• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II ini berisi kajian pustaka, peneliti terdahulu yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian. Dalam kajian pustaka akan dibahas teori-teori yang mendukung dalam pelaksanaan penelitian. Penelitian terdahulu yang relevan berisi penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Selanjutnya dirumuskan kerangka berpikir dan hipotesis penelitian yang berisi dugaan sementara atau jawabn sementara dari rumusan masalah penelitian.

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Teori-teori yang Mendukung 2.1.1.1 Teori Perkembangan Kognitif

Teori perkembangan kognitif yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah teori perkembangan kognitif Jean Piaget (1896-1980). Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss dan meninggal pada tanggal 16 September 1980 di Jenewa, Swiss (Singgih, 1981: 137). Peneliti menggunakan teori ini karena memiliki kesesuaian dengan variabel penelitian dan tahap mendasar perkembangan anak yaitu tahap perkembangan kognitif.

Piaget mengemukakan bahwa anak akan lebih berhasil dalam belajar jika cara belajar disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif siswa (Hariyanto & Suyono, 2011: 86). Seorang anak akan mengalami proses kognitif melalui beberapa tahapan yaitu asimilasi, akomodasi, organisasi dan ekuilibrasi (Piaget dalam Santrock, 2009: 48-49). Tahap asimilasi terjadi ketika anak-anak memasukkan informasi baru ke dalam skema mereka yang sudah ada sebelumnya, sedangkan konsep akomodasi menurut Piaget terjadi ketika anak-anak menyesuaikan skema mereka agar sesuai dengan informasi dan pengalaman baru mereka. Tahap organisasi adalah pengelompokkan perilaku yang terisolasi ke dalam sebuah sistem kognitif dengan susunan yang lebih tinggi yang berfungsi secara lebih lancar; pengelompokkan atau penyusunan hal-hal ke dalam kategori-kategori. Tahap ekuilibrasi merupakan mekanisme yang diajukan Piaget untuk menjelaskan bagaimana anak-anak beralih dari satu tingkat pemikiran ke tingkat yang

11 berikutnya. Peralihan terjadi ketika anak-anak mengalami konflik kognitif atau disekuilibrium (Santrock, 2009: 49).

Piaget mengelompokkan tahap perkembangan kognitif seorang anak menjadi empat tahap sebagai berikut (Suparno, 2001: 24).

1. Tahap sensorimotor (0-2 tahun).

Pada tahap ini, kemampuan anak lebih didasarkan pada inderawi anak terhadap lingkungannya, seperti melihat, meraba, menjamah, mendengar, membau, dan lain-lain. Pada tahap ini, anak belum bisa berbicara dengan bahasa. Anak belum mempunyai bahasa simbol untuk mengungkapkan adanya suatu benda yang tidak berada di dekatnya. Cara perkembangan sensorimotor ini menggunakan proses asimilasi dan akomodasi. Tahap-tahap kognitif anak dikembangkan dengan perlahan-lahan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema-skema anak karena adanya rangsangan, atau kontak dengan pengalaman atau situasi yang baru. Hal ini menunjukkan bahwa seorang anak berperan aktif dalam membentuk pengetahuannya (Suparno, 2001: 26-28). 2. Tahap pra-operasional (2-7 tahun).

Tahap ini ditandai dengan adanya fungsi semiotik. Fungsi semiotik adalah penggunaan simbol atau tanda untuk menyatakan atau menjelaskan suatu objek yang saat itu tidak berada bersama subjek. Cara berpikir simbolik ini, diungkapkan dengan penggunaan bahasa pada masa anak mulai berumur 2 tahun. Tahap ini juga ditandai dengan pemikiran intuitif anak. Dengan adanya penggunaan simbol, seorang anak dapat mengungkapkan dan membicarakan sesuatu hal yang sudah terjadi (Suparno, 2001: 49).

3. Tahap operasional konkret (7-11 tahun).

Tahap operasional konkret ditandai dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan tertentu secara logis. Dalam tahap ini, anak mampu berpikir secara logis dan mampu melakukan operasi yang melibatkan objek-objek yang nyata tetapi belum mampu menyelesaikan persoalan yang terlalu abstrak (Suparno, 2001: 69).

12 4. Tahap operasional formal (11 tahun ke atas).

Tahap operasi formal merupakan tahap terakhir dalam perkembangan kognitif Piaget. Hal ini terjadi sekitar 11 sampai dengan 12 tahun ke atas. Pada tahap ini, seorang anak sudah dapat berpikir logis, berpikir dengan pemikiran teoretis formal berdasarkan proporsi, hipotesis, dan mengambil kesimpulan. Mereka juga telah mampu mengembangkan sebuah hipotesis dari sebuah permasalahan yang mereka hadapi (Suparno, 2001: 88).

Berdasarkan uraian mengenai tahap-tahap perkembangan anak menurut Piaget, siswa kelas IV SD memiliki rentang usia 7-11 tahun, sehingga siswa kelas IV SD berada pada tahap operasional konkret. Pada tahap operasional konkret, sistem pemikiran mereka sudah berkembang, sehingga mereka mampu menyelesaikan permasalahan yang berupa kejadian nyata. Mereka masih kesulitan untuk menyelesaikan masalah yang abstrak. Selain itu, proses penyelesaian masalah mereka masih membutuhkan interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya untuk saling bertukar pikiran. Oleh karena itu, peneliti juga menggunakan teori yang membahas mengenai perkembangan sosial pada anak

2.1.1.2 Teori Perkembangan Sosial

Teori perkembangan sosial yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah teori perkembangan dari Lev Semyonovich Vygotsky (1896-1934). Vygotsky lahir di Rusia pada tanggal 5 November 1896 dan meninggal pada tanggal 11 Juni 1934. Peneliti menggunakan teori ini karena memiliki kesesuaian dengan variabel penelitian.

Vygotsky mengemukakan bahwa perkembangan tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial tempat perkembangan itu berlangsung (Salkind, 2009: 374). Ada empat ide pokok yang menjadi dasar teori Vygotsky. Pertama, anak-anak membangun pengetahuan mereka sendiri. Kedua, perkembangan anak tidak bisa dipisahkan dari konteks sosialnya. Ketiga, pembelajaran bisa mengarahkan perkembangan. Keempat bahasa memainkan peran sentral dalam perkembangan mental. Vygotsky juga mengemukakan bahwa individu memiliki dua tingkat perkembangan yang berbeda yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual yaitu tingkat keterampilan

13 yang dicapai oleh anak yang bekerja secara independen atau mandiri. Sedangkan tingkat perkembangan potensial yaitu tingkat yang dicapai oleh anak dengan bantuan orang lain (Santrock, 2014: 57). Di dalam memaksimalkan perkembangan dan pembelajarannya, anak-anak perlu menggunakan zona perkembangan proksimal atau Zone of Proximal Development (ZPD). Zona perkembangan proksimal adalah perbedaan antara kemampuan anak untuk memecahkan masalahnya sendiri dan kemampuan anak untuk memecahkan masalah dengan dibantu orang dewasa atau teman sebaya (Salkind, 2009: 375).

Dalam ZPD terdapat istilah scaffolding, scaffolding atau perancah adalah sebuah teknik untuk mengubah level dukungan (Mutiah, 2010: 78). Scaffolding berarti memberikan kepada individu sejumlah besar bantuan selama bertaha-tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar, segera setelah mampu mengerjakan sendiri (Rahmawatu, 2008: 57). Selama kegiatan pembelajaran seorang guru atau orang yang lebih mampu menyesuaikan bimbingannya dengan level kinerja siswa yang dia capai. Ketika tugas yang dia pelajari adalah tugas baru, maka teknik yang digunakan orang yang lebih ahli untuk membantu siswa adalah teknik instruksi langsung. Sedangkan ketika kemampuan siswa meningkat, maka semakin sedikit bimbingan yang diberikan. Konsep ZPD menjadi pendorong terjadinya kemajuan perkembangan dan pembelajaran (Salkind, 2009: 375). Hal ini sesuai dengan pendapat Vygotsky yang menekankan pentingnya peran sosial dalam belajar (Salkind, 2009: 381). Menurut Vygotsky, guru, teman sebaya, dan orang tua memberikan rangsangan sosial dan kultural bagi anak sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan. Selain itu, kerja sama dengan teman sebaya dapat mendorong anak untuk belajar secara efektif.

2.1.1.3 Model Pembelajaran Inkuiri

1. Pengertian Model pembelajaran Inkuiri

Teori perkembangan kognitif dari Piaget dan teori perkembangan sosial dari Vygotsky merupakan teori yang sesuai dengan model pembelajaran inkuiri. Pada penelitian ini, pembelajaran inkuiri dilakukan dengan cara berkelompok sehingga akan membentuk adanya interaksi antar siswa. Secara bahasa, inkuiri berasal dari

14 kata inquiry yang merupakan kata dalam Bahasa Inggris yang berarti; penyelidikan/meminta keterangan; terjemahan bebas untuk konsep ini adalah “siswa diminta untuk mencari dan menemukan sendiri” (Anam, 2015: 7). Model pembelajaran inkuiri adalah model pembelajaran yang mempersiapkan siswa dalam situasi bereksperimen secara luas agar dapat melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan dan mencari jawabannya sendiri, serta dapat menghubungkan satu penemuan dengan penemuan siswa yang lain (Piaget dalam Mulyasa, 2007: 108) . Inti dari pembelajaran inkuiri adalah eksperimen, eksperimen yang asli dengan banyak fenomena untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tanpa terpaku pada buku dan otoritas yang lainnya (Kuslan & Stone, 1969: 158). Dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri, siswa ditempatkan sebagai subjek pembelajaran, yang berarti bahwa siswa memiliki andil besar dalam menentukan suasana dan model pembelajaran. Dalam model pembelajaran inkuiri, setiap siswa didorong untuk terlibat aktif dalam proses belajar mengajar.

2. Macam-macam Model Pembelajaran Inkuiri

Berikut adalah macam-macam model pembelajaran inkuiri (Anam, 2015: 16-19):

a. Inkuiri Terkontrol

Inkuiri terkontrol merupakan kegiatan inkuiri dimana masalah atau topik pembelajaran berasal dari guru atau bersumber dari buku teks yang ditentukan oleh guru (Anam, 2015: 17). Dalam inkuiri jenis ini, guru memegang kontrol penuh atas seluruh proses pembelajaran.

b. Inkuiri Terbimbing

Pada inkuiri jenis ini, siswa bekerja (bukan hanya duduk, mendengarkan lalu menulis) untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dikemukakan oleh guru di bawah bimbingan yang intensif dari guru (Anam, 2015: 17). Tugas guru lebih seperti “memancing” siswa untuk melakukan sesuatu. Karakteristik yang khas dari inkuiri jenis ini adalah siswa melakukan pembelajaran dengan bimbingan dari guru. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan yang biasa digunakan guru sebagai “pancingan” berupa kata tanya ‘apakah’.

15 c. Inkuiri Terencana

Dalam inkuiri terencana, siswa difasilitasi untuk dapat mengidentifikasi masalah dan merancang proses penyelidikan (Anam, 2015: 18). Siswa perlu memiliki perencanaan yang baik dalam melatih keterampilan berpikir kritis seperti mencari informasi, menganalisis argumen dan data, membangun dan mensintesis ide-ide baru, memanfaatkan ide-ide yang awalnya untuk memecahkan masalah serta menggeneralisasikan data. Peran guru dalam inkuiri jenis ini adalah untuk mengarahkan siswa dalam membuat kesimpulan tentatif yang menjadikan kegiatan pembelajaran menyerupai kegiatan penelitian yang dilakukan oleh para ahli.

d. Inkuiri Bebas

Dalam inkuiri bebas, siswa diberikan kebebasan untuk menentukan masalah lalu dengan seluruh daya upayanya memecahkan masalah tersebut (Anam, 2015: 19). Pada tahap ini siswa didorong untuk belajar mandiri dan tidak mengandalkan instruksi dari guru. Guru hanya berperan sebagai fasilitator .

Berdasarkan macam-macam model pembelajaran inkuiri yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti memilih untuk menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing. Peneliti memilih model pembelajaran inkuiri terbimbing karena langkah-langkah model pembelajaran inkuiri terbimbing sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak usia Sekolah Dasar kelas IV yang masih membutuhkan bantuan dari guru dalam memahami konsep pelajaran.

3. Langkah-langkah Model Pembelajaran Inkuiri

Penerapan langkah-langkah model pembelajaran inkuiri sangat beragam, tergantung pada tujuan penggunaan model pembelajaran inkuiri. Berikut adalah tahapan model pembelajaran inkuiri (Alberta Learning dalam Sani, 2014: 93). a. Perencanaan, yang mencakup pembuatan rencana untuk melakukan inkuiri. b. Mencari informasi, yang mencakup pengumpulan dan pemilihan informasi,

serta mengevaluasi informasi.

c. Mengolah, yang mencakup analisis informasi dengan mencari hubungan dan menarik kesimpulan.

16 d. Mengkreasi, yang mencakup kegiatan mengelola informasi, mengkreasi

produk, dan memperbaiki produk.

e. Berbagi, yang mencakup komunikasi atau paparan hasil pada audients terkait. f. Mengevaluasi, yang mencakup aktivitas evaluasi produk dan evaluasi proses

inkuiri yang telah dilakukan.

Berikut adalah langkah-langkah pembelajaran menggunakan model inkuiri (Sanjaya, 2011: 201-205).

a. Orientasi

Orientasi merupakan langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran yang responsif. Guru bertugas mengkondisikan siswa agar siap melaksanakan pembelajaran dengan merangsang dan mengajak siswa memecahkan masalah.

b. Merumuskan Masalah

Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa kepada teka-teki atas suatu persoalan yang dapat menantang siswa untuk berpikir memecahkan teka-teki suatu permasalahan. Teka-teki dalam rumusan masalah diartikan sebagai masalah yang ada jawabannya, sehingga siswa didorong untuk mencari jawaban yang tepat. Dengan demikian teka-teki dalam rumusan masalah mengandung konsep yang harus dicari dan ditemukan menggunakan kata tanya “apakah”.

c. Merumuskan Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban atau dugaan sementara dari rumusan masalah yang perlu diuji kebenarannya. Kemampuan berpikir dimulai dengan menebak atau menduga jawaban dari suatu permasalahan. Sesorang yang dapat membuktikan suatu tebakan atau jawaban atas suatu permasalahan dapat mendorong untuk berpikir lebih lanjut. Hipotesis harus mempunyai landasan berpikir yang kokoh, sehingga hipotesis yang dirumuskan akan bersifat rasional dan logis yang dipengaruhi oleh kedalaman wawasan serta keluasan pengalaman.

d. Mengumpulkan Data

Mengumpulkan data merupakan aktivitas menjaring atau mengambil informasi yang digunakan untuk menguji hipotesis yang dibutuhkan. Proses

17 pengumpulan data membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi pikirannya. Guru berperan mendorong siswa untuk mencari informasi yang dibutuhkan melalui pengajuan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa yang dapat merangsang siswa untuk berpikir.

e. Menguji Hipotesis

Menguji hipotesis merupakan proses menentukan jawaban yang sesuai dengan data yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Hal terpenting dari langkah ini adalah mencari keyakinan atas jawaban yang diberikan siswa, sehingga dapat melatih siswa mengembangkan kemampuan berpikir rasional. Jawaban siswa bukan sekedar argumentasi namun didukung data yang ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan.

f. Menarik Kesimpulan

Menarik kesimpulan merupakan proses yang dilakukan untuk mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Penarikan kesimpulan yang akurat dapat dilakukan melalui peran guru yang mampu menunjukkan pada siswa data yang relevan.

Berikut ini adalah langkah-langkah pembelajaran inkuiri (Mulyasa, 2007: 109). a. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena alam.

b. Merumuskan masalah. c. Merumuskan hipotesis.

d. Merancang dan melakukan eksperimen. e. Mengumpulkan dan menganalisis data.

f. Menarik kesimpulan dengan mengembangkan sikap ilmiah, yakni: objektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka, berkemauan, dan tanggung jawab.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, langkah-langkah model pembelajaran inkuiri yang penulis gunakan adalah orientasi, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, melakukan eksperimen, menarik kesimpulan, mempresentasikan hasil, dan evaluasi.

a. Orientasi

Orientasi merupakan langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran yang responsif. Guru bertugas mengkondisikan siswa agar siap

18 melaksanakan pembelajaran dengan merangsang dan mengajak siswa memecahkan masalah.

b. Merumuskan Masalah

Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa kepada teka-teki atas suatu persoalan yang dapat menantang siswa untuk berpikir memecahkan teka-teki suatu permasalahan. Teka-teki dalam rumusan masalah diartikan sebagai masalah yang ada jawabannya, sehingga siswa didorong untuk mencari jawaban yang tepat. Dengan demikian teka-teki dalam rumusan masalah mengandung konsep yang harus dicari dan ditemukan menggunakan kata tanya “apakah”.

c. Merumuskan Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban atau dugaan sementara dari rumusan masalah yang perlu diuji kebenarannya. Kemampuan berpikir dimulai dengan menebak atau menduga jawaban dari suatu permasalahan. Sesorang yang dapat membuktikan suatu tebakan atau jawaban atas suatu permasalahan dapat mendorong untuk berpikir lebih lanjut. Hipotesis harus mempunyai landasan berpikir yang kokoh, sehingga hipotesis yang dirumuskan akan bersifat rasional dan logis yang dipengaruhi oleh kedalaman wawasan serta keluasan pengalaman.

d. Melakukan Eksperimen

Pada langkah ini, siswa mengumpulkan data-data atau informasi yang dibutuhkan dengan melakukan percobaan, menganalisis data, dan membahas hasil percobaan yang telah dilakukan dengan bimbingan dari guru.

e. Menarik Kesimpulan

Menarik kesimpulan merupakan proses yang dilakukan untuk mendeskripsikan temuan yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Penarikan kesimpulan yang akurat dapat dilakukan melalui peran guru yang mampu menunjukkan pada siswa data yang relevan.

f. Mempresentasikan Hasil

Kegiatan mempresentasikan hasil atau berbagi merupakan kegiatan memaparkan atau mengkomunikasikan hasil temuan serta kesimpulan kepada teman sebaya dan juga guru (audients). Pada proses ini peserta didik

19 mempresentasikan hasil percobaan dalam bentuk penjelasan secara lisan ataupun tulisan (laporan hasil percobaan) di depan kelas.

g. Evaluasi

Dalam pembelajaran inkuiri, evaluasi dilakukan dengan cara mengevaluasi produk yang dipresentasikan oleh peserta didik berupa benda, temuan, atau paparan tulisan. Kemampuan yang diharapkan dalam tahap ini adalah saling berbagi kemampuan dalam menangani masalah yang dihadapi.

4. Manfaat Model Pembelajaran Inkuiri

Model Pembelajaran inkuiri memiliki berbagai manfaat dalam suatu pembelajaran. Manfaat model pembelajaran inkuiri sebagai berikut (1) siswa akan memahami konsep-konsep dasar dan ide-ide lebih baik, (2) membantu dalam menggunakan daya ingat dan transfer pada situasi-situasi proses belajar yang baru, (3) mendorong siswa untuk berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri, (4) mendorong siswa untuk berpikir inisiatif dan merumuskan hipotesisnya sendiri, (5) pengajaran menjadi student centered, (6) proses belajar melalui kegiatan inkuiri dapat membentuk dan mengembangkan konsep diri pada siswa, (7) tingkat pengharapan bertambah, (8) dapat mengembangkan bakat kemampuan individu serta dapat menghindarkan siswa dari cara-cara belajar tradisional (Jerome Bruner dalam Sanjaya, 2006: 133). Model ini mampu memfasilitasi siswa sebagai pembelajar yang aktif melalui pendekatan konstruktivisme. Berkenaan dengan sifat siswa sebagai pembelajar yang aktif, model ini menekankan pada pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui penelitian. Selain itu, model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan kemampuan dalam mempraktekkan model pembelajaran itu sendiri dan teknik penelitiannya. Model pembelajaran ini juga digunakan sebagai sarana berlatih menemukan suatu pertanyaan penelitian.

2.1.1.4 Kemampuan Bepikir kritis

1. Pengertian Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir adalah memanipulasi data, fakta dan informasi untuk membuat keputusan berperilaku (Dharma dalam Tawil & Liliasari, 2013: 1). Aktivitas mental dalam perasaan dan pemahaman bergantung pada perangsangan dari luar, dalam proses yang disebut sensasi dan atensi (Semiawan dalam Tawil & Liliasari, 2013:

20 1). Proses mental yang lebih tinggi yang disebut berpikir terjadi di dalam otak. Kegiatan berpikir tingkat tinggi disebut dengan berpikir kritis. Berpikir kritis adalah suatu keterampilan memeriksa dan melakukan penalaran logis pada setiap keyakinan dan pengetahuan asumtif mengenai hal-hal yang menjadi jangkauan pengalaman seseorang berdasarkan bukti pendukung dan kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya (Glaser dalam Fisher, 2007: 3). Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan membuat konsep, sintesis, penliaian, dan atau kesimpulan yang melibatkan kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, dan menarik kesimpulan atas dasar bukti atau konteks tertentu yang digunakan untuk menilai (Facione, 1990: 6). Facione juga menjelaskan bahwa berpikir kritis sebagai

cognitive skill, yang di dalamnya terdapat kemampuan menginterpretasi,

menganalisis, mengevaluasi, menarik kesimpulan, mengeksplanasi dan menregulasi diri (Prihatin, 2011: 128). Dari pendapat beberapa ahli tersebut, peneliti mengartikan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan untuk memeriksa dan melakukan penalaran logis dalam membuat suatu konsep, sintesis, penilaian, dan atau kesimpulan yang melibatkan kemampuan menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, menarik kesimpulan, mengeksplanasi dan meregulasi diri.

2. Dimensi Kemampuan Berpikir Kritis

Facione (1990) membagi pemikiran kritis menjadi dua dimensi, yaitu dimensi kognitif dan dimensi afektif. Dimensi kognitif dibagi menjadi enam keterampilan berpikir kritis, yaitu menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi, menarik kesimpulan, mengeksplanasi, dan meregulasi diri. Setiap keterampilan memiliki indikator tersendiri. Berikut adalah dimensi kognitif menurut Facione (1990). a. Menginterpretasi adalah kemampuan untuk memahami dan mengekspresikan

makna dari berbagai pengalaman. Kecakapan interpretasi dibagi menjadi tiga sub-kecakapan yaitu membuat kategori, memahami arti dan menjelaskan makna.

b. Menganalisis adalah kemampuan untuk mengidentifikasi hubungan yang logis dari pernyataan, pertanyaan konsep, uraian, atau bentuk ungkapan lain untuk mengemukakan kepercayaan, penilaian, pengalaman, penalaran, informasi atau opini. Kecakapan analisis dibagi menjadi tiga sub-kecakapan yaitu menguji

21 gagasan-gagasan, mengidentifikasi argumen-argumen, dan menganalisis argumen-argumen.

c. Mengevaluasi adalah kemampuan untuk menilai kebenaran pernyataan atau opini yang mencerminkan persepsi, pengalaman, situasi, penilaian, kepercayaan, atau opini seseorang. Kecakapan evaluasi dibagi dalam dua sub-kecakapan, yaitu menilai klaim dan menilai argumen.

d. Menarik kesimpulan adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan memastikan elemen yang diperlukan untuk menarik alasan yang masuk akal. Pada kecakapan ini merumuskan hipotesis, mempertimbangkan informasi, dan memperkirakan konsekuensi yang dapat timbul. Kecakapan menarik kesimpulan dibagi menjadi tiga sub-kecakapan, yaitu menguji bukti, merumuskan alternatif, dan menarik kesimpulan.

e. Mengeksplanasi adalah kemampuan untuk menjelaskan dan memberikan alasan dari bukti, konsep, metode, kriteria, dan konteks yang digunakan untuk menarik kesimpulan dan untuk mengemukakan argumen yang kuat. Kemampuan eksplanasi dibagi menjadi tiga sub-kecakapan, yaitu menjelaskan hasil penalaran, membenarkan prosedur yang digunakan, dan memaparkan argumen yang digunakan.

f. Meregulasi diri adalah kemampuan untuk memonitor aktivitas kognitif secara sadar, unsur-unsur yang digunakan dalam aktivitas tersebut, kecakapan untuk memonitor aktivitasnya dalam menarik kesimpulan dengan menganalisis hasil dan mengevaluasi proses kognitifnya. Kecakapan meregulasi diri dibagi menjadi dua sub-kecakapan, yaitu refleksi diri dan koreksi diri.

22 Tabel 2.1 Kemampuan Berpikir Kritis menurut Facione

No. Aspek Indikator

1 Menginterpretasi Membuat kategori Memahami arti Menjelaskan makna 2 Menganalisis Menguji gagasan-gagasan

Mengidentifikasi argumen-argumen Menganalisis argumen-argumen 3 Mengevaluasi Menilai sah tidaknya klaim-klaim

Menilai sah tidaknya argumen-argumen 4 Menarik kesimpulan Menguji bukti-bukti

Menerka alternatif-alternatif Menarik kesimpulan 5 Mengeksplanasi Menjelaskan hasil penalaran

Memaparkan argumen-argumen yang digunakan

Membenarkan posedur yang digunakan 6 Meregulasi diri Refleksi diri

Koreksi diri

Sementara dimensi disposisi afektifnya yaitu rasa ingin tahu yang tinggi, berusaha mendapatkan informasi yang baik, sadar untuk menggunakan daya pikir kritis, mengedepankan proses penelitian yang masuk akal, percaya akan kemampuan diri sendiri, pikiran terbuka terhadap pandangan yang berbeda, memahami opini orang lain, hati-hati dalam melakukan penilaian, dan bersedia meninjau ulang pandangan sendiri dengan jujur (Facione, 2007: 10). Dalam penelitian ini, variabel penelitian yang digunakan oleh peneliti mencakup dua kemampuan, yaitu kemampuan mengevaluasi dan kemampuan menarik kesimpulan.

2.1.1.5 Kemampuan Mengevaluasi dan Menarik Kesimpulan

Kemampuan mengevaluasi merupakan kecakapan untuk menilai kredibilitas pernyataan atau ungkapan lain yang mencerminkan persepsi, pengalaman, situasi, penilaian, kepercayaan, atau opini seseorang untuk menimbang bobot dari suatu penalaran yang berkaitan dengan pernyataan, deskripsi, pertanyaan, atau ungkapan lainnya (Facione, 1990: 8). Kemampuan mengevaluasi terdiri dari dua indikator yaitu, yang pertama adalah menilai sah tidaknya klaim-klaim, seperti: (1) menilai faktor-faktor yang relevan yang dapat

Dokumen terkait