• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIMPULAN DAN SARAN

DOKUMENTASI Lampiran 6

1.1. Latar Belakang

Berbagai organisasi internasional antara lain PBB, World Tourism Organization (WTO), dan The International Ecotourism Society (TIES) telah mengakui bahwa pariwisata merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia terutama menyangkut lingkungan, kegiatan sosial dan ekonomi. Prospek pariwisata ke depanpun sangat menjanjikan bahkan sangat memberikan peluang besar, terutama apabila menyimak angka perkiraan World Tourism Organization (WTO) Tourism Vision 2020, kedatangan wisatawan internasional (inbound tourism) dalam 15 tahun ke depan akan mencapai 1,56 milyar, dibandingkan dengan 703 juta di 2002 dan 565 juta pada tahun 1995. Selama periode 1995-2020, tingkat pertumbuhan rata-rata sektor ini diperkirakan sebesar 4,1% yang diantaranya masing-masing 231 juta dan 438 juta orang berada di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Dan akan mampu menciptakan pendapatan dunia sebesar USD 2 triliun pada tahun 2020 (WTO, 2005).

Berdasarkan angka perkiraan tersebut, maka para pelaku pariwisata Indonesia seyogyanya melakukan perencanaan yang tepat dan terarah untuk menjawab tantangan sekaligus menangkap peluang yang ada. Pemanfaatan peluang harus dilakukan dengan memperhatikan keberadaan kegiatan pariwisata dimulai dari sejak investasi, promosi, pembuatan produk pariwisata, penyiapan jaringan pemasaran internasional, dan penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas. Kesemuanya ini harus disiapkan untuk memenuhi standar internasional sehingga dapat lebih kompetitif dan menarik, dibandingkan dengan kegiatan yang serupa dari negara-negara di sekitar Indonesia. Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan wisata, maka dewasa ini kegiatan pariwisata lebih digiatkan. Selain untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Melihat kenyataan tersebut, maka untuk menciptakan suatu kawasan industri pariwisata yang dapat dijual kepada wisatawan baik lokal, domestik maupun mancanegara sangat ditentukan oleh adanya perencanaan yang baik

terutama dalam hal penyediaan ruang yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan dan daya tariknya.

Menciptakan daya tarik ruang wisata pada dasarnya merupakan upaya untuk memunculkan objek/atraksi yang dimiliki sebagai andalan kegiatan wisata. Objek/atraksi wisata potensial berkembang dengan karakter wisata yang berbeda-beda. Pengemasan objek/atraksi wisata dalam kerangka pengembangan kegiatan wisata harus dilakukan sedemikan rupa secara selaras, seimbang dan memperhatikan aspek keberlanjutan.

Sejak berkembangnya perhatian pada masalah lingkungan hidup, maka terjadi juga perubahan pada industri pariwisata dengan mulai dikembangkannya kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan. TIES (2008) mencatat, sejak tahun 1990 wisata ekologis terutama ekowisata telah berkembang 20% - 24% per tahun. Tingginya minat wisatawan terhadap sektor pariwisata berwawasan lingkungan menyebabkan banyak negara yang mulai membatasi kegiatan yang merusak lingkungan, dan menambah kualitas fasilitas pariwisata yang bersahabat dengan lingkungan. Keseimbangan yang baik antara kebutuhan akan industri pariwisata, lingkungan hidup yang harus dilestarikan serta kondisi sosial budaya masyarakat setempat merupakan masalah yang harus segera diselesaikan.

Pariwisata sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya setempat serta kualitas lingkungan alamiahnya. Dalam beberapa pengembangan kegiatan ekonomi, kualitas lingkungan dapat ditukarkan dengan keuntungan (dalam nilai uang) yang diharapkan, tetapi dalam kasus pariwisata, sangat penting untuk tetap memelihara kualitas lingkungan alam. Lingkungan hidup merupakan sumber daya yang besar untuk industri pariwisata, hampir di semua tempat industri pariwisata menjual potensi pemandangan alam atau cara hidup masyarakat setempat. Oleh sebab itu pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya ini secara bijaksana akan mempertinggi nilai lingkungan hidup dan nilai ekonominya.

Perkembangan sektor ekowisata belakangan ini haruslah didukung oleh perencanaan kawasan yang optimal di suatu daerah. Dalam usaha pengembangan sektor ekowisata tersebut sebaiknya memperhatikan tiga aspek utama, yaitu aspek ekologis, ekonomi, dan sosial budaya. Hal ini harus

dilakukan dalam suatu perencanaan jangka panjang, karena tujuan dari perencanaan ini adalah untuk menyeimbangkan ketiga aspek tersebut.

Dalam perencanaan kawasan ekowisata, daya dukung (carrying capacity) perlu diperhatikan untuk mengantisipasi timbulnya dampak negatif terhadap alam (dan budaya) karena pengembangan ekowisata setempat. Aspek dari daya dukung akan sangat menentukan dalam kesesuaian ruang untuk kegiatan wisata. Zonasi dan pengaturannya adalah salah satu pendekatan yang akan membantu menjaga nilai konservasi dan keberlanjutan kawasan ekowisata. Selain aspek daya dukung, keterlibatan masyarakat sangat penting dalam penentuan zona-zona wisata, hal ini mengingat masyarakat adalah salah satu stakeholder utama dan akan mendapatkan manfaat secara langsung dari pengembangan dan pengelolaan ekowisata di suatu daerah.

Pengembangan ekowisata yang baik didasarkan atas sistem pandang yang mencakup di dalamnya prinsip kesinambungan dan pengikutsertaan masyarakat setempat dalam proses pengembangan ekowisata tersebut. Pemberdayaan masyarakat ini berarti upaya memperkuat kelompok-kelompok masyarakat untuk mengontrol dan mengelola sumber daya ekowisata yang sangat bernilai dengan cara-cara yang tidak hanya dapat melestarikan sumber daya yang ada akan tetapi juga mampu memenuhi kebutuhan kelompok tersebut secara sosial, budaya dan ekonomi (Lindberg et al,1993). Oleh sebab itu peran serta masyarakat dalam pengembangan ekowisata sangatlah penting untuk diperhatikan.

Ekowisata berbasis masyarakat (Community-Based Ecotourism) merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak. Masyarakat dalam hal ini dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk wisatawan. Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh

akibat peningkatan kegiatan ekowisata (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2009).

Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat menggunakan pendekatan para pihak yang terkait, terutama pada tahap awal. Pendampingan masyarakat dibutuhkan agar masyarakat terlibat dalam proses pengembangan yang dimulai dari tahap perencanaan. Pemilihan kawasan juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam rangka keberlanjutan ekowisata di suatu wilayah.

Indonesia adalah negara bahari dan kepulauanterbesar di dunia, yang terdiri dari 17.500 pulau serta memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km (DKP, 2001). Dengan garis pantai yang panjang ini, maka Indonesia merupakan negara kedua yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada. Wilayah pesisir Indonesia (termasuk perairan dan daratan) yang mencakup daerah yang sangat luas memiliki beragam sumber daya di dalamnya sehingga sangat berpotensi untuk dikembangkannya sektor ekowisata. Di antara kabupaten di Indonesia yang merupakan kawasan pesisir dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata adalah kabupaten Sambas.

Dengan panjang garis pantai 199,75 km (0,25% dari total panjang pantai Indonesia) dan berbagai sumber daya yang dimiliki, maka kabupaten Sambas mempunyai peluang besar dalam pengembangan ekowisata pesisir. Dari panjang total garis pantai tersebut, 63,25 km diantaranya merupakan garis pantai yang berada di kecamatan Paloh yang juga merupakan satu-satunya wilayah pesisir di Kalimantan Barat yang wilayah administrasinya berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia.

Potensi yang dimiliki kecamatan Paloh didukung oleh sumber daya yang kaya untuk ekowisata terutama sumber daya alamnya. Di kalangan masyarakat kabupaten Sambas, kecamatan ini dikenal dengan istilah kawasan pantai putih serta terkenal juga dengan sebutan pulau penyu karena memang hampir sepanjang pantainya tersusun oleh struktur pasir berwarna putih yang sebagiannya juga menjadi habitat berbagai spesies penyu. Dengan berbagai potensi ekowisata yang dimiliki dan keberadaannya yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia menjadikan Paloh cukup dikenal oleh wisatawan. Namun, berbagai potensi yang dimiliki tersebut masih belum mampu

menjadikan sektor ekowisata berkembang sesuai dengan harapan masyarakat di wilayah ini. Permasalahan ini timbul salah satunya sebagai akibat kurangnya pelibatan masyarakat dalam proses pengembangan kawasan ekowisata di wilayah tersebut.

Pengembangan kawasan ekowisata memang tidak terlepas dari peran serta masyarakat, oleh sebab itu potensi yang dimiliki masyarakat hendaknya harus menjadi pertimbangan penting dalam proses pengembangan kawasan ekowisata terutama menyangkut proses perencanaan. Adanya dukungan masyarakat dengan terbentuknya beberapa kelompok sosial yang ada di kecamatan Paloh merupakan bukti kepedulian masyarakat terhadap potensi wilayahnya. Dengan upaya perencanaan kawasan ekowisata yang berbasiskan masyarakat, maka diharapkan kegiatan ekowisata bisa dijadikan pilihan yang tepat untuk pengembangan kegiatan kepariwisataan di kecamatan Paloh.

1.2. Perumusan Masalah

Masyarakat di kecamatan Paloh pada umumnya sangat menyadari akan potensi ekowisata di wilayah tersebut. Keberadaan pantai yang terbentang luas dan letak geografis kecamatan Paloh yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia sehingga menjadi perhatian khusus pemerintah pusat dan daerah, hal ini mengindikasikan akan besarnya potensi pengembangan sektor ekowisata di wilayah tersebut. Ekosistem pesisir pantai yang berbeda dari daerah lainnya dengan struktur pasir putih yang hampir terbentang sepanjang garis pantai, kondisi air lautnya yang bersih (jernih), keberadaan hutan mangrove, cemara laut dan habitat beragam jenis satwa penyu, ikan, dan kekayaan keanekaragaman hayati lainnya dapat menjadi daya tarik ekowisata tersendiri bagi kawasan ini.

Namun, di tengah berbagai potensi ekowisata yang dimiliki, sektor ekowisata masih belum berkembang sehingga tidak memberikan dampak signifikan terhadap pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah ini.

1.

Oleh sebab itu penelitian ini diperlukan untuk menjawab pertanyaan :

2.

Bagaimana sumber daya ekowisata pesisir yang ada di kecamatan Paloh?

Bagaimana kesesuaian dan daya dukung kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh?

3.

4.

Bagaimana peran serta masyarakat dalam kegiatan dan perencanaan kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh?

Bagaimana mengintegrasikan potensi sumber daya untuk pengembangan kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh?

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk merencanakan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat di kecamatan Paloh kabupaten Sambas.

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi, menzonasi, dan menganalisis potensi kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh.

2. Menganalisis kesesuaian dan daya dukung kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh.

3. Mengidentifikasi dan menganalisis keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan dan perencanaan kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh.

4. Mengintegrasikan potensi sumber daya ekowisata untuk pengembangan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat di kecamatan Paloh.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah untuk : a. Pemerintah Kabupaten Sambas

1. Dapat dijadikan salah satu solusi alternatif dalam mengatasi permasalahan wilayah pesisir perbatasan Kalimantan Barat.

2. Dapat menjadi pedoman pengembangan potensi pariwisata dalam usaha peningkatan perannya sebagai penyeimbang lingkungan.

3. Dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam penentuan kebijakan pengelolaan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat di kecamatan Paloh.

b. Masyarakat

1. Sebagai usaha untuk menggali potensi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya ekowisata di kecamatan Paloh.

2. Sebagai usaha untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses perencanaan lanskap kawasan ekowisata pesisir di kecamatan Paloh.

3. Dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.5. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini didasarkan oleh suatu pemikiran akan perlunya perencanaan lanskap kawasan ekowisata yang melibatkan peran serta masyarakat di suatu daerah yang merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumber daya alam dan manusia dalam usaha pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat di suatu wilayah, maka juga akan terus mengalami pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana menuju kondisi wilayah yang lebih kompleks, sehingga aktivitas masyarakat juga akan mengalami peningkatan. Hal tersebut tentulah akan menimbulkan perubahan pada kualitas lingkungan dan permasalahan sosial di wilayah tersebut, tidak terkecuali dengan wilayah di kecamatan Paloh.

Kecamatan yang merupakan wilayah pesisir di kabupaten Sambas ini adalah wilayah yang terus mengalami perubahan sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk dan pengaruh dari luar. Dengan kondisi yang demikian, maka diperluka n berbagai solusi alternatif dalam mengatasi berbagai permasalahan lingkungan yang selaras dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut adalah dengan pengembangan kawasan wisata yang berbasis ekologis atau yang sering disebut dengan istilah ekowisata. Selain berkontribusi besar dalam hal pelestarian lingkungan, sektor ekowisata diharapkan juga dapat meningkatkan nilai tambah secara ekonomi bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat di kecamatan Paloh. Pengembangan kawasan ekowisata tentunya tidak terlepas dari peran serta

masyarakat lokal sehingga diperlukan rencana pengembangan ekowisata berbasis masyarakat.

Untuk membuat sebuah perencanaan lanskap kawasan ekowisata harus diketahui terlebih dahulu potensi sumber daya alam, budaya masyarakat setempat, arah pengelolaan kawasan dan fasilitas pendukung yang ada. Data sumber daya ekowisata yang dikumpulkan meliputi potensi fisik, biologi dan potensi masyarakat. Data potensi masyarakat yang dikumpulkan berupa budaya, partisipasi dan keinginan masyarakat terhadap usaha pengembangan ekowisata.

Kecamatan Paloh sendiri memiliki berbagai pot ensi sumber daya ekowisata, selain merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia, kecamatan Paloh juga masih mempunyai kawasan pengembangan pembangunan yang cukup luas yang diharapkan dapat mendukung aspek ekonomi, sosial maupun aspek lingkungan di kabupaten Sambas. Letak geografis yang strategis, kondisi biofisik dan sosial budaya masyarakat yang mendukung dapat dijadikan daya tarik ekowisata yang menjanjikan bagi kecamatan Paloh. Informasi tentang rencana pengembangan kawasan dianalisis dalam rangka menilai apakah objek/atraksi yang mungkin dikembangkan serta objek/atraksi ekowisata yang diinginkan oleh masyarakat dapat dipadukan dengan potensi kawasan melalui kajian yang dilakukan terutama menyangkut aktivitas yang akan dikembangkan.

Berdasarkan hasil analisis terhadap potensi kawasan yang dimiliki maka diperlukan perencanaan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat (Community-Based Ecotourism) di kecamatan Paloh. Secara skematis, kerangka pemikiran perencanaan lanskap kawasan ekowisata pesisir berbasis masyarakat di kecamatan Paloh disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Kecamatan Paloh

Identifikasi Kondisi Aktual Kawasan

Potensi Objek/Atraksi Ekowisata

Potensi Kawasan Potensi Sumber

Daya Manusia

Zonasi Ruang Ekowisata

Perencanaan Lanskap Kawasan Ekowisata Pesisir Berbasis Masyarakat di Kecamatan Paloh

Analisis Kawasan Objek Ekowisata

Analisis Pemetaan Partisipatif Masyarakat Analisis Kesesuaian dan

Daya Dukung Ekowisata

Penentuan Sasaran, Tujuan, dan

Penyiapan Perangkat Penelitian.

T A H A P I T A H A P II T A H A P III

Zonasi Kondisi Aktual

Sintesis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pariwisata dan Ekowisata

Organisasi pariwisata sedunia, World Tourism Organization (WTO), mendefinisikan pariwisata (tourism) sebagai "activities of person traveling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes".

Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2009 Bab I pasal 1 tentang Kepariwisataan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah (pusat), dan pemerintah daerah. Sedangkan wisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

Pariwisata (tourism) sering diasosiasikan sebagai rangkaian perjalanan seseorang atau kelompok orang (wisatawan/turis) ke suatu tempat untuk berlibur, menikmati keindahan alam dan budaya (sightseeing), bisnis, mengunjungi kerabat dan tujuan lainnya (Ramly, 2007).

Pariwisata juga didefinisikan sebagai kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Sebagai aktivitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar masyarakat maju dan sebagian kecil masyarakat negara berkembang (Damanik dan Weber, 2006).

Lebih lanjut Damanik dan Weber (2006) menjelaskan bahwa dari sisi ekonomi, pariwisata muncul dari empat unsur pokok yang saling terkait erat atau menjalin hubungan dalam suatu sistem, yaitu permintaan, penawaran, pasar dan kebutuhan, serta pelaku atau aktor wisata. Unsur penting dalam permintaan dan penawaran wisata yang harus dipertimbangkan adalah wisatawan, penduduk lokal, dan sumber daya (produk dan jasa) wisata. Sedangkan pelaku (aktor) wisata

meliputi wisatawan, industri wisata, jasa pendukung wisata, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat lokal.

Sektor pariwisata juga mempunyai signifikansi dalam hal perbaikan lingkungan dan pelestarian budaya suatu negara. Secara konseptual sektor pariwisata mempunyai peran dalam perbaikan lingkungan dijabarkan dalam konsep ekowisata yang dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan lingkungan) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Fandeli, 2000). Sementara ditinjau dari segi pengelolaannya, ekowisata dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam dan secara ekonomi berkelanjutan yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Depdagri, 2000).

The International Ecotourism Society (2008) mendefinisikan ekowisata sebagai suatu bentuk wisata yang terfokus pada daerah yang masih alami dengan tujuan untuk melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Sedangkan menurut Direktorat Jendral Pembangunan Daerah (2000) bahwa Ekowisata adalah suatu model pengembangan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola secara kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya, juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat. Ekowisata merupakan kontrol pembangunan yang diperlukan berdasarkan daya dukung untuk menjamin sumber daya alam agar tidak dimanfaatkan berlebihan oleh pengunjung (Clark, 1996).

Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KLH) mendefinisikan ekowisata sebagai wisata dalam bentuk perjalanan ke tempat-tempat di alam terbuka yang relatif belum terjamah atau tercemar dengan khusus untuk mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan dengan tumbuhan serta

satwa liarnya (termasuk potensi kawasan ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis tumbuhan dan satwa liar) juga semua manifestasi kebudayaan yang ada (termasuk tatanan lingkungan sosial budaya) baik dari masa lampau maupun masa kini di tempat-tempat tersebut dengan tujuan untuk melestasikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Konsep ekowisata bertujuan untuk mencapai keberlanjutan wisata, yang dalam pelaksanaannya menggunakan pertimbangan dampak pada ekosistem, sosial budaya dan ekonomi (Ecosystem, socio-cultural and Economic Consideration), menggunakan pendekatan ekologik, termasuk keragaman hayati – (Ecological and Bio-diversity Approach), melibatkan tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan pariwisata, bukan hanya pihak pemerintah dan swasta penyedia jasa pariwisata semata, melainkan juga masyarakat setempat dan wisatawan, atas alasan ini berbagai pihak menyebutnya sebagai “Responsible Tourism”, meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan alam dan sosial budaya, seperti konflik yang acapkali terjadi serta memaksimalkan dampak positif bagi kelestarian lingkungan alam, sosial budaya dan ekonomi, lokal, daerah dan nasional sehingga menciptakan kehidupan pariwisata yang dapat bertahan dengan langgeng (http ://caretuorism.wordpress.com.).

Low Choy dan Heillbronn (1996), merumuskan lima faktor batasan yang mendasar dalam penentuan prinsip utama ekowisata, yaitu :

1. Lingkungan; ekowisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang belum tercemar.

2. Masyarakat; ekowisata bermanfaat ekologi, sosial dan ekonomi pada masyarakat.

3. Pendidikan dan pengalaman; ekowisata harus dapat meningkatkan pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya pengalaman yang dimiliki.

4. Berkelanjutan; ekowisata dapat memberikan sumbangan positif bagi keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang.

5. Manajemen; ekowisata harus dikelola secara baik dan menjamin sustainability lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan sekarang maupun generasi mendatang.

Konsep pengembangan ekowisata sejalan dengan misi pengelolaan konservasi yang mempunyai tujuan menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan, melindungi keanekaragaman hayati, menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya, serta memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat (Yulianda, 2007).

2.2. Lanskap dan Kawasan Pesisir

Menurut Forman dan Godron (1986), lanskap dapat didefinisikan sebagai area lahan heterogen yang tersusun dari suatu cluster ekosistem yang saling berinteraksi yang berulang dalam bentuk yang serupa. Dinyatakan lebih lanjut lanskap adalah suatu unit yang menonjol atau nyata, dapat diukur yang ditentukan oleh cluster ekosistem yang saling berinteraksi yang dapat dikenali dan secara spasial berulang, secara geomorfologi dan sistem yang terganggu.

Berdasarkan Porteous (1996) lanskap adalah bagian dari subset alam, yang selanjutnya membutuhkan kesenangan dan pendidikan untuk mengapresiasinya. Tipe lanskap berdasarkan apresiasi dibagi menjadi pegunungan (mountains), alam bebas (wilderness), pedesaan (the middle landscape/rural). Taman-taman (gardens), dan lanskap perkotaan (townscape).

Menurut Von Humboldt dalam Farina (1998) lanskap adalah karakter total suatu wilayah. Sedangkan (Naveh dalam Farina, 1998) mengemukakan bahwa lanskap selalu berhubungan dengan totalitas keseluruhan secara fisik, ekologis, dan geografi, pengintegrasian seluruh proses-proses dan pola-pola manusia dan alam.

Suatu area dikatakan memiliki karakter lanskap alami apabila area tersebut memiliki keharmonisan atau kesatuan diantara elemen-elemen alami seperti bentukan lahan, formasi batuan, vegetasi, dan kehidupan satwa. Lanskap alami memiliki karakter indah, unik, idealis, lembut, anggun, tenang, asli, megah, dan tegas. Karakter lanskap alami dikategorikan dalam bentukan laut, bukit pasir,

sungai, danau, hutan, jurang, dataran, gurun pasir, rawa, bukit, lembah, aliran air, padang rumput, dan gunung (Simon, 1983).

Kawasan pesisir menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 diartikan sebagai bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.

Wilayah pesisir menurut Soegiarto (1976) adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang