• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III Metodologi Penelitian, meliputi jenis penelitian, data dan sumber data, alat penelitian, populasi dan sampel, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian data.

commit to user

Bab IV Analisis Data dan Pembahasan, mengenai penanda kohesi gramatikal (pengacuan, penyulihan, pelesapan, perangkaian), penanda kohesi leksikal (repetisi, sinonimi, antonimi, kolokasi, hiponimi, ekuivalensi), dan koherensi.

Bab V Penutup, berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

Daftar Pustaka Lampiran

commit to user

9 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Wacana

Banyak sekali ahli bahasa yang telah memberikan definisi tentang wacana. Henry Guntur Tarigan (1987: 27) dalam karyanya Pengajaran Wacana

berpendapat bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar diatas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Sedangkan Aminudin, (1989: 4) dalam Analisis Wacana

dan Telaah Sastra mengemukakan bahwa wacana merupakan keseluruhan

unsur-unsur yang membangun perwujudan paparan bahasa dalam peristiwa komunikasi. Wujud kongkret wacana dapat berupa tuturan lisan maupun teks tertulis. Keseluruhan unsur-unsur disini dimaksudkan yaitu baik dari segi bentuk maupun makna yang dimaksud.

Harimurti Kridalaksana, (2001: 179) dalam Kamus Linguistik berpendapat mengenai wacana merupakan satuan lingual yang terlengkap dan merupakan perwujudan pemakaian bahasa yang utuh. Dalam hierarki gramatis, wacana merupakan satuan gramatikal yang tertinggi dan terbesar. Wacana ini biasanya terealisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya) paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.

Mulyana (2005: 1) menyatakan bahwa wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Selanjutnya Mulyana menjelaskan bahwa wacana yang mengandung aspek-aspek yang

commit to user

terpadu dan menyatu (kohesif dan koheren) maka wacana itu adalah wacana yang utuh dan lengkap (2005: 25-26).

Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu (Sumarlam, 2009: 15).

Samsuri (1987: 1) berpendapat mengenai wacana yang menurutnya mengacu pada kerekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi itu dapat menggunakan bahasa lisan, dan dapat pula menggunakan bahasa tulis. Hal yang dipentingkan di sini adalah dari segi kebahasaan yang utuh. Sebuah kalimat dapat dikatakan sebagai wacana, apabila mempunyai makna, isi ataupun amanat yang lengkap.

Selanjutnya menurut Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips (2007: 1) wacana adalah gagasan umum bahwa bahasa ditata menurut pola-pola yang berbeda yang diikuti oleh ujaran para pengguna bahasa ketika mereka ambil bagian dalam domain-domain kehidupan sosial yang berbeda, misalnya dalam domain ’wacana medis’ dan ’wacana politik’. Pendekatan wacana menurut dua ahli ini adalah wacana dipandang muncul dari ujaran-ujaran sosial yang membentuk fungsi bahasa sebagai bentuk sosial.

Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (Abdul Chaer, 1994: 267). Wacana dikatakan lengkap karena di dalamnya terdapat konsep,

commit to user

gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau oleh pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun.

Eriyanto (2001: 3) menyebut wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Moeliono (1988: 34) menyatakan wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuk makna yang serasi di antara kalimat itu.

Wacana merupakan kelas kata benda (nomina) yang mempunyai arti sebagai berikut:

1. Ucapan; percakapan

2. Keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan;

3. Satuan bahasa terlengkap, realisasikan dl bentuk karangan atau laporan utuh, spt novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah (KBBI, 2001: 1265).

Dari beberapa pendapat para ahli mengenai definisi wacana di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan (pidato, ceramah, khotbah, dan dialog) atau secara tertulis (cerpen, novel, buku, surat dan dokumen tertulis) dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan membentuk suatu kesatuan makna yang utuh dan lengkap serta memiliki awal dan akhir yang nyata.

B. Jenis-Jenis Wacana

Wacana dapat diklasifikasikan menjadi berbagai jenis menurut dasar pengklasifikasiannya. Misalnya berdasarkan bahasanya, media yang dipakai untuk mengungkapkan, jenis pemakaian, bentuk, serta cara dan tujuan pemaparannya (Sumarlam, 2009 : 15)

commit to user

1. Berdasarkan bahasa yang dipakai sebagai sarana untuk mengungkapkannya wacana dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Wacana bahasa Indonesia (nasional).

b. Wacana bahasa lokal atau daerah (bahasa Jawa, Bali, Sunda, Madura dan sebagainya).

c. Wacana bahasa internasional (Inggris).

d. Wacana bahasa lainnya, seperti bahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan sebagainya.

2. Berdasarkan media yang dipakai untuk mengungkapkan, wacana dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Wacana tulis, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau media tulis.

b. Wacana lisan, yaitu wacana yang disampaikan dengan bahasa lisan atau media lisan.

3. Berdasarkan jenis pemakaiannya wacana dapat dibedakan atas:

a. Wacana monolog (monologue discourse), yaitu wacana yang disampaikan oleh seorang diri tanpa melibatkan orang lain untuk ikut berpartisipasi secara langsung. Wacana monolog ini sifatnya searah dan termasuk komunikasi tidak interaktif (non-interacrive communication).

b. Wacana dialog (dialogue discourse), yaitu wacana atau percakapan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara langsung. Wacana dialog ini sifatnya dua arah sehingga disebut komunikasi interaktif (interactive

commit to user

4. Berdasarkan bentuknya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk: a. Wacana prosa, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa, bisa

berupa wacana tulis (cerpen, cerbung, novel, artikel dan lain-lain) atau wacana lisan (pidato, khotbah, kuliah dan lain-lain).

b. Wacana puisi, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi, dapat berupa wacana puisi tulis (puisi dan syair) atau wacana puisi lisan (puisi yang dideklamasikan dan lagu-lagu).

c. Wacana drama, yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk drama atau dialog, dapat berupa wacana drama tulis (naskah drama dan naskah sandiwara) atau wacana drama lisan (pementasan drama).

5. Berdasarkan cara dan tujuan pemaparannya pada umumnya wacana diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu:

a. Wacana narasi, yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkanoleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu. Wacana narasi ini berorientasi pada pelaku dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis.

b. Wacana deskripsi yaitu wacana yang bertujuan melukiskan menggambarkan atau memberikan sesuatu menurut apa adanya.

c. Wacana eksposisi, yaitu wacana yang tidak mementingkan waktu dan pelaku, berorientasi pada pokok pembicaraan dan bagian-bagiannya diikat secara logis.

commit to user

d. Wacana argumentasi, yaitu wacana yang berisi ide atau gagasan yang dilengkapi dengan data-data sebagai bukti, bertujuan meyakinkan pembaca akan kebenaran ide dan gagasannya.

e. Wacana persuasi, yaitu wacana yang isinya bersifat ejakan atau nasihat, ringkas dan menarik bertujuan untuk mempengaruhi secara kuat pada pembaca atau pendengar agar melakukan nasihat atau ajakan tersebut. Dalam wacana bahasa Jawa dilihat dari ragam bahasa yang digunakan dapat berupa wancana bahasa Jawa ragam ngoko, ragam krama, maupun ragam

campuran, yang disebabkan karena adanya faktor-faktor tertentu, seperti umur,

status sosial dan pendidikan.

Menurut Fatimah Djajasudarma (1994: 8-13) berdasarkan pemaparannya, merupakan tinjauan isi, cara penyusunan, dan sifatnya wacana dapat dibedakan atas:

1. Wacana naratif yaitu rangkaian tuturan yang menceritakan hal atau kejadian (peristiwa) melalui penonjolan pelaku.

2. Wacana deskriptif yaitu rangkaian tuturan yang memaparkan sesuatu atau melukiskan sesuatu, baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan penuturnya.

3. Wacana prosedural yaitu rangkaian tuturan yang melukiskan sesuatu secara berurutan dan secara kronologis.

4. Wacana ekspositori yaitu tuturan yang bersifat menjelaskan sesuatu, berisi pendapat atau simpulan dari sebuah pandangan.

commit to user

6. Wacana dramatik yaitu menyangkut beberapa orang penutur dan sedikit bagian naratif.

7. Wacana epistolari yaitu dipergunakan dalam surat-surat, dengan sistem dan bentuk tertentu.

8. Wacana seremonial yaitu wacana yang berhubungan dengan upacara adat yang berlaku di masyarakat bahasa, berupa nasihat atau pidato pada upacara- upacara perkawinan, kematian, syukuran dan sebagainya.

Melihat jenis-jenis wacana yang telah diuraikan di atas, maka novel Jaring

Kalamangga termasuk jenis wacana naratif dan deskriptif yang pada hakikatnya

wacana dalam novel berbahasa Jawa merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi, dan mempunyai daya ikat kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan, diungkapkan dengan bahasa Jawa, berbentuk wacana tulis, merupakan wacana campuran dan bersifat naratif dan deskriptif serta mempunyai awal dan akhir yang nyata.

C. Sarana Keutuhan Wacana

Wacana bukan merupakan kumpulan kalimat yang masing-masing berdiri sendiri atau terlepas. Kalimat-kalimat dalam wacana merupakan gabungan antara pertautan bentuk (kohesi) dan perpaduan makna (koherensi), sehingga kalimat satu dengan lainnya dalam wacana saling berhubungan membentuk kepaduan informasi atau gagasan. Dengan demikian, pembaca atau pendengar mudah mengetahui atau mengikuti jalan pikiran penulis tanpa merasa bahwa ada

commit to user

semacam jarak yang memisahkan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain.

Fatimah Djajasudarma (1994: 46) mengungkapkan bahwa wacana menuntut adanya keutuhan, baik itu keutuhan bentuk maupun keutuhan makna. Karena pada umumnya wacana yang baik adalah wacana yang memiliki kohesi dan koherensi. Jadi kohesi dan koherensi merupakan aspek yang sangat penting di dalam menentukan keutuhan wacana.

1. Kohesi

Dalam istilah kohesi tersirat pengertian kepaduan dan keutuhan. Adapun dalam koherensi tersirat pengertian pertalian atau hubungan. Bila dikaitkan dengan aspek bentuk dan aspek makna bahasa, maka kohesi merupakan aspek formal bahasa, sedangkan koherensi merupakan aspek ujaran (speech) (Henry Guntur Tarigan, 1987: 96).

Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh.

Menurut Anton M. Moeliono, dkk (1988: 343) untuk memperoleh wacana yang baik dan utuh, maka kalimat-kalimatnya harus kohesif. Hanya dengan hubungan kohesif seperti itulah suatu unsur dalam wacana dapat diinterpretasikan, sesuai dengan ketergantungannya dengan unsur-unsur lainnya. Hubungan kohesif dalam wacana sering ditandai oleh kehadiran pemarkah (penanda) khusus yang bersifat lingual-formal.

commit to user

Lebih lanjut Halliday dan Hasan mengatakan dalam Cohesion in English

bahwa kohesi adalah hubungan semantik antara elemen dalam teks dan elemen yang lain yang penting sekali untuk menafsirkannya. Elemen ini tidak memperhatikan struktur gramatikal (1976: 8). Mereka membagi kohesi menjadi dua yaitu kohesi gramatikal (grammatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion) (1976: 6). Kohesi gramatikal berkenaan dengan struktur kalimat, sedangkan kohesi leksikal berkenaan dengan segi makna.

Menurut Fatimah Djajasudarma (1994: 46) kohesi merujuk pada perpautan bentuk, sedangkan koherensi merujuk pada perpautan makna. Pada umumnya wacana yang baik memiliki keduanya. Kalimat atau kata yang dipakai bertautan dan pengertian yang satu menyambung pengertian yang lainnya secara berturut-turut. Jadi kohesi dan koherensi menjadi aspek yang sangat penting dan menjadi titik berat dalam suatu wacana.

Kohesi adalah kepaduan bentuk gramatik di dalam wacana. Kohesi ini sangat penting di dalam pembicaraan wacana, sebab tanpa kohesi kita sulit untuk menganalisis dan menerangkan. Oleh karena itu, wacana tersebut mempunyai kadar kepaduan yang tinggi. Perpaduan bentuk dan makna dapat dilihat dengan menggunakan sarana kohesi dan koherensi. Adapun sarana kohesi adalah satuan gramatikal yang menghubungkan unsur – unsur gramatikal dalam wacana sehingga kohesif. Sarana kohesi ada dua yaitu: kohesi gramatikal berupa referensi, substitusi, elipsis, konjungsi. Kohesi leksikal ini kemudian diperinci lagi menjadi repetisi, antonim, sinonim, hiponim, kolokasi, dan ekuivalensi (Henry Guntur Tarigan,1987: 97).

commit to user

a. Kohesi Gramatikal

1) Pengacuan (Referensi)

Pengacuan merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya (M. Ramlan dalam Mulyana, 2005: 27). Pengacuan (referensi) menurut Sumarlam merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Referensi dibedakan menjadi dua yaitu referensi endofora dan referensi eksofora. Referensi endofora yaitu apabila acuannya (satuan lingual yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana itu, sedangkan referensi eksofora yaitu apabila acuannya berada atau terdapat di luar teks. Referensi (pengacuan) endofora berdasarkan arah pengacuannya dibedakan menjadi dua jenis lagi yaitu pengacuan anaforis (anaphoris reference) dan pengacuan kataforis (cataphoris reference). Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual yang mengacu anteseden di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah disebut terdahulu, sedangkan pengacuan kataforis merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya atau mengacu anteseden di sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang baru disebut kemudian (Sumarlam, 2009: 23-24). Bentuk referensi dapat berupa pengacuan

commit to user

persona, demonstratif (kata ganti petunjuk), dan pengacuan komparatif atau perbandingan.

a) Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina (kata ganti orang), yang meliputi pronomina pertama (persona I), kedua (persona II), dan ketiga (persona III) baik tunggal maupun jamak. Ketiga persona ini ada yang berbentuk morfem terikat dan ada yang berbentuk morfem bebas. Pronomina persona pertama tunggal berupa aku ‘aku’, kula ‘saya’, kawula ‘saya’, dalem ‘saya’. Persona pertama terikat letak kiri (dak-), (tak-), letak kanan (-ku), sedangkan persona pertama jamak dapat berupa aku, kabeh, kula

sedaya, awake dhewe. Pronomina kedua tunggal berupa kowe

‘kamu’, panjenengan ‘anda’, sampeyan ‘engkau’. Terikat letak kanan (-mu), terikat kiri (kok-, ko-), sedangkan jamaknya berupa

kowe kabeh, sampeyan sedaya. Pronomina persona ketiga tunggal

dapat berupa dheweke ‘dia’, panjenenganipun ‘beliau’,

piyambakipun ‘beliau’, terikat lekat kiri (di-, dipun-), terikat lekat

kanan (-e / -ne, -ipun / -nipun) dan persona ketiga jamak berupa

dheweke atau dheweke kabeh, piyambakipun sedaya,

panjenenganipun sedaya.

Data yg menunjukkan referensi yang berupa pronomina persona yaitu :

(1) “Jenengku Sanggar [...](JK/7)

commit to user

Pada data (1) di atas menunjukkan pronomina persona I tunggal lekat kanan, yaitu enklitik -ku yang melekat pada kata jenengku ‘namaku’. Kata jenengku ‘namaku’ merupakan pengacuan endofora yang kataforis mengacu pada Sanggar.

b) Pronomina demonstratif (kata ganti petunjuk) dibedakan menjadi dua yaitu demonstratif waktu (temporal) dan demonstratif tempat (lokatif). Demonstratif waktu ada yang mengacu waktu kini (saiki

‘sekarang’, sapunika ‘sekarang’, samenika ‘sekarang’), waktu lampau (wingi ‘kemarin’, biyen ‘dulu’, kepengker ‘yang lalu’), yang akan datang (sesuk ‘besok’, sukmben ‘besok’, mengko ‘nanti’,

mangke ‘nanti’), waktu netral (enjing ‘pagi’, siyang ‘siang’, ratri

‘sore’, sonten ‘malam’) tanpa ditambah penjelasan lain. Demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat dekat dengan penuturnya (kene ‘sini’, iki ‘ini’), agak dekat dengan penuturnya (kono ‘sana’, kae ‘itu’), dan menunjukkan secara eksplisit (Surakarta, Yogyakarta) (Sumarlam, 2009: 26).

Di bawah ini contoh pengacuan demonstratif tempat (lokatif) iku ‘itu’ yang mengacu pada Wisma Kalamangga:

(2) Ora bakal lidok, omah iku alamate wong kang kudu ditemoni.

(JK/5)

‘Tidak salah lagi, rumah itu adalah alamat yang harus dia temui.’

c) Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk, wujud,

commit to user

sikap, watak, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang sering digunakan untuk membandingkan di antaranya lir ‘seperti’, kadya

‘seperti’, prasasat ‘seperti, kaya-kaya ‘seperti’.

2) Penyulihan (Subtitusi)

Penyulihan atau subtitusi ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Dilihat dari segi satuan lingualnya, subtitusi dapat dibedakan menjadi suntitusi nominal, verbal, frasal, dan klausal (Sumarlam, 2009: 28).

a) Subtitusi Nominal

Subtitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkatagori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkatagori nomina.

b) Subtitusi Verbal

Subtitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkatagori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lain yang juga berkatagori verba.

c) Subtitusi Frasal

Subtitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa.

commit to user

d) Subtitusi Klausal

Subtitusi klausal adalah penggantian satuan lingual yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lain yang berupa kata atau frasa.

Data yang menunjukkan salah satu jenis subtitusi :

(3) Pamomong wadon utawa emban. (JK/10)

‘Pengasuh perempuan atau pengasuh anak.’

3) Pelesapan (Elipsis)

Elipsis atau pelesapan adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur yang dilesapkan itu berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat. Adapun fungsi pelesapan dalam wacana antara lain ialah untuk (1) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektivitas kalimat), (2) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa, (3) mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi pembaca/pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa, dan (5) untuk kepraktisan berbahasa terutama dalam berkomunikasi secara lisan.

Contoh pelesapan (elipsis) dapat dilihat pada data sebagai berikut.

(4) Handaka lungguh, terus Ø rogoh-rogoh sake,lan Ø ngetokake

amplop layang. (JK/7)

Handaka duduk, kemudian Ø merogoh sakunya,dan Ø

commit to user

4) Perangkaian (Konjungsi)

Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan, dan topik pembicaraan dengan pemarkah alih topik atau pemarkah disjungtif (Sumarlam, 2009: 32). Perangkaian (conjuction) dilihat dari makna yang ditimbulkan, antara lain :

a) Sebab-akibat (kausalitas) : sebab ‘sebab’, awit ‘karena’, amarga ‘karena’, jalaran ‘karena’, mulane ‘makanya’, marga ‘karena’. b) Pertentangan : nanging ‘tetapi’.

c) Kelebihan (eksesif) : malah ‘malah’ d) Perkecualian (ekseptif) : kajaba ‘kecuali’.

e) Konsesif : sanadyan ‘meskipun’, nadyan ‘meski’.

f) Tujuan : amrih ‘supaya’, supados/supaya ‘supaya’.

g) Penambahan (aditif) : lan ‘dan’, uga/ugi ‘juga’, sarta ‘serta’.

h) Pilihan (alternatif) : utawa ‘atau’, apa ‘apa, punapa ‘apa- apa’

i) Harapan (optatif) : muga-muga ‘semoga’, mugi-mugi

‘semoga’

j) Urutan (sekuensial) : banjur ‘lalu’, terus ‘terus’, lajeng ‘kemudian’

k) Perlawanan : suwalike ‘sebaliknya’, kosokbaline

‘kebalikannya’

l) Waktu (temporal) : sawise ‘setelah’, sabubare ‘sesudah’,

sabanjure ‘setelah’, sadurunge

‘sebelumnya’

m) Syarat : yen ‘jika’, menawa ‘misalkan’,

mangkono ‘seperti itu’.

n) Cara : kanthi (cara) mangkono ‘dengan (cara) demikian’

commit to user

Adapun contoh berikut merupakan konjungsi penambahan (aditif) lan ‘dan’:

(5) Labur bureg lan pedhut pegunungan [...].(JK/5) ‘Dinding kusam dan kabut pegunungan [...].’

b. Kohesi Leksikal

Menurut Mulyana (2005: 29) kohesi leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Kohesi leksikal adalah hubungan antarunsur dalam wacana secara semantis. Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu (1) repetisi (pengulangan), (2) sinonim (padan kata), (3) kolokasi (sanding kata), (4) hiponimi (hubungan atas bawah), (5) antonimi (lawan kata), dan (6) ekuivalensi (kesepadanan). (Sumarlam, 2009: 35).

1) Repetisi (Pengulangan)

Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu :

a) Repetisi epizeuksis, ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut.

b) Repetisi tautotes pengulangan satuan lingual (kata) beberapa kali dalam sebuah konstruksi.

commit to user

c) Repetisi anafora pengulangan satuan lingual (kata) yang berupa kata atau fraa pertama pada tiap baris atau kaliat berikutnya. Pengulangan pada tiap baris biasanya terjadi dalam puisi, sedangkan pengulangan pada tiap kalimat terdapat dalam prosa. d) Repetisi epistrofa pengulangan satuan lingual (kata)/frasa pada

akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut.

e) Repetisi simploke pengulangan satuan lingual (kata) pada awal dan akhir beberapa baris/ kalimat berturut-turut.

f) Repetisi mesodiplosis pengulangan satuan lingual (kata) di tengah-tengah baris atau kalimat secara berturut-turut.

g) Repetisi epanalepsis pengulangan satuan lingual (kata) yang kata/ frasa terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/ frasa yang pertama.

h) Repetisi anadiplosis pengulangan satuan lingual (kata)/frasa terakhir dan baris/kalimat itu menjadi kata/ frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya (Sumarlam, 2009: 35-38).

Berikut merupakan contoh repetisi epistrofa:

(6) Dheweke pancen detektip. Profesine detektip. (JK/10)

‘Dia memang detektif. Profesinya detektif.’

2) Sinonimi (Padan Kata)

Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama

commit to user

dengan ungkapan lain (Abdul Chaer, 1990: 85). Atau sinonimi dapat juga berarti bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain, kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja (Harimurti Kridalaksana, 1993: 198).

Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu:

a) Sinonimi morfem (bebas) dengan morfem (terikat) b) Sinonimi kata dengan kata

c) Sinonimi kata dengan frasa d) Sinonimi frasa dengan frasa

e) Sinonimi klausa/kalimat dengan klausa/kalimat Contoh sinonimi frasa dengan kata:

(7) Pamomong wadon utawa emban. (JK/10) ‘Pengasuh perempuan atau pengasuh anak.’

3) Antonimi (Lawan Kata)

Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna.

Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu:

commit to user

b) Oposisi Kutub c) Oposisi Hubungan d) Oposisi Hirarkial e) Oposisi Majemuk

Contoh antonimi yang merupakan oposisi mutlak: (8) [...] mlebu metune hawa bebas. (JK/5)

‘[...] keluar masuknya udara bebas.’

4) Kolokasi (Sanding Kata)

Kolokasi merupakan asosiasi tertentu dalam diksi, unsur yang dipilih selalu berdampingan atau diramalkan pendampingnya (Fatimah Djajasudarma, 1994 : 73). Kolokasi (sanding kata) adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu dominan atau jaringan tertentu.

Contoh kolokasi (sanding kata) dapat dilihat pada data (9) berikut. (9) Kamar amba kuwi sajak didadekake kantoran. Kahanane dicukupi

mawa prekakas kantor kang modern. Ana meja kantor telu

Dokumen terkait