• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelapa sawit adalah komoditas andalan di Indonesia, hal ini dikarenakan hasil olahan minyak kelapa sawit yang luas dan erat dengan kehidupan manusia.

Hasil olahan kelapa sawit memiliki hasil turunan seperti CPO (Crude Palm Oil) dan PKO (Palm Kernel Oil) yang menghasilkan produk hilir bermacam-macam, dimana kedua turunan tersebut adalah hasil olahan atau turunan pertama dari kelapa sawit atau yang dikeal TBS(tandan buah segar) yang lazim diproduksi, CPO dan PKO Indonesia selalu menjadi salah satu pemasok CPO terbesar di dunia, hal ini nyata dimana menurut Rifai (2014) pada tahun 2013 Indonesia menjadi negara nomor satu pengekspor minyak sawit mentah dengan volume ekspor 26,7 juta ton dengan nilai US$ 19,1 Juta (47% perdagangan minyak sawit internasional).

CPO memiliki spektrum yang sangat luas, menurut kajian dari peraturan kementerian perindustrian (No.13 tahun 2010) kelapa sawit memiliki 100 produk hilir yang dapat dihasilkan pada skala industri. Namun hanya sekitar 23 produk hilir (pangan dan non pangan) yang telah diproduksi di Indonesia. Beberapa produk hilir turunan CPO dan PKO yang telah diproduksi diantaranya untuk kategori pangan minyak goreng, minyak salad, shortening, margarine, Cocoa Butter Substitute (CBS), vanaspati, vegetable ghee, food emulsifier, fat powder, dan es krim. Adapun untuk kategori non pangan diantaranya adalah surfaktan, biodiesel, dan oleokimia turunan lainnya.

Pada proses pembuatan, distribusi dan kestabilan kualitas, CPO memerlukan rantai pasok hubungan yang terus-menerus mengenai barang, uang, dan informasi. Barang umumnya mengalir dari hulu ke hilir, uang mengalir dari hilir ke hulu, sedangkan informasi mengalir baik dari hulu ke hilir maupun dari hilir ke hulu. Pada hakikatnya sangat penting dan perlu dilakukan integrasi lebih lanjut dari manajemen logistik antar perusahaan yang terkait, dengan tujuan lebih meningkatkan kelancaran arus barang, meningkatkan keakuratan perkiraan kebutuhan, dan mengurangi tingkat persediaan barang, dan mengurangi biaya.

Sebagaimana yang dikatakan Basiron (2005) bahwa di dalam agroindustri CPO, manajemen rantai pasok yang baik akan menunjang praktik usaha tani, produksi dan pendistribusian.

PT. Perkebunan Nusantara III PKS (Pabrik kelapa sawit) Hapesong adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bisnis perkebunan dan pengolahan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit ini menghasilkan minyak sawit mentah yang digunakan sebagai bahan baku oleh industri lainnya sebagai produk turunan. Fungsi minyak sawit mentah sebagai bahan baku bagi industri lainnya tentu memberikan konsekuensi perhatian yang lebih terhadap kualitas dan pemenuhannya. Dalam aktivitas produksinya perusahaan memiliki pabrik pengolahan yang berkapasitas mengolah Tandan Buah Segar 30 ton/jam produksi yang dilakukan seperti ditampilkan sebagai data pada tabel 1.1.

Tabel 1.1 Data produksi CPO dan TBS olah PT. Perkebunan Nusantara III PKS Hapesong

Bulan TBS yang Diolah (kg) Produksi CPO (kg)

Oktober 2.460.000 434.163

November 5.485.000 986.313

Desember 7.807.000 1.563.390

Januari 6.930.000 1.209.131

Februari 7.860.000 1.503.161

Maret 9.030.000 1.820.935

April 6.464.990 1.242.230

Mei 10.710.000 1.951.140

Juni 10.018.770 1.758.805

Juli 15.450.000 2.721.765

Agustus 11.629.700 2.132.425

September 11.338.440 2.055.670

Total 82.215.760 19.379.128

Sumber : PT. Perkebunan Nusantara III

Diagram Pengiriman CPO Per Bulan dapat dilihat pada gambar 1.1.

Sumber : PT. Perkebunan Nusantara III

Gambar 1.1 Diagram Pengiriman CPO Per Bulan (Kg)

Pada Tabel 1.1. dapat dilihat bahwa produksi CPO cenderung tidak stabil begitu juga dengan pengiriman CPO yang ditampilkan pada gambar 1.1 , hal ini dikarenakan pasokan TBS fluktuatif dalam memenuhi permintaan PKS. Pasokan TBS merupakan bagian yang penting dalam kestabilan produksi CPO. Maka diperlukan pasokan TBS yang konstan dengan pemenuhan jumlah yang sesuai kebutuhan dan permintaan serta tepat waktu.

Oleh karena itu, untuk memenuhi hal tersebut diperlukan analisis terhadap jaringan rantai pasok TBS maupun CPO pada PT. Perkebunan Nusantara III PKS Hapesong agar sistem rantai pasok terintegrasi dengan baik dari setiap proses dan subproses pada semua stakeholder. Analisis dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang melibatkan semua pihak yang berperan pada jaringan sistem dan aktivitas-aktivitas rantai pasok. Analisis dengan metode food supply chain network (FSCN) merupakan sebuah pendekatan yang memerhatikan standar mutu makanan dalam penilaian aktivitasnya, hal ini sejalan dengan CPO sebagai sebuah makanan yang terstandarisasi. Analisis pada setiap aktivitas dilakukan dengan penilaian menggunakan metode SCOR, yang merupakan metode penilaian/pembobotan aktivitas pada proses dan subproses sistem rantai pasok.

Sri Padmayanto (2017) mengemukakan perbaikan pada SCM akan menciptakan sinkronisasi dan koordinasi aktivitas aliran perusahaan yang berakibat pada perbaikan produksi, dan SCM juga terbukti berperan terhadap kualitas dan efisiensi distribusi. Apabila perbaikan pada manajemen atau jaringan rantai pasok akan menyebabkan daya saing yang tinggi, dikarenakan daya saing dipengaruhi oleh efektivitas dan efisiensi kinerja rantai pasok (Morgan et al 2004)

Penelitian yang dilakukan oleh Vorst (2006), menunjukkan bahwa sistem pengukuran kinerja (performance measurement system) diperlukan sebagai pendekatan dalam rangka mengoptirnalisasi jaringan rantai pasok (supply chain) dan peningkatan daya saing pelaku rantai pasok. Pengukuran kinerja bertujuan untuk mendukung perancangan tujuan, evaluasi kinerja, dan menentukan langkah-Iangkah ke depan baik pada level strategi, taktik dan operasional. pada penelitian ini juga dikemukanan bahwa rantai pasok pangan/makanan memiliki spesifikasi yang berbeda dengan rantai pasok lainnya seperti : pelaku rantai yang terpisah, umur simpan produk yang singkat dan mudah rusak, produksi tergantung musim, kondisi keamanan produk yang sulit diukur, penanganan terhadap penyimpanan dan transportasi mempegaruhi kuantitas dan kualitas produk-produk pertanian.

Penelitian yang dilakukan oleh Qashiratuttarafi (2019), menunjukkan bahwa keaadan jaringan rantai pasok pada JMHS (jaringan madu hutan sumbawa) sudah terstruktur dan memiliki sasaran yang jelas namun belum terkelola dengan baik, ditinjau dari proses bisnis yang belum terintegrasi secara keseluruhan dan belum ada kontrak sehingga pengawasan kualitas JMHS belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Serta disarankan agar dilakukan perbaikan pada manajemen, struktur rantai maupun proses bisnis, memberikan aliran informasi yang jelas terhadap pemburu madu agar terjadi perencanaan kolaboratif dan pemerintah diharapkan melakukan kebijakan dan pengawasan yang mendukung.

Pada penelitian Clara Yolandika (2016), dikemukakan bahwa rantai pasok brokoli pada CV. Yan’s Fruits and Vegetable sudah sangat baik dan terstruktur, namun masih ada permasalahan pada proses bisnis terutama pada perencanaan

kolaboratif. Petani mitra brokoli masih memiliki lead time yang panjang, sehingga siklus pemenuhan pemesanan lama dan berakibat menurunnya potensi kualitas brokoli yang dikirim.