• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI A. Deskripsi Teoritik

1. Metode Praktikum Dalam Pembelajaran Kimia

Proses pembelajaran merupakan suatu aktivitas yang bertujuan. Untuk mencapai tujuan pembelajaran diperlukan suatu metode atau cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Menurut Zulfiani dkk. (2009, hlm. 96) “metode mengajar adalah cara mengajar yang digunakan oleh guru atau instruktur ketika menyampaikan bahan ajar/materi pelajaran”. Metode mengajar menjadi acuan prosedur, urutan, dan langkah-langkah yang diterapkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Untuk menentukan metode mengajar yang paling tepat, salah satu aspek yang harus dipertimbangkan adalah materi pelajaran terkait.

Kimia merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari materi dan perubahannya, serta unsur dan senyawa yang terlibat dalam perubahan kimia(Chang, 2005, hlm. 3). Pembelajaran kimia mengenai materi dan reaksi kimia yang kasat mata atau bersifat mikroskopis menyebabkan sebagian konsep didalamnya bersifat abstrak. Namun sebagai bagian dari sains, ilmu kimia merupakan cabang ilmu yang berlandaskan pada fakta atau gejala alam, dimana konsep dalam ilmu kimia merupakan penjelasan yang dibangun atas fakta ilmiah yang terjadi. Oleh karena itu, untuk memudahkan pemahaman siswa dalam mempelajari kimia dibutuhkan suatu metode pembelajaran yang mampu menjembatani materi yang bersifat abstrak dengan kebenaran konsep terkait.

Sesuatu yang bersifat abstrak akan lebih mudah diperoleh dan dipelajari dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan yang nyata atau bersifat konkrit (Hakiim, 2009, hlm. 74). Berdasarkan pernyataan tersebut, ilmu kimia yang bersifat abstrak akan lebih mudah dipelajari melalui kegiatan pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar. Lebih lanjut, Trianto (2010, hlm. 151) mendefinisikan Ilmu Pengetahuan Alam sebagai

“…pengetahuan yang diperoleh melalui pengumpulan data dengan eksperimen…”. Metode eksperimen atau metode praktikum adalah metode pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktekkan dan membuktikan secara langsung suatu konsep yang sedang dipelajari (Zulfiani dkk., 2009, hlm. 104). Pelaksanaan metode praktikum dalam kegiatan pembelajaran tentunya akan memfasilitasi siswa untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran melalui pengalaman langsung. Oleh karena itu, metode eksperimen atau metode praktikum diyakini sebagai metode pembelajaran yang paling tepat untuk mempelajari konsep-konsep kimia.

Kegiatan praktikum yang berlandaskan pada metode ilmiah dapat mendukung proses pembelajaran IPA. Dalam pelaksanaanya, proses belajar mengajar IPA lebih ditekankan pada pendekatan keterampilan proses yang memfasilitasi siswa untuk dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori, dan sikap ilmiah siswa secara mandiri (Trianto, 2010, hlm. 143). Hal ini sesuai dengan teori belajar konstruktivisme yang dipelopori J.Piaget dan Vygotsky, dimana siswa dapat mengkonstruksi sendiri pemahamannya dengan melakukan aktivitas aktif dalam kegiatan pembelajaran (Zulfiani dkk., 2009, hlm. 119). Materi pelajaran yang diperoleh melalui pengalaman langsung juga akan lebih mudah dipelajari, dipahami, dan diingat dalam jangka waktu yang lebih lama.

Metode praktikum memiliki kelebihan dan kekurangan. Zulfiani dkk. (2009, hlm. 104-105) memaparkan kelebihan dan kekurangan metode praktikum tersebut. Kelebihan metode praktikum antara lain:

a. Siswa dirangsang berpikir kritis, tekun, jujur, mau bekerja sama, terbuka, dan objektif

b. Siswa dirangsang untuk memiliki keterampilan proses sains seperti mengamati, menginterpretasi, mengelompokkan, mengajukan pertanyaan, mengajukan pertanyaan, merencanakan percobaan, menggunakan alat dan bahan, mengkomunikasikan dan melakukan eksperimen

c. Siswa belajar secara konstruktif tidak bersifat hafalan, sehingga pemahamannya terhadap konsep kimia bersifat mendalam dan bertahan lama

d. Siswa ditempatkan pada situasi belajar yang penuh tantangan sehingga tidak mudah bosan

e. Siswa terarahkan konsentrasinya pada kegiatan pembelajaran f. Siswa lebih mudah memahami konsep yang bersifat abstrak Sementara kekurangan metode praktikum yakni sebagai berikut:

a. Memerlukan waktu yang relatif lebih lama

b. Memerlukan alat dan bahan yang cukup dan terkadang sulit ditemukan atau mahal harganya

c. Guru harus membuat perencanaan kegiatan eksperimen yang matang, hal ini menuntut guru menguasai konsep yang akan diuji atau dibuktikan dalam kegiatan eksperimen

d. Siswa dituntut terlebih dahulu memiliki landasan berpikir, sehingga mengetahui secara jelas tujuannya melakukan eksperimen dan kesimpulan yang diambilnya relevan dengan konsep yang sedang diuji

e. Cenderung memerlukan ruang khusus (laboratorium), untuk lebih leluasa melakukan eksperimen

Schank dkk. mengatakan bahwa metode yang paling efektif untuk mengajarkan siswa dalam melakukan suatu hal adalah dengan meminta mereka melakukan hal tersebut (Salim dkk., 2012, hlm. 546). Melalui penerapan metode praktikum dalam pendekatan laboratorium, siswa memiliki kesempatan untuk mempelajari dan mempraktekkan kemampuan praktis dan hands-on yang tidak dapat dipelajari secara teoritis. Dengan prinsip belajar sambil mengerjakan atau learning by doing, metode praktikum tentunya sangat efektif digunakan sebagai sarana kegiatan pembelajaran aspek psikomotor.

Hal lain yang didapat dari pelaksanaan metode praktikum yakni dapat melatih siswa dalam melakukan keterampilan kerja laboratorium (Romlah, 2009, hlm. 2). Keterampilan kerja tersebut berupa keterampilan manipulatif dan prosedural. Keterampilan manipulatif merupakan keterampilan dalam menggunakan alat-alat laboratorium, sedangkan keterampilan prosedural adalah keterampilan melakukan perangkat pekerjaan dengan urutan tertentu (Sofyan dkk., 2006, hlm. 83). Uraian tersebut menjelaskan bahwa keterampilan manipulatif dan prosedural merupakan kemampuan siswa pada

aspek psikomotor dalam bentuk tindakan nyata yang dapat dicapai dalam pembelajaran dengan metode praktikum.

2. Penilaian Aspek Psikomotor Pada Kegiatan Pembelajaran dengan Metode Praktikum

a. Penilaian Pada Kegiatan Pembelajaran

Istilah penilaian kadang disebut sebagai asesmen yang merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, assessment. Bagi seorang guru, penilaian dalam pembelajaran adalah kegiatan utama yang tidak terpisahkan dari kegiatan belajar mengajar. Melalui kegiatan penilaian guru akan mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian siswa Sofyan dkk. (2006, hlm. 4). Dalam hal ini penilaian berperan dalam menentukan kualitas pencapaian kompetensi siswa secara menyeluruh yang dalam pelaksanaanya turut memberikan hubungan timbal balik kepada komponen pembelajaran lainnya.

Depdikbud (dalam Arifin, 2011, hlm. 4) mendefinisikan penilaian sebagai “suatu kegiatan untuk memberikan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil yang telah dicapai siswa”. Definisi penilaian lain diberikan oleh Gronlund (dalam Arifin, 2011, hlm. 4) yakni “penilaian adalah suatu proses yang sistematis dari pengumpulan, analisis, dan interpretasi informasi/data untuk menentukan sejauh mana peserta didik telah mencapai tujuan pembelajaran”. Sementara, dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran, Black dan William (dalam Rasyid & Mansur, 2009, hlm. 7) mendefinisikan penilaian sebagai “semua aktivitas yang dilakukan oleh guru dan siswa untuk menilai diri mereka sendiri, yang memberikan informasi untuk digunakan sebagai umpan balik untuk memodifikasi aktivitas belajar dan mengajar”. Ketiga pengertian diatas menunjukkan bahwa kegiatan penilaian adalah kegiatan yang terfokus kepada siswa sebagai subjek belajar, yang memberikan informasi mengenai

penguasaan kemampuan secara menyeluruh, yakni mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Informasi tersebut kemudian digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar.

Kegiatan penilaian merupakan bagian dari kegiatan evaluasi pembelajaran. Sebelum melakukan penilaian, terlebih dulu dilakukan pengukuran, yakni untuk menentukan kuantitas sesuatu (Arifin, 2011, hlm. 4). Hasil dari kegiatan pengukuran dinyatakan dalam bentuk angka yang menggambarkan karakteristik suatu objek. Dalam memberikan penilaian, guru biasanya menggunakan alat ukur dalam bentuk tes atau non tes, tergantung pada apa yang hendak diukur atau informasi apa saja yang hendak dikumpulkan (Sofyan dkk., 2006, hlm. 52). Penentuan alat ukur atau instrumen penilaian yang akan digunakan disesuaikan dengan data atau hasil pengukuran yang ingin didapat. Sedangkan, ketepatan instrumen penilaian dalam menentukan hasil pengukuran dapat dilihat dari kisi-kisi instrumen penilaian. Kisi-kisi tersebut berisi tentang materi yang diujikan, bentul soal, tingkat berpikir yang terlibat, bobot soal, serta cara penskoran (Rasyid & Mansur, 2009, hlm. 9). Hasil dari kegiatan pengukuran dan penilaian selanjutnya menjadi pertimbangan untuk mengambil keputusan atau melakukan evaluasi.

b. Pengertian Kemampuan Psikomotor

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kegiatan penilaian hendaknya dilakukan secara menyeluruh yakni mencakup penguasaan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Kegiatan praktikum sebagai sarana dalam mengembangkan keterampilan kerja laboratorium yang ditampilkan dalam bentuk tindakan nyata siswa merupakan bentuk penguasaan kemampuan psikomotor yang dapat dinilai. Kemampuan psikomotor berkaitan dengan kerja otot sehingga menyebabkan geraknya tubuh atau bagian-bagiannya (Arikunto, 2012, hlm. 135). Sementara Rasyid dan Mansur (2009, hlm. 12) mendefinisikan kemampuan psikomotor sebagai “…kemampuan yang berkaitan dengan gerak, yaitu

yang menggunakan otot seperti lari, melompat, melukis, berbicara, membongkar, dan memasang peralatan, dan sebagainya”. Sedangkan kemampuan psikomotor menurut Sofyan dkk. (2006, hlm. 23) yakni “…berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu”. Dari pengertian diatas, didapatkan pengertian kemampuan psikomotor merupakan kemampuan yang berhubungan dengan kerja otot dan tampak dalam bentuk tindakan nyata siswa setelah menerima pengalaman belajar.

c. Teori Domain Psikomotor

Taksonomi untuk ranah psikomotor dikemukakan oleh beberapa ahli seperti Harrow (dalam Rasyid & Mansur, 2009) yang membagi ranah psikomotor menjadi lima kemampuan yakni:

1) Gerakan Refleks

Respon motor atau gerak tanpa sadar yang muncul ketika bayi lahir

2) Gerakan Dasar

Gerakan yang mengarah pada keterampilan kompleks yang khusus. Siswa yang telah mencapai kompetensi dasar pada ranah ini mampu melakukan tugas dalam bentuk keterampilan sesuai dengan standar atau kriteria

3) Kemampuan Perseptual

Kombinasi kemampuan kognitif dan kemampuan motor atau gerak

4) Kemampuan Fisik

Kemampuan untuk mengembangkan gerakan yang paling terampil. Gerakan terampil adalah gerakan yang mampu dilakukan siswa sehingga menghasilkan produk yang optimal, seperti keterampilan melakukan gerakan tari, keterampilan mengendarai sepeda atau sepeda motor. Untuk mencapai gerakan terampil, siswa harus belajar secara sistematis melalui langkah-langkah tertentu. Gerakan yang telah dipelajari peserta didik akan tersimpan lama, sehingga apabila siswa salah dalam mempelajari gerakan psikomotor maka sulit untuk memperbaikinya. Oleh karena itu guru harus merancang dengan baik pembelajaran psikomotor sehingga mencapai standar 5) Komunikasi Nondiskursip

Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan gerakan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan mengucapkan kata-kata dalam

mempelajari bahasa asing. Seperti ketika peserta didik belajar mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris. Gerakan ini mencakup gerakan lidah, penempatan lidah dan tekanan suara, sehingga peserta didik dapat mengucapkan berbagai kata dengan benar (hlm. 12-13)

Sementara pendapat lain mengenai pembagian ranah psikomotor dikemukakan oleh Simpson (dalam Dimyati & Mudjiono, 2009) yakni:

1) Persepsi

Mencakup kemampuan memilah-milahkan (mendeskrimnasi-kan) hal-hal secara khas, dan menyadari adanya perbedaan yang khas tersebut. Misalnya pemilihan warna, angka 6 (enam) dan 9 (sembilan), huruf b dan d

2) Kesiapan

Mencakup kemampuan penempatan diri dalam keadaan di mana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan ini mencakup jasmani dan rohani. Misalnya, posisi star lomba lari

3) Gerakan Terbimbing

Mencakup kemampuan melakukan gerakan sesuai contoh atau gerakan peniruan. Misalnya, meniru gerak tari, membuat lingkaran di atas pola

4) Gerakan yang Terbiasa

Mencakup kemampuan melakukan gerakan-gerakan tanpa contoh. Misalnya, melakukan lompat tinggi dengan tepat

5) Gerakan Kompleks

Mencakup kemampuan melakukan gerakan atau keterampilan yang terdiri dari banyak tahap, secara lancar, efisien, dan tepat. Misalnya, bongkar-pasang peralatan secara tepat

6) Penyesuaian Pola Gerakan

Mencakup kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang berlaku. Misalnya, keterampilan bertanding

7) Kreativitas

Mencakup kemampuan melahirkan pola gerak-gerak baru atas dasar prakarsa sendiri. Misalnya kemampuan membuat tari kreasi baru (hlm. 29-30)

Pendapat ketiga dikemukakan oleh Trowbridge dan Bybee (dalam Sofyan dkk., 2006) sebagai berikut:

1) Moving (bergerak)

Kategori ini merujuk pada sejumlah gerakan tubuh yang melibatkan koordinasi gerakan-gerakan fisik. Dalam kelas kimia tujuan pembelajaran yang termasuk kategori ini misalnya siswa

dapat membersihkan alat-alat gelas atau siswa dapat membawa mikroskop dengan benar

2) Manipulating (memanipulasi)

Kategori ini merujuk pada aktivitas yang mencakup pola-pola yang terkoordinasi dari gerakan-gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh, misalnya tangan-jari, tangan-mata. Tujuan pembelajaran yang dapat dirumuskan dalam kategori ini misalnya siswa dapat menuangkan larutan dari botol reagen ke dalam gelas kimia dengan benar

3) Communicating (berkomunikasi)

Kategori ini merujuk pada pengertian aktivitas yang menyajikan gagasan dan perasaan untuk diketahui oleh orang lain. Tujuan pembelajaran yang dapat dirumuskan dalam aspek ini misalnya siswa dapat mengajukan pertanyaa mengenai masalah-masalah yang sedang didiskusikan atau siswa dapat melaporkan data percobaan secara akurat

4) Creating (menciptakan)

Merujuk pada proses dan kinerja yang dihasilkan dari gagasan-gagasan baru. Tujuan pembelajaran yang dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut: siswa dapat menggabungkan potongan-potongan alat untuk membentuk instrumen atau peralatan baru dalam suatu percobaan (hlm. 25)

Dari ketiga teori tersebut, teori domain psikomotor menurut Trowbridge dan Bybee adalah teori domain psikomotor yang paling tepat digunakan untuk mengkategorikan kemampuan psikomotor siswa dalam kegiatan praktikum. Kemampuan psikomotor di tiap kategori pada domain tersebut sesuai dengan tugas-tugas pembelajaran yang ditunjukkan dalam bentuk aktivitas siswa selama mengikuti kegiatan praktikum. Sehingga kemampuan psikomor siswa dapat dengan mudah diamati dan dinilai. Selain itu, kemampuan psikomotor pada siswa SMA telah meningkat keanekaragaman, keseimbangan, dan kekuatannya (Syah, 2013, hlm. 61). Kategori domain psikomotor menurut Trowbridge dan Bybee yang menuntut adanya gerakan motorik secara lebih kompleks sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan psikomotor siswa.

d. Penilaian Aspek Psikomotor

Konsep penilaian pada Kurikulum 2013 yang saat ini diterapkan adalah penilaian secara menyeluruh mencakup tiga kompetensi utama

yakni pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Penilaian aspek psikomotor termasuk ke dalam penilaian kompetensi keterampilan. Keterampilan didefinisikan oleh Direktorat Pembinaan SMA (2014, hlm. 10) sebagai “kemampuan berpikir dan bertindak untuk merespon tuntutan keadaan lingkungan berupa perintah, situasi mendesak, atau kesadaran diri untuk bertindak”. Berdasarkan pengertian tersebut, keterampilan terbagi menjadi dua komponen berupa keterampilan berpikir dan keterampilan bertindak. Keterampilan berpikir merupakan bentuk keterampilan abstrak sedangkan keterampilan bertindak adalah keterampilan konkret. Direktorat Pembinaan SMA (2014) menjelaskan

Keterampilan abstrak merupakan kemampuan pikir dan tindak mental non motorik seperti mengambil keputusan, menyusun strategi, bernalar, dan sebagainya. Hasil keterampilan abstrak cenderung berupa karya bukan benda. …Keterampilan konkret merupakan kemampuan tindak motorik seperti menendang, menggunting, mengoperasikan alat, dan sebagainya. (hlm. 10) Hasil atau produk yang dihasilkan dari keterampilan abstrak dalam pembelajaran IPA yakni berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum. Sementara, hasil atau produk dalam keterampilan konkret yang terwujud dalam proses pembelajaran IPA berupa prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan (Zulfiani dkk., 2009, hlm. 47).

e. Penilaian Kinerja

Dalam Undang-Undang No. 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan ditetapkan bahwa penilaian kompetensi keterampilan dilakukan melalui penilaian kinerja atau terkadang disebut penilaian unjuk kerja. Berk (dalam Rasyid & Mansur, 2009, hlm. 220) mengatakan “penilaian kinerja adalah proses mengumpulkan data dengan cara pengamatan yang sistematik untuk membuat keputusan tentang individu”. Sementara menurut Sudaryono (2012, hlm. 74), penilaian

kinerja adalah “…penilaian yang dilakukan dengan mengamati kegiatan peserta didik dalam melakukan sesuatu”. Dalam penilaian kinerja, siswa diharuskan untuk mempertunjukkan kinerja, bukan menjawab atau memilih memilih jawaban dari sederetan kemungkinan jawaban yang sudah tersedia (Zainul, 2001, hlm. 8). Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penilaian kinerja adalah suatu bentuk penilaian dimana siswa diminta untuk melakukan aktivitas khusus, kemudian guru atau penilai menilai kinerja atau perbuatan siswa dan menentukan kualitas dari kinerja atau perbuatan tersebut.

Penilaian aspek psikomotor dalam penilaian kinerja dilakukan dengan teknik observasi, yakni dengan melakukan pengamatan terhadap perkembangan psikomotor siswa (Direktorat Pembinaan SMA, 2010, hlm. 67). Pada kegiatan praktikum, penilaian kinerja dilakukan oleh guru atau penilai dengan cara mengamati secara langsung kemampuan psikomotor siswa dalam bentuk kinerja yang ditunjukkan selama mengikuti kegiatan praktikum.

Penerapan penilaian kinerja dalam kegiatan pembelajaran didukung oleh teori fleksibilitas kognitif yang dikemukakan oleh R. Spiro pada tahun 1990 (dalam Zainul, 2001) mengenai

…hakikat belajar yang kompleks dan tidak terstruktur. …Teori ini menekankan pada proses belajar yang tidak pernah berakhir karena selalu harus menyesuaikan dengan situasi yang berubah-ubah atau dikatakan sebagai learning is context-dependent. Berdasarkan teori belajar tersebut maka jelas bahwa asesmen selalu dilakukan pada konteks belajar dan tidak terpisah dari situasi yang sedang dihadapi. (hlm. 5)

Aplikasi teori tersebut dapat dipenuhi dengan penilaian kinerja yang pelaksanaanya dilakukan selama kegiatan praktikum berlangsung sehingga tidak tepisah dari proses pembelajaran.

Penilaian kinerja sangat tepat digunakan untuk menilai kemampuan psikomotor siswa dalam kegiatan praktikum karena jumlah siswa yang relatif sedikit dan materi yang diujikan dalam satu rangkaian kegiatan praktikum lebih sedikit dibandingkan dengan materi yang diujikan dalam

penilaian secara regional atau nasional (Sudaryono, 2012, hlm. 75). Manfaat lain dari penerapan penilaian kinerja dalam pembelajaran yakni dapat meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam kegiatan praktikum, dan juga membantu siswa dalam perolehan nilai (Ardli dkk., 2012, hlm. 147). Penilaian kinerja dalam kegiatan praktikum selain mendukung pelaksanaan prinsip penilaian secara menyeluruh dengan memberikan informasi mengenai pencapaian kemampuan siswa pada aspek psikomotor di tengah pelaksanaan penilaian yang lebih banyak terfokus pada penilaian aspek kognitif, juga meningkatkan motivasi siswa dalam belajar sehingga tujuan pembelajaran akan lebih mudah tercapai.

Pelaksanaan penilaian kinerja dilakukan melalui proses pembelajaran yang menunjukkan kemampuan atau kinerja siswa dalam bentuk proses maupun produk (Zainul, 2001, hlm. 4). Kinerja proses dapat diidentifikasi melalui pengamatan penilai terhadap proses atau prosedur kerja yang ditunjukkan siswa, sedangkan kinerja produk diidentifikasi melalui hasil penilaian terhadap rumusan jawaban atau tanggapan atau hasil yang ditunjukkan oleh siswa (Sapriati, 2006, hlm. 5). Penilaian pada kinerja proses meliputi kemampuan manipulatif dan prosedural yang tampak pada perbuatan siswa yang dapat diamati saat kegiatan praktikum berlangsung. Sementara, penilaian kinerja produk meliputi fakta, ide, atau gagasan yang dihasilkan dari keterampilan abstrak siswa selama kegiatan praktikum.

Penilaian kinerja terdiri atas dua bagian, yakni tugas dan rubrik. Tugas dalam penilaian kinerja dapat berupa suatu proyek, pameran, portofolio, atau tugas-tugas yang mengharuskan siswa memperlihatkan kemampuan menangani hal-hal kompleks melalui penerapan pengetahuan dan keterampilan tentang sesuatu dalam bentuk yang paling nyata (real-world applications) (Zainul, 2001, hlm. 11). Sedangkan rubrik merupakan daftar kriteria yang diwujudkan dengan dimensi-dimensi kinerja, aspek-aspek atau konsep-konsep yang akan dinilai

beserta gradasi mutu dari yang paling sempurna hingga yang paling tidak sempurna (Rasyid & Mansur, 2009, hlm. 221).

Dalam penilaian kinerja, rubrik penilaian digunakan karena kinerja siswa tidak ditentukan benar atau salahnya, melainkan dinyatakan dalam bentuk kualitas atau mutu kinerja pada beberapa tingkatan. Sementara, penilaian kinerja diberikan secara langsung oleh guru atau penilai. Oleh karena itu, untuk menghindari penilaian subjektif yang mudah kehilangan validitas dan reliabilitasnya maka digunakanlah rubrik penilaian sebagai instrumen penilaian kinerja (Zainul, 2001, hlm. 20-21).

3. Pengembangan Instrumen Penilaian Aspek Psikomotor

Telah dijelaskan sebelumnya, dalam penilaian kinerja terdapat dua komponen penting yakni tugas dan rubrik. Dalam kegiatan praktikum, tugas berupa rangkaian prosedur praktikum yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilannya dalam bentuk kinerja atau tindakan nyata. Media yang digunakan dalam kegiatan praktikum berupa lembar kerja praktikum yang memuat soal atau perintah kerja yang menuntut siswa untuk menunjukkan kinerjanya, dimana penyusunan soal atau perintah kerja didasarkan atas tujuan pembelajaran dan indikator pembelajaran yang disesuaikan dengan materi terkait. Kinerja yang ditunjukkan siswa dalam melakukan kegiatan praktikum menjadi kriteria dalam rubrik penilaian yang dirumuskan dalam bentuk aspek penilaian, untuk kemudian dinyatakan kualitasnya menggunakan gradasi mutu yang telah ditetapkan pada aspek penilaian tersebut.

Dalam pengertian umum, instrumen atau alat adalah sesuatu yang digunakan untuk mempermudah seseorang dalam melaksanakan tugas secara lebih efektif dan efisien (Arikunto, 2012, hlm. 40). Sedangkan penilaian menurut Depdikbud (dalam Arifin, 2011, hlm. 4) adalah “suatu kegiatan untuk memberikan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil yang telah dicapai siswa”. Sehingga,

dapat disimpulkan bahwa instrumen penilaian adalah sesuatu yang digunakan untuk menggambarkan atau menilai hasil belajar siswa. Dengan demikian, berdasarkan penjelasan sebelumnya instrumen penilaian pada penilaian kinerja adalah rubrik penilaian.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, rubrik merupakan instrumen penilaian pada penilaian kinerja yang terdiri dari daftar kriteria yang memuat aspek kinerja yang akan dinilai dan gradasi mutu yang menunjukkan kualitas kinerja dari yang paling sempurna hingga yang paling tidak sempurna. Untuk mengembangakan rubrik dalam penilaian kinerja, Donna Szpyrka dan Ellyn B. Smith (dalam Zainul, 2001, hlm. 26-27) menetapkan sembilan langkah pengembangan dengan penjelasan di tiap-tiap langkah sebagai berikut: a. Menentukan konsep, keterampilan, atau kinerja yang akan diases

(asesmen)

Langkah awal yang dilakukan untuk menentukan kinerja yang akan dinilai yakni dengan mencermati soal atau perintah kerja dan mengidentifikasi aspek-aspek keterampilan kunci. Soal atau perintah kerja yang dimuat dalam lembar kerja praktikum menuntut adanya kinerja siswa yang dapat diamati. Kinerja-kinerja tersebut kemudian diidentifikasi untuk menentukan keterampilan kunci, yakni keterampilan yang harus dikuasai siswa dalam melakukan praktikum.

b. Merumuskan atau mendefinisikan dan menentukan urutan konsep dan atau keterampilan yang akan diases ke dalam rumusan atau definisi yang menggambarkan aspek kognitif dan aspek kinerja

Keterampilan kunci yang didapat merupakan aspek penilaian yang dirumuskan ke dalam bentuk kalimat pernyataan yang jelas, yang disebut dengan kriteria. Penulisan kriteria dapat dinyatakan secara garis besar, kemudian dirinci menjadi komponen-komponen penting, atau ditulis langsung tanpa dikelompokkan dalam garis besar (Zainul, 2001, hlm.

Dokumen terkait