• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Lanskap dan Kawasan Pesisir

Menurut Forman dan Godron (1986), lanskap dapat didefinisikan sebagai area lahan heterogen yang tersusun dari suatu cluster ekosistem yang saling berinteraksi yang berulang dalam bentuk yang serupa. Dinyatakan lebih lanjut lanskap adalah suatu unit yang menonjol atau nyata, dapat diukur yang ditentukan oleh cluster ekosistem yang saling berinteraksi yang dapat dikenali dan secara spasial berulang, secara geomorfologi dan sistem yang terganggu.

Berdasarkan Porteous (1996) lanskap adalah bagian dari subset alam, yang selanjutnya membutuhkan kesenangan dan pendidikan untuk mengapresiasinya. Tipe lanskap berdasarkan apresiasi dibagi menjadi pegunungan (mountains), alam bebas (wilderness), pedesaan (the middle landscape/rural). Taman-taman (gardens), dan lanskap perkotaan (townscape).

Menurut Von Humboldt dalam Farina (1998) lanskap adalah karakter total suatu wilayah. Sedangkan (Naveh dalam Farina, 1998) mengemukakan bahwa lanskap selalu berhubungan dengan totalitas keseluruhan secara fisik, ekologis, dan geografi, pengintegrasian seluruh proses-proses dan pola-pola manusia dan alam.

Suatu area dikatakan memiliki karakter lanskap alami apabila area tersebut memiliki keharmonisan atau kesatuan diantara elemen-elemen alami seperti bentukan lahan, formasi batuan, vegetasi, dan kehidupan satwa. Lanskap alami memiliki karakter indah, unik, idealis, lembut, anggun, tenang, asli, megah, dan tegas. Karakter lanskap alami dikategorikan dalam bentukan laut, bukit pasir,

sungai, danau, hutan, jurang, dataran, gurun pasir, rawa, bukit, lembah, aliran air, padang rumput, dan gunung (Simon, 1983).

Kawasan pesisir menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 diartikan sebagai bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.

Wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976) adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Menurut kesepakatan internasional, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara laut dan darat, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Beatley et al.1994).

Penentuan batas wilayah pesisir ini masih tergantung kepada isu pengelolaan. Dalam rapat kerja nasional proyek MREP (Marine Resources Evaluation and Planning / Perencanaan dan Evaluasi Sumber Daya Kelautan) di Manado Agustus 1994, telah ditetapkan bahwa batas ke arah laut suatu wilayah pesisir adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam Peta Lingkungan Pantai Indonesia (PLPI) dengan skala 1: 50.000 yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), sedangkan batas ke arah darat adalah mencakup batas administratif seluruh desa pantai (Dahuri etal., 2008).

Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah kawasan peralihan (interface area) antara ekosistem laut dan darat, batas ke arah darat; dari segi ekologis adalah merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti; pasang surut, intrusi air laut dan lain-lain, dari segi administratif adalah merupakan batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitif secara arbiter (2 km, 20 km, dari garis pantai). Dan dari segi

perencanaan adalah bergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir. Sedangkan batas ke arah laut; dilihat dari segi ekologis adalah kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah di darat seperti; (aliran air sungai, run off , aliran air tanah, dan lain-lain), atau dampak kegiatan manusia di darat (bahan pencemar, sedimen dan lain-lain); atau kawasan laut yang merupakan paparan benua (Continental shef), dari segi

administratif adalah sejauh 4 mil, atau 12 mil, dari garis pantai ke arah laut, dan dari segi perencanaan adalah bergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir (Dahuri et al, 2008). Struktur kawasan pesisir terdiri dari: (a) kawasan estauria, (b) kawasan padang lamun, (c) kawasan mangrove, (d) kawasan terumbu karang dan (e) kawasan laut (Bengen, 2000).

Dalam pengelolaan ekowisata pesisir dan bahari, maka cakupan atau batasan pemberdayaan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang komprehensif, menurut Asian Development Bank (ADB) dalam Nikijuluw (1994), adalah pembangunan dengan memiliki ciri-ciri (1) berbasis lokal; (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan; (3) berbasis kemitraan; (4) secara holistik; dan (5) berkelanjutan. Pengelolaan berbasis masyarakat setempat atau biasa disebut Community-Based Management (CBM). Pemanfaatan secara lestari hanya akan dicapai jika sumber daya dikelola secara baik, proporsional dan transparan, sumber daya yang dimaksud adalah sumber daya manusia, alam, buatan dan sosial (Keraf, 2000).

Konsep ekowisata pesisir merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumber daya alam, pemikiran ini sangat didukung oleh tujuan jangka panjang pembangunan wilayah pesisir dan bahari di Indonesia antara lain: (a) peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, (b) pengembangan program dan kegiatan yang mengarah kepada peningkatan pemanfaatan secara optimal dan lestari sumber daya di wilayah pesisir dan lautan, (c) peningkatan kemampuan peran serta masyarakat pantai dalam pelestarian lingkungan, (d) peningkatan pendidikan, latihan, riset dan pengembangan di wilayah pesisir dan lautan. Pengelolaan sumber daya pesisir dan bahari yang terpadu berbasis masyarakat diharapkan akan mampu untuk (1) meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya SDA dalam menunjang

kehidupan mereka (2) meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan dan (3) meningkatkan pendapatan masyarakat, dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan (Zamani dan Darmawan, 2000).

2.3.

Sumber daya pariwisata (tourism resources) atau sering disebut juga modal dan potensi pariwisata adalah sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata di suatu daerah atau tempat tertentu (Soekadijo, 2000). Lebih lanjut Soekadijo (2000) menyatakan bahwa sumber daya pariwisata yang menarik kedatangan wisatawan ada tiga, yaitu sumber daya alam, sumber daya kebudayaan, dan sumber daya manusia.

Sumber Daya Wisata

Menurut Freeyer dalam Damanik dan Weber (2006), bahwa sumber daya pariwisata menyangkut produk dan jasa wisata. Produk wisata adalah semua produk yang diperuntukkan bagi atau dikonsumsi oleh seseorang selama melakukan kegiatan wisata. Adapun jasa tidak lain adalah layanan yang diterima wisatawan ketika mereka memanfaatkan (mengkonsumsi) produk tersebut yang terangkum dalam aspek atraksi, transportasi, akomodasi, dan aspek hiburan. Umumnya wisatawan mempunyai kriteria yang berbeda terhadap penilaian produk dan jasa wisata, hal ini juga berkaitan dengan objek dan daya tarik wisata yang ditawarkan.

Menurut Nurisjah et al. (2003), bahwa objek wisatamerupakan perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan. Sedangkan atraksi wisata adalah semua perwujudan, sajian alam dan kebudayaan yang dapat dinikmati keberadaannya oleh wisatawan, yang alami atau buatan (man made) melalui suatu bentuk pertunjukan/peragaan atau kebiasaan (pasif, aktif) yang khusus diselenggarakan untuk wisatawan di suatu kawasan. Dalam menentukan keterpakaian objek dan atraksi untuk diakomodasi dalam perencanaan kawasan wisata diperlukan penilaian potensi objek dan atraksi wisata yang dimiliki kawasan tersebut. Gunn (1994) menyatakan bahwa ada beberapa potensi yang perlu diperhatikan dalam penilaian potensi objek dan atraksi wisata

yang meliputi aspek estetika, keunikan, fasilitas pendukung, transportasi dan aksessibilitas, serta dukungan masyarakat.

Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2009 Bab I pasal 1, bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

Daya tarik wilayah pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian lingkungan, seperti misalnya kehidupan di bawah air, bentuk pantai (gua-gua, air terjun, pasir, dan sebagainya), dan hutan-hutan pantai dengan kakayaan jenis-jenis tumbuhan, burung, dan hewan-hewan lain. Keindahan dan keaslian lingkungan ini menjadikan perlindungan dan pengelolaan merupakan bagian integral dari rencana pengembangan pariwisata, terutama bila di dekatnya dibangun penginapan/hotel, toko, pemukiman dan sebagainya yang membahayakan atau mengganggu keutuhan dan keaslian lingkungan pesisir tersebut (Dahuri et al, 2008).

Lebih lanjut Dahuri et al ( 2008) menyatakan bahwa ekosistem pesisir yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata diantaranya adalah:

1. Hutan mangrove, merupakan tipe hutan khas tropika yang tumbuh di