat dalam KUHP (pidana umum) maupun perundang-undangan di luar KUHP (pidana khusus) (Sudarsono, 2004: 11-12).

Kenakalan remaja dapat diartikan sebagai suatu penyimpangan tingkah laku yang dilakukan oleh remaja sehingga mengganggu ketentraman diri sendiri dan orang lain. Tindakan yang menyimpang dan dilakukan oleh remaja ini mendatangkan gangguan terhadap ketenangan dan ketertiban hidup di masyarakat (Basri, 2004: 13).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja (Juvenile Deliquency) adalah perilaku menyimpang yang bersifat melawan norma hukum, anti sosial, dan menyalahi norma-norma agama yang dilakukan oleh remaja dan dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang sekitarnya.

4. Sebab Terjadinya Kenakalan Remaja (Juvenile Deliquency)

Kenakalan remaja yang sering terjadi di dalam masyarakat bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri. Kenakalan remaja tersebut timbul karena adanya beberapa sebab dan tiap-tiap sebab dapat ditanggulangi dengan cara-cara tertentu.

Ulwan (2007: 113-149) mengemukakan bahwa banyak faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja yang dapat menyeret mereka pada dekadensi moral dan ketidakberhasilan pendidikan mereka di dalam masyarakat, dan kenyataan kehidupan yang pahit. Faktor penyebab terjadinya kenakalan remaja diantaranya adalah:

a). Kemiskinan yang menerpa keluarga, b). Disharmoni antara Bapak dan Ibu, c). Perceraian dan kemiskinan sebagai akibatnya, d). Waktu senggang yang menyita masa anak dan remaja, e). Pergaulan negatif dan teman yang jahat, f). Buruknya perlakuan orang tua terhadap anak, g). Film-film sadis dan porno, h). Tersebarnya pengangguran di masyarakat, i). Keteledoran kedua orang tua terhadap pendidikan anak, dan j). Bencana keyatiman.

Freud (dalam Syafaat, 2008: 75) menyatakan bahwa sebab utama dari perkembangan tidak sehat, ketidakmampuan menyesuaikan diri dan kriminalitas anak dan remaja adalah konflik-konflik mental, rasa tidak dipenuhi kebutuhan pokoknya seperti rasa aman, dihargai, bebas memperlihatkan kepribadian dan lain-lain. Selain itu, penyebab diviasi/penyimpangan pada perkembangan anak dan remaja adalah kemiskinan di rumah, ketidaksamaan sosial dan keadaan-keadaan ekonomi lain yang merugikan dan bertentangan.

Sebab-sebab munculnya kenakalan sebagian besar berasal dari keluarga dan masyarakat. Sumber keluarga berasal dari rumah tangga yang tidak harmonis, orang tua yang acuh terhadap perkembangan anak, memanjakan anak berlebih-lebihan, mendidik anak dengan cara yang keras dan otoriter, kebiasaan hidup yang tidak baik, ketidakmampuan orang tua untuk mengendalikan anak dari pengaruh luar yang merusak. Sumber yang berasal dari masyarakat antara lain

lemahnya kontrol sosial dan kontrol moral dalam masyarakat terhadap penyimpangan, menurunnya tanggung jawab sosial pada masyarakat

Sedangkan menurut Syafaat (2008: 78-79) sebab lainnya bisa disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini:

a. Lemahnya pemahaman nilai-nilai agama. b. Lemahnya ikatan keluarga.

c. Anak deliquency kangen keluarga.

d. Kondisi keluarga tidak nyaman, lingkungan sekolah tidak kondusif dan kondisi masyarakat yang buruk.

e. Kurangnya kontrol kita semua sebagai orang tua, “orang tua” dalam arti luas. Di keluarga sebagai orang tua adalah ayah/ibu, di sekolah guru dan di masyarakat sebagai orang tua yaitu tokoh masyarakat, jaksa, hakim ustad/kyai, polisi, dan lain-lain. f. Kurangnya pemanfaatan waktu luang.

g. Kurangnya fasilitas-fasilitas untuk remaja (sarana olahraga, sarana keagamaan, rekreasi, sanggar seni, dan lain-lain).

Untuk itu, diperlukan solusi yang paling efektif untuk mengatasi sebab terjadinya juvenile delinquency, yaitu dengan penyediaan fasilitas-fasilitas untuk remaja (sarana olahraga, sarana keagamaan, sarana rekreasi, alat-alat musik, dan lain-lain). Selain itu, juga harus tercipta keluarga yang tenang, damai, penuh kasih sayang, dan perhatian kepada anak-anaknya. Hindari perselisihan/percekcokan

antara suami istri, karena hal tersebut dapat mengakibatkan si anak merasa tidak nyaman berada di rumah.

5. Wujud Perilaku Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency)

Kartono (2014: 21-23) mengemukakan bahwa wujud perilaku

delinquen adalah sebagai berikut:

a. Kebut-kebutan di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri serta orang lain.

b. Perkelahian antargang, antarkelompok, antarsekolah, antarsuku (tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa. c. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan, atau

bersembunyi di tempat-temppat terpencil sambil melakukan bermacam-macam kedurjanaan dan tindak asusila.

d. Kriminalitas anak remaja antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, menggarong, melakukan pembunuhan, dan pelanggaran lainnya.

e. Berpesta pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau orgi (mabuk-mabukan dan menimbulkan keadaan yang kacau balau) yang mengganggu lingkungan. f. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan,

sehingga mengakibatkan ekses kriminalitas

g. Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan.

h. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis deliquen dan pembunuhan bayi oleh ibu-iu yang tidak kawin. i. Tindakan radikal dan ekstrim, dengan cara kekerasan,

penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja.

Perilaku menyimpang oleh remaja (kenakalan/antisosial remaja) sering kali merupakan gambaran dari kepribadian antisosial atau gangguan tingkah laku remaja yang ditandai dengan kriteria dari gejala-gejala berikut ini:

a. Sering membolos.

b. Terlibat kenakalan remaja anak-anak/remaja (ditangkap atau diadili pengadilan anak karena tingkah lakunya).

c. Dikeluarkan atau diskors dari sekolah karena berkelakuan buruk.

d. Sering kali lari dari rumah dan bermalam di luar rumahnya. e. Selalu berbohong

f. Sering melakukan hubungan seks, walaupun hubungannya belum akrab.

g. Sering kali melawan otoritas yang lebih tinggi seprti melawan guru atau orang tua, melawan aturan di rumah atau di sekolah, tidak disiplin.

i. Sering kali mabuk atau menyalahgunakan narkotika dan zat adiktif lainnya.

j. Sering kali memulai perkelahian

Al-Zuhaili (dalam Syafaat, 2008: 83-84) membagi wujud penyimpangan remaja menjadi enam bagian, yaitu sebagai berikut:

a. Penyuimpangan Moral

Penyimpangan moral terjadi disebabkan oleh seseorang yang meninggalkan perilaku baik dan mulia, lalu menggantinya dengan perilaku yang buruk, seperti tidak menjaga kehormatan diri, tawuran, nongkrong di pinggir jalan dan lain-lain.

b. Penyimpangan Berpikir

Penyimpangan dalam berpikir dapat timbul disebabkan oleh adanya kekosongan pikiran, kekeringan rohani dan kedangkalan keyakinan. Orang yang menyimpang dalam berpikir akan senantiasa terbuai dengan khayalan dan hal-hal bersifat khurafat (berita atau informasi yang mengandung kedustaan).

c. Penyimpangan Agama

Penyimpangan dalam bidang agama terlihat dari sikap eksterm seseorang dalam memahami ajaran agama, sehingga ia fanatik terhadap mazhab atau kelompoknya, memilih utuk tidak bertuhan (ateis), perjualbelikan ajaran agama dan arogan

terhadap prinsip-prinsip yang dipegang atau ajaran-ajaran tokoh masyarakatnya.

d. Penyimpangan Sosial dan Hukum

Penyimpangan dalam bidang sosial dalam pelanggaran terhadap peraturan dapat dilihat dari sikap yang selalu melakukan kekerasan, seperti mengancam, merampas, membunuh, mengonsumsi narkoba dan penyimpangan seksual. e. Penyimpangan Mental

Penyimpangan dalam masalah mental atau kejiwaan dapat dilihat dari sikap yang selalu merasa tersisih, kehilangan kepercayaan diri, memiliki kepribadian ganda, kehilangan harapan masa depan dan lain-lain.

f. Penyimpangan Ekonomi

Penyimpangan dalam hal ekonomi dapat berbentuk sikap congkak dan gengsi dengan kekayaan yang dimiliki, boros, berfoya-foya, bermegah-megahan, bersikap materialistis dan suka menghambur-hamburkan harta.

Dengan demikian, untuk mencegah terjadinya kenakalan remaja (juvenile delinquency) perlu adanya pengawasan ketat terhadap perkumpulan para remaja yang ada pada masyarakat. Dengan pengawasan ini, akan dapat diambil tindakan yang cepat bila sewaktu-waktu dibutuhkan.

6. Pemecahan Masalah Kenakalan Remaja (Juvenile Delinquency)

Kartono (2014: 95-97) mengemukakan bahwa kenakalan (deliquency) lebih banyak terdapat pada anak remaja, adolesens dan kedewasaan muda. Rasio delikuen anak laki-laki dan perempuan diperkirakan 50 : 1. Anak laki-laki pada umumnya melakukan perbuatan kriminal dengan jalan kekerasan, kejantanan, penyerangan, perusakan, pengacuan, perampasan dan agresivitas. Sedangkan anak perempuan lebih banyak melakukan pelanggaran seks, lari dari rumah dan menggunakan mekanisme melarikan diri dalam dunia fantasi serta gangguan kejiwaan.

Oleh karena itu tindak delikuen anak remaja banyak menimbulkan kerugian materiil dan kesengsaraan batin baik pada subyek pelaku sendiri maupun pada para korbannya, maka masyarakat dan pemerintah dipaksa untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat menanggulangi kenakalan remaja, diantaranya adalah:

a. Tindakan Preventif

Tindakan preventif ini merupakan pencegahan terhadap perilaku menyimpang. Pada dasarnya tindakan preventif ini merupakan suatu pencegahan sebelum seseorang melakukan perbuatan menyimpang. Tindakan preventif yang bisa dilakukan antara lain:

2) Perbaikan lingkungan, yaitu daerah kampung-kampung miskin.

3) Mendirikan klinik bimbingan psikologis dan edukatif untuk memperbaiki tingkah laku dan membantu remaja dari kesulitan mereka.

4) Menyusun undang-undang khusus untuk pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh anak dan remaja. 5) Mengadakan rumah tahanan khusus untuk anak dan

remaja.

6) Mendirikan tempat latihan untuk menyalurkan kreativitas para remaja delinquent dan yang non-delinquent. Misalnya berupa latihan vokasional, latihan hidup bermasyarakat, latihan persiapan untuk bertransmigrasi dan lain sebagainya.

Jadi, tindakan preventif ini bersifat mencegah sehingga sebelum perbuatan juvenile deliquency tersebut semakin parah, maka diperlukan tindakan preventif untuk meminimalisasi perilaku juvenile delinquency.

b. Tindakan Kuratif

Setelah usaha-usaha yang lain dilaksanakan, maka dilakukan tindakan pembinaan khusus untuk memecahkan dan menanggulangi problem juvenile delinquency. Pembinaan khusus yang dapat dilakukan adalah:

1) Sedapat mungkin pembinaan dilakukan di tempat orang tua/walinya.

2) Jika dilakukan oleh orang lain, maka hendaknya orang lain itu berfungsi sebagai orang tua/walinya.

3) Jika di sekolah atau asrama, hendaknya diusahakan agar tempat itu berfungsi sebagai rumahnya sendiri.

4) Di mana pun remaja itu ditempatkan, hubungan kasih sayang dengan orang tua tidak boleh diputuskan.

5) Remaja itu harus dipisahkan dari sumber pengaruh buruk.

Tindakan kuratif (penanggulangan) ini dengan prinsip untuk menolong para remaja agar terhindar dari pengaruh buruk lingkungan, dan nantinya dapat kembali lagi berperan di masyarakat.

c. Tindakan Refresif

Tindakan refresif ini berupa pemberian sanksi atau hukuman ketika seseorang melakukan pelanggaran. Tindakan refresif pada dasarnya merupakan pencegahan setelah terjadi pelanggaran. Metode tindakan refresif yang selama ini dijalankan oleh aparat keamanan/Polisi/ABRI cukup memadai, tetapi beberapa hal dibawah ini menurut Dadang Hawari, kiranya perlu dipertimbangkan, antara lain sebagai berikut:

1) Aparat keamanan/penegak hukum perlu ditingkatkan kewibawaannya.

2) Mereka yang tertangkap hendaknya diperlakukan bukan sebagai kriminal ataupun sebagai perusuh, tetapi sebagai anak nakal yang perlu “hukuman” atas perilaku menyimpangnya itu.

3) Selama mereka dalam “tahanan”, hendaknya petugas mampu menahan diri untuk tidak melakukan tindakan kekerasan/pukulan dan hal lain yang tidak manusiawi. Sebab, bila hal ini dilakukan dapat mengakibatkan rasa dendam pada remaja/anak jalanan.

Tindakan refresif ini bersifat menekan, mengekang, dan menahan sehingga diharapkan dengan tindakan ini para pelaku

juvenile delinquency berpikir dua kali untuk melakukan perbuatan-perbuatan asosial.

d. Tindakan Hukuman

Sanksi hukum diberikan bukan untuk menakut-nakuti anak, apalagi untuk menyiksa anak. Sanksi hukum di sini ialah sanksi yang sifatnya memberi efek jera sehingga anak nantinya tidak berani lagi melakukan pelanggaran. Hukuman berupa fisik, misalnya push up ataupun penggundulan dan sebangsanya, dapat diberikan guna menegakkan disiplin anak, sepanjang hal itu tidak sampai menimbulkan cedera/cacat fisik. Tindakan

hukuman bagi anak remaja delikuen harus sesuai dengan perbuatannya, sehingga dianggap adil dan bisa menggugah berfungsinya hati nurani sendiri untuk hidup susila dan mandiri.

e. Tindakan Rehabilitasi

Pemantauan (monitoring) terhadap mereka yang berperilaku menyimpang hendaknya dijalankan secara kontinu dan konsisten. Bagi mereka diperlukan pengawasan yang terus menerus agar tidak ada kesempatan (peluang) untuk kambuh. Pemantauan ini hendaknya dilakukan oleh semua orang tua baik di rumah, di sekolah-sekolah, maupun di masyarakat.

Tindakan rehabilitasi secara keagamaan, yaitu dengan memasukkan anak-anak delinquency ke pesantren, seperti pesantren ketergantungan masalah narkoba di Suryalaya, Tasikmalaya, dan pesantren-pesantren lainnya. Usaha memberantas penyimpangan merupakan keinginan setiap insan dan seluruh masyarakat. Mereka akan selalu berharap agar penyimpangan-penyimpangan tersebut bisa segera dituntaskan. f. Pembinaan Mental Keagamaan

Pembinaan mental keagamaan adalah pembinaan mental yang bersifat Islami. Pembinaan yang Islami merupakan upaya untuk menyempurnakan watak dan batin seseorang dengan melalui pendekatan-pendekatan yang ada di dalam Al-Qur’an

dan Hadis, agar ia memiliki mental yang sehat, dapat beradaptasi dengan lingkungan, serta dapat mengendalikan sikap, watak, dan kepribadiannya (Syafaat, 2008: 141-156). 7. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Membina Kenakalan

Remaja

Darajat (dalam Syafaat, 2008: 159-166) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembinaan generasi remaja adalah sebagai berikut:

a. Faktor Pertumbuhan

Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat pada seseorang dia beralih dari masa kanak-kanak, akan memasuki masa dewasa. Oleh karena perubahan-perubahan jasmani cepat, maka remaja biasanya menjadi cemas terhadap dirinya dan emosinya menjadi goncang, mudah tersinggung dan sangat peka terhadap kritikan-kritikan.

Remaja menghadapi berbagai perubahan dan keadaan itu dengan perasaan goncang. Boleh jadi ia akan bertontak kepada orang tua, saudara atau teman-temannya,atau terhadap guru dan pimpinan. Kadang-kadang ia bimbang, apakah akan berontak atau diam dan tenang sambil menekan gejolak perasaannya itu.

Dokumen terkait