• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori

2.1.3 Laporan Keuangan Perbankan

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No 14/14/ PBI/2012 bahwa:

‘dalam rangka transparansi kondisi keuangan, Bank wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan, yang terdiri atas: 1) laporan tahunan, 2) laporan keuangan publikasi triwulanan, 3) laporan keuangan publikasi bulanan, 4) laporan keuangan konsolidasi.” Maka dengan perkembangan terkini standar akuntansi keuangan, perbankan dituntut untuk menyajikan laporan keuangan yang akurat, komprehensif dan mencerminkan kinerja bank secara utuh. Baik buruknya kondisi

suatu bank dapat tercermin dari kinerja keuangan bank yang terlihat dari laporan keuangan.

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang dinyatakan dalam PSAK No. I paragraph 10 (2012). Tujuan pembuatan laporan keuangan adalah untuk memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar penggunan dalam pembuatan keputusan ekonomi.

Laporan keuangan dijadikan sebagai sumber utama untuk penilaian kinerja keuangan bank. Dasar dari dinilai nya kinerja keuangan dapat dilakukan dengan melakukan perhitungan rasio keuangan. Laporan keuangan memperlihatkan situasi keuangan perusahaan saat itu, dari informasi yang dilampirkan tersebut dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menilai kinerja perusahaan. Bank merupakan lembaga yang mengandalkan kepercayaan, yaitu kepercayaan nasabah.

Oleh karena itu laporan keuangan harus disusun semaksimal mungkin agar pihak-pihak pengguna laporan keuangan tidak meragukannya.

2.2 Telaah Literatur 2.2.1 Nilai Perusahaan

Husnan dan Pudjiastuti (1994) mengatakan bahwa untuk bisa mengambil keputusan-keputusan keuangan yang benar, manajer keuangan perlu menentukan tujuan yang harus dicapai. Keputusan yang benar adalah keputusan yang akan membantu mencapai tujuan tersebut. Secara normatif, tujuan keputusan keuangan adalah untuk memaksimumkan nilai perusahaan. Semakin tinggi nilai perusahaan, semakin besar kemakmuran yang akan diterima oleh pemilik perusahaan. Nilai

perusahaan merupakan persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan yang sering dikaitkan dengan harga saham (Sujoko dan Subiantoro, 2007).

Enterprise value (EV) atau dikenal juga sebagai firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Wahyudi (2005) menyebutkan bahwa nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli andai perusahaan tersebut di jual.

Brigham dan Houston (2001) menyatakan bahwa jika ingin menaikkan nilai perusahaan, maka utang sebaiknya digunakan, sehingga rasio utang yang memaksimalkan nilai perusahaan adalah struktur modal yang optimal. Tidak mudah mengukur efek sruktur modal terhadap harga saham, tetapi ini merupakan inti dari keputusan struktur modal dan ini memerlukan rasio utang yang lebih rendah daripada rasio utang yang memaksimumkan earnings per share (EPS).

Husnan dan Pudjiastuti (1994) juga mengatakan bahwa memaksimumkan nilai perusahaan juga tidak identik dengan memaksimumkan laba, apabila laba diartikan sebagai laba akuntansi (yang bisa dilihat pada laporan rugi laba perusahaan). Sebaliknya memaksimumkan nilai perusahaan akan identik dengan memaksimumkan laba dalam pengertian ekonomi (economic profit). Hal ini disebabkan karena laba ekonomi diartikan sebagai jumlah kekayaan yang bisa dikonsumsikan tanpa membuat pemilik kekayaan tersebut menjadi lebih miskin.

Jogi dan Tarigan (2007) dalam penelitiannya memaparkan beberapa konsep nilai yang menjelaskan nilai suatu perusahaan adalah sebagai berikut :

1. Nilai nominal adalah nilai yang tercantum secara formal dalam anggaran dasar perseroan, disebutkan secara eksplisit dalam neraca perusahaan, dan juga ditulis jelas dalam surat saham kolektif.

2. Nilai pasar, sering disebut kurs yaitu harga yang terjadi dari proses tawar menawar di pasar saham. Nilai ini hanya bisa ditentukan jika saham perusahaan dijual di pasar saham.

3. Nilai intrinsik merupakan konsep yang paling abstrak, karena mengacu pada perkiraan nilai riil suatu perusahaan, bukan sekedar harga dari sekumpulan aset, melainkan nilai perusahaan sebagai entitas bisnis yang memiliki kemampuan menghasilkan keuntungan di kemudian hari.

4. Nilai buku adalah nilai perusahaan yang dihitung dengan dasar konsep akuntansi. Secara sederhana dihitung dengan membagi selisih antara total aktiva dan total utang dengan jumlah saham yang beredar.

5. Nilai likuidasi adalah nilai jual seluruh aset perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban yang harus dipenuhi. Nilai sisa itu merupakan bagian para pemegang saham. Nilai likuidasi bisa dihitung dengan cara yang sama dengan menghitung nilai buku, yaitu berdasarkan neraca performa yang disiapkan ketika suatu perusahaan akan likuidasi

Dari beberapa konsep nilai yang menjelaskan nilai suatu perusahaan, pada penelitian ini peneliti menggunakan nilai pasar. Nilai perusahaan go public selain menunjukkan nilai seluruh aktiva, juga tercermin dari nilai pasar atau harga sahamnya, sehingga semakin tinggi harga saham mencerminkan tingginya nilai perusahaan (Afzal dan Rohmah, 2012).

Pada umumnya faktor keuangan merupakan fungsi utama yang akan mempengaruhi nilai perusahaan. Kinerja keuangan perusahaan merupakan faktor penting untuk menilai keseluruhan kinerja perusahaan itu sendiri. Mulai dari penilaian asset, utang, likuiditas, dan lain sebagainya. Banyak indikator yang dapat digunakan dalam menganalisis kinerja keuangan perusahaan antara lain cash flow atau aliran dana per transaksi, profitabilitas, likuiditas, struktur keuangan dan investasi atau rasio pemegang saham (Castila 2018).

2.2.2 Capital Adequacy Ratio (CAR) Terhadap Nilai Perusahaan

Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank, di samping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber di luar bank, seperti dana masyarakat, pinjaman (utang) dan lain-lain (Prabowo,2014). Semakin tinggi risiko, maka risk marginnya juga tinggi, hal ini akan menurunkan tingkat pendapatan sehingga mempengaruhi jumlah laba yang disalurkan. Capital Adequacy Ratio adalah rasio antara modal bank dengan aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR).

Penetapan Capital Adequacy Ratio (CAR) sebagai variabel yang mempengaruhi nilai perusahaan didasarkan hubungannya dengan tingkat risiko bank. CAR menjelaskan sampai dimana penurunan asset bank masih bisa ditutupi dengan ekuitas bank yang dimiliki. CAR di atas 8% menunjukkan usaha bank yang semakin stabil, karena adanya kepercayaan masyarakat yang besar. Hal ini disebabkan karena bank akan mampu menanggung risiko dari aset yang berisiko.

Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2014) menyatakan bahwa CAR berpengaruh positif tidak signifikan terhadap Nilai Perusahaan. Berbedaan dengan

penelitian Srihayati (2015) yang memberikan hasil bahwa CAR tidak berpengaruh signifikan terhadap Nilai Perusahaan.

2.2.3 Performing Non Loan (NPL) Terhadap Nilai Perusahaan

Rasio Non Performing Loan (NPL) adalah adalah perbandingan antara kredit bermasalah terhadap total kredit. Rasio ini mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah. Semakin tinggi rasio ini maka akan semakin semakin buruk kualitas kredit bank yang berarti jumlah kredit bermasalah semakin besar, sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin besar. Untuk penilaian bank, besarnya Rasio Non Performing Loan (NPL) maksimum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia adalah sebesar 5%.

Menurut Untung (2005) tentang kinerja bank dapat dikemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja suatu bank menjadi buruk salah satunya adalah kredit macet yang tinggi. Tim INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) mengatakan dalam mengevaluasi kinerja bank digunakan beberapa indikator keuangan, salah satunya adalah indikator Non Performing Loan (NPL). Penelitian yang dilakukan oleh Srihayati (2015) dan Repi (2016) menyatakan bahwa NPL tidak berpengaruh signifikan terhadap Nilai Perusahaan, sedangkan dalam penelitian Hidayat (2014) memberikan hasil bahwa NPL berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap Nilai Perusahaan.

2.2.4 Loan to Deposit Ratio (LDR) Terhadap Nilai Perusahaan

Loan to Deposit Ratio atau dikenal dengan istilah Banking Ratio menyatakan bahwa rasio tersebut dipergunakan untuk mengetahui kemampuan bank dalam membayar kepada para penyimpan dana dengan jaminan pinjaman yang diberikan. Berdasarkan Peraturan No. 17/11/PBI/2015, mengatur bahwa

batas bawah LDR, yang kemudian berubah menjadi LFR sebesar 78 persen sedangkan batas atasnya ditetapkan sebesar 92 persen. Bank Indonesia perlu menetapkan kisaran LDR karena selain bisa mempengaruhi likuiditas bank, LDR juga merupakan indikator keberhasilan bank menjalankan fungsi sebagai financial intermediary.

Yang digambarkan oleh rasio ini mengenai sejauh mana simpanan digunakan untuk pemberian pinjaman. Rasio ini juga digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas. Jadi Loan to Deposit Ratio adalah rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada bank lain, terhadap dana pihak ketiga (giro, tabungan dan deposito dalam rupiah dan valuta asing) dan tidak termasuk dana antar bank dan surat- surat berharga dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu yang diterbitkan oleh Bank untuk memperoleh sumber pendanaan. Semakin tinggi LDR maka laba bank juga akan semakin meningkat asalkan bank tersebut mampu menyalurkan kreditnya dengan baik atau semakin tinggi tingkat likuiditas suatu bank (Hakim: 2013). Semakin meningkatnya laba bank, maka hal tersebut juga akan memberi pengaruh terhadap nilai perusahaan. Menurut penelitian Repi (2016) bahwa LDR berpengaruh signifikan terhadap Nilai Perusahaan, berbeda dengan penelitian Srihayati (2015) bahwa LDR tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.

Sebaliknya, Dendawijaya (2005: 116) mengatakan bahwa Loan to Deposit Ratio menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini memberikan indikasi semakin

rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit menjadi semakin besar. Jadi banyaknya kredit yang diberikan oleh bank kepada masyarakat harus diimbangi dengan kemampuan bank tersebut untuk mengembalikan dana itu.

Hasil penelitian Dewi (2016) menyatakan LDR berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap nilai perusahaan.

2.2.5 Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) Terhadap Nilai Perusahaan

Dalam industri perbankan, pendekatan yang umum digunakan untuk mengukur efisiensi operasional adalah pendekatan akuntansi (accounting approach) dengan menggunakan rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO). Beban operasional adalah beban yang dikeluarkan oleh bank dalam rangka menjalankan aktivitas operasional (seperti beban bunga, beban tenaga kerja, beban pemasaran). Pendapatan operasional merupakan pendapatan utama bank yaitu pendapatan bunga yang diperoleh dari penempatan dana dalam bentuk kredit dan penempatan operasi lainnya.

Berdasarkan lampiran dari Surat Edaran Bank Indonesia No. 13/30/DPNP tanggal 16 Desember 2011 diketahui bahwa “ rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional merupakan perbandingan antara total beban operasional terhadap pendapatan operasional. Input yang digunakan dalam rasio ini adalah beban operasional, sedangkan output yang digunakan dalam rasio ini adalah pendapatan operasional”. Berdasarkan lampiran surat edaran Bank Indonesia tersebut maka Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional dapat dirumuskan sebagai berikut :

Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional Beban Operasional x 100

Pendapatan Operasional

Semakin rendah nilai rasio ini, semakin baik bank tersebut dalam memaksimalkan laba atas beban yang terjadi. Hasil penelitian Halimah dan Komariah (2017) menyatakan bahwa BOPO tidak berpengaruh signifikan terhadap Nilai Perusahaan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Asriani (2017) bahwa BOPO berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap PBV. Sedangkan Sulastiningsih dan Sholihati (2018) BOPO berpengaruh negatif dan signifikan terhadap PBV.

2.2.6 Debt to Equity Ratio (DER) Terhadap Nilai Perusahaan

Debt to Equity Ratio adalah rasio yang menunjukkan kemampuan modal sendiri perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajibannya (Sawir, 2004). DER menurut Syahyunan (2015) adalah perbandingan hutang dan ekuitas dalam pendanaan perusahaan dan menunjukkan kemampuan modal sendiri perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajibannya. DER merupakan perbandingan antara hutang dan ekuitas (Syahyunan, 2015).

Menurut Fransiska (2013) debt to equity ratio diketahui dapat memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki perusahaan sehingga dapat melihat tingkat risiko tak terbayarkan suatu hutang dan juga karena merupakan salah satu rasio pengelolaan modal yang mencerminkan kemampuan perusahaan membiayai usahanya dengan pinjaman dana yang disediakan pemegang saham.

Pirashanthini dan Nimalathasan (2013) menyatakan bahwa debt to equity ratio mempengaruhi nilai perusahaan. Penelitian tersebut menjadi tidak konsisten terhadap hasil penelitian dari Jusriani dan Rahardjo (2013) yang menyatakan bahwa debt to equity ratio tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap nilai perusahaan.

2.2.1 Pertumbuhan Laba Terhadap Nilai Perusahaan

Kinerja suatu perusahaan merupakan hasil dari serangkaian proses dengan mengorbankan berbagai sumber daya. Alat ukur kinerja perusahaan salah satunya adalah laba. Laba adalah kenaikan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban.

Menurut Ikhsan dan Herkulanus (2008: 206-209), laba merupakan item laporan keuangan mendasar dan penting yang memiliki berbagai kegunaan dalam berbagai konteks. Laba secara umum diyakini sebagai dasar untuk:

1. Perpajakan dan pendistribusian kembali kesejahteraan diantara individual.

Akun laba seperti ini dikenal sebagai akun laba kena pajak, dihitung sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh badan fiskal pemerintah.

2. Petunjuk bagi kebijakan dividen perusahaan dan cadangan. Laba merupakan indikator jumlah maksimum yang dapat didistribusikan sebagai dividen dan bagian yang ditahan untuk ekspansi atau diinvestasikan kembali dalam perusahaan.

3. Sarana petunjuk investasi daan pembuatan keputusan.

4. Sarana prediksi yang membantu dalam memprediksi laba periode mendatang.

5. Ukuran efisiensi yaitu ukuran pengelolaan manajemen atas sumber daya

perusahaan dan efisiensi manajemen dalam menjalankan kegiatan perusahaan.

Laba yang peroleh tidak dapat dipastikan, oleh karena itu dibutuhkan suatu prediksi pertumbuhan laba. Pertumbuhan laba adalah perubahan persentase kenaikan laba yang diperoleh perusahaan. Pertumbuhan laba yang baik mengisyaratkan bahwa perusahaan mempunyai kinerja yang baik, yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan. Dividen yang akan dibayar di masa mendatang besarannya sangat bergantung pada prospek pertumbuhan laba dan pertumbuhan perusahaan itu sendiri, semakin tinggi tingkat pertumbuhan laba perusahaan, maka semikin besar jumlah dividen yang akan dibayarkan.

Menurut Hanafi dan Halim dalam Haryanti (2007), pertumbuhan laba dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

1. Besarnya perusahaan

Perusahaan jika semakin besar maka ketepatan pertumbuhan laba yang diharapkan semakin tinggi.

2. Umur perusahaan

Perusahaan yang baru berdiri kurang memiliki pengalaman dalam meningkatkan laba, sehingga ketepatannya masih rendah.

3. Tingkat leverage

Perusahaan memiliki tingkat hutang tinggi, maka manajer cenderung memanipulasi laba sehingga mengurangi ketepatan pertumbuhan laba.

4. Tingkat penjualan

Tingkat penjualan di masa yang akan datang yang meningkat membuat pertumbuhan laba semakin tinggi.

5. Perubahan laba masa lalu

Perubahan laba di masa lalu jika semakin besar, semakin tidak pasti laba yang diperoleh di masa yang akan datang.

Menurut Anoraga dan Pakarti dalam Haryanti (2007) ada dua macam analisis untuk menentukan pertumbuhan laba yaitu analisis fundamental dan analisis teknikal.

1. Analisis fundamental adalah analisis kinerja perusahaan berdasarkan data yang berasal dari perusahaan, baik berupa laporan keuangan, laporan tahunan maupun informasi lain mengenai seluk-beluk perusahan (Raharjo, 2006: 127). Para analisis fundamental mencoba memprediksi pertumbuhan laba di masa yang akan datang dengan mengestimasi faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi pertumbuhan laba yang akan datang yaitu kondisi ekonomi dan kondisi keuangan yang tercermin melalui kinerja perusahaan.

2. Analisis teknikal sering dipakai oleh investor dan biasanya data atau catatan pasar yang digunakan berupa grafik. Analisis ini berupaya untuk memprediksi pertumbuhan laba di masa yang akan datang dengan mengamati perubahan laba di masa lalu. Teknik ini mengabaikan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi keuangan perusahaan.

Analisis yang digunakan untuk menentukan pertumbuhan laba dalam penelitian ini adalah analisis fundamental. Analisis fundamental merupakan analisis yang berkaitan dengan kinerja perusahaan. Salah satu bagian dari analisis fundamental adalah analisis rasio yaitu analisis dengan menggunakan hubungan matematis antar variabel keuangan yang satu dengan yang lain. Menurut Sartono dalam Yuniastuti (2009), analisis rasio dapat digunakan untuk mengevaluasi

keadaan finansial masa lalu, masa sekarang dan untuk memproyeksikan hasil atau laba yang akan datang.

Menurut Simorangkir dalam wulandari (2018), pertumbuhan laba adalah perubahan persentase kenaikan laba yang diperoleh perusahaan. Pertumbuhan laba berpengaruh terhadap investasi para investor dan calon investor yang akan menanamkan modalnya ke dalam perusahaan. Pertumbuhan laba yang baik, mengisyaratkan bahwa perusahaan mempunyai kondisi yang baik, yang pada akhirnya akan meningkatkan nilai perusahaan (harga saham tinggi).

Penelitian tentang pengaruh Pertumbuhan Laba terhadap Nilai Perusahaan dilakukan oleh Hasibuan (2008) pada Perusahaan PT Indofood Sukses Makmur, Tbk dan PT Mayora Indah, Tbk. Tahun 2006-2007. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa PT. Mayora Indah, Tbk memiliki hubungan dan pengaruh signifikan antara pertumbuhan laba dengan nilai intrinsik dan nilai pasar perusahaan. Itu disebabkan karena pada PT. Mayora Indah, Tbk terjadi pertumbuhan laba tiap tahunnya yang semakin meningkat yang menyebabkan nilai intrinsik dan nilai pasar pada PT. Mayora Indah, Tbk juga mengalami peningkatan. Berbeda dengan PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk yang mengalami peningkatan nilai intrinsik dan nilai pasar tetapi tidak diikuti dengan peningkatan pertumbuhan laba, karena PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk mengalam penurunan pertumbuhan laba yang cukup signifikan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan laba dapat mempengaruhi frofitabilitas yang berimbas terhadap meningkatnya nilai perusahaan.

BAB III

KERANGKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Dokumen terkait