• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Pembahasan

5.4 Lansia

Berkait dengan peningkatan angka harapan hidup perlu suatu perencanaan yang matang terkait dengan penduduk lanjut usia (lansia). Pengertian lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai kemasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan kemunduran sejalan dengan waktu. Ada beberapa pendapat mengenai “usia kemunduran” yaitu ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang telah disebut lanjut usia. Lansia banyak menghadapi berbagai masalah kesehatan yang perlu penanganan segera dan terintegrasi.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dijelaskan bahwa pemberdayaan adalah setiap upaya meningkatkan kemampuan fisik, mental spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan agar para lanjut usia siap didayagunakan sesuai dengan kemampuan masing-masing. sepertinya hanya memberdayakan

para lanjut usia agar mempunyai kemampuan, mental spiritual, sosial, pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu, bagaimana pemberdayaan tidak saja terhadap para lanjut usia, dan keluarganya namun juga kepada seluruh komponen bangsa ini agar diberdayakan sehingga upaya-upaya peningkatan kesejahteraan lanjut usia dapat terwujud. Pemberdayaan harus diselenggarakan menjadi suatu gerakan. (Heru Martono dalam Gemari, Edisi 89/Tahun IX/Juni 2008)

Salah satu bentuk pemberdayaan yang paling efektif adalah pemberdayaan dengan pelibatan masyarakat. Agar masyarakat menjadi peduli kepada orang tua yang berada di lingkungannya, maka harus diberi pengetahuan bagaimana merawat, menyantuni lahir dan batin lanjut usia. Pembekalan kepada anggota masyarakat ini adalah sebagai salah satu kunci keberhasilan gerakan nasional pemberdayaan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan lanjut usia. Dengan diberikannya pengetahuan bagaimana merawat lanjut usia, diharapkan akan banyak relawan-relawan yang peduli terhadap lanjut usia. Dengan demikian keberadaan panti bukanlah sebagai tempat hunian bagi lanjut usia untuk selamanya, namun

sebagai tempat rehabilitasi dan setelah lanjut usia direhabilitasi dikembalikan kepada keluarga dan masyarakatnya. Perlu diberi catatan bahwa pemberdayaan yang disertai dengan kepedulian, pembekalan pengetahuan, sosialisasi, dan dorongan untuk menjadi relawan adalah suatu kunci sehingga upaya mempersiapkan hari esok yang baik bukan sesuatu yang harus ditakuti oleh kita yang pasti akan menjadi lanjut usia juga.

BAB 6

PEMBANGUNAN BIDANG

PENDIDIKAN

Bagian lebih lanjut dalam bab ini akan memulai dengan melihat gambaran taraf pendidikan secara umum untuk seluruh kabupaten maupun masing-masing kecamatan. Analisis dilanjutkan dengan identifikasi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh sektor pendidikan di Kabupaten Jombang, dan kemudian eksplorasi potensi kebijakan/ program dan instrumen-instrumennya. Penyajian data dan informasi akan dilakukan pada tingkat rincian yang dibutuhkan.

Secara umum tingkat pendidikan di Kabupaten Jombang masih relatif rendah. Rata-rata lama sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas sejak tahun 2009 sampai 2011 tidak mengalami kenaikan yang signifikan dan baru mencapai 7,4 tahun yang berarti berada tidak jauh dari lulusan sekolah dasar. Rata-rata tersebut berada dibawah rata-rata nasional yang sudah

mencapai 7,9 tahun dan jauh tertinggal dibandingkan dengan yang tertinggi 10,4 tahun. Meskipun demikian rata-rata lama sekolah ini lebih tinggi dari nilai rata-rata JawaTimur sebesar 7,2 tahun.

No Kecamatan Rata-rata Lama Sekolah

1 Jombang 10,26 2 Gudo 8,85 3 Perak 8,73 4 Peterongan 8,09 5 Jogoroto 7,75 6 Diwek 7,70 7 Mojowarno 7,40 8 Mojoagung 7,32 9 Sumobito 7,17 10 Megaluh 7,15

11 Bandar Kedung Mulyo 6,76

12 Ploso 6,71 13 Ngusikan 6,61 14 Bareng 6,58 15 Tembelang 6,47 16 Ngoro 6,36 17 Kesamben 6,31 18 Plandaan 6,02 19 Kudu 5,56 20 Kabuh 5,56 21 Wonosalam 5,47 KABUPATEN 7,40

Sumber: data primer diolah

Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten Jombang Tahun 2011

Taraf pendidikan rata-rata penduduk terendah di kecamatan Wonosalam sebesar 5,47 tahun, dan tertinggi di kecamatan Jombang sebesar 10,26 tahun. Variasi antar kecamatan dalam kabupaten sangat signifikan. Fenomena disparitas tipikal taraf pendidikan desa-kota nampak terjadi tercerminkan dalam variasi antar kecamatan.

Pendidikan dan literasi memainkan peran instrumental dalam pembangunan manusia maupun pembangunan bidang lainnya. Dengan demikian merupakan suatu keharusan untuk menjawab berbagai permasalahan yang masih terus melingkupinya. Dalam konteks yang sangat fokus, indikator-indikator sederhana yang meliputi tingkat pendidikan rata-rata penduduk dan tingkat literasi merupakan determinan penting indeks pembangunan manusia. Meski sekilas nampak terlalu sederhana, capaian indikator sederhana tersebut berimplikasi dalam hal kesiapan dan kapasitas manusia untuk berperan tidak hanya menjadi obyek pembangunan tetapi juga sekaligus menjadi subyek dan "ultimate beneficiary" pembangunan itu sendiri.

Indonesia saat ini, tak terkecuali Kabupaten Jombang, yakni perluasan dan peningkatan kualitas pendidikan. Permasalahan ini dengan mudah dapat dirasakan relevansinya disemua jenjang pemerintahan, nasional, propinsi, maupun kabupaten/ kota. Desakan untuk menjawab tantangan permasalahan akses dan pemerataan menjadi makin dirasakan setelah Indonesia mengikatkan diri melalui komitmen untuk mencapai sasaran Pembangunan Milenium (MDGs), yaitu angka partisipasi untuk pendidikan dasar (usia 7-15 tahun atau lama bersekolah 9 tahun) harus mencapai 100 persen pada tahun 2015 tanpa membedakan wilayah,status sosial ekonomi dan jenis kelamin.

Disamping permasalahan akses dan pemerataan, permasalahan kualitas makin hari makin terasa mendesak untuk dijawab mengingat posisi pendidikan Indonesia relatif masih tertinggal ketika diukur dengan acuan berbagai uji internasional. Maraknya kasus kecurangan Ujian Nasional maupun kecenderungan tingkat kelulusan siswa merupakan indikasi lainnya. Dalam hal tata kelola kita belum mempunyai pengalaman bagus yang bisa dijadikan patokan baik dalam hal penganggaran, implementasi program

maupun transparansi dan akuntabilitasnya.

Bagian selanjutnya bab ini akan membahas status pembangunan pendidikan di Kabupaten Jombang berdasar hasil studi, survei dan analisisnya, khususnya dalam konteks kontribusinya terhadap capaian pembangunan manusia sebagaimana diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM). Namun, analisis akan disajikan lebih dari sekedar menjelaskan perannya dalam mempengaruhi IPM, tetapi dalam konteks pembangunan secara umum. Indikator yang digunakan merupakan alat ukur yang menunjukkan status pembangunan pendidikan yaitu angka partisipasi sekolah, angka putus sekolah, angka melek huruf,dan lainnya sampai kepada pembiayaan, sarana dan tenaga pendidikan.Telaah yang lebih luas ini diharapkan dapat memberi manfaat lebih jauh, khususnya dalam kaitan kepentingan perencanaan pembangunan di bidang pendidikan dan sumberdaya manusia pada umumnya.

6.1. Taraf Pendidikan dan Literasi

Taraf pendidikan penduduk diukur dengan berbagai pendekatan. Cara yang paling sederhana adalah dengan mengukur rata-rata lama tahun bersekolah

penduduk. Cara yang lebih rinci adalah dengan melakukan disagregasi dan pengelompokan penduduk berdasarkan jenjang pendidikan yang diselesaikannya. Angka rata-rata lama tahun bersekolah (mean years of schooling) memberikan gambaran umum secara agregat tingkat pendidikan yang diselesaikan dan tingkat keterampilan (level of skill) penduduk secara umum. Indikator ini meski menyembunyikan variasi, rentang, dan distribusi pendidikan dalam populasi tetapi dianggap cukup baik memberikan gambaran tentang kemajuan dalam pembangunan manusia.

Dalam hal ini taraf pendidikan dipahami sebagai bagian dari kesejahteraan hidup manusia itu sendiri maupun sebagai tingkat akumulasi modal manusia untuk mendukung upaya kemajuan lebih lanjut. Untuk tujuan analisis dan perencanaan yang lebih rinci informasi tentang tingkat pendidikan rata-rata penduduk sering tidak mencukupi. Informasi tambahan yang mengungkap struktur pendidikan penduduk, rentang,dan distribusinya akan lebih berguna untuk melihat permasalahan secara lebih tajam dan mengidentifikasi tantangan-tantangan pembangunan di masa depan serta merumuskan instrumen kebijakan yang lebih tepat.

Meskipun taraf pendidikan rata-rata relatif rendah, Kabupaten Jombang memiliki angka literasi (melek huruf) yang relatif tinggi. Tingkat literasi rata-rata kabupaten ini mencapai lebih dari 92,92 persen, lebih tinggi dari rata-rata nasional yang masih berada pada tingkat 92,91 persen (BPS, Agustus 2011). Kondisi ini menarik, karena angka literasi di atas rata-rata nasional dapat dicapai dengan taraf pendidikan formal rata-rata yang agak jauh di bawah rata-rata nasional. Telaah secara lebih mendalam terhadap fenomena menarik ini menunjukkan bahwa program pendidikan non formal untuk meningkatkan literasi berjalan sangat produktif di Kabupaten Jombang, dan mampu mendongkrak angka literasi sampai pada titik melewati angka literasi nasional.

No Kecamatan Angka Melek Huruf 1 Jombang 97,55 2 Gudo 97,90 3 Perak 97,02 4 Peterongan 96,95 5 Jogoroto 95,62 6 Diwek 94,36 7 Mojowarno 93,11 8 Mojoagung 87,73 9 Sumobito 94,95 10 Megaluh 85,55

11 Bandar Kedung Mulyo 86,91

12 Ploso 86,28 13 Ngusikan 84,50 14 Bareng 94,55 15 Tembelang 93,29 16 Ngoro 91,00 17 Kesamben 95,02 18 Plandaan 89,80 19 Kudu 89,55 20 Kabuh 81,75 21 Wonosalam 88,14 KABUPATEN 92,92

Sumber: data primer diolah

Secara umum, kemampuan baca tulis di semua wilayah Kabupaten Jombang sudah lebih tinggi daripada rata-rata angka nasional. Namun demikian hanya penduduk Kecamatan Jombang yang umumnya

Angka Melek Huruf Di Kabupaten Jombang Tahun 2011

telah menyelesaikan SLTP.

Pengelompokan penduduk menurut jenjang pendidikan yang ditamatkan menghasilkan distribusi yang sangat miring ke kanan (skewed to the right). Dimana pendidikan masyarakat lebih didominasi oleh pendidikan rendah dan menengah (Lihat Gambar 6.1).

Sumber : Profil Pendidikan Kab. Jombang tahun 2010, diolah

Merujuk situasi ini nampaknya upaya Pemerintah Kabupaten Jombang untuk berfokus dan

0 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000 70.000 80.000 90.000 100.000 - Tamat SD

- Tamat SLTP - Tamat SMU - Tamat SMK - Tamat Diploma I/II - Tamat Diploma III/Sarmud - Tamat Sarjana

Grafik Tingkat Pendidikan Penduduk Kab. Jombang tahun 2009

mengunggulkan sektor pertanian dalam tema pembangunan daerahnya cukup tepat. Namun demikian, kesimpulan ini tidak serta merta berarti bahwa taraf pendidikan dan keterampilan yang dimiliki sudah cukup memadai untuk mendukung perkembangan sektor pertanian sesuai yang dicita-citakan. Pelatihan dan penyuluhan akan sangat diperlukan sejalan dengan meningkatnya tantangan yang muncul seiring kemajuan sektor pertanian, yang tentu saja dapat berpijak dengan relatif baik pada kondisi sumberdaya manusia yang ada.

6.2. Akses dan Pemerataan Pendidikan

Beberapa indikator yang sering digunakan untuk menggambarkan pendidikan suatu daerah antara lain dicerminkan melalui Angka Partisipasi Murni, Angka Partisipasi Kasar, Angka Putus Sekolah dan beberapa rasio lainnya. Secara ringkas gambaran pendidikan di Kabupaten Jombang secara umum dapat dilihat dalam tabel 6.3.

INDIKATOR SD/MI SLTP/MTs. SM/MA

Angka Partisipasi Murni 94,16 80,79 69,85

Angka Partisipasi Kasar 104,97 102,14 94,74

Angka Transisi 119,47 105,58 100,40

Angka Putus Sekolah 0,07 0,29 0,96

Angka Murid Mengulang 1,98 0,52 0,33

Angka Lulusan 99,99 99,91 99,98

Rasio Murid/Kelas 23 34 33

Rasio Kelas / R Belajar 1,04 0,98 1,15

Rasio Murid / Guru 14 11 10

Rasio Murid / Sekolah 151 268 307

Sumber: Data Pokok Pendidikan Kab. Jombang 2010/2011

Angka-angka partisipasi sekolah memiliki kecenderangan menurun pada jenjang sekolah yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa tidak seluruh penduduk pada usia sekolah yang seharusnya berada pada jenjang pendidikan tersebut tidak melanjutkan pendidikannnya. Angka putus sekolah juga memiliki kecenderungan makin besar pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Merujuk pada angka-angka tersebut, perhatian serius perlu diberikan utamanya di jenjang SMA. Situasi

Indikator Pendidikan di Kabupaten Jombang tahun 2010/2011

seperti ini tidak hanya terjadi di Kabupaten Jombang, namun terjadi di hampir semua pelosok tanah air dimana keberadaan SMA biasanya hanya sampai tingkat kota kecamatan di banyak daerah bahkan di kecamatan Wonosalam dan Ngusikan tidak terdapat SMA (lihat Tabel 6.4)

Kecamatan Negeri Swasta

Sekolah Kelas Sekolah Kelas

010. Bandar Kedung Mulyo 1 13 020. P e r a k - - 4 93 030. G u d o - - 1 040. D i w e k - - 4 35 050. N g o r o 1 17 2 12 060. Mojowarno - - 3 7 070. Bareng 1 12 - - 080. Wonosalam - - - - 090. Mojoagung 1 32 2 10 100. Sumobito - - 1 3 110. Jogoroto 1 13 1 3 120. Peterongan - - 5 54 130. Jombang 3 75 5 55 140. Megaluh - - 1 5 150. Tembelang - - 1 5 160. Kesamben 1 4 2 8 170. K u d u - - 2 12 171. Ngusikan - - - - 180. P l o s o 1 18 2 13 190. K a b u h 1 13 - - 200. Plandaan 1 11 - - Jumlah 12 18 36 318 2009/2010 12 197 36 266 2008/2009 12 188 38 278 2007/2008 12 177 38 205 2006/2007 12 178 41 275 2005/2006 12 173 37 262

Sumber : Jombang dalam Angka 2011

Jumlah SMA di Kabupaten Jombang Tahun 2010

Kondisi ini berakibat bahwa akses SMA sangat tergantung kepada keberadaan dan lokasinya. Perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan setaraf SMA sampai ke kecamatan di Kabupaten Jombang akan menjadi hal yang kritis untuk dilakukan sebagai bagian penting upaya meningkatkan akses pendidikan pada jenjang tersebut.

Angka melanjutkan jenjang pendidikan yang cenderung menurun dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama kesempatan melanjutkan yang tidak tersedia secara memadai, dalam arti tidak tersedia sekolah dan ruang kelas yang mampu menampung anak-anak yang ingin bersekolah. Data dinas pendidikan kabupaten/ kota di Kabupaten Jombang menunjukkan bahwa salah satu penghambat partisipasi pendidikan adalah tidak meratanya akses bagi penduduk untuk jenjang pendidikan utamanya di tingkat menengah. Kedua, kerusakan sekolah juga ikut memperburuk situasi.

Berkait dengan sarana dan prasarana pendidikan berdasarkan data yang ada pada tahun 2009/2010, jumlah SD dan MI sebanyak 824, siswa baru tingkat I

sebesar 20.933, siswa seluruhnya sebesar 124.709, dan lulusan sebesar 20.184. Untuk menampung sejumlah siswa tersebut, tersedia ruang kelas sebanyak 5.120, dengan rincian 2.514 Memiliki kondisi baik, 1.568 kondisi rusak ringan, dan 1.038 kondisi rusak berat dengan jumlah kelas sebesar 5.865 sehingga terdapat shift sebesar 1, Guru yang mengajar di SD dan MI sebanyak 8.941 di antaranya yaitu sebanyak 7.309 (81.56 persen) adalah layak mengajar 1.105 (9.54 persen) semi layak, dan 527 (8.90 persen) tidak layak mengajar. Untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di SD dan MI terdapat fasilitas perpustakaan sebesar 1.815, lapangan olahraga sebesar 824 Dan ruang UKS sebesar 171.

Jumlah SD sebesar 562, dengan jumlah siswa sebanyak 13.648 dan ruang kelas sebesar 3.502. dan ditangani oleh guru sebanyak 5.464 Selain itu, terdapat pula perpustakaan sebesar 193, lapangan olahraga sebesar 562 dan ruang UKS sebesar 140. Bila dilihat menurut status sekolah, jumlah sekolah negeri lebih banyak di SD jika dibandingkan dengan MI. Sebaliknya, jumlah madrasah swasta lebih banyak di MI jika dibandingkan dengan SD. Hal ini disebabkan karena MI lebih banyak dibangun oleh yayasan swasta

sedangkan SD lebih banyak dibangun oleh pemerintah melalui program bantuan pembangunan sekolah dasar yang lebih dikenal dengan SD Inpres.

Untuk jumlah SLTP dan MTs adalah sebanyak 233, siswa baru tingkat I sebesar 22.423, siswa seluruhnya sebesar 65.555, dan lulusan sebesar 17.858 Untuk menampung sejumlah siswa tersebut, tersedia ruang kelas sebanyak 1.915, dengan rincian 1.467 Memiliki kondisi baik, 375 dengan kondisi rusak ringan, dan 13 kondisi rusak berat dengan jumlah kelas sebesar 1.885 . Guru yang mengajar di SLTP dan MTS sebanyak 5.714 di antaranya yaitu sebanyak 4.910 ( 88.65 persen) adalah layak mengajar 200 ( 5.13 persen) semi layak, dan 604 ( 6.22 persen) tidak layak mengajar. Untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di SLTP dan MTS terdapat fasilitas perpustakaan sebesar 188, lapangan olahraga sebesar 136 ruang UKS sebesar 127. Dan laboratorium sebesar 339. Pada tabel tersebut digambarkan pula bahwa jumlah SLTP lebih besar jika dibandingkan dengan MTs, hal ini terlihat di semua data yang ada. Jumlah SLTP sebesar 113, dengan jumlah siswa sebesar 13.169 dengan ruang kelas sebesar 1.171, dan ditangani oleh guru sebanyak 2.917,Selain itu,

terdapat pula perpustakaan sebesar 999, lapangan olahraga sebesar 66 ruang UKS sebesar 74, dan ruang labratorium sebesar 208

Seperti halnya dengan MI, jumlah MTs juga lebih banyak madrasah swasta jika dibandingkan dengan madrasah negeri yaitu sebesar 10 dan 102. Hal yang sama juga terjadi pada SLTP yang lebih banyak sekolah swasta yaitu sebesar 66 jika dibandingkan dengan sekolah negeri sebesar 47, walaupun jumlah siswanya masih lebih banyak sekolah negeri yaitu 28.180 berbanding sekolah swasta yaitu 10.989.

Berdasarkan data yang ada pada tahun 2009/2010, jumlah SMU, SMK, dan MA sebanyak 173, siswa baru tingkat I sebesar 19.699 siswa seluruhnya sebesar 53.435 dan lulusan sebesar 15.245. Untuk menampung sejumlah siswa tersebut, tersedia ruang kelas sebanyak 1.404, dengan rincian 1.291 Kondisi baik, 93. kondisi rusak ringan, dan 20 kondisi rusak berat dengan jumlah kelas sebesar 1.410 . Guru yang mengajar di SMU, SMK dan MA sebanyak 5.271 di antaranya yaitu sebanyak 4.888 ( 84.60 persen) adalah layak mengajar 149 ( 9.89 persen) semi layak, dan 234 ( 5.51 persen) tidak layak mengajar. Untuk

menunjang kegiatan belajar mengajar di SMU, SMK dan MA terdapat fasilitas perpustakaan sebesar 137, lapangan olahraga sebesar 101 ruang UKS sebesar 114 laboratorium sebesar 349 keterampilan sebesar 35, BP sebesar 106 , serba guna sebesar 43 Bengkel sebesar 66, dan ruang praktik sebesar 54.

Jumlah lembaga SMA 48, lebih sedikit dari pada SMK 51, tetapi jumlah siswa SMK lebih banyak dari pada SMA yaitu 22.587 dibanding 16.066. Hal ini disebabkan di kabupaten jombang disamping terdapat 7 SMK Negeri yang tersebar di daerah perbatasan, masyarakat atau orang tua lebih suka memasukkan anak-anaknya ke SMK dengan harapan setelah lulus mendapatkan pekerjaan. Dari ketiga jenis sekolah yang ada, jumlah ruang kelas yang paling besar memiliki kondisi yang baik adalah SMA yaitu 438, sedangkan ruang kelas yang memiliki kondisi rusak berat terdapat pada MA yaitu 13. Melihat kondisi yang rusak berat ini, selayaknya jika pada jenis sekolah tersebut diprioritaskan untuk memperoleh bantuan rehabilitasi terlebih dahulu dibandingkan dengan dua jenis sekolah lainnya. Selanjutnya, jika dilihat guru yang layak mengajar, ternyata paling banyak di MA yaitu sebesar 1.773 atau sebesar 34.63 persen dan

yang terkecil di SMA yaitu 1.514 atau sebesar 32.11 persen. Bila dilihat fasilitas sekolah yang seharusnya ada, ternyata tidak semua fasilitas yang ada dimiliki oleh SMA, MA, atau SMK. Perpustakaan, lapangan olahraga, UKS terdapat di tiga jenis sekolah, sedangkan bengkel dan ruang praktik hanya di SMK. Kondisi sekolah yang tidak memiliki fasilitas tersebut hendaknya menjadi prioritas dalam pembangunan fasilitas tersebut.

6.3. Kualitas Pendidikan

Kemajuan dalam pembangunan manusia sebagaimana diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM) masih mengesampingkan dimensi kualitas pendidikan. Kalaupun tidak sama sekali dilupakan, dimensi kualitas hanya terlihat samar-samar dan secara tidak langsung melalui variabel angka melek huruf, yang dalam satu hal memberikan petunjuk efektivitas pendidikan dalam bentuk keberlanjutan kemampuan baca tulis diantara penduduk yang tidak lagi berada di sekolah. Pada tataran yang lebih fundamental dan horison yang lebih panjang dimensi kualitas sama sekali tidak bisa dikesampingkan. Berbagai penelitian yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan justru dimensi kualitas menjadi kunci efektivitas pendidikan dalam perannya

sebagai kendaraan bagi mobilitas sosial dan sebagai pembentuk tatanan sosial di masa depan.

Pendidikan yang merata dengan kualitas yang sangat tidak merata dipandang lebih berbahaya bagi upaya pemerataan pendapatan. Potensi pendidikan mengubah pola pikir masyarakat sangat bergantung pada kualitasnya. Relevansi atau efektivitas pendidikan pada tingkat kemajuan yang sedang berlangsung secara nasional masih mencerminkan hampir sepenuhnya kualitas pendidikan itu sendiri. Pada tingkat yang lebih tinggi pendidikan juga berfungsi sebagai mesin pertumbuhan, dan dengan demikian akan menentukan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan laju akulturasi teknologi dan pola pikir baru yang akan menjadi kunci pertumbuhan itu sendiri.

Kembali kepada konteks Kabupaten Jombang, tidak terdapat data dan informasi yang memadai untuk melakukan analisa yang mendalam tentang kualitas pendidikan di sini. Akan tetapi beberapa indikator pendidikan dan input-input yang tersedia bagi sistem pendidikan yang ada di Kabupaten Jombang bisa memberikan petunjuk tentang kondisi kualitas pendidikan yang ada. Indikator-indikator capaian dan

input pendidikan dimaksud meliputi angka mengulang kelas, angka putus sekolah, angka kelulusan, dan kualifikasi guru. Indikator mutu dapat dibedakan menjadi lima indikator mutu yaitu: (1) mutu masukan, (2) mutu proses, (3) mutu SDM, (4) mutu fasilitas, dan (5) biaya.

Untuk tingkat SD dan MI mutu pendidikan dapat diuraiakan sebagai berikut (mengacu data tahun 2009/2010):

 Berdasarkan mutu masukan dapat diketahui bahwa 90.52 persen siswa baru tingkat I untuk tingkat SD adalah berasal dari tamatan TK atau sejenis.

 Mengacu data tahun 2009/2010, berdasarkan indikator mutu proses yaitu angka mengulang, angka putus sekolah, dan angka lulusan, ternyata angka mengulang terbesar terdapat pada tingkat SD/MI. yaitu sebesar 2.07 persen dan terendah terdapat pada tingkat SMP/MTs yaitu sebesar 0.20 persen. Selanjutnya angka putus sekolah terbesar terdapat pada tingkat SM/MA yaitu sebesar 0.93 persen dan terendah terdapat pada tingkat SD/MI yaitu sebesar 0.09 persen. Bila dilihat angka lulusan ternyata angka tertinggi terdapat pada tingkat SD/MI yaitu sebesar 99.76 persen dan

terendah terdapat pada tingkat SM/MA yaitu sebesar 95.11 persen. Dengan melihat ketiga indikator mutu proses ini dapat dikatakan bahwa kinerja terbaik adalah pada tingkat SD/MI. Hal itu ditunjukkan dengan adanya angka putus sekolah paling rendah serta angka lulusan yang paling tinggi.

 Bila dilihat dari mutu SDM (guru), maka persentase guru yang layak mengajar terbesar adalah pada tingkat SMP/MTs yaitu 98.22 persen dan guru yang layak mengajar terendah adalah pada tingkat SMA/MA yaitu 87.20. Mutu guru juga menunjukkan kinerja sekolah, hal itu terlihat pada kesesuaian ijazah guru dengan bidang studi yang diajarkan. Indikator berikutnya adalah tentang mutu prasarana dan sarana pendidikan. Ruang kelas dengan kondisi baik paling banyak terdapat pada tingkat SM/MA yaitu sebesar 92.01 persen sedangkan kondisi rusak berat yang paling banyak terdapat pada tingkat SD/MI yaitu sebesar 49.10 persen. Banyaknya ruang kelas yang rusak berat ini menunjukkan mutu prasarana yang buruk dan berakibat secara tidak langsung akan menurunkan mutu sekolah.

ketersediaan fasilitas sekolah yang ada. Jumlah sekolah yang memiliki perpustakaan terbesar ada pada tingkat SMP/MTs yaitu sebesar 80.89 persen dan terendah ada pada tingkat SD/MI sebesar 36.45. Jumlah lapangan olahraga terbesar pada tingkat SD/MI Yaitu sebesar 100 persen dan terendah ada pada tingkat SMA/MA sebesar 59.44 persen. Fasilitas sekolah lainnya yaitu ruang UKS terbesar terdapat pada tingkat SD yaitu sebesar 18.37 persen. Dengan demikian, bila setiap sekolah diharuskan memiliki ketiga fasilitas tersebut, maka tingkat SD/MI Memiliki angka terbesar.

 Indikator mutu yang ditunjukkan dari biaya dilihat dari angka partisipasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan orang tua siswa. Dari ketiga angka partisipasi dalam hal biaya tersebut, angka partisipasi terbesar adalah pada pemerintah Daerah yaitu 19.33. Partisipasi pemerintah pusat lebih banyak terdapat di tingkat SMP/MTS dan partisipasi orang tua siswa lebih banyak terdapat di

Dokumen terkait