• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini akan menjabarkan tentang segala sesuatu yang mendasari teori penelitian yaitu tinjauan pustaka, hasil penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis tindakan.

A. Tinjauan Pustaka

1. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang ada di Sekolah Dasar (SD). PKn menjadi sarana untuk reformasi kehidupan bangsa yang saat ini mengalami kemerosotan nilai dan moral (Utami, 2010: 1). Menurut Darmadi (2010: 34) Pendidikan Kewarganegaraan berupaya untuk membentuk anak didik menjadi warga negara yang baik dan bertanggungjawab dan ikut serta mampu mengenalkan Pancasila dan UUD45. Pengertian PKn dapat disimpulkan sebagai mata pelajaran nilai dan moral untuk mendidik anak menjadi warga Indonesia yang baik sesuai Pancasila dan UUD45.

Tujuan PKn dalam Permendiknas RI Nomer 2006 adalah (1) membuat siswa mempunyai pikiran yang kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaaraan (2) berpatisipasi secara aktif, tanggung jawab, cerdas dalam bertindak di lingkungan masyarakat, bangsa, dan Negara serta anti korupsi (3) berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasar karakter-karakter masyarakat Indonesia agar mampu hidup berdampingan dengan bangsa yang lain (4) berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain secara langsung

ataupun tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Utami, 2010: 2)

Tercapainya tujuan PKn perlu didukung kompetensi pembelajaran yang sesuai. Kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa adalah (1) memiliki kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa, negara, dan tanah air Indonesia (2) memahami aturan-aturan sosial yang berlaku disekitarnya (3) menghargai keberagaman agama, suku, budaya, ras, dan golongan sosial ekonomi disekitarnya (4) memiliki sikap cinta lingkungan (5) memiliki kemampuan perilaku jujur, disiplin, senang bekerja dan anti korupsi dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan nilai Pancasila (Utami, 2010: 2).

2. Sikap

Sikap menurut Secord & Backman dalam Azwar (2015: 5) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Sikap adalah suatu bentuk reaksi dari perasaan seseorang terhadap suatu peristiwa yang sedang dialaminya.

Struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang menurut Azwar (2015: 23-24) yaitu komponen yaitu kognitif (cognitive), afektif (affective), dan komponen konatif (conative). Komponen kognitif merupakan representasi sesuatu hal yang dipercayai oleh individu pemilik sikap. Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang

dimiliki seseorang. Ketiga komponen sikap tersebut saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Apabila ketiga komponen tersebut berjalan dan terlaksana dengan seimbang maka dapat memunculkan karakter baik pada siswa.

Komponen-komponen karakter yang baik menurut Lickona (2014: 74-79) terdiri dari aspek pengetahuan moral merupakan ilmu yang dapat dimanfaatkan ketika seseorang menghadapi tantangan-tantangan moral dalam hidup. Terdapat enam ranah pengetahuan moral yaitu kesadaran moral, mengetahui nilai-nilai moral, pengambilan perspektif, penalaran moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan diri. Aspek pengetahuan moral ini dapat disebut juga sebagai komponen kognitif dari sikap.

Aspek perasaan moral yang memiliki arti pertimbangan hati untuk menentukan susuatu tindakan yang benar atau salah. Terdapat enam ranah dalam perasaan moral yaitu hati nurani, penghargaan diri, empati, menyukai kebaikan, kontrol diri, dan kerendahan hati. Aspek perasaan moral ini dapat disebut juga sebagai komponen afektif dari sikap (Lickona, 2014: 79-85).

Aspek tindakan moral yang memiliki arti perbuatan benar atau salah yang didasari oleh pengetahuan dan perasaan yang siswa miliki. Terdapat tiga ranah tindakan moral yaitu kompetensi, kehendak, dan kebiasaan. Aspek tindakan moral ini dapat disebut juga sebagai komponen konatif dari sikap (Lickona, 2014: 86-87).

Interaksi komponen-komponen sikap menurut para ahli psikologi sosial dalam Azwar (2015: 28) adalah selaras dan konsisten karena ketiga komponen tersebut mempolakan arah sikap yang sama apabila dihadapkan pada suatu

masalah atau kejadian. Komponen sikap dapat dijadikan indikator yaitu: 1) kognitif; 2) afektif 3) psikomotor atau konatif.

3. Nilai

Nilai berasal dari bahasa latin vale’rê yang mempunyai arti berguna, berdaya, mampu akan, sehingga dipandang sebagai sesuatu yang baik (Adisusilo, 2012: 56). Nilai menurut Sapriya (2009: 53) merupakan sesuatu berharga yang berupa seperangkat keyakinan atau prinsip perilaku seseorang atau kelompok masyarakat yang terungkap ketika melakukan tindakan atau berpikir. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan sesuatu itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna, dan dapat membuat orang yang menghayatinya bermatabat (Adisusilo, 2012: 56). Nilai dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berkualitas dimana merupakan keyakinan atau prinsip seseorang yang disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna saat sehingga menjadi orang yang bermatabat dalam melakukan tindakan atau berpikir.

Nilai mempunyai peranan dalam hidup manusia. Menurut Wahana (2004: 92) peranan nilai untuk kehidupan adalah mengarahkan dan memberi daya tarik pada manusia untuk membentuk dirinya menggubakan tindakan-tindakan. Nilai mengarahkan hidup manusia menjadi manusia yang baik. Nilai juga dapat memotivasi menjadi pedoman hidup manusia” (Adisusilo, 2012: 59). Nilai tidak bisa lepas dari hidup manusia karena nilai merupakan acuan tingkah laku manusia. Tahapan nilai menjadi acuan tingkah laku manusia adalah sebagai berikut:

a. Nilai pada tahapan dipikirkan

b. Nilai yang menjadi keyakinan atau tahap niat pada seseorang untuk melakukan sesatu

c. Tahap nilai telah menjadi keyakinan dan diwujudkan dalam tindakan. Nilai dibagi menjadi dua, yaitu nilai subtantif dan nilai prosedural. Nilai subtantif adalah keyakinan yang dipegang pelajar sebagai hasil belajar bukan hanya penyampaian informasi saja. Nilai prosedural merupakan mendasar yang harus dimiliki oleh seseorang, misalnya nilai kedisiplinan, tolelansi, kejujuran, menghormati kebenaran.

4. Kedisiplinan

Kedisiplinan berasal dari kata dasar disiplin. Disiplin menurut kamus besar Bahasa Indonesia mempunyai arti kepatuhan terhadap peraturan (KBBI 2008). Mustari (2014: 35) memaparkan disiplin adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan yang ada. Disiplin adalah suatu keadaan tertib, ketika orang-orang yang bergabung dalam suatu sistem tunduk pada peraturan-peraturan yang ada dengan senang hati (Mulyasa, 2008: 191). Pendapat dari beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa disiplin merupakan tindakan yang patuh dan tertib pada aturan yang ada. Disiplin dapat ditanamkan dengan menggunakan tiga cara, yaitu: cara otoriter, cara permisif, dan cara demokratis (Hurlock, 1989: 92).

Cara otoriter adalah cara menanamkan disiplin dengan keras agar perilaku sesuai dengan yang diinginkan, jika tidak menurut aturan maka akan diberi

hukuman yang berat tanpa persetujuan. Pujian akan diberikan kepada siswa yang berhasil melakukan disiplin. Cara permesif adalah cara yang bebas. Siswa diberi kebebasan untuk melalukan disiplin sesuai dengan hati nuraninya. Cara demokratis adalah cara mengajarkan disiplin dengan mengenalkan teori-teori mengenai kedisiplinan tersebut (Hurlock, 1989: 93-94).

Tujuan menanamkan disiplin menurut Hurlock (1989: 93-94) adalah untuk mengajar siswa bahwa perilaku tidak disiplin selalu akan diikuti hukuman, namun perilaku disiplin akan mendapatkan pujian. Mengajarkan pada siswa tingkatan penyesuain yang wajar, tanpa menuntut konformitas yang berlebihan. Membantu siswa mengembangkan pengendalian diri dan pengarahan diri sehingga mereka dapat mengembangkan hati nurani untuk membimbing tindakan mereka. Tujuan disiplin di sekolah menurut Mulyasa(2008: 192) adalah untuk membantu peserta didik menemukan dirinya, mengatasi, dan mencegah timbulnya problem-problem disiplin, serta berusaha menciptakan situasi yang menyenangkan dalam pembelajaran sehingga dapat mengapai hasil belajar yang optimal. Mendisiplinkan peserta didik diperlukan strategi. Strategi mendisiplinkan anak menurut Mulyasa (2011: 27) sebagai berikut:

1. Konsep diri (self-concept), menekankan konsep individu merupakan sikap yang penting dari setiap perilaku. Hal yang diperlu dilakukan pendidik untuk menumbuhkan konsep diri adalah bersikap empatik, menerima, hangat dan terbuka sehingga siswa dapat mengeksplor pikiran dan perasaannya untuk memecahkan masalah.

2. Keterampilan berkomunikasi (communication skills), pendidik perlu memiliki keterampilan komunikasi yang efektif agar mampu menerima semua perasaan dan mendorong timbulnya kepatuhan siswa.

3. Konsekuensi-konsekuensi logis dan alami (natural and logical

consequences), perilaku siswa yang salah karena telah mengembangkan

kepercayaan yang salah terhadap dirinya. Pendidik disarankan untuk menunjukkan perilaku yang salah dan memanfaatkan akibat-akibat logis dan alami dari perilaku yang salah.

4. Klarifikasi nilai (values clarification), strategi ini dilakukan untuk membantu siswa dalam menjawab pertanyaan sendiri mengenai nilai-nilai dan membentuk sistem nilainya sendiri.

5. Analisis transaksional (transactional analysis), seorang pendidik belajar sebagai orang dewasa terutama saat menghadapi siswa yang mempunyai masalah.

6. Terapi realitas (reality therapy), sekolah berupaya mengurangi kegagalan dan meningkatkan keterlibatan. Pendidik hendaknya mempunyai sikap positif dan tanggungjawab.

7. Disiplin yang terintegrasi (assertive discipline), pendidik mengendalikan penuh untuk mengembangkan dan mempertahankan peraturan yang ada disekitar siswa.

8. Modifikasi perilaku (behavior modification), perilaku salah yang disebabkan oleh lingkungan, sebagai tindakkan remediasi. Sehubungan

dengan hal tersebut, pembelajaran perlu diciptakan lingkungan yang kondusif.

9. Tantangan bagi disiplin (dare to discipline), pendidik diharapkan cekatan, sangat terorganisasi, dan mempunyai pengendalian yang tegas. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa siswa akan menghadapi berbagai keterbatasan pada hari pertama masuk sekolah.

5. Paradigma Pedagogi Reflektif

Pedagogi menurut Subagya (2010: 22) merupakan seni mengajar untuk mendampingi siswa dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR) merupakan polapikir dalam menumbuhkembangkan pribadi siswa menjadi pribadi kristiani/kemanusiaan. Polapikir yang dikembangkan dalam PPR adalah membentuk siswa menjadi seorang yang mempunyai nilai kemanusian, dapat merefleksikan semua yang dilakukannya dan melakukan aksi untuk mewujudkan nilai tersebut (Subagya, 2008: 39). PPR dibuat oleh para pengajar Jesuit yang didasari pada ciri-ciri pendidikan Jesuit.

Ciri-ciri pendidikan Jesuit adalah mengembangkan pribadi siswa dan membawa mereka melaksanakan perbuatan yang dipenuhi oleh roh Allah. Siswa mempunyai pemikiran yang nalar, sikap yang disiplin dan berinisiatif, serta mengembangkan integritas pribadi dan berpikir jernih (Subagya, 2010: 23). Siswa diharapkan mempunyai kecerdasan intelektual utuh, religius, mempunyai kasih dan mempunyai tekat untuk berbuat adil berlandaskan kasih kepada sesama manusia.

Tujuan seluruh pendidikan dalam Paradigma Pedagogi Reflektif menurut Suparno (2015: 18-19) adalah mengembangkan manusia utuh yang gembira dalam mengabdi Tuhan lewat sesamanya. Hal tersebut diterjemahkan dalam rumusan 3 C yaitu: competence, conscience, dan compassion. Ketiga rumusan tersebut dijabarkan sebagai berikut:

a. Competence

Competence mempunyai arti menguasi ilmu pengetahuan/keterampilan sesuai

bidangnya. Siswa setelah mendalami dan mengolah bahan yang telah dipelajari menjadi kompeten dalam bidang itu atau bahan itu. Maka secara kognitif atau intelek siswa memang menguasi bahannya dan dapat menjelaskan bahan itu engan benar. Secara lebih mendalam siswa juga dapat melakukan sesuatu yang berkaitan hal itu sehingga bukan hanya segi kognitifnya yang berkembang tetapi juga afeksi dan psikomotornya.

b. Conscience

Conscience berarti mempunyai hatinurani yang dapat membedakan baik dan

tidak baik. Selain mengetahui dan mempunyai kompetensi dalam bidangnya, kompetensi siswa berkembang dalam membedakan baik dan tidak baik serta mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan yang benar. Siswa diharapkan dapat menganalisis segi baik dan buruknya bahan yang dipelajari, mengerti alasan-alasan moral dibaliknya, dan hatinya tergerak untuk untuk memilih yang baik.

c. Compassion

Compassion berarti bahwa siswamempunyai kepekaan untuk berbuat baik

bagi orang lain yang membutuhkan, mempunyai kepedulian kepada orang lain terutama yang miskin dan kecil. Siswa diharapkan tidak hanya pandai tetapi sekaligus didorong untuk peka terhadap kebutuhan orang lain dan mau berbuat sesuatu berkaitan dengan bidangnya dan kemajuan orang lain.

Paradigma Pedagogi Reflektif mempunyai lima unsur utama yang harus dikembangkan, yaitu konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi. Kelima unsur tersebut dijabarkan sebagai berikut:

a. Konteks

Konteks dalam PPR berisi wacana mengenai nilai yang ingin dikembangkan antara guru dan siswa. Nilai yang dikembangkan dalam konteks merupakan nilai kemanusiaan. Nilai yang ingin dikembangkan tersebut kemudian dihayati dan diperjuangkan. Relasi antara guru dan siswa akan dihormati dan dipuji. Guru dan siswa perlu bersahabat dan saling membantu satu dengan yang lain dengan semangat dan murah hati dan dinyatakan dalam suatu yang kongkrit. Unsur dalam PPR selain konteks adalah pengalaman.

b. Pengalaman

Pengalaman dalam PPR dimaksudkan untuk menambah persaudaraan dan solidaritas. Penambahan rasa persaudaraan dilakukan dengan cara bekerjasama dalam kelompok kecil sehingga terjadi interaksi dan komunikasi yang insentif. Tujuan lain dari siswa mengalami sendiri yaitu

dengan pemberian contoh secara konkrit karena pengalaman tidak bisa didapat dari membaca buku tetapi harus mengalami secara langsung hal tersebut sehingga materi akan mudah untuk diingat.

c. Refleksi

Paradigma Pedagogi Reflektif selain menekankan pada pengalaman juga menekankan pada refleksi. Refleksi dilakukan untuk mengetahui bagaimana siswa dapat memahami nilai yang didapat saat melakukan pelajaran. Guru memfasilitasi siswa dengan membuat pertanyaan-pertanyaan pancingan untuk siswa. Siswa dalam keadaan hening dan diam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh gurunya. Hal yang dilakukan siswa setelah melakukan refleksi adalah melakukan aksi.

d. Aksi

Aksi disini merupakan kegiatan tindak lanjut yang akan dilakukan siswa setelah mempelajari pelajaran. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan pada siswanya untuk membangun niat mengenai hal apa yang akan dilakukan. Siswa diharap menjadi pejuang untuk melaksanakan nilai-nilai dari refleksi mereka.

e. Evaluasi

Evaluasi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk melihat perkembangan pribadi siswa mereka selain mengembangkan potensi akademik. Guru dapat menggunakan pertanyaan misalnya dengan menggunakan kata apakah.

Kelima unsur yang ada dalam Paradigma Pedagogi Reflektif membawa kelebihan jika diterapkan dalam pembelajaran. Kelebihan Paradigma Pedagogi Reflektif seperti yang dijelaskan oleh Subagya (2010: 68) adalah sebagai berikut:

a. dapat diterapkan kepada semua kurikulum

Paradigma Pedagogi Reflektif ini dapat diterapkan dalam semua kurikulum yang diterapkan pemerintah. Paradigma ini tidak menuntut tambahan apapun, selain pendekatan baru pada cara mengajarkan mata pelajaran yang ada.

b. fundamental untuk proses belajar mengajar

Paradigma ini dapat diterapkan pada ranah non-akademik, seperti kegiatan ekstrakurikuler, olahraga, program pelayanan masyarakat, retret, dan sebagainya. Paradigma ini dapat membantu siswa menemukan hubungan antara bagian-bagian dari suatu bidang studi atau dengan bidang-bidang studi lain.

c. menjamin para pengajar menjadi pengajar yang lebih baik

Paradigma ini memungkinkan para pengajar memperkaya baik isi maupun susunan yang mereka ajarkan, cara mendorong inisiatif siswa, cara mendorong siswa untuk aktif dan bertanggung jawab terhadap hasil studi, dan cara memotivasi siswa untuk menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan pengalaman siswa.

d. mempribadikan proses belajar dan mendorong pelajar merefleksikan makna dan arti dari apa yang dipelajari

Paradigma ini mendukung integrasi antara pengalaman belajar di ruang kelas dengan pengalaman di rumah, waktu bekerja, dunia teman sebaya, dan sebagainya.

e. menekankan matra sosial belajar maupun mengajar

Paradigma ini mendorong kerjasama yang erat dan berbagi pengalaman serta dialog antar siswa. Melalui interaksi tersebut lama-kelamaan siswa menjadi sadar bahwa pengalaman-pengalaman yang paling mendalam timbul dari hubungan yang manusiawi.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Peneliti akan memaparkan tiga penelitian yang relevan. Penelitian yang relevan pertama penelitian dari Supriyanto yang berjudul“PenerapanMetode PembelajaranStudentTeamsAchievementDivision(STAD)untukMeningkatkan KedisiplinandanHasilBelajarSiswaSMANPlusSukowonoJember”.Penelitiantindak ankelasinimenunjukkanpeningkatankedisiplinandanhasilbelajarsiswa kelasX-1SMANPlusSukowonoJemberpadapelajaranekonomimenggunakan

metodepembelajarankooperatiftipeSTAD.Persentaseketuntasanklasikalhasil

belajarsiswadaripra-siklus(56,3%)meningkatsetelahsiklus1(62,5%)dan siklus 2 (87,5%).

Kedua merupakan penelitian dari Istiqomah, dkk. (2010) dengan judul Penggunaan Model Pembelajaran Group Investigation untuk Menumbukan Sikap Ilmiah Siswa. Penelitian ini mempunyai hasil jika pembelajaran dengan Group

tersebut menunjukkan bahwa persentase sikap ilmiah kelas Jigsaw lebih tinggi dari Group Investigation pada kategori sedang dan tinggi, sedangkan pada kategori sangat tinggi persentase sikap ilmiah kelas Jigsaw lebih rendah daripada Group Investigation.

Penelitian yang relevan ketiga adalah penelitian dari Widiyanti (2012) yang berjudul “Pengaruh Pendidikan Karakter dengan Pendekatan PPR Dan Motivasi Belajar Terhadap Kepribadian Siswa”. Penelitian dilakukan dengan memberikan materi pelajaran yang sama terhadap kelas eksperimen dan kontrol namun pendekatan yang digunakan berbeda. Kelas eksperimen dengan pendekatan PPR dan kelas kontrol dengan pendekatan konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Terdapat perbedaan pengaruh pendidikan karakter dengan pendekatan Paradigma Pedagogi Reflektif dan pendekatan konvensional terhadap kepribadian siswa dalam Pendidikan Agama Katolik, (2) Terdapat perbedaan kepribadian dalam Pendidikan Agama Katolik antara siswa yang memiliki motivasi tinggi dan motivasi rendah dalam belajar, (3) Terdapat interaksi pengaruh antara pendidikan karakter dengan pendekatan paradigma pedagogi refleksi dan motivasi belajar terhadap kepribadian siswa dalam Pendidikan Agama Katolik.

Ketiga penelitian tentang kedisiplinan, sikap dan modelParadigma Pedagogi Reflektif (PPR) yang telah diungkapkan di atas menunjukan bahwa modelParadigma Pedagogi Reflektif (PPR) dapat membantu siswa dalam menunjukkan perannya dalam pembelajaran, meningkatkan sikap kedisiplinan siswa. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk menggunakan modelParadigma Pedagogi Reflektif (PPR) terhadap peningkatan sikap kedisiplinan siswa kelas III

pada mata pelajaran Pkn di SDN Kledokan. Hubungan tersebut akan dijabarkan dan dirangkung dalam gambar 2.1.

Gambar 2.1 skema penelitian yang relevan

Gambar 2.1 menjelaskan posisi penelitian diantara penelitian-penelitian yang relevan. Tiga penelitian yang relevan merupakan penelitian tentang peningkatan sikap kedisiplinan dengan model Paradigma Pedagogi Reflektif. Ketiga penelitian tersebut menjadi acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian dengan judul

Peningkatan Sikap Kedisiplinan dalam Pembelajaran PKn Menggunakan Model Paradigma Pedagogi Reflektif bagi Siswa Kelas III SDN Kledokan. Penelitian ini

berbeda dengan penelitian yang telah ada. Penelitian ini melihat peningkatan sikap

Peningkatan Sikap Kedisiplinan dalam Pembelajaran PKn Menggunakan Model Paradigma

Pedagogi Reflektif bagi Siswa Kelas III SDN Kledokan Suprianto (2013) PenerapanMetode PembelajaranStudentTeamsAc hievementDivision(STAD)unt ukMeningkatkan KedisiplinandanHasilBelajarS iswaSMANPlusSukowonoJe Istiqomah, dkk. (2010) Penggunaan Model Pembelajaran Group Investigation untuk

Menumbukan Sikap Ilmiah Siswa.

Widianti, dkk.(2012). Pengaruh Pendidikan Karakter Dengan Pendekatan

PPR Dan Motivasi Belajar Terhadap Kepribadian Siswa

Peningkatan Kedisiplinan Sikap

kedisiplinan yang dilihat dari tiga aspek sikap yaitu kognitif, afektif, dan konatif dengan menggunakan model Paradigma Pedagogi Reflektif (PPR).

C. Kerangka Berpikir

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran dimana didalamnya memuat pendidikan karakter yang ditujukan untuk anak-anak di Indonesia. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mengembangkan nilai dari pandangan hidup bangsa, agama, dan budaya yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan nasional. Pendidikan karakter juga merupakan pendidikan sikap. Sikap adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Salah satu contoh sikap yang perlu dikembangkan adalah kedisiplinan.

Sikap kedisiplinan bukan hanya pengetahuan saja melainkan meliputi aspek afektif dan juga konatif. Rendahnya sikap yang dialami oleh siswa dikarenakan aspek sikap hanya tersampaikan hanya aspek kognitif. Pembelajaran yang cocok tidak hanya untuk aspek kognitif namun juga perlu adanya pembelajaran aspek afektif dan konatif. Pembelajaran yang digunakan tidak hanya menggunakan model ceramah, tetapi sampai pada refleksi dan aksi. Pembelajaran yang baik jika diawali dengan mengetahui nilai yang ingin dicapai dalam pembelajaran. Kemudian siswa menggali pengalaman berkaitan dengan pengalaman yang pernah diperolehnya. Siswa kemudian merefleksikan nilai dan pengalaman yang diperoleh. Siswa melakukan tindak lanjut, mengenai apa yang akan mereka

perbuat setelah mengikuti proses pembelajaran. Kurangnya sikap kedisiplinan siswa dikarenakan siswa hanya mempelajari kognitif.

Peneliti memilih menggunakan model Paradigma Pedagogi Reflektif untuk meningkatan sikap kedisiplinan. Sehingga siswa mempunyai kecenderungan bersikap disiplin. Model pembelajaran Paradigma Pedagogi Reflektif dalam pembelajarannya menekankan pada kemampuan 3C yaitu competence,conscience, dan compassion. Langkah-langkah pembelajaran model PPR diawali dengan konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi. Pembelajaran tidak hanya memperoleh materi pelajaran namun juga menekankan pada refleksi serta tindak lanjut dari hal yang telah dipelajari. PPR memuat kegiatan untuk merefleksikan dan membuat rencana yang akan dilakukan dan mengevaluasi hasil kerja mereka sehingga PPR ini cocok untuk meningkatkan sikap kedisiplinan siswa. Siswa dapat belajar pengetahuan dari materi sikap kedisiplinan dengan PPR. Siswa juga dapat mengetahui dan menghargai sikap kedisiplinan serta terdorong untuk melakukan sikap kedisiplinan.

D. Hipotesis Penelitian

1. Penerapan langkah model pembelajaran paradigma pedagogi reflektif yaitu konteks, pengalaman, refleksi, aksi, dan evaluasi dalam upaya meningkatkan sikap kedisiplinan bagi siswa kelas III SD Negeri Kledokan pada pelajaran PKn.

2. Model paradigma pedagogi reflektif dapat meningkatan sikap kedisiplinan bagi siswa kelas III SDN Kledokan.

26

BAB III

Dokumen terkait