DAFTAR GAMBAR
1.1. Latar Belakang
Perumahan dan permukiman tidak pernah berhenti sebagai sumber masalah dalam sejarah kehidupan manusia. Sejak zaman manusia purba yang hidup di gua-gua yang menggantungkan diri dan memanfaatkan gejala alam untuk tempat tinggalnya sampai dengan zaman orang masa kini yang hidup rumah-rumah susun bahkandi dalam gedung pencakar langit, masalah permukiman selalu muncul, bahkan cenderung semakin rumit dan kompleks. Kalau pada era manusia purba yang masih tinggal di gua-gua mereka tidak begitu peduli tentang kepemilikan baik lahan maupun identitas hunian mereka masing-masing, namun di era saat ini hal – hal yang berkenaan dengan perumahan dan permukiman semakin dirasakan sebagai tuntutan dasar manusia yang sudah berbudaya.
Permasalahan perumahan dan permukiman ini selalu menjadi tuntutan manusia yang tidak pernah terpuaskan bahkan menyebabkan selalu munculnya berbagai masalah baru terutama sekali dikota-kota besar di dunia yang pesat perkembangannya, tinggi laju pertambahan penduduknya, dan sangat heterogen masyarakat penghuninya sehingga berujung pada hadirnya permukiman kumuh.
Kehadiran pemukiman kumuh tersebut tentunya memberatkan beban bagi lingkungan dan permukiman perkotaan yang bersangkutan. Gambaran lingkungan permukiman kumuh secara nyata memperlihatkan kondisi negatif terhadap kehidupan sosial khususnya diperkotaan.
Leon (2008) berpendapat bahwa di negara-negara berkembang, orang-orang yang tinggal di kota-kota besar saat ini memiliki kelebihan yang tidak
dimiliki oleh banyak penduduk pedesaan. Kekayaan dan vitalitas ekonomi kota yang lebih besar dibandingkan dengan pedesaan adalah salah satu alasan utama mengapa orang datang dan tinggal di daerah perkotaan. Kemungkinan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dasar seringkali lebih besar daripada di pedesaan.
Azhari (1997) menjelaskan bahwa masalah yang dihadapi sekarang oleh kebanyakan negara adalah pergeseran proporsi penduduk dari wilayah pedesaan ke wilayah perkotaan dengan kecepatan yang cukup tinggi. Langkanya pekerjaan diluar pertanian yang diikuti dengan semakin sempitnya pemilikan lahan pertanian per petani dipedesaan melalui proses pewarisan dari generasi ke generasi, mendorong sebagian penduduk desa pergi meninggalkan kampung halamannya.
Sementara itu, kota semakin berkembang dan semakin menampilkan daya tariknya berupa peluang memperoleh pekerjaan, fasilitas pendidikan dan pelayanan umum lainnya, serta memberikan harapan untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi. Maka terjadilah apa yang dinamakan urbanisasi.
Kumar (2014) melakukan penelitian tentang permukiman kumuh pada kota-kota metropolitan di India, bahwa meningkatnya migrasi dari daerah pedesaan telah menyebabkan pertumbuhan daerah kumuh di setiap kota, tidak hanya di India, tetapi di tempat lain di dunia. Semakin bertambahnya jumlah penduduk suatu wilayah akan mengakibatkan makin padatnya penduduk dan hal ini akan diikuti oleh makin padatnya bangunan untuk permukiman. Sehingga setiap jengkal lahan telah terisi oleh bangunan, maka dari kondisi ini akan mengakibatkan makin sulitnya memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat seperti air minum, sanitasi, listrik, jalur pemadam kebakaran, sarana persampahan dan jenis lainnya. Kondisi ini jelas akan mengakibatkan menurunnya kualitas
kehidupan masyarakat itu sendiri, seperti menurunnya kualitas kesehatan lingkungan dan masyarakat serta menurunkan produktivitas masyarakat sehingga pada akhirnya diikuti penurunan kesejahteraan atau semakin miskin.
Masalah lain yang umum dihadapi oleh perkotaan besar di dunia adalah tumbuhnya daerah permukiman kumuh. Melihat pada gejala pertumbuhan penduduk diperkotaan yang cukup tinggi, maka dimungkinkan semakin membengkak pula daerah permukiman kumuh. Apabila hal ini tidak segera disiapkan antisipasinya sejak dini, maka masalah permukiman kumuh di Indonesia akan menggambarkan ketidakmampuan kota dalam menjalankan peranannya sebagai pusat perkembangan sosial, ekonomi, dan politik (Rindarjono, 2017).
Dari berbagai fenomena mengenai permasalahan permukiman ini, jika diamati dengan seksama tentu dapat menimbulkan beragam dampak terhadap lingkungan permukiman dan masyarakat di perkotaan, dampak yang sangat sering terasa oleh permasalahan tersebut adalah munculnya perumahan yang tidak memenuhi standar dan syarat kesehatan (rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni), penggunaan tanah kota yang semraut (bangunan dibahu jalan, acak-acakan tanpa perencanaan), terjadi penumpukan sampah dimana – mana, tersumbat dan bergenangnya saluran air, sulitnya akses pengamanan kebakaran dilingkungan permukiman dan permasalahan-permasalahan lainnya.
Jika permasalahan permukiman tersebut dibiarkan, dikhawatirkan akan berakibat pada menurunnya daya dukung terhadap lingkungan yang bersih, sehat dan nyaman, meningkatkan resiko kerawanan kemiskinan dan konflik sosial, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat pada beberapa kawasan, serta dapat
menurunnya kualitas terhadap akses pelayanan sarana/prasarana dasar terhadap kehidupan dalam masyarakat, dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya, hak untuk berkehidupan yang layak bagi setiap warga Indonesia telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, dimana dalam amanat Pasal 28H ayat (1) telah dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Ayat tersebut dapat menunjukkan bahwa tinggal disebuah hunian dengan lingkungan yang layak merupakan hak dasar yang harus dijamin pemenuhannya oleh pemerintah. Disamping itu penanganan permasalahan permukiman juga telah menjadi komitmen global dalam Sustainable Development Goals (SDG‟s), dengan menargetkan inklusivitas dalam pembangunan perkotaan hingga tahun 2030. Oleh karena itu pembangunan dibidang yang berhubungan dengan perumahan dan permukiman beserta sarana dan prasarana penunjang permukiman lainnya memang telah menjadi perhatian/prioritas dunia dan pemerintah terutama di kawasan – kawasan perkotaan.
Beragam upaya pemerintah dalam mengentaskan permasalahan perumahan dan permukiman telah banyak dilakukan, walaupun upaya tersebut terkadang belum sepenuhnya dapat tercapai. Berkaitan dengan upaya pemerintah dalam hal penanganan permasalahan perumahan dan permukiman, banyak kebijakan telah digagas dan diimplementasikan di beberapa daerah termasuk di Kota Subulussalam. Kebijakan ini tidak lain hanyalah untuk menuntaskan permasalahan – permasalahan yang berkaitan dengan perumahan dan permukiman yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan dan penanganan kekumuhan.
Kota Subulussalam merupakan salah satu daerah administrasi perkotaan yang mendapatkan prioritas pemerintah dalam penanganan perumahan dan permukiman kumuh. Keseriusan pemerintah dalam hal penanganan permukiman kumuh ini dapat dibuktikan dengan telah digulirnya program-program nasional yang berbasis pemberdayaan masyarakat di Kota Subulussalam, diantaranya: (1) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP), (2) Program Penataan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK), dan (3) Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU).
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) adalah program pertama yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dalam upaya untuk menanggulangi permasalahan dibidang perumahan dan permukiman di Kota Subulussalam. Program PNPM-MP ini merupakan keberlanjutan pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) sebagai suatu upaya keberlanjutan pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan sejak tahun 2009 di Kota Subulussalam. PNPM Mandiri Perkotaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri dan membantu masyarakat miskin pada 73 Desa yang ada di Kota Subulussalam (Satker PKP, PUPR Kota Subulussalam, 2014).
Program kedua yang telah dilakukan pemerintah terhadap penanganan permasalahan perumahan dan permukiman kumuh di Kota Subulussalam adalah pelaksanaan Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP-BK). Program ini merupakan salah satu intervensi program PNPM Mandiri
Perkotaan yang digagas oleh Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2013, untuk membangun masyarakat mandiri menuju masyarakat madani, yakni tatanan masyarakat yang berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan stakeholder lainnya dalam mewujudkan linkungan permukiman yang berjati diri, lestari, sehat dan produktif.
Program PLPBK ini bertujuan untuk mewujudkan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin melalui penataan lingkungan permukiman yang teratur, aman, dan sehat. Program PLPBK dilaksanakan di Kota Subulussalam pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2015. Program PLPBK ini telah mengalokasikan dana berupa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar 2 (dua) Miliyar kepada masing-masing 2 (dua) desa di Kota Subulussalam yaitu Desa Suka Makmur kecamatan Simpang Kiri dan Desa Lae Motong kecamatan Penanggalan.
Disamping itu program ini mengharuskan pemerintah daerah untuk melakukan sharing program/anggaran sebesar 50% dari bantuan stimulan yang dialokasikan kepada masing-masing desa, sehingga setiap desa mendapatkan alokasi anggaran/program sebesar 1,5 miliar rupiah yang konsep penggunaannya adalah untuk: (a) upaya mewujudkan perubahan perilaku dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin melalui peningkatan kualitas lingkungan permukiman dan cakupan pelayanan infrastruktur permukiman yang layak, produktif dan berkelanjutan, dan (b) fokus peningkatan kualitas lingkungan permukiman dan cakupan pelayanan infrastruktur permukiman di tingkat komunitas desa, khususnya pada kawasan prioritas miskin yg menjamin kemanfaatan program bagi masyarakat miskin dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Satker PKP, Dinas PUPR Kota Subulussalam, 2014).
Setelah dua program yang dilaksanakan pemerintah terhadap penanganan permasalahan perumahan dan permukiman kumuh di Kota Subulussalam, kondisi perumahan dan permukiman kumuh di Kota Subulussalam belum menunjukkan sebuah prestasi yang gemilang. Pada tahun 2014 kondisi fisik dari perumahan dan permukiman kumuh di Kota Subulussalam masih menunjukkan indikasi kekumuhannya yang tinggi, dimana kondisi kekumuhan pada kawasan permukiman di Kota Subulussalam saat itu masih mencapai 61,77 hektar (SK Walikota Subulussalam No:188.45/101/2014).
Berdasarkan kondisi kekumuhan yang masih terjadi di Kota Subulussalam seperti yang diuraikan diatas, pemerintah belum dapat menghentikan kebijakannya terhadap upaya penanganan permasalahan perumahan dan permukiman. Permasalahan perumahan dan permukiman yang belum tuntas ini menjadi isu yang harus segera ditanggulangi serta dijadikan prioritas dalam penanganannya.
Menyikapi hal ini pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat kembali menyusun strategi dalam upaya menyelesaikan permasalahan perumahan dan permukiman, terakhir dengan menetapkan kebijakannya dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Kualitas Perumahan dan Permukiman.
Dari dasar itu terselenggaranya program lanjutan yang disebut dengan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Dengan diselenggarakannya program KOTAKU ini diharapkan mampu untuk meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar pada kawasan permukiman kumuh dalam rangka mendukung terwujudnya perumahan dan permukiman yang layak huni, produktif dan
berkelanjutan di Kota Subulussalam. Peningkatan akses tersebut terutama berkaitan dengan kriteria perumahan dan permukiman kumuh diantaranya meliputi: bangunan/gedung, jalan lingkungan, drainase lingkungan, penyediaan air bersih/minum, pengelolaan persampahan, pengelolaan air limbah/sanitasi, pengamanan kebakaran dan ruang terbuka publik (Permen PUPR No. 2 Tahun 2016).
Program KOTAKU merupakan program yang bermaksud untuk membangun sistem yang terpadu untuk penanganan permukiman kumuh, dimana prinsipnya pemerintah daerah menjadi nakhoda dalam memimpin dan berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan dalam perencanaan maupun implementasinya, serta mengedepankan partisipasi masyarakat. KOTAKU juga diharapkan menjadi “platform kolaborasi” yang mendukung penanganan permukiman kumuh seluas 35.291 hektar yang dilakukan secara bertahap di seluruh Indonesia dalam rangka mendukung tercapainya sasaran RPJMN 2015-2019 yaitu kota tanpa kumuh menjadi 0 hektar (SE DJCK PUPR No.
40/SE/DC/2016).
Dari rangkaian penjelasan diatas mengenai beberapa program yang telah diimplementasikan oleh pemerintah terhadap penanganan permasalahan perumahan dan permukiman kumuh, serta kondisi kawasan permukiman kumuh yang masih terjadi khususnya di Kota Subulussalam, penulis tertarik untuk melakukan kajian lebih lanjut tentang penanganan permasalahan perumahan dan permukiman kumuh tersebut dan menuangkannya dalam penelitian yang berjudul Analisis Pelaksanaan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kota Subulussalam Provinsi Aceh.