• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

B. Penanda Kohesi Leksikal

2. Sinonimi (Padan Kata)

Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama

commit to user

dengan ungkapan lain (Abdul Chaer, 1990: 85). Atau sinonimi dapat juga berarti bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain, kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja (Harimurti Kridalaksana, 1993: 198).

Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu:

a) Sinonimi morfem (bebas) dengan morfem (terikat) b) Sinonimi kata dengan kata

c) Sinonimi kata dengan frasa d) Sinonimi frasa dengan frasa

e) Sinonimi klausa/kalimat dengan klausa/kalimat Contoh sinonimi frasa dengan kata:

(7) Pamomong wadon utawa emban. (JK/10) ‘Pengasuh perempuan atau pengasuh anak.’

3) Antonimi (Lawan Kata)

Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna.

Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu:

commit to user

b) Oposisi Kutub c) Oposisi Hubungan d) Oposisi Hirarkial e) Oposisi Majemuk

Contoh antonimi yang merupakan oposisi mutlak: (8) [...] mlebu metune hawa bebas. (JK/5)

‘[...] keluar masuknya udara bebas.’

4) Kolokasi (Sanding Kata)

Kolokasi merupakan asosiasi tertentu dalam diksi, unsur yang dipilih selalu berdampingan atau diramalkan pendampingnya (Fatimah Djajasudarma, 1994 : 73). Kolokasi (sanding kata) adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu dominan atau jaringan tertentu.

Contoh kolokasi (sanding kata) dapat dilihat pada data (9) berikut. (9) Kamar amba kuwi sajak didadekake kantoran. Kahanane dicukupi

mawa prekakas kantor kang modern. Ana meja kantor telu

sakursi-kursine ditata ngubengi kamar, rak buku lan lemari

mepet temboke. Ing meja-mejane ana tumpukan buku, piranti

nulis, mesin ketik standar. (JK/6)

‘Kamar luas itu sepertinya dijadikan kantor. Tempatnya dilengkapi dengan peralatan kantor yang modern. Ada meja kantor tiga beserta kursi-kursinya ditata mengelilingi kamar, rak buku dan lemari berhimpitan dengan tembok. Di meja-mejanya ada tumpukan buku, alat tulis, mesin ketik standar.’

5) Hiponimi (Hubungan Atas-bawah)

Hiponim merupakan hubungan dalam semantik antara makna spesifik dan makna genetik, atau antara anggota taksonomi dan nama

commit to user

taksonomi (Harimurti Kridalaksana, 2001: 74). Hiponim dapat juga diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut ”hipernim” atau “superordinat”.

Berikut contoh data yang terdapat hipernim perkakas kantor ‘peralatan kantor’ dan sebagai hiponimnya adalah meja kantor ‘meja kantor’, kursi-kursi ‘kursi-kursi’, rak buku ‘rak buku’, lemari ‘almari’, tumpukan buku ‘tumpukan buku’, piranti nulis ‘peralatan

tulis’, mesin ketik ‘mesin ketik’:

(10) Kahanane dicukupi mawa prekakas kantor kang modern. Ana

meja kantor telu sakursi-kursine ditata ngubengi kamar, rak

buku lan lemari mepet temboke. Ing meja-mejane ana tumpukan

buku, piranti nulis, mesin ketik standar. (JK/6)

‘Tempatnya dilengkapi dengan peralatan kantor yang modern. Ada meja kantor tiga beserta kursi-kursinya ditata mengelilingi kamar, rak buku dan lemari berhimpitan dengan tembok. Di meja-mejanya ada tumpukan buku, alat tulis, mesin ketik standar.’

6) Ekuivalensi (Kesepadanan)

Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma.

Contoh ekuivalensi (kesepadanan):

(11) Saben lawang kamar kayune pasangan rong lembaran, gedhe lan

dhuwur, ing ndhuwure isih nganggo kisi-kisi bolong kanggo

mlebu-metune hawa bebas. (JK/5)

‘Setiap pintu kamar kayunya sepasang dua lembar, besar dan tinggi, di atasnya masih terdapat ventilasi untuk keluar masuknya udara bebas.’

commit to user

2. Koherensi

Pengertian koherensi tidak terlepas pada bahasa, keutuhan wacana lebih banyak ditentukan oleh kesatuan maknanya, sedangkan kesatuan makna hanya terjadi bila dalam wacana tersebut terdapat sarana-sarana koherensi yang mampu mempertalikan kalimat-kalimat dalam wacana. Pentingnya isi suatu wacana merupakan sarana yang ampuh dalam pencapaian koherensi di dalam wacana berarti pertalian pengertian yang lain (Henry Guntur Tarigan, 1993: 32).

Menurut Fatimah Djajasudarma (1994: 46) koherensi merujuk pada perpautan makna. Mulyana (2005: 31) menyatakan bahwa hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis.

Sarana koherensi wacana dapat berupa referensi dan inferensi yang berfungsi memperjelaskan dan mempertalikan makna kalimat dalam wacana. Referensi merupakan ungkapan kebahasaan yang dipakai seorang pembicara untuk mengacu kalimat-kalimat yang dibicarakan itu. Inferensi merupakan proses yang dilakukan oleh pembicara atau pendengar untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan (Moeliono, 1988: 358).

Kohesi dan koherensi umumnya berhubungan, tetapi tidak berarti kohesi harus selalu ada agar wacana menjadi koheren (Fatimah Djajasudarma, 1994: 47). Pengertian tentang koherensi tidak terletak pada bahasa, keutuhan wacana lebih banyak ditentukan oleh kesatuan maknanya sedangkan kesatuan

commit to user

makna hanya terjadi bila dalam wacana tersebut terdapat sarana-sarana koherensi yang mampu mempertalikan kalimat-kalimat dalam wacana.

Adapun sarana koherensi yang dipergunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini adalah berupa: (1) sebab-akibat (marga ‘karena’, sebab ‘karena’); (2) penekanan (samsaya ‘semakin’, saya makin’, pancen

memang’); (3) lokasi/kala (Surabaya ‘Surabaya’, sesuk ‘besok’); (4) penambahan (lan ‘dan’, uga ‘juga’, saha ‘dan’); (5) penyimpulan (dadi ‘jadi’, mila ‘maka’); (6) pertentangan (nanging ‘tetapi’).

a. Penanda Koherensi Sebab-Akibat

Penanda koherensi yang bermakna sebab akibat diwujudkan dalam bentuk kata, yang muncul dalam sebuah wacana. Kata tersebut menggabungkan antara dua klausa atau lebih dalam sebuah wacana. Penanda koherensi yang bermakna sebab akibat yang ditemukan dalam penelitian ini adalah marga ‘karena’, awit ‘karena’, dan jalaran ‘karena’.

Dalam novel Jaring Kalamangga dapat dilihat pada:

(12) Marga kabeh wis bisa nglakoni uripe kanthi madeg dhewe-dhewe,

mula Handaka tanggap, bisa open karo awake dhewe lan pakaryane

dhewe. (JK/29-30)

‘Karena semua sudah bisa menjalani hidupnya secara mandiri, maka Handaka menyadari bisa memperhatikan dirinya dan pekerjaanya.’

b. Penanda Koherensi Penekanan

Koherensi penekanan dalam sebuah wacana berfungsi untuk menyatakan penekanan terhadap sesuatu maksud yang telah dinyatakan dalam kalimat sebelumnya. Bentuk koherensi yang bermakna penekanan diwujudkan dalam kata samsaya ‘semakin’ yang biasanya dalam

commit to user

penggunaan sering disingkat dengan kata saya ‘makin’, pancen

‘memang’, dan juga tambah ‘semakin’.

(13) “Hm, Jamane pancen isih ngene! Geger politik gak uwis-uwis.”

(JK/23)

“(Hm), Zamannya memang masih seperti ini! Masalah politik tidak kunjung selesai.”

c. Penanda Koherensi Lokasi/Kala

Koherensi yang menyatakan makna lokasi dan kala digunakan untuk menyatakan suatu tempat dan waktu tertentu sehingga dapat menambah kekoherensian wacana. Koherensi yang menyatakan makna lokasi dan makna kala dapat berupa kata maupun frasa. Hal tersebut dapat dilihat pada wacana sebagai berikut.

(14) "Sesuk kowe bisa mrene aweh katetepan. Jam yah mene. Nanging

yen sesuk kowe mrene sing dirembug bab penggawean ngethik tok,

bisike lirih, nyawang Handaka liwat alise. Bab detektip aja dirembug maneh. Ngreti karepku? Ing kene kowe nginep ngendi? Iki mau kowe

rak ora langsung saka biromu ing Surabaya, ta? Sing alamate kaya

suratku kuwi?” (JK/13).

’Besok kamu bisa ke sini memberi keputusan. Jam sekian. Tetapi kalau besok kamu ke sini yang dibahas tentang pekerjaan lagi. Tahu maksud saya? Di sini kamu menginap dimana? Tadi kamu tidak langsung dari biromu di Surabaya kan? Alamatnya seperti pada surat saya itu?’

d. Penanda Koherensi Penambahan

Koherensi yang dapat menimbulkan makna penambahan dalam sebuah wacana dapat berbentuk kata maupun frasa. Dalam bentuk kata dapat disebutkan antara lain bentuk lan ‘dan’, uga ‘juga’, saha ‘dan’,

sarta ‘serta’, dalasan ‘dan’, miwah ‘dan’. Hal tersebut dapat dilihat pada

commit to user

(15) "Lan aja lali layang-layang baku minangka curriculum-vitae-mmu

sing nyatakake kowe kuwi juru ketik.” (JK/13).

“Dan jangan lupa surat-surat baku yang menyatakan bahwa kamu adalah juru ketik.”

e. Penanda Koherensi Penyimpulan

Koherensi yang dapat menimbulkan makna penyimpulan dalam wacana dapat diwujudkan dalam bentuk kata dadi ‘jadi’, mila ‘maka’, maupun bentuk frasa pramila menika ‘maka dari itu.’ Hal tersebut dapat dilihat pada wacana sebagai berikut.

(16) "Yen ten griya bobrok kilen niku kaet riyin pancen mboten diwatesi

pager. Mila kalih ngriki kados dados sapekawisan.” (JK/43)

‘Kalau rumah rusak yang sebelah barat itu dari dulu memang tidak dibatasi pagar. Maka dari itu seperti satu pekarangan dengan rumah ini.’

f. Penanda Koherensi Pertentangan

Koherensi yang bersifat pertentangan menyatakan makna suatu hal yang bertentangan dengan makna sebelumnya. Bentuk-bentuk yang sering muncul dalam wacana bahasa Jawa yaitu ananging/nanging ‘tetapi’,

suwalike ‘sebaliknya’, dan bentuk seperti frasa ewosemana/ewamangkana

‘namun demikian’. Dalam wacana ini ditunjukkan penggunaan penanda tersebut.

(17) "O, niku rak margi sidatan king kampung nginggil mriku kesah teng peken Tretes ngandhap ngrika, tiyang-tiyang sami langkung mriku.

Nanging, sakniki pun ditutup kalih Ajis.” (JK/43)

“O, itu kan jalan pintas dari kampung dari atas itu kalau mau ke pasar Tretes di bawah sana, orang-orang lewat situ. Tetapi, sekarang sudah ditutup sama Ajis.”

commit to user

33 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara, alat prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksananakan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan sampel data, teknik pengumpulan data dan analisis data (Edi Subroto, 1992: 31).

Dalam metode penelitian ini akan dijelaskan mengenai beberapa hal, antara lain (a) jenis penelitian, (b) data dan sumber data, (c) alat penelitian, (d) populasi dan sampel, (e) metode pengumpulan data, (f) metode analisis data, dan (g) metode penyajian hasil analisis.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu penelitian yang kerjanya menyajikan data berdasarkan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang ada (Sudaryanto, 1992: 5). Data yang terkumpul berupa kata-kata dalam bentuk kalimat dan bukan angka-angka.

B. Data dan Sumber Data

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1990: 3). Data penelitian ini berupa data tulis yang berbentuk kalimat berbahasa Jawa yang mengandung

commit to user

kohesi gramatikal dan leksikal, serta koherensi dalam wacana novel berbahasa Jawa Jaring Kalamangga karya Suparto Brata.

Sumber data merupakan bahan mentah data atau asal muasal data, Bahan mentah data dalam bentuk konkret tampak sebagai segenap tuturan apapun yang dipilih oleh peneliti karena dipandang cukup mewakili, sumber data merupakan penghasil atau pencipta data (Sudaryanto, 1990: 33). Adapun sumber data dalam penelitian ini berupa naskah atau teks novel Jaring Kalamangga karya Suparto Brata, yang diterbitkan oleh Narasi-Yogyakarta tahun 2007.

C. Alat Penelitian

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Disebut utama karena alat tersebut paling dominan dalam penelitian, sedangkan alat bantu berguna untuk membantu memperlancar jalannya penelitian. Alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, sedangkan alat bantu adalah alat tulis, buku catatan, komputer, kertas HVS, dan alat lain yang dapat membantu jalannya penelitian ini.

D. Populasi dan Sampel

Sudaryanto (1990: 35) mengatakan bahwa populasi adalah tuturan yang ada atau ditiadakan, baik kemudian terpilih sebagai sampel maupun tidak, sebagai satu kesatuan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua kata, frasa, klausa, kalimat berbahasa Jawa yang terdapat pada sumber data.

Sampel adalah bagian dari keseluruhan populasi yang memberi gambaran akan populasinya (Edi Subroto, 1992: 91) Pengambilan sampel dalam penelitian

commit to user

ini menggunakan purposive sampling maksudnya, pengambilan sampel secara selektif dan benar-benar memenuhi kepentingan dan tujuan penelitian berdasarkan data yang ada. Sampel dalam penelitian ini adalah kalimat berbahasa Jawa yang mengandung kohesi gramatikal dan leksikal, serta koherensi dalam novel berbahasa Jawa Jaring Kalamangga karya Suparto Brata yang dapat mewakili populasi.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2001: 136). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Metode simak atau penyimakan adalah metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1988: 2). Penggunaan metode simak dalam pengumpulan data penelitian ini yakni peneliti mengamati semua kata, frase, klausa, dan kalimat berbahasa Jawa yang mengandung kohesi gramatikal dan leksikal dalam wacana novel Jaring Kalamangga karya Suparto Brata. Adapun teknik dasar yang dipakai adalah teknik pustaka dan dilanjutkan dengan teknik catat.

Teknik pustaka adalah peneliti berperan sebagai instrumen kunci melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data utama dalam rangka memperoleh data yang dibutuhkan. Hasil penyimakan kemudian dicatat sebagai sumber data (Edi Subroto, 1992: 42).

commit to user

F. Metode Analisis Data

Setelah data dikumpulkan, diseleksi dan diklasifikasikan langkah selanjutnya adalah analisis data. Adapun metode analisis yang peneliti gunakan adalah metode distribusional. Metode distribusional adalah metode yang menganalisis bahasa berdasarkan perilaku atau tingkah laku satuan-satuan lingual tertentu dan mengamati dalam hubungannya dengan satuan lingual yang lain (Edi Subroto, 1992: 64). Teknik lanjutannya menggunakan teknik BUL (Bagi Unsur Langsung). Cara kerja teknik BUL ini adalah membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa unsur dan unsur-unsur yang bersangkutan merupakan bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud. Teknik BUL ini dipakai untuk menganalisis bentuk penanda kohesi gramatikal dan leksikal dalam novel

Jaring Kalamangga karya Suparto Brata, kemudian dilanjutkan dengan teknik

lesap dan teknik ganti.

Teknik lesap digunakan untuk menganalisis dan memgetahui kadar keintian unsur yang dilesapkan (Sudaryanto, 1993: 42). Jika hasil dari pelesapan tidak gramatikal maka unsur yang bersangkutan memiliki kadar keintian yang tinggi atau bersifat inti sehingga tidak dapat dihilangkan. Seperti halnya dengan teknik lesap, teknik ganti digunakan untuk mengetahui kadar keintian yang diganti.

Contoh penerapan metode analisis sebagai berikut:

(18) Omah sing diparani Handaka iku gedhe njeganggrang. (JK/5) ‘Rumah yang didatangi oleh Handaka itu besar sekali.’

commit to user

Pada data (18) terdapat pengacuan demonstratif tempat iku ’itu’ yang merujuk pada rumah yang didatangi Handaka. Pengacuan tersebut merupakan pengacuan endofora yang bersifat anaforis.

Kemudian data (18) diuji dengan teknik BUL menjadi berikut. (18a) omah sing diparani Handaka iku

’rumah yang didatangi Handaka itu’ (18b) gedhe njeganggrang.

’besar sekali.’

Kemudian dianalisis dengan teknik lesap menjadi berikut. (18c) omah sing diparani Handaka Ø

’rumah yang didatangi Handaka Ø’

Data (18c) gramatikal, walaupun penanda kohesi pengacuan demonstratif tempat iku ’itu’ dilesapkan, tetapi akan lebih baik jika pengacuan demonstratif tersebut hadir. Kemudian data (18) diuji dengan teknik ganti menjadi berikut :

iku

(18d) omah sing diparani Handaka kae *punika

itu ’rumah yang didatangi Handaka itu *itu

Penanda kohesi pengacuan demonstratif tempat iku ’itu’ apabila diganti dengan kae ‘itu’ secara gramatikal dapat berterima karena berada pada tingkat tutur yang sama, tetapi keduanya berbeda terkait dengan arah dan jarak waktu antara keduanya, iku ‘itu’ menunjuk pada arah yang lebih dekat dibandingkan

commit to user

dengan kae ‘itu’. Apabila diganti dengan punika ’ini’ tidak bisa berterima dengan baik karena berbeda tingkat tuturnya, iku termasuk ragam ngoko, sedangkan

punika termasuk ragam krama meskipun kalimatnya tetap gramatikal dan tidak

merubah maksudnya.

(19) Riyin griya niku rak pun bobrok dienggeni Jepang. Jaman semanten kathah

griya pesanggrahan dhaerah mriki ditinggal Welandi sing gadhah, risak

[…]. (JK/42).

‘Dahulu rumah itu sudah rusak dipakai Jepang. Waktu itu banyak rumah pesanggrahan di daerah sini ditinggalkan oleh pemiliknya yakni Belanda, rusak […]’

Pada data (19) terdapat penyulihan (subtitusi) yaitu satuan lingual bobrok ’rusak’ yang telah disebut terdahulu digantikan oleh satuan lingual risak ’rusak’ yang disebutkan kemudian.

Kemudian data (19) diuji dengan teknik BUL menjadi seperti berikut. (19a) Riyin griya niku rak pun bobrok dienggeni Jepang.

‘Dahulu rumah itu sudah rusak ditempati Jepang.’

(19b) Jaman semanten kathah griya pesanggrahan dhaerah mriki ditinggal

Welandi sing gadhah, risak […].

‘Waktu itu banyak rumah pesanggrahan di daerah sini ditinggalkan oleh pemiliknya yakni Belanda, rusak […].’

Kemudian diuji dengan teknik lesap menjadi berikut.

(19c) Riyin griya niku rak pun Ǿ dienggeni Jepang. Jaman semanten kathah

griya pesanggrahan dhaerah mriki ditinggal Welandi sing gadhah, Ǿ [….].

‘Dahulu rumah sudah Ǿ ditempati Jepang. Waktu itu banyak rumah pesanggrahan di daerah sini yang ditinggalka pemiliknya yakni Belanda, Ǿ […]’

Pada data (19c) satuan lingual bobrok dan risak tidak dapat dilesapkan karena kalimatnya menjadi tidak gramatikal. Hal ini menunjukkan bahwa

commit to user

kehadiran satuan lingual bobrok ’rusak’ dan risak ’rusak’ mutlak diperlukan dan memiliki tingkat keintian yang tinggi.

(20) Wit-witan ing platarane gedhe-gedhe lan singup, nanging meksa katon cilik

katandhing karo njenggerenge omah. (JK/5)

’Pepohonan di halamannya besar-besar dan menyeramkan, tetapi masih terlihat kecil dibandingkan dengan besarnya rumah.’

Pada data (20) terdapat konjungsi pertentangan/adservatif yaitu kata

nanging ’tetapi’ yang mempertentangkan antara klausa wit-witan ing platarane

gedhe-gedhe lan singup ’pepohonan di halamannya besar-besar dan

menyeramkan’ dengan klausa berikutnya yaitu meksa katon cilik katandhing karo

njenggerenge omah ’masih terlihat kecil dibandingkan dengan besarnya rumah’.

Kemudian dianalis dengan BUL yaitu dibagi atas dua unsur langsungnya : (20a) Wit-witan ing platarane gedhe-gedhe lan singup

’Pepohonan di halamannnya besar-besar dan menyeramkan’ (20b) nanging meksa katon cilik katandhing karo njenggerenge omah

’tetapi masih terlihat kecil dibandingkan dengan besarnya rumah.’ Kemudian diuji dengan teknik lesap menjadi data (3c) berikut:

(20c) Wit-witan ing platarane gedhe-gedhe lan singup, Ø meksa katon cilik katandhing karo njenggerenge omah.

’Pepohonan di halamannya besar-besar dan menyeramkan, Ø masih terlihat kecil dibandingkan dengan besarnya rumah.’

Pada data (20c) konjungsi nanging ’tetapi’ dilesapkan ternyata kalimatnya tetap gramatikal, tetapi maknanya berubah. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran

nanging mutlak diperlukan.

(21) Dadi lawang sing kayu sepasang mbukake manjaba, sing kayu separo kaca

uga sepasang, mbukake manjero.(JK/6)

’Jadi pintu kayu yang sepasang membukanya ke arah luar, yang kayu setengah kaca juga sepasang membukanya ke arah dalam.’

commit to user

Kemudian dianalisis dengan BUL menjadi seperti berikut. (21a) Dadi lawang sing kayu sepasang mbukake manjaba

’Jadi pintu kayu yang sepasang membukanya ke arah luar.’ (21b)[...] sing kayu separo kaca uga sepasang, mbukakemanjero.

‘[...] yang kayu setengah kaca juga sepasang membukanya ke arah dalam.’ Selanjutnya diuji dengan teknik lesap menjadi berikut.

(21c) Dadi lawang sing kayu sepasang mbukake Ø, sing kayu separo kaca uga sepasang, mbukake Ø.

’Jadi pintu kayu yang sepasang membukanya Ø, yang kayu setengah kaca juga sepasang membukanya Ø.

Data (21c) menunjukkan bahwa kata manjaba dan manjero mempunyai tingkat keintian yang tinggi sehingga kehadirannya mutlak diperlukan.

(22) Jelas bangunan kolonial, bangunan jaman Landa biyen. (JK/5) ’Jelas bangunan kolonial, bangunan zaman Belanda dahulu.’

Pada data (22) di atas tampak adanya kepaduan wacana yang didukung oleh aspek leksikal berupa sinonimi antara frasa bangunan kolonial dan

bangunan jaman Landa. Kedua kata tersebut maknanya sepadan.

Selanjutnya dianalisis dengan teknik BUL menjadi : (22a) Jelas bangunan kolonial

’Jelas bangunan kolonial.’

(22b) [ ... ] bangunan jaman Landa biyen.

’bangunan zaman Belanda dahulu.’

Kemudian diuji dengan teknik lesap menjadi berikut : (22c) Jelas Ø, Ø biyen.

‘Jelas Ø, Ø dahulu.’

Setelah data (22c) diuji dengan teknik lesap terlihat bahwa kalimatnya menjadi tidak gramatikal dan tidak jelas maksudnya. Hal ini membuktikan bahwa

commit to user

kehadiran frasa bangunan kolonial dan bangunan jaman Landa sangat diperlukan.

Adapun metode kedua yang dipakai dalam mengkaji sarana koherensi adalah metode padan. Metode padan adalah metode analisis dengan alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13-15). Alat penentunya adalah kenyataan atau segala sesuatu (bersifat luar bahasa) yang ditunjukkan oleh bahasa (penekanan, kesimpulan, penambahan). Menurut Sudaryanto (1993: 13) metode padan berdasarkan alat penentunya dibagi menjadi 5 yaitu:

1. Metode padan referensial dengan alat penentunya kenyataan yang ditunjuk bahasa atau referen bahasa.

2. Metode padan fonetis artikulatoris dengan alat penentunya organ bicara atau organ pembentuk bahasa.

3. Metode padan translational dengan alat penentunya bahasa lain. 4. Metode padan ortografis dengan alat penentunya tulisan.

5. Metode padan pragmatis dengan alat penentunya mitra tutur.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode padan referensial untuk mengetahui makna yang ditunjukkan oleh sarana koherensi. Contoh penerapannya sebagai berikut.

(23) Marga kabeh wis bisa nglakoni uripe kanthi madeg dhewe-dhewe, mula

Handaka tanggap, bisa open karo awake dhewe lan pakaryane dhewe.

commit to user

‘Karena semua sudah bisa menjalani hidupnya secara mandiri, maka dari itu Handaka bisa memperhatikan dirinya dan pekerjaanya.’

Koherensi marga 'karena' menunjukkan hubungan sebab akibat, karena kata tersebut menghubungkan klausa kabeh wis bisa nglakoni uripe kanthi

madeg dhewe-dhewe ‘semua sudah bisa menjalani hidupnya secara mandiri’

sebagai sebab dan klausa mula Handaka tanggap, bisa open karo awake

dhewe lan pakaryane dhewe ‘maka dari itu Handaka bisa memperhatikan

dirinya dan pekerjaanya’ sebagai akibat.

G. Metode Penyajian Hasil Analisis

Metode penyajian hasil analisis penelitian ini menggunakan metode formal dan metode informal. Metode formal adalah perumusan dengan tanda-tanda yang dimaksud adalah tanda kurung biasa (( )); tanda garis miring (/); tanda pelesapan (Ø); tanda kurung kurawal ({}); tanda untuk mengungkapkan tuturan atau ungkapan yang tidak gramatikal (*) dan tanda untuk menyatakan terjemahan dari

Dokumen terkait