• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

10. SIGIT WIDYONINDITO (2003), Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Program Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh Di Kelurahan

2.2 Kawasan Permukiman Kumuh

2.2.1 Pengertian Kawasan Permukiman Kumuh

Kawasan permukiman kumuh dapat diartikan sebagai sebuah kawasan permukiman dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Kawasan permukiman kumuh dapat ditemui di berbagai kota besar di dunia. Kawasan permukiman kumuh umumnya dihubung-hubungkan dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi.

Kawasan permukiman kumuh dapat pula menjadi sumber masalah sosial seperti kejahatan, obat-obatan terlarang dan minuman keras. Di berbagai Negara miskin, kawasan permukiman kumuh juga menjadi pusat masalah kesehatan karena kondisinya yang tidak higienis.

Istilah mengenai kumuh sebelumnya mulai muncul di Inggris pada tahun 1880, dimana ketika itu sedang gencar-gencarnya gerakan reformasi perumahan yang menyatakan beberapa konsep operasional terkait material rumah yang tidak layak bagi kehidupan manusia. Maksudnya adalah standar pelayanan perumahan di negara tersebut dianggap sudah tidak memenuhi kelayakan terutama dalam hal teknis penyediaan material bangunan rumah. Hal ini memunculkan gagasan bahwa kawasan kumuh sudah harus dimasukkan dalam pemetaan perencanaan sebuah kota yang termuat dalam agenda pembangunan kota. Sehingga berdasarkan aksi gerakan reformasi di Inggris, beberapa negara lainnya mulai melirik betapa permasalahan kawasan permukiman kumuh sudah menjadi suatu hal yang harus ditangani secara tepat dan tepat (Prayitno, 2014).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kumuh adalah cemar atau kotor. Penjelasan makna tentang cemar atau kotor tersebut dimaksudkan pada keadaan atau sifat tentang suatu wilayah, kampung dan lain sebagainya yang tidak tertata sedemikian indahnya. Jika disederhanakan lagi bahwa kumuh merupakan kondisi suatu wilayah, kampung dan lain sebagainya yang tidak tertata dengan baik karena disebabkan oleh pencemaran. Disisi lain, pendapat tentang kawasan kumuh dan permukiman kumuh, juga telah banyak dikemukakan oleh para ahli, regulasi-regulasi maupun lembaga-lembaga resmi lainnya.

Acharya (2010) mendefinisikan kawasan kumuh sebagai hunian yang tidak memadai karena tidak adanya ketersediaan fasilitas fisik (RTH, drainase, supply air bersih, jaringan komunikasi, dll) dan fasilitas sosial (organisasi sosial, kesehatan, dan sebagainya). Kawasan kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun

sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya (Putro, 2011).

UN-HABITAT, kawasan kumuh memiliki indikator dari segi pelayanan dasar, yaitu akses terhadap air bersih, sanitasi, kualitas struktur rumah (atap, lantai, dinding), serta kepadatan luas lantai perkapita dimana rumah akan tergolong kumuh (tidak layak huni) luas lantai lebih kecil atau sama dengan 7,2 m² dan permukiman padat penduduk yang bercirikan pada kepemilikan rumah.

Sedangkan menurut Bank Dunia (1999) kawasan kumuh merupakan bagian yang terabaikan dalam pembangunan perkotaan. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi sosial demografis di kawasan kumuh seperti kepadatan penduduk yang tinggi, kondisi lingkungan yang tidak layak huni dan tidak memenuhi syarat serta minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan dan sarana prasarana sosial budaya.

Tumbuhnya kawasan kumuh terjadi karena tidak terbendungnya arus urbanisasi.

Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization) yang disingkat ILO (2008) dalam Edi Suharto (2009 : 69), kawasan kumuh adalah tempat tinggal yang kumuh, pendapatan yang rendah dan tidak menentu, serta lingkungan yang tidak sehat dan bahkan membahayakan dan hidup penuh resiko dan senantiasa dalam ancaman penyakit dan kematian (https://perencanaankota.blogspot.com. 22 Juli 2018).

Lembaga Cities Alliance Action Plan, mendefinisikan bahwa kawasan kumuh merupakan bagian kota yang terabaikan sehingga mengakibatkan perumahan dan kondisi kehidupan masyarakatnya berada dalam status miskin.

Kawasan ini dapat terletak ditengah kota dengan kepadatan yang tinggi atau terbangun secara spontan dipinggirin kota.

Watson (1974) mendefinisikan permukiman kumuh sebagai yang berstatus tidak layak untuk tempat tingal manusia. Pendapat yang hampir bersamaam juga dinyatakan oleh Judohusodo (1991) bahwa permukiman kumuh adalah bentuk hunian tidak teratur, tidak tersedia fasilitas umum (sarana dan prasarana permukiman yang baik), dan bentuk fisik bangunan yang tidak layak huni, Judohusodo merincikan dari fenomena kependudukan bahwa daerah kumuh juga ditandai dengan rendahnya kualitas kehidupan, seperti tinginya angka kepadatan yaitu berkisar antara 350-1.250 jiwa per hektar dengan ukuran luas kampung mulai 15-120 hektar. Dari seluruh bangunan rumah yang ada dipermukiman kumuh 60-70% ditempati oleh pemilik, dan 30-40% disewakan, sistem sewanya dalam satu kamar dihuni oleh beberapa orang atau keluarga..

Drakakis-Smith (1980) dan Grimes (1976) mengartikan permukiman kumuh sebagai permukiman dengan unit-unit rumah berukuran kecil-kecil dan kondisi lingkungannya yang buruk, pola settlement yang tidak teratur serta kualitas lingkungan yang rendah, juga minimnya fasilitas umum. Hal senada dikemukakan oleh Sutanto (1985) bahwa permukiman kumuh dapat diidentifikasikan dari foto udara berdasarkan faktor fisiknya, antara lain: ukuran rumah kecil, kepadatan rumah tinggi, dan atap dengan rona tidak seragam. Atas dasar morfologinya pada foto udara, permukiman kumuh dapat dibedakan menjad 6 (enam) kategori, yaitu: (1) Daerah permukiman kumuh didaerah lama, (2) Daerah permukiman kumuh disekitar daerah industri, (3) Daerah permukiman kumuh disepanjang sungai, (4) Daerah permukiman kumuh disepanjang

kolam/waduk, (5) Daerah permukiman kumuh didaerah pertanian, dan (6) Daerah permukiman kumuh diproyek perumahan.

Masrun (2009) memaparkan bahwa permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas. Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahanyakan kehidupannya. Pada umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang terbuka / rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan perbelanjaan (https://retnokartikasari717.blogspot.com.

22 Juli 2018).

Dalam Kamus Tata Ruang (1997) permukiman kumuh (Slum) adalah permukiman tidak layak huni atau dapat membahayakan kehidupan penghuni, karena keadaan keamanan dan kesehatan memprihatinkan, kenyamanan dan keandalan bangunan di lingkungan tersebut tidak memadai, baik dilihat dari segi tata ruang, kepadatan bangunan yang sangat tinggi, kualitas bangunan yang sangat rendah serta prasarana dan sarana lingkungan yang tidak memenuhi syarat.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, “permukiman kumuh” adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.

Berdasarkan pandangan dan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, kawasan pemukiman kumuh adalah suatu kawasan pemukiman yang tidak layak untuk dihuni bagi manusia karena tidak memenuhi persyaratan untuk hunian baik secara teknis maupun non teknis, akibat dari ketidak tersediaan sarana dan prasarana permukiman yang baik sehingga dapat membahayakan kelangsungan kehidupan penghuninya.