• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan tepung ubi jalar berfungsi untuk memperpanjang daya simpan ubi jalar dan memperluas penggunaannya sebagai bahan baku berbagai jenis makanan. Ubi jalar yang digunakan dalam pembuatan tepung ini terdiri dari tiga warna yaitu ubi jalar putih (sukuh), ubi jalar merah (hasil kloning dari tanaman ubi jalar berproduktivitas tinggi dan tanaman ubi jalar berproduktivitas rendah), dan ubi jalar ungu (lokal). Gambar ubi jalar yang digunakan dalam pembuatan tepung dapat dilihat pada Lampiran 3.

Proses pembuatan tepung ubi jalar meliputi pencucian dan pengupasan secara manual, perendaman dalam larutan natrium metabisulfit tahap I, pemotongan dengan slicer, perendaman dalam larutan natrium metabisulfit tahap II, penirisan, pengeringan, penepungan dan pengayakan. Pencucian ubi jalar dilakukan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat pada ubi jalar, perendaman dalam larutan natrium metabisulfit 0.3% berfungsi untuk mencegah kontak langsung dengan udara dan berfungsi untuk menghambat reaksi Maillard, karena pada metabisulfit akan berikatan dengan gugus aldehid dari gula sehingga gugus aldehid tersebut tidak dapat bereaksi dengan senyawa-senyawa yang memiliki gugus NH, yaitu protein, akibatnya kadar protein dapat dipertahankan. Metabisulfit digunakan juga untuk mempertahankan warna dan citarasa. Pemotongan ubi jalar dilakukan dengan menggunakan slicer dengan ketebalan ± 1.5 mm sehingga berbentuk chips tipis sehingga mempermudah dan mempercepat pengeringan. Penirisan dilakukan untuk memisahkan air dari dalam bahan

Langkah selanjutnya adalah pengeringan dilakukan dengan menggunakan cabinet drier dengan suhu 60 oC yang bertujuan untuk mengurangi tekanan turgor sehingga bahan menjadi lebih rapuh dan mudah digiling (Kadarisman dan Sulaeman,1992). Pada pengering kabinet terdapat blower/kipas yang dapat menyebarkan udara panas ke seluruh bahan dengan cepat sehingga kadar air pada bahan cepat menguap. Penepungan dilakukan

dengan menggunakan disc mill dan masih diperoleh hasil penggilingan tepung yang kasar. Pengayakan dilakukan dengan menggunakan ayakan 60 mesh sehingga diperoleh tepung ubi jalar yang halus. Gambar tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 9, Gambar 10 dan Gambar 11.

Gambar 9. Tepung ubi jalar putih hasil pengayakan 60 mesh

Gambar 10. Tepung ubi jalar merah hasil pengayakan 60 mesh

Pembuatan tepung ubi jalar dilakukan dengan menggunakan bahan baku berupa ubi jalar putih, ubi jalar merah dan ubi jalar ungu dengan masing-masing berat awal sebesar 9.40 kg, 9.70 kg dan 8.10 kg dan setelah menjadi tepung menghasilkan berat sebesar 5.98 Kg, 5.85 Kg dan 5.67 Kg. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Analisis jumlah total padatan dan rendemen ubi jalar

Jenis Ubi

Sebelum Penepungan Setelah Penepungan

Rendemen total padatan (%) Rendemen ubi jalar (%) Berat Awal bahan (kg) Kadar Air Bahan (%) Total Padatan (kg) Berat Tepung (kg) Kadar Air Tepung (%) Total Padatan (kg) Tabel 1 2 3 = (100-2)) (1) 4 5 6 = (100-5)) (4) 7= (6) /( 3) 100% 8= (4) / (1) 100% Ubi Jalar Putih 9.40 62.59 3.52 2.84 5.98 2.67 75.85 30.21 Ubi Jalar Merah 9.70 73.81 2.59 1.88 5.85 1.77 68.34 19.38 Ubi Jalar Ungu 8.10 65.00 2.84 1.94 5.67 1.83 64.44 23.95

Dari Tabel 7.dapat terlihat adanya perbedaan nilai rendemen total padatan, hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan varietas di antara ketiga ubi jalar tersebut. Perbedaan varietas menyebabkan adanya perbedaan komponen penyusun yang ada di dalam bahan. Dengan dilakukannya pengeringan pada kondisi (waktu dan suhu) yang sama, maka jika semakin banyak bahan terlarut (komponen padat) yang terdapat pada bahan sementara kandungan air tinggi akan mengakibatkan semakin banyak padatan yang tertinggal dan semakin banyak air yang menghilang karena proses penguapan. Hal lain yang menyebabkan perbedaan nilai rendemen total padatan adalah faktor teknis seperti adanya bahan yang tertinggal pada waktu proses pengirisan, adanya daging umbi yang ikut terpotong pada waktu proses pemgupasan kulit secara manual dan proses pengayakan yang kurang sempurna.Dari tabel di atas, diperoleh juga data rendemen ubi jalar, data ini diperlukan untuk skala industri. Nilai rendemen yang dihasilkan adalah jumlah tepung yang dapat dihasilkan dari bobot ubi jalar keseluruhan. Rendemen ubi jalar yang tertinggi adalah ubi jalar putih sebesar 30.21% dengan kadar air bahan 62.59%. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa

ternyata kadar air berpengaruh terhadap nilai rendemen dimana semakin tinggi nilai kadar air maka semakin kecil nilai rendemennya karena pada saat proses pengeringan berlangsung menyebabkan air yang terkandung dalam bahan tersebut menghilang/menguap, akibatnya bobot dalam bahan menjadi berkurang.

2. Klorinasi Air dan Penentuan Residu Klorin

Pendirian pabrik chips ubi jalar yang berlokasi di Cibungbulang , Bogor- Barat merupakan kerjasama pihak Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Pemerintah Daerah Bogor dan PT. Bogasari Flour Mills. Pendirian pabrik ini pada nantinya akan memproduksi chips ubi jalar yang pada nantinya akan diaplikasikan untuk pembuatan ubi jalar yang akan diproduksi oleh PT. Bogasari Flour Mills. Untuk dapat memproduksi Chips ubi jalar yang akan digunakan pada skala industri nantinya maka diperlukan uji laboratorium terlebih dahulu. Pada penelitiaan ini dilakukan juga uji klorinasi air untuk pembuatan Chips dengan menggunakan air yang berasal dari pabrik di Cibungbulang. Pengujian klorinasi air dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan air yang akan digunakan sesuai untuk menghasilkan chips yang diinginkan. Chips ubi jalar yang diminta industri adalah yang memiliki nilai TPC (Total Plate Count) sebesar 103 CFU/gr dan memiliki kadar air maksimal 6%.

Penelitian diawali dengan penetapan residu klorin pada air yang akan digunakan untuk pembuatan chips ubi jalar. Penelitian residu klorin dilakukan dalam skala laboratorium dan terlebih dahulu menggunakan air yang berasal dari PT. FITS yang sudah difiltrasi.

Senyawa klorin yang digunakan adalah natrium hipoklorit. Natrium hipoklorit adalah senyawa-senyawa hipoklorit yang paling utama. Sanitaiser ini efektif dalam menginaktifkan sel-sel mikroba dalam suspensi air dan membutuhkan waktu kontak kira-kira 1.5-10 detik. Sanitaiser klorin efektif terhadap bakteri gram positif dan bakteri gram negatif dan terhadap beberapa virus dan spora-spora tertentu. Hanya larutan segar yang sebaiknya digunakan karena penyimpanan larutan bekas dapat menyebabkan turunnya

kekuatan dan aktifitas sanitaiser. Konsentrasi klorin aktif dapat diukur dengan mudah dengan menggunakan test kit untuk menjamin aplikasi dari konsentrasi yang diinginkan (Jenie, 1988). Pada penelitian ini pengukuran residu klorin menggunakan alat microchlorine test. Alat tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4.

Asam hipoklorit (HOCl) sendiri tidak stabil tetapi banyak garam-garamnya lebih stabil. Dalam larutan, garam-garam ini berdisosiasi untuk membentuk OCl- yang bertanggung jawab untuk sifat-sifat bakterisidal dari hipoklorit. Garam yang paling banyak digunakan adalah NaOCl yang tersedia dalam bentuk komersil sebagai cairan pekat mengandung 10-14% klorin (Jenie, 1988). NaOCl yang digunakan pada penelitian ini mengandung 10% klorin. Dalam penelitian Ukuku dan Sapers (2001), digunakan klorin sebanyak 1000 ppm untuk menginaktifkan Salmonella yang diinokulasikan ke permukaan buah Cantaloupe. Pada penelitian ini dibuat larutan stok klorin 50000 ppm. Pembuatan stok klorin dapat dilihat pada Lampiran 5. Hubungan dosis klorin dengan residu klorin dapat dilihat pada Tabel 8. dan Gambar 12. Tabel 8. Konsentrasi, residu dan harga klorin (Rp/ g)

Konsentrasi klorin yang ada

di larutan pencuci (g/lt) Residu klorin (ppm) Harga (Rp/g) 1.000 1.125 1.250 1.375 1.500 1.750 75 80 120 130 150 200 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 7.0 75 80 120 130 150 200 0.0 50.0 100.0 150.0 200.0 250.0 1.000 1.125 1.250 1.375 1.500 1.750 Konsentrasi Klorin yang Ada di Larutan Pencuci (g/lt)

Residu Kl

o

r

in

(ppm)

Pada Tabel 8. disajikan konsentrasi klorin yang ada di larutan pencuci, residu klorin dan harga klorin. Harga konsentrasi klorin yang terdapat dalam larutan pencuci sebesar 1.000 g/lt adalah sebesar 4.0 Rp/g nya. Dengan semakin tinggi konsentrasi klorin yang digunakan, maka harga klorin semakin naik. Analisis perhitungan harga klorin dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 12. menunjukkan dengan konsentrasi klorin sebesar 1.000 g/lt, 1.125 g/lt, 1.250 g/lt, 1.375 g/lt, 1.500 g/lt dan 1.750 g/lt dihasilkan residu klorin masing-masing sebesar 75 ppm, 80 ppm, 120 ppm, 130 ppm, 150 ppm dan 200 ppm. Bila penggunaan volume larutan klorin yang direkomendasikan dan konsentrasi yang cukup, maka efek sanitasi dapat dicapai. Pada grafik dapat dijelaskan bahwa pada residu klorin sebesar 75 ppm terjadi destruksi senyawa-senyawa pereduksi klorin, dan tidak terjadi desinfeksi. Pada residu klorin 80 ppm dan 120 ppm akan terbentuk senyawa-senyawa khloro organik dan amonia klorin yang mempunyai desinfeksi lambat. Selanjutnya pada residu klorin 130 ppm menyebabkan senyawa-senyawa khloro organik dapat dihancurkan. Sedangkan pada residu klorin 150 ppm dan 200 ppm terdapat klorin bebas dan mempunyai kerja desinfeksi yang cepat.

3. Pembuatan Chips Ubi Jalar Menggunakan Air yang Diklorinasi

Ubi jalar yang digunakan pada pembuatan chips ubi jalar ini adalah ubi jalar putih. Proses pembuatannya hampir sama dengan pembuatan tepung ubi jalar. Tahap pertama adalah pembersihan ubi jalar dari tanah dan kotoran yang melekat pada permukaan ubi. Selanjutnya ubi jalar dimasukkan ke dalam air rendaman klorin yang telah didiamkan terlebih dahulu selama 30 menit. Pendiaman terlebih dahulu selama 30 menit dimaksudkan agar adanya interaksi antara klor dengan air. Air klorin dibagi menjadi dua tempat supaya pencucian dapat berlangsung dalam dua tahap. Tahap pertama digunakan untuk membersihkan kotoran yang benar-benar melekat pada ubi jalar, dan tahap yang kedua digunakan untuk membersihkan sisa-sisa kotoran pada ubi jalar dari tahap pencucian pertama. Pada air klorin untuk pencucian tahap kedua, air klorin diberi

larutan metabisulfit 0.3% untuk mencegah pencoklatan. Setelah bersih, dilakukan pengecilan ukuran dengan ketebalan 1.5-2 mm menggunakan slicer. Pengecilan ukuran dilakukan bertujuan untuk meningkatkan rasio ukuran luas permukaan terhadap volume bahan sehingga akan meningkatkan pula laju pengeringan (Fellows, 2000). Setelah itu, dilakukan penirisan, dan kemudian dilakukan pengeringan dengan menggunakan cabinet drier 60 0C selama 5 jam.

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan air dari suatu bahan dengan penguapan melalui penggunaan energi panas. Menurut Buckle et al., (1978), faktor-faktor utama yang mempengaruhi kecepatan pengeringan dari suatu bahan pangan adalah sifat fisik dan kimia bahan, pengaturan geometris bahan dalam pengering, sifat-sifat fisik dan kimia bahan meliputi bentuk, ukuran, komposisi dan kadar air nya. Pengaturan geometris bahan berhubungan dengan permukaan alat atau media perantara pemindah panas.

Pengering kabinet terdiri dari struktur rangka dimana dinding, atap dan alas diisolasi untuk mencegah kehilangan panas, dilengkapi dengan kipas angin internal untuk menggerakkan medium pengering (biasanya udara) melalui sistem pemanas dan mengalirkannya secara merata melalui satu atau beberapa rak berisi bahan yang akan dikeringkan. Bahan yang akan dikeringkan disebar merata di atas nampan logam setebal 10-1000 mm (Hidayati, 2002). Alat pengering tipe kabinet cocok untuk mengeringkan sayuran dan buah-buahan. Alat pengering tipe kabinet memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan alat pengering ini adalah lebih sederhana dibandingkan dengan alat pengering lainnya dan tidak memerlukan areal yang begitu luas. Menurut Heldman dan Singh (1981), kekurangan alat ini antara lain ketidakseragaman tingkat kekeringan produk akibat letak rak yang bertingkat-tingkat dan kecepatan produk yang tidak sama, dimana produk akan lebih cepat kering jika dekat dengan tempat udara panas masuk pada areal pengeringan.

Sebagai tambahan, sebelumnya juga dilakukan pengeringan sawut ubi jalar dengan menggunakan bed dryer. Bed dryer yang digunakan adalah

Didacta dan Armfield,dengan ketebalan bed yang berbeda-beda. Suhu inlet atau suhu yang masuk pada alat pengering yang digunakan ada dua yaitu, berkisar 100-105 oC dan 60 oC. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Pengeringan sawut ubi jalar dengan menggunakan bed dryer

Bed dryer Tebal bed

(cm) Suhu inlet ( o C) Kadar air (%) Didacta 4 100-105 0.8884 0.9177 Didacta +3 100-105 1.1880 1.1347 Armfield 11.2 60 3.9363 3.9575 Armfield 11.2(top) 60 3.9526 4.0233

Pada tabel diatas, kadar air yang dihasilkan berbeda antara menggunakan suhu yang tinggi dan suhu yang rendah. Hasil yang diperoleh, sawut ubi jalar dengan menggunakan suhu yang lebih tinggi menghasilkan kadar air yang tinggi dan begitu pula sebaliknya

4. Pengukuran Total Plate Count (TPC)

Pengukuran Total Plate Count (TPC) bertujuan untuk mengukur total mikroba yang tedapat pada chips ubi jalar. Pada penelitiaan ini, untuk menentukan jumlah residu yang akan digunakan, maka diawali dengan dilakukannya pengukuran TPC pada chips ubi jalar dengan menggunakan air dari PT. FITS dengan konsentrasi klorin sebesar 1.000 g/lt, 1.125 g/lt, 1.250 g/lt, 1.375g/lt, 1.500 g/lt dan 1.750 g/lt. Hasil pengukuran TPC chips ubi jalar dengan menggunakan air PT. FITS dapat dilihat pada Tabel 10. dan Gambar 13.

Tabel 10. Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar menggunakan air PT.FITS terklorinasi

Konsentrasi klorin yang ada di larutan

pencuci (g/lt)

Jumlah mikroba

(CFU/gr) Log 10 CFU/gr

1.000 TBUD TBUD 1.125 TBUD TBUD 1.250 1.7 x 105 5.23 1.375 1.2 x 105 5.08 1.500 5.9 x 103 3.77 1.750 5.5 x 102 2.74

Histogram di atas menggambarkan bahwa penggunaan konsentrasi klorin 1.000 g/lt dan 1.125 g/lt menghasilkan jumlah TPC yaitu TBUD (Terlalu Banyak Untuk Dihitung), sedangkan dengan konsentrasi sebesar 1.250 g/lt, 1.375g/lt, 1.500 g/lt dan 1.750 g/lt masing-masing menghasilkan jumlah TPC sebesar 1.7 x 105 ( 5.23 Log 10 CFU/gr), 1.2 x 105 (5.08 Log 10

CFU/gr), 5.9 x 103 (3.77 Log 10 CFU/gr) dan 5.5 x 102 (2.74 Log 10

CFU/gr). Penggunaan konsentrasi klorin sebesar 1.750 g/lt menghasilkan jumlah TPC yang paling rendah dan nantinya akan digunakan untuk pencucian ubi jalar yang akan dibuat Chips.

Sebagai perbandingan Tabel 11. dan Gambar 14. menunjukkan nilai TPC pada sumber air yang berasal dari PT. FITS, Cibungbulang tanpa klorinasi dan Cibungbulang terklorinasi dengan konsentrasi .

Tabel 11. Total Plate Count (TPC) air yang digunakan untuk pembuatan Chips ubi jalar

Sumber air Jumlah mikroba

(CFU/ml) Log 10 CFU/ml

PT. FITS 9.5 x 103 3.97 Cibungbulang 1.5 x 102 2.18 Cibungbulang dengan konsentrasi 1.750 g/lt 1 x 10 2 2.00 Gambar 13. Histogram Jumlah TPC dengan Berbagai Konsentrasi Klorin (g/lt)

TBUD 5.23 5.08 3.77 2.74 0 1 2 3 4 5 6 1.000 1.125 1.250 1.375 1.5000 1.750 J u m la h T P C (log CFU/g) TBUD Keterangan : TBUD : Terlalu Banyak Untuk Dihitung

Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh hasil bahwa air Cibungbulang dengan menggunakan konsentrasi klorin 1.750 g/lt menghasilkan jumlah mikroba yang paling rendah yaitu 1 x 102 CFU/ml (2.00 log10 CFU/ml) dibandingkan dengan air PT. FITS dan Cibungbulang tanpa klorinasi yaitu masing–masing 9.5 x 103 CFU/ml (3.97 log10 CFU/ml) dan 1.5 x 102 CFU/ml( 2.00 log 10 CFU/ml).

Pembuatan chips ubi jalar selain menggunakan air yang berasal dari PT. FITS tanpa klorinasi dan dengan klorinasi menggunakan konsentrasi 1.750 g/lt dilakukan juga dengan menggunakan air Cibungbulang tanpa klorinasi dan dengan klorinasi menggunakan konsentrasi 1.750 g/lt . Hasil TPC chips ubi jalar dengan menggunakan empat air yang berbeda tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. dan lebih jelasnya tersaji pada Gambar 15.

Tabel 12. Total Plate Count (TPC) chips ubi jalar putih dengan menggunakan berbagai sumber air

Sumber air Jumlah mikroba

(CFU/gr)

Log 10 CFU/gr

PT. FITS 1.5 x 103 3.18

Cibungbulang 4.4 x 104 4.64

PT. FITS dengan konsentrasi

klorin 1.750 g/lt 5.5 x 10 2 2.74 Cibungbulang dengan konsentrasi klorin 1.750 g/lt 6.0 x 10 2 2.78 3.97 2.18 2.00 0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50

PT.FITS Cibungbulang Cibungbulang

dengan konsentrasi klorin 1.750 g/lt Sumber air Ju mlah TPC (l og CFU/ml)

Gambar 14. Histogram jumlah TPC dari sumber air yang digunakan untuk pembuatan chips ubi jalar

Hasil di atas menunjukkan chips ubi jalar dengan menggunakan air PT. FITS tanpa klorinasi menghasilkan TPC 1.5 x 103 CFU/gr (3.18 log10

CFU/gr) dan dengan menggunakan air PT. FITS dengan klorinasi menghasilkan TPC sebesar 5.5 x 102 CFU/gr (2.74 log10 CFU/gr). Sedangkan chips ubi jalar dengan menggunakan air Cibungbulang tanpa klorinasi menghasilkan TPC sebesar 4.4 x 104 CFU/gr ( 4.64 log10 CFU/gr) dan dengan menggunakan air Cibungbulang dengan klorinasi menghasilkan TPC chips sebesar 6.0 CFU/gr ( 2.78 log10 CFU/gr).

Hasil TPC pada chips ubi jalar lebih tinggi dari pada sumber air, hal ini dikarenakan pada waktu pembuatan chips harus melewati serangkaian proses yang tidak menutup kemungkinan lebih banyak sumber kontaminannya. Hasil TPC chips ubi jalar dengan menggunakan air Cibungbulang konsentrasi klorin 1.750 g/lt sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan chips dengan nilai TPC maksimum 103 CFU/gr.

Menurut Jenie (1988), sumber kontaminan dapat berasal dari pekerja, alat-alat yang digunakan dan lingkungan. Pekerja merupakan sumber kontaminasi yang penting, karena kandungan mikroba patogen pada manusia dapat menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan, yang dapat berasal dari rambut, kulit atau bagian tubuh yang lain. Alat-alat yang digunakan juga merupakan sumber kontaminan, terutama apabila alat tersebut sudah mengalami korosi dan sebaiknya dibersihkan terlebih Gambar 15. Histogram TPC chips ubi jalar dengan menggunakan berbagai

sumber air 4.64 2.74 2.78 3.18 0.00 0 50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00

PT FITS Cibungbulang PT FITS Dengan konsentrasi klorin 1.750 Cibungbulang dengan konsentrasi klorin 1.750 g/lt J uml a h TPC (l og CFU/ g r ) Sumber Air

dahulu sebelum digunakan. Sumber kontaminan yang terakhir adalah lingkungan yang dapat berasal dari udara.

5. Pengukuran Kadar Air Chips Ubi Jalar

Setelah pengukuran TPC, maka dilakukan pengukuran kadar air chips ubi jalar. Pengeringan chips dilakukan menggunakan cabinet drier yang berupa rak-rak bertingkat. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 . Kadar air Chips ubi jalar dengan menggunakan berbagai sumber air

Sumber air Kadar air

PT. FITS 4.87

Cibungbulang 2.59 PT. FITS dengan konsentrasi klorin 1.750 g/lt 5.27

Cibungbulang dengan konsentrasi klorin 1.750 g/lt 2.38

Hasil di atas menunjukkan bahwa chips menggunakan air PT. FITS tanpa klorinasi mempunyai kadar air 4.87%, PT. FITS dengan konsentrasi klorin 1.750 g/lt sebesar 5.27%, dengan air Cibungbulang tanpa klorinasi sebesar 2.59%, sedangkan dengan air Cibungbulang menggunakan konsentrasi klorin 1.750 g/lt sebesar 2.38 %. Hasil analisis kadar air keseluruhan menunjukkan nilai di bawah 6% dan ini sesuai dengan tujuan untuk menghasilkan chips dengan kadar air maksimum 6%.

C. Karakteristik Tepung Ubi Jalar

Dokumen terkait