• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

II.2. Landasan Teori

Untuk menghitung biaya dan pendapatan dalam usaha tani dapat dingunakan tiga jenis pendekatan yaitu pendekatan nominal (nominal approach), pendekatan nilai yang akan datang (future value approach), dan pendekatan nilai sekarang (present value approach). Namun pada penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan nilai sekarang (present value approach), yaitu, pendekatan yang memperhitungkan semua pengeluaran dan penerimaan dalam proses produksi pada saat dimulainya proses produksi (Suratiyah, 2009).

Pendapatan usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Barangkali ukuran yang sangat berguna untuk menilai penampilan usahatani kecil adalah penghasilan usahatani. Angka ini diperoleh dari pendapatan usahatani dengan menggurangkan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman (Soekartawi, 1995).

Selanjutnya Soekartawi (1995) dalam bukunya menyatakan bahwa penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dilukiskan sebagai berikut,

TR = Y . Py

dimana,

TR = Total penerimaan yang diterima petani kopi Arabika (Rp.) Y = Produksi kopi Arabika (kg)

Menurut Soekartawi (1995), pendapatan petani dari usahatani dapat dihitung dengan menggunakan rumus,

π = TR – TC

dengan,

π = Pendapatan petani (Rp.) TR = Total penerimaan petani (Rp.) TC = Total biaya produksi (Rp.)

Cara perhitungan distribusi pendapatan suatu daerah akan menentukan bagaimana pendapatan suatu daerah mampu menciptakan perubahan dan perbaikan dalam kehidupan masyarakatnya, seperti mengurangi kemiskinan, pengangguran dan kesulitan lain dalam masyarakat. Distribusi pendapatan suatu daerah yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakatnya secara umum. Sistem distribusi yang tidak merata hanya akan menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja. Begitu pula sebaliknya, distribusi pendapatan suatu daerah yang merata akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakatnya karena sistem ini mampu menciptakan kemakmuran bagi seluruh lapisan masyarakatnya. Perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Pihak yang memiliki faktor produksi yang lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak juga.

Ada sejumlah alat atau media untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Alat atau media yang lazim digunakan adalah Koefisien Gini (Gini Ratio) dan cara perhitungan yang digunakan oleh Bank Dunia. Koefisien Gini (Gini Ratio) merupakan ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan atau kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Untuk

menghitung besarnya nilai koefisien Gini (Gini Ratio) dapat digunakan rumus berikut, ��= � – � ��� �=� (��−�+) dengan,

GR = Angka koefisien Gini (Gini Ratio) fx = Proporsi jumlah RT

Yi = Proporsi jumlah pendapatan RT kumulatif i = Index yang menunjukkan nomor sampel

Untuk negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, indikator nilai koefisien Gini (Gini Ratio) yang menentukan tingkat ketimpangannya dapat dilihat pada tabel berikut ini,

Tabel 2. Indikator Ketimpangan Gini Ratio. Nilai Gini Ratio Tingkat Ketimpangan

< 0,35 Rendah 0,35 – 0,5 Sedang > 0,5 Tinggi

Sumber :http://statistikaterapan.files.wordpress.com

Koefisien Gini (Gini Ratio) biasanya diperlihatkan oleh kurva yang dinamakan kurva Lorenz. Kurva ini memperlihatkan hubungan kuantitatif antara prosentase penerimaan pendapatan penduduk dengan prosentase pendapatan yang benar-benar diperoleh selama kurun waktu tertentu, biasanya satu tahun. Kurva Lorenz

dan Koefisien Gini (Gini Ratio) dapat dipergunakan untuk mengukur dan membandingkan ketimpangan dari distribusi pendapatan masyarakat dalam suatu daerah. Bentuk kurva Lorenz dapat dilihat dari gambar berikut ini,

Gambar 2. Bentuk Kurva Lorenz

Sumber :http://www.dadang-solihin.blogspot.com

Setiap titik yang terdapat pada garis diagonal melambangkan prosentase jumlah penerimanya (prosentase penduduk yang menerima pendapatan itu terdapat total penduduk atau populasi). Sebagai contoh, titik tengah garis diagonal melambangkan 50 persen pendapatan yang tepat didistribusikan untuk 50 persen dari jumlah penduduk. Titik yang terletak pada posisi tiga perempat garis diagonal melambangkan 75 persen pendapatan nasional yang didistribusikan kepada 75 persen dari jumlah penduduk. Garis diagonal merupakan garis "pemerataan sempurna" (perfect equality) dalam distribusi ukuran pendapatan.

Prosentase pendapatan yang ditunjukkan oleh titik-titik disepanjang garis diagonal tersebut sama dengan prosentase penduduk penerimanya terhadap total penduduk. Titik A menunjukkan bahwa 10% kelompok penduduk terbawah (termiskin) dari total penduduk hanya menerima 1,8% total pendapatan (pendapatan nasional). Titik B menunjukkan bahwa 20% kelompok terbawah yang hanya menerima 5%

dari total pendapatan, demikian seterusnya bagi setiap delapan kelompok lainnya. Perhatikanlah bahwa titik tengah, menunjukkan 50% penduduk hanya menerima 19,8% dari total pendapatan. Semakin tinggi derajat ketidakmerataan maka kurva

Lorenz akan semakin melengkung (cembung) dan semakin mendekati sumbu horizontal sebelah bawah.

Koefisien Gini (Gini Ratio) pertama kali dirumuskan oleh seorang ahli statistik Italia pada tahun 1912, yaitu, Corrado Gini. Gini Ratio merupakan ukuran statistik yang terkait dengan jumlah kumulatif dari total penduduk yang menerima pendapatan terhadap prosentase dari total pendapatan yang ada dalam suatu daerah yang diurutkan meningkat sesuai ukurannya. Nilai maksimum dan minimum dari Gini Ratio masing-masing adalah satu dan nol, berturut-turut mewakili ketimpangan sempurna dan pemerataan sempurna. Perkiraan mengenai bentuk kurva Lorenz dapat dilihat pada gambar dibawah ini,

Gambar 3. Perkiraan Bentuk Kurva Lorenz

Dari gambar diatas dapat diketahui bahwa jika nilai Gini Ratio sebesar 0 (pemerataan sempurna) maka kurva Lorenz akan terletak sepanjang garis BD. Jika nilai Gini Ratio terletak antara 0 dan 1 (0 < GR < 1) maka kurva Lorenz akan berbentuk seperti gambar kurva Lorenz diatas, dimana “lengkungan” dari kurva

Lorenz tergantung dari besar kecilnya nilai Gini Ratio. Semakin besar nilai Gini Ratio maka bentuk lengkungan kurva Lorenz akan semakin mendekati garis BCD, begitu juga sebaliknya jika nilai Gini Ratio semakin kecil maka bentuk lengkungan kurva Lorenz akan semakin mendekati garis BD. Kemudian, jika nilai

Gini Ratio sebesar 1 (ketimpangan sempurna) maka kurva Lorenz akan terletak sepanjang garis BCD.

Gini Ratio merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Semakin kecil nilai Gini Ratio, mengindikasikan semakin meratanya distribusi pendapatan, sebaliknya semakin besar nilai Gini Ratio mengindikasikan distribusi pendapatan yang semakin timpang (senjang) antar kelompok penerima pendapatan. Secara khusus dapat diartikan bahwa jika nilai Gini Ratio sebesar 0 berarti terdapat kemerataan sempurna atau setiap orang memperoleh pendapatan yang sama persis dan jika nilai Gini Ratio sebesar 1 berarti terjadi ketidakmerataaan sempurna dimana satu orang mampu memiliki serta menguasai seluruh pendapatan total di suatu daerah, sementara lainnya tidak memperoleh pendapatan sama sekali.

Selain penggunaan koefisien Gini (Gini Ratio) yang dilengkapi dengan kurva

Lorenz, distribusi pendapatan juga dapat dilihat dengan menggunakan kriteria yang ditentukan Bank Dunia (World Bank). Ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan kriteria Bank Dunia ini diperoleh dengan menghitung prosentase jumlah pendapatan penduduk dari kelompok yang berpendapatan rendah (40% terendah) dibandingkan dengan total pendapatan seluruh penduduk. Bank dunia mengklasifikasikan tingkat ketimpangan berdasarkan tiga kategori.

Tabel 3. Indikator Ketimpangan Menurut Bank Dunia (World Bank). Klasifikasi Distribusi Pendapatan

Ketimpangan Tinggi 40% penduduk berpendapatan rendah menerima < 12% dari total pendapatan

Ketimpangan Sedang 4 % penduduk berpendapatan rendah menerima 12% – 17% dari total pendapatan

Ketimpangan Rendah 40% penduduk berpendapatan rendah menerima > 17% dari total pendapatan

Sumber : http://statistikaterapan.files.wordpress.com

Untuk mengetahui taraf hidup petani digunakan klasifikasi kemiskinan didaerah pedesaan dengan cara menghitung pendapatan rumah tangga petani dan pendapatan per-kapita yang disetarakan dengan kg beras. Menurut Sayogyo (1988), kemiskinan untuk daerah pedesaan berdasarkan ekiuvalen konsumsi beras per-kapita per-tahun dapat dibagi kedalam lima kategori, yakni,

a. Paling miskin, bila konsumsi beras sebanyak < 180 kg/kapita/tahun b. Miskin sekali, bila konsumsi beras sebanyak 180 – 240 kg/kapita/tahun c. Miskin, bila konsumsi beras sebanyak 241 – 320 kg/kapita/tahun d. Nyaris miskin, bila konsumsi beras sebanyak 321 – 480 kg/kapita/tahun e. Diatas garis kemiskinan (tidak miskin), bila konsumsi beras sebanyak > 480

Sedangkan Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per-kapita dalam sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dengan acuan yang digunakan ialah 2.100 kalori per-hari. Adapun pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Selama periode 1976 sampai sekarang, telah terjadi peningkatan batas garis kemiskinan oleh BPS, yang disesuaikan dengan kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat. Batas garis kemiskinan ini dibedakan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Berikut ini akan digambarkan melalui tabel mengenai indikator garis kemiskinan, jumlah penduduk serta prosentase penduduk miskin di Indonesia dalam kurun waktu Maret 2009 s/d Maret 2010 yang disusun oleh Badan Pusat Statistik Indonesia pada tahun 2011.

Tabel 4. Garis Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin Menurut Daerah (Kurun Waktu : Maret 2009 Maret 2010).

Daerah / Tahun

Garis Kemiskinan

(Rp. / Kapita / Bulan) Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Prosentase Penduduk Miskin (%) Makan Bukan Makanan Total Perkotaan Maret 2009 155.909 66.214 222.123 11,91 10,72 Maret 2010 163.077 69.912 232.989 11,10 09,87 Maret 2009 Pedesaan 139.331 40.503 179.835 20,62 17,35 Maret 2010 148.939 43.415 192.354 19,93 16,56 Maret 2009 Kota + Desa 147.339 52.923 200.262 32,53 14,15 Maret 2010 155.615 56.111 211.726 31,02 13,33

Dokumen terkait