ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM KOTA TANPA KUMUH (KOTAKU) DI KOTA SUBULUSSALAM
PROVINSI ACEH
TESIS
oleh :
TEUKU JASWADI 177003013
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM KOTA TANPA KUMUH (KOTAKU) DI KOTA SUBULUSSALAM
PROVINSI ACEH
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
oleh :
TEUKU JASWADI 177003013
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Teuku Jaswadi
NIM : 177003013
Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis saya yang berjudul “Analisis Pelaksanaan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kota Subulussalam Provinsi Aceh” adalah hasil karya pribadi yang tidak mengandung plagiarism dan tidak berisi materi yang dipublikasikan atau ditulis orang lain, kecuali bagian- bagian tertentu yang penulis ambil sebagai tata cara yang dibenarkan secara ilmiah.
Apabila terbukti pernyataan ini tidak benar, maka penulis siap mempertanggungjawabkannya sesuai dengan hukum yang berlaku.
Medan, 27 September 2019 Yang menyatakan,
TEUKU JASWADI NIM. 177003013
ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM KOTA TANPA KUMUH (KOTAKU) DI KOTA SUBULUSSALAM PROVINSI ACEH
ABSTRAK
Program KOTAKU adalah program strategis pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar pada kawasan permukiman kumuh perkotaan. Kota Subulussalam merupakan salah satu daerah yang mendapat prioritas pelaksanaan program KOTAKU, hal ini ditunjukkan bahwa terdapat 61,77 hektar kawasan kumuh di Kota Subulussalam pada tahun 2014 dengan indikasi permasalahan yang beragam. Permasalahan kekumuhan tersebut ditunjukkan dengan kondisi sarana dan prasarana dasar pada kawasan permukiman belum sepenuhnya terlayani dan memadai.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis karakteristik masyarakat responden, kondisi fisik perumahan dan permukiman kumuh, tingkat kekumuhan kawasan permukiman dan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggal pada kawasan permukiman kumuh. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kuantitatif. Sumber data yang digunakan terdiri dari 2 jenis data yaitu data primer dan data sekunder. Jumlah responden penelitian sebanyak 90 Rumah Tangga pada 5 kawasan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman kumuh mayoritas berjenis kelamin laki-laki dari golongan usia muda, tingkat pendidikan tamatan sekolah dasar dengan pekerjaan petani serta berpenghasilan rata-rata dibawah 1 juta rupiah, dan mayoritas penduduk lebih didominasi oleh penduduk asli. Kondisi fisik kawasan permukiman kumuh menunjukkan adanya bangunan hunian yang tidak layak huni, permukiman yang belum terlayani jalan lingkungan, masyarakat yang masih mengkonsumsi air sungai, terdapat permukiman yang tergenang dan rawan banjir, banyak rumah tangga yang tidak memiliki sarana sanitasi yang baik, sampah masih dibuang secara sembarangan, dan masih terdapat permukiman yang belum terlayani akses pengamanan kebakaran. Tingkat kekumuhan pada kawasan permukiman kumuh di Kota Subulussalam berada pada tingkat kekumuhan Sedang. Sementara tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggraan program KOTAKU di Kota Subulussalam berada pada tingkat partisipasi Sedang.
Kata Kunci: Program KOTAKU, Tingkat Kekumuhan dan Partisipasi Masyarakat.
ANALYSIS ON THE IMPLEMENTATION NATIONAL SLUM UPRADING PROGRAM (KOTAKU) IN SUBULUSSALAM
ACEH PROVINCE
ABSTRACT
KOTAKU is government‟s strategic program which intended to increase the access to basic infrastructure and service in slum areas. Subulussalam is one of the towns which gets the priority in the implementation of KOTAKU program.
There were 61.77 hectares of slums in Subulussalam in 2014 with various problems such as inadequate or bad condition of basic facility and infrastructure of the slums.
The objective of the research was to analyze the characteristics of the respondents, physical condition of housing and slums, the level of dinginess of the slums, and the level of slum residents‟ participation. The data were analyzed by using quantitative method. The data consisted of primary data and secondary data, and the samples were 90 households in 5 slum areas.
The result of the research showed that the majority of the respondents were indigenous young men, elementary school graduates, farmers with the average income of under one million rupiahs. The slum physical condition was as follows:
many houses were uninhabitable, the condition of roads was very bad, most of the people still got their drinking water from rivers, some of the slums were inundated and vulnerable to flood, sanitation was bad, waste was thrown away randomly, and there was access to fire safety. The level of slum in Subussalann was in moderate category while the level of people‟s participation in the KOTAKU program in Subussalam was also in moderate category.
Keywords: KOTAKU Program, Level of Dinginess, People’s Participation.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahuu wata‟ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis telah dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul: “Analisis Pelaksanaan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kota Subulussalam Provinsi Aceh”. Selawat dan salam disampaikan ke Ruh junjungan Nabi Besar Muhammad Sallallahu „alaihi wasallam beserta keluarga dan sahabat-Nya.
Tesis ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan pendidikan program studi Magister Pascasarjana pada Fakultas Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Universitas Sumatera Utara – Medan. Tesis ini tidak akan terselesaikan jika tidak ada bantuan dukungan, masukan serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, MS selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku Ketua Program Studi Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Komisi Pembanding yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis.
4. Ibu Prof. Dr. Erika Revida, MS selaku Sekretaris Studi Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Prof. Dr. Suwardi Lubis, MS, Bapak Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si selaku Komisi Pembanding yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis.
6. Ibu Dr. Lita Sri Andayani, SKM, M.Kes, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan saran, dukungan, pengetahuan dan bimbingan hingga tesis ini selesai.
7. Bapak Dr. Drs. H. Rujiman, MA, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan saran, dukungan, pengetahuan dan bimbingan hingga tesis ini selesai.
8. Seluruh Dosen Pengajar, beserta Staf Administrasi yang telah banyak memberikan bantuan sejak awal perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini.
9. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Teuku Fikri dan Ibunda Cut Saribunis, yang telah mengasuh, membesarkan, mendidik dan mendoakan serta selalu memberikan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
10. Ibunda Mertua Asma Chaniago, yang telah banyak membantu dan memberi dukungan baik moril dan materil kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.
11. Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih kepada Istri tercinta Siti Jaleha, S.Pd, dan anak-anak tersayang Cut Naomi Jaswadi, Teuku Rifky Jaswadi dan Cut Rafani Jaswadi, yang senantiasa selalu memberikan do‟a, dukungan dan semangat, moril dan materil, serta perhatian yang tulus dan ikhlas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
12. Bapak Ir. H. Damhuri, SP, MM, selaku Sekretaris Daerah Kota Subulussalam (atas nama Walikota dan Wakil Walikota Subulussalam) yang telah memberikan izin melaksanakan perkuliahan dan dukungan lainnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
13. Bapak Zulkifli, S.STP, M.Si, selaku Kepala BAPPEDA Kota Subulussalam dan Bapak Drs. H. Salbunis, M.AP, selaku Kepala BPKD Kota Subulussalam yang telah memberikan dukungan dan motivasinya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
14. SKPD di Pemerintah Daerah Kota Subulussalam, BAPPEDA, Dinas PUPR, BPS, Koordinator Program KOTAKU beserta Asisten dan Tim Fasilitator KOTAKU, Pemerintah Desa Subulussalam Utara, Lae Ikan, Pasar Rundeng, Suka Maju dan Longkip, serta Instansi terkait lainnya, yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan data/bahan, dokumen-dokumen pendukung dan ikut serta meninjau lapangan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
15. Teman-teman seperjuangan Program Studi Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Tahun 2017.
16. Seluruh civitas akademik Program Studi Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa selama proses perkuliahan dan dalam penyusunan tesis ini tentunya banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan permohonan maaf yang sebesar- besarnya kepada semua pihak, dan penulis mengharapkan semoga tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi berbagai pihak khususnya bagi Pemerintah Kota Subulussalam. Senantiasa Allah Swt melimpahkan rahmat dan karunia-Nya untuk kita semua, aamiin.
Medan, September 2019 Penulis,
TEUKU JASWADI
RIWAYAT HIDUP
Teuku Jaswadi, lahir di Lageun, Kecamatan Setia Bakti Kabupaten Aceh Jaya Provinsi Aceh, pada tanggal 10 Agustus 1980, merupakan anak kedua dari enam bersaudara, pasangan dari Ayahanda Teuku Fikri dan Ibunda Cut Saribunis.
Menikah dengan Siti Jaleha, S.Pd pada tahun 2006 yang telah dikarunia 3 orang putra/i yaitu Cut Naomi Jaswadi, Teuku Rifky Jaswadi dan Cut Rafani Jaswadi.
Jenjang pendidkan formal yang telah ditempuh adalah, Sekolah Dasar Negeri Lageun lulus tahun 1993, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Setia Bakti lulus pada tahun 1996, Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Sampoiniet lulus pada tahun 1999, dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pelita Bangsa Binjai jurusan Ekonomi Managemen lulus pada tahun 2010 dengan gelar Sarjana Ekonomi (SE).
Pada saat penyelesaian tesis ini, penulis masih bekerja aktif sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kota Subulussalam Provinsi Aceh menjabat jabatan definitif sebagai Kepala Bidang Akuntansi dan Pelaporan Keuangan.
DAFTAR ISI
Hal . ABSTRAK
...
i
KATA PENGANTAR
...
iii
RIWAYAT HIDUP
...
vi
DAFTAR ISI
...
vii
DAFTAR TABEL
...
xi
DAFTAR GAMBAR
...
xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
... 1 1.2 Perumusan Masalah
... 9 1.3 Tujuan Penelitian
... 9 1.4 Manfaat Penelitian
... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu
... 11 2.2 Kawasan Permukiman Kumuh
... 18 2.2.1 Pengertian Kawasan Permukiman Kumuh
... 18 2.2.2 Ciri dan Karakteristik Kawasan Permukiman Kumuh
... 23
2.2.3 Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh
... 26
2.2.4 Indikasi Penyebab Timbulnya Permukiman Kumuh
... 31
2.2.5 Dampak Adanya Permukiman Kumuh
... 33 2.3 Pelaksanaan Program Kota Tanpa Kumuh
(KOTAKU)... 34
2.3.1 Perumusan Kebijakan Program
... 34 2.3.2 Pengertian Program
... 36 2.3.3 Tujuan Program
... 38 2.3.4 Penanganan Permukiman Kumuh dengan Program
KOTAKU ... 39
2.4 Partisipasi Masyarakat
... 41 2.4.1 Pengertian Partisipasi Masyarakat
... 41 2.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat
... 42
2.4.3 Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat 43
...
2.4.4 Tahapan Partisipasi masyarakat
... 45 2.4.5 Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan
... 45
2.4.6 Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Program
KOTAKU ... 48
2.5 Perencanaan
... 49 2.5.1 Perencanaan Wilayah
... 51 2.5.2 Perencanaan Penanganan Permukiman Kumuh
... 52
2.6 Kerangka Pemikiran
... 53 2.7 Hipotesis
... 55 BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
... 56 3.2 Populasi dan Sampel
... 56 3.2.1 Populasi
... 56 3.2.2 Sampel
... 57 3.3 Jenis Penelitian
... 59 3.4 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
... 60
3.4.1 Sumber Data 60
...
3.4.2 Teknik Pengumpulan Data
... 60 3.5 Uji Validitas dan Reliabilitas
... 61 3.5.1 Uji Validitas
... 62 3.5.2 Uji Reliabilitas
... 63 3.6 Metode Analisis Data
... 64 3.7 Definisi Variabel Operasional Penelitian
... 74 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Daerah Kota Subulussalam
... 77 4.1.1 Keadaan Geografi
... 77 4.1.2 Pemerintahan
... 79 4.1.3 Kependudukan
... 80 4.2 Deskripsi Lokasi Penelitian
... 82
4.2.1
Deliniasi Kawasan Kumuh Desa Subulussalam Utara Kecamatan Simpang Kiri
...
83
4.2.2
Deliniasi Kawasan Kumuh Desa Lae Ikan Kecamatan Penanggalan
...
85
4.2.3 Deliniasi Kawasan Kumuh Desa Pasar Rundeng Kecamatan 86
Rundeng
...
4.2.4
Deliniasi Kawasan Kumuh Desa Suka Maju Kecamatan Sultan Daulat
...
87
4.2.5 Deliniasi Kawasan Kumuh Desa Longkip Kecamatan
Longkib ... 88
4.3
Deskripsi Karakteristik Masyarakat Responden Yang Tinggal di Kawasan Permukiman Kumuh di Kota Subulussalam
...
89
4.3.1 Jenis Kelamin
... 89 4.3.2 Usia/ Umur
... 90 4.3.3 Tingkat Pendidikan
... 91 4.3.4 Tingkat Penghasilan/ Pendapatan
... 93 4.3.5 Mata Pencaharian/ Pekerjaan
... 94 4.3.6 Asal Usul Kependudukan
... 95 4.4 Analisis Kondisi Fisik Kawasan Permukiman Kumuh
... 96
4.4.1 Kondisi Fisik Bangunan
... 97 4.4.2 Kondisi Jaringan Jalan
... 102 4.4.3 Kondisi Penyediaan Air Bersih/Minum
... 106 4.4.4 Kondisi Jaringan Drainase
... 110
4.4.5 Kondisi Pengelolaan Air Limbah
... 115 4.4.6 Kondisi Pengelolaan Persampahan
... 119 4.4.7 Kondisi Proteksi Kebakaran
... 123
4.5
Analisis Tingkat Kekumuhan Pada Kawasan Permukiman Di Kota Subulussalam
...
127
4.5.1 Tingkat Kekumuhan Pada Kawasan Subulussalam Utara
... 127
4.5.2 Tingkat Kekumuhan Pada Kawasan Lae Ikan
... 128
4.5.3 Tingkat Kekumuhan Pada Kawasan Pasar Rundeng
... 128
4.5.4 Tingkat Kekumuhan Pada Kawasan Suka Maju
... 129
4.5.5 Tingkat Kekumuhan Pada Kawasan Longkip
... 129
4.6
Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Program KOTAKU Di Kota Subulussalam
...
131
4.6.1 Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Tahapan Persiapan
... 132
4.6.2 Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Tahapan Perencanaan
... 134
4.6.3 Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Tahapan Pelaksanaan
... 135
4.6.4 Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Tahapan
Keberlanjutan ... 136
4.7 Hasil Uji Validitas dan Uji Reliabilitas 139
...
4.7.1 Hasil Uji Validitas
... 139 4.7.2 Hasil Uji Reliabilitas
... 140 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
... 141 5.2 Saran
... 143
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1 Kuisioner Penelitian
2 Pengisian Lembaran Check List
3 Tabulasi Data Karakteristik Responden Masyarakat 4 Tabulasi Hasil Perhitungan Tingkat Kekumuhan
5 Tabulasi Hasil Perhitungan Tingkat Partisipasi Masyarakat 6 Hasil Perhitungan Uji Validitas dan Uji Reliabilitas
DAFTAR TABEL
Tabel Hal.
3.1 Kawasan dan luas kumuh Kota Subulussalam berdasarkan SK
kumuh .. 56
3.2 Data Jumlah Populasi Rumah Tangga
... 57 3.3 Jumlah Data Populasi dan Sampel Menurut Desa/titik Kawasan
Kumuh
...
58
3.4 Interpretasi Koefisien Validitas
………... 63
3.5 Interpretasi Koefisien Reliabilitas
………... 64
3.6 Metode perhitungan/perumusan tingkat kekumuhan pada kawasan permukiman kumuh berdasarkan aspek, kriteria, dan
parameter kumuh
………
……..
66
3.7 Interpretasi interval tingkat kekumuhan pada permukiman
kumuh .... 73
3.8 Interpretasi Jenjang Skor Tingkat Partisipasi Masyarakat
…………... 74
3.9 Definisi Variabel Operasional Penelitian ... 76 4.1 Luas Wilayah, Tinggi Wilayah dan Jarak Ibukota Menurut 79
Kecamatan Dalam Wilayah Kota Subulussalam Tahun 2018 ...
4.2
Jumlah Desa, Kemukiman dan Dusun Menurut Kecamatan Dalam Wilayah Kota Subulussalam Tahun 2018 ...
80
4.3
Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Penduduk, Jumlah Rumah Tangga dan Rata-rata Anggota Rumah Tangga Kota
Subulussalam Periode Tahun 2013-2017
...
81
4.4
Distribusi Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Subulussalam Tahun 2017 ...
82
4.5
Jumlah Penduduk, Luas Deliniasi Kumuh Diperinci Per Dusun Dalam Wilayah Desa Subulussalam Utara Kecamatan Simpang
Kiri Tahun 2017
...
84
4.6
Jumlah Penduduk, Luas Deliniasi Kumuh Diperinci Per Dusun Dalam Wilayah Desa Subulussalam Utara Kecamatan Simpang
Kiri Tahun 2017
...
85
4.7
Luas Desa, Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Jumlah Rumah Tangga Dalam Wilayah Kecamatan Penanggalan Kota
Subulussalam Tahun 2017
...
86
4.8
Jumlah Penduduk, Luas Deliniasi Kumuh Diperinci Per Dusun Dalam Wilayah Desa lae Ikan Kecamatan Penanggalan Tahun 2017 ...
87
4.9
Luas Desa, Penduduk, Kepadatan Penduduk dan Jumlah Rumah Tangga Dalam Wilayah Kecamatan Rundeng Kota Subulussalam
Tahun 2017
...
88
4.10 Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin 90
...
4.11 Karakteristik Responden Menurut Usia/Umur
... 91
4.12 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan
... 92
4.13 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Penghasilan
... 93
4.14 Karakteristik Responden Menurut Mata Pencaharian
... 94
4.15 Karakteristik Responden Menurut Asal Usul Kependudukan
... 95
4.16
Kondisi Bangunan Hunian di Area Deliniasi Kawasan Permukiman Kumuh Diperinci Per Kecamatan Tahun 2017...
100
4.17
Kondisi Jalan Lingkungan di Area Deliniasi Kawasan Permukiman Kumuh Diperinci Per Kecamatan Tahun 2017...
104
4.18
Kondisi Penyediaan Air Bersih/ Minum di Area Deliniasi Kawasan Permukiman Kumuh Diperinci Per Kecamatan Tahun 2017...
108
4.19
Kondisi Jaringan Drainase di Area Deliniasi Kawasan Permukiman Kumuh Diperinci Per Kecamatan Tahun 2017...
113
4.20
Kondisi Pengelolaan Air Limbah rumah Tangga di Area Deliniasi Kawasan Permukiman Kumuh Diperinci Per Kecamatan Tahun 2017...
117
4.21
Kondisi Pengelolaan Persampahan di Area Deliniasi Kawasan Permukiman Kumuh Diperinci Per Kecamatan Tahun 2017...
121
4.22
Kondisi Bangunan yang tidak Memiliki Proteksi Kebakaran di Area Deliniasi Kawasan Permukiman Kumuh Diperinci Per
Kecamatan Tahun
125
2017...
4.23 Perhitungan Tingkat Kekumuhan Kawasan Subulussalam Utara
... 128
4.24 Perhitungan Tingkat Kekumuhan Kawasan Lae Ikan
... 128
4.25 Perhitungan Tingkat Kekumuhan Kawasan Pasar Rundeng
... 129
4.26 Perhitungan Tingkat Kekumuhan Kawasan Suka Maju
... 129
4.27 Perhitungan Tingkat Kekumuhan Kawasan Longkip
... 130
4.28 Perhitungan Rata-rata Tingkat Kekumuhan Kota Subulussalam
... 131
4.29
Hasil Perumusan Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Tahapan Persiapan Program KOTAKU di Kota Subulussalam
…………...
133
4.30
Hasil Perumusan Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Tahapan Perencanaan Program KOTAKU di Kota Subulussalam
…………...
134
4.31
Hasil Perumusan Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Tahapan Pelaksanaan Program KOTAKU di Kota Subulussalam .…………...
135
4.32
Hasil Perumusan Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Tahapan Keberlanjutan Program KOTAKU di Kota Subulussalam .………...
137
4.33
Perhitungan Rata-rata Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Program KOTAKU di Kota Subulussalam .………....
138
4.34 Hasil Uji Validitas Kuesioner Penelitian
………... 140
4.35 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Penelitian 140
………...
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal.
2.1 Aspek Penting dalam Pembangunan Perkotaan
... 33
2.2 Proses Perumusan Kebijakan Program KOTAKU
... 36
2.3 Tahapan Penyelenggaraan Program KOTAKU
... 37
2.4 Kerangka Pemikiran
... 54
4.1 Peta Administrasi Kota Subulussalam
... 78 4.2 Peta Sebaran Kumuh Menurut Kecamatan Di Kota
Subulussalam ... 83
4.3 Peta Sebaran Deliniasi Kumuh Desa Subulussalam utara
... 84
4.4 Peta Sebaran Deliniasi Kumuh Desa Lae Ikan
... 85
4.5 Peta Sebaran Deliniasi Kumuh Desa Pasar Rundeng
... 86
4.6 Peta Sebaran Deliniasi Kumuh Desa Suka Maju
... 87
4.7 Peta Sebaran Deliniasi Kumuh Desa Longkip
... 88
4.8 Kondisi Bangunan Hunian Menurut Kawasan Permukiman
Kumuh.. 101
4.9 Kondisi Jalan Lingkungan Menurut Kawasan Permukiman
Kumuh.. 105
4.10
Kondisi Ketersedian Air Minum/Bersih Menurut Kawasan
Permukiman Kumuh
...
109
4.11
Kondisi Ketersedian Jaringan Drainase Menurut Kawasan
Permukiman Kumuh
...
114
4.12
Kondisi Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga Menurut
Kawasan Permukiman Kumuh
...
118
4.13 Kondisi Pengelolaan Persampahan Menurut Kawasan 122
Permukiman Kumuh
………
4.14
Kondisi Pengamanan Kebakaran Menurut Kawasan
Permukiman Kumuh
………...
126
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perumahan dan permukiman tidak pernah berhenti sebagai sumber masalah dalam sejarah kehidupan manusia. Sejak zaman manusia purba yang hidup di gua- gua yang menggantungkan diri dan memanfaatkan gejala alam untuk tempat tinggalnya sampai dengan zaman orang masa kini yang hidup rumah-rumah susun bahkandi dalam gedung pencakar langit, masalah permukiman selalu muncul, bahkan cenderung semakin rumit dan kompleks. Kalau pada era manusia purba yang masih tinggal di gua-gua mereka tidak begitu peduli tentang kepemilikan baik lahan maupun identitas hunian mereka masing-masing, namun di era saat ini hal – hal yang berkenaan dengan perumahan dan permukiman semakin dirasakan sebagai tuntutan dasar manusia yang sudah berbudaya.
Permasalahan perumahan dan permukiman ini selalu menjadi tuntutan manusia yang tidak pernah terpuaskan bahkan menyebabkan selalu munculnya berbagai masalah baru terutama sekali dikota-kota besar di dunia yang pesat perkembangannya, tinggi laju pertambahan penduduknya, dan sangat heterogen masyarakat penghuninya sehingga berujung pada hadirnya permukiman kumuh.
Kehadiran pemukiman kumuh tersebut tentunya memberatkan beban bagi lingkungan dan permukiman perkotaan yang bersangkutan. Gambaran lingkungan permukiman kumuh secara nyata memperlihatkan kondisi negatif terhadap kehidupan sosial khususnya diperkotaan.
Leon (2008) berpendapat bahwa di negara-negara berkembang, orang- orang yang tinggal di kota-kota besar saat ini memiliki kelebihan yang tidak
dimiliki oleh banyak penduduk pedesaan. Kekayaan dan vitalitas ekonomi kota yang lebih besar dibandingkan dengan pedesaan adalah salah satu alasan utama mengapa orang datang dan tinggal di daerah perkotaan. Kemungkinan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan dasar seringkali lebih besar daripada di pedesaan.
Azhari (1997) menjelaskan bahwa masalah yang dihadapi sekarang oleh kebanyakan negara adalah pergeseran proporsi penduduk dari wilayah pedesaan ke wilayah perkotaan dengan kecepatan yang cukup tinggi. Langkanya pekerjaan diluar pertanian yang diikuti dengan semakin sempitnya pemilikan lahan pertanian per petani dipedesaan melalui proses pewarisan dari generasi ke generasi, mendorong sebagian penduduk desa pergi meninggalkan kampung halamannya.
Sementara itu, kota semakin berkembang dan semakin menampilkan daya tariknya berupa peluang memperoleh pekerjaan, fasilitas pendidikan dan pelayanan umum lainnya, serta memberikan harapan untuk memperoleh status sosial yang lebih tinggi. Maka terjadilah apa yang dinamakan urbanisasi.
Kumar (2014) melakukan penelitian tentang permukiman kumuh pada kota-kota metropolitan di India, bahwa meningkatnya migrasi dari daerah pedesaan telah menyebabkan pertumbuhan daerah kumuh di setiap kota, tidak hanya di India, tetapi di tempat lain di dunia. Semakin bertambahnya jumlah penduduk suatu wilayah akan mengakibatkan makin padatnya penduduk dan hal ini akan diikuti oleh makin padatnya bangunan untuk permukiman. Sehingga setiap jengkal lahan telah terisi oleh bangunan, maka dari kondisi ini akan mengakibatkan makin sulitnya memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat seperti air minum, sanitasi, listrik, jalur pemadam kebakaran, sarana persampahan dan jenis lainnya. Kondisi ini jelas akan mengakibatkan menurunnya kualitas
kehidupan masyarakat itu sendiri, seperti menurunnya kualitas kesehatan lingkungan dan masyarakat serta menurunkan produktivitas masyarakat sehingga pada akhirnya diikuti penurunan kesejahteraan atau semakin miskin.
Masalah lain yang umum dihadapi oleh perkotaan besar di dunia adalah tumbuhnya daerah permukiman kumuh. Melihat pada gejala pertumbuhan penduduk diperkotaan yang cukup tinggi, maka dimungkinkan semakin membengkak pula daerah permukiman kumuh. Apabila hal ini tidak segera disiapkan antisipasinya sejak dini, maka masalah permukiman kumuh di Indonesia akan menggambarkan ketidakmampuan kota dalam menjalankan peranannya sebagai pusat perkembangan sosial, ekonomi, dan politik (Rindarjono, 2017).
Dari berbagai fenomena mengenai permasalahan permukiman ini, jika diamati dengan seksama tentu dapat menimbulkan beragam dampak terhadap lingkungan permukiman dan masyarakat di perkotaan, dampak yang sangat sering terasa oleh permasalahan tersebut adalah munculnya perumahan yang tidak memenuhi standar dan syarat kesehatan (rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni), penggunaan tanah kota yang semraut (bangunan dibahu jalan, acak- acakan tanpa perencanaan), terjadi penumpukan sampah dimana – mana, tersumbat dan bergenangnya saluran air, sulitnya akses pengamanan kebakaran dilingkungan permukiman dan permasalahan-permasalahan lainnya.
Jika permasalahan permukiman tersebut dibiarkan, dikhawatirkan akan berakibat pada menurunnya daya dukung terhadap lingkungan yang bersih, sehat dan nyaman, meningkatkan resiko kerawanan kemiskinan dan konflik sosial, menurunnya tingkat kesehatan masyarakat pada beberapa kawasan, serta dapat
menurunnya kualitas terhadap akses pelayanan sarana/prasarana dasar terhadap kehidupan dalam masyarakat, dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya, hak untuk berkehidupan yang layak bagi setiap warga Indonesia telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, dimana dalam amanat Pasal 28H ayat (1) telah dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Ayat tersebut dapat menunjukkan bahwa tinggal disebuah hunian dengan lingkungan yang layak merupakan hak dasar yang harus dijamin pemenuhannya oleh pemerintah. Disamping itu penanganan permasalahan permukiman juga telah menjadi komitmen global dalam Sustainable Development Goals (SDG‟s), dengan menargetkan inklusivitas dalam pembangunan perkotaan hingga tahun 2030. Oleh karena itu pembangunan dibidang yang berhubungan dengan perumahan dan permukiman beserta sarana dan prasarana penunjang permukiman lainnya memang telah menjadi perhatian/prioritas dunia dan pemerintah terutama di kawasan – kawasan perkotaan.
Beragam upaya pemerintah dalam mengentaskan permasalahan perumahan dan permukiman telah banyak dilakukan, walaupun upaya tersebut terkadang belum sepenuhnya dapat tercapai. Berkaitan dengan upaya pemerintah dalam hal penanganan permasalahan perumahan dan permukiman, banyak kebijakan telah digagas dan diimplementasikan di beberapa daerah termasuk di Kota Subulussalam. Kebijakan ini tidak lain hanyalah untuk menuntaskan permasalahan – permasalahan yang berkaitan dengan perumahan dan permukiman yang berorientasi pada penanggulangan kemiskinan dan penanganan kekumuhan.
Kota Subulussalam merupakan salah satu daerah administrasi perkotaan yang mendapatkan prioritas pemerintah dalam penanganan perumahan dan permukiman kumuh. Keseriusan pemerintah dalam hal penanganan permukiman kumuh ini dapat dibuktikan dengan telah digulirnya program-program nasional yang berbasis pemberdayaan masyarakat di Kota Subulussalam, diantaranya: (1) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP), (2) Program Penataan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK), dan (3) Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU).
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM- MP) adalah program pertama yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dalam upaya untuk menanggulangi permasalahan dibidang perumahan dan permukiman di Kota Subulussalam. Program PNPM-MP ini merupakan keberlanjutan pelaksanaan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) sebagai suatu upaya keberlanjutan pemerintah untuk membangun kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan sejak tahun 2009 di Kota Subulussalam. PNPM Mandiri Perkotaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri dan membantu masyarakat miskin pada 73 Desa yang ada di Kota Subulussalam (Satker PKP, PUPR Kota Subulussalam, 2014).
Program kedua yang telah dilakukan pemerintah terhadap penanganan permasalahan perumahan dan permukiman kumuh di Kota Subulussalam adalah pelaksanaan Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP-BK). Program ini merupakan salah satu intervensi program PNPM Mandiri
Perkotaan yang digagas oleh Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2013, untuk membangun masyarakat mandiri menuju masyarakat madani, yakni tatanan masyarakat yang berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan stakeholder lainnya dalam mewujudkan linkungan permukiman yang berjati diri, lestari, sehat dan produktif.
Program PLPBK ini bertujuan untuk mewujudkan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin melalui penataan lingkungan permukiman yang teratur, aman, dan sehat. Program PLPBK dilaksanakan di Kota Subulussalam pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2015. Program PLPBK ini telah mengalokasikan dana berupa Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar 2 (dua) Miliyar kepada masing-masing 2 (dua) desa di Kota Subulussalam yaitu Desa Suka Makmur kecamatan Simpang Kiri dan Desa Lae Motong kecamatan Penanggalan.
Disamping itu program ini mengharuskan pemerintah daerah untuk melakukan sharing program/anggaran sebesar 50% dari bantuan stimulan yang dialokasikan kepada masing-masing desa, sehingga setiap desa mendapatkan alokasi anggaran/program sebesar 1,5 miliar rupiah yang konsep penggunaannya adalah untuk: (a) upaya mewujudkan perubahan perilaku dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin melalui peningkatan kualitas lingkungan permukiman dan cakupan pelayanan infrastruktur permukiman yang layak, produktif dan berkelanjutan, dan (b) fokus peningkatan kualitas lingkungan permukiman dan cakupan pelayanan infrastruktur permukiman di tingkat komunitas desa, khususnya pada kawasan prioritas miskin yg menjamin kemanfaatan program bagi masyarakat miskin dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Satker PKP, Dinas PUPR Kota Subulussalam, 2014).
Setelah dua program yang dilaksanakan pemerintah terhadap penanganan permasalahan perumahan dan permukiman kumuh di Kota Subulussalam, kondisi perumahan dan permukiman kumuh di Kota Subulussalam belum menunjukkan sebuah prestasi yang gemilang. Pada tahun 2014 kondisi fisik dari perumahan dan permukiman kumuh di Kota Subulussalam masih menunjukkan indikasi kekumuhannya yang tinggi, dimana kondisi kekumuhan pada kawasan permukiman di Kota Subulussalam saat itu masih mencapai 61,77 hektar (SK Walikota Subulussalam No:188.45/101/2014).
Berdasarkan kondisi kekumuhan yang masih terjadi di Kota Subulussalam seperti yang diuraikan diatas, pemerintah belum dapat menghentikan kebijakannya terhadap upaya penanganan permasalahan perumahan dan permukiman. Permasalahan perumahan dan permukiman yang belum tuntas ini menjadi isu yang harus segera ditanggulangi serta dijadikan prioritas dalam penanganannya.
Menyikapi hal ini pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat kembali menyusun strategi dalam upaya menyelesaikan permasalahan perumahan dan permukiman, terakhir dengan menetapkan kebijakannya dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Kualitas Perumahan dan Permukiman.
Dari dasar itu terselenggaranya program lanjutan yang disebut dengan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU). Dengan diselenggarakannya program KOTAKU ini diharapkan mampu untuk meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar pada kawasan permukiman kumuh dalam rangka mendukung terwujudnya perumahan dan permukiman yang layak huni, produktif dan
berkelanjutan di Kota Subulussalam. Peningkatan akses tersebut terutama berkaitan dengan kriteria perumahan dan permukiman kumuh diantaranya meliputi: bangunan/gedung, jalan lingkungan, drainase lingkungan, penyediaan air bersih/minum, pengelolaan persampahan, pengelolaan air limbah/sanitasi, pengamanan kebakaran dan ruang terbuka publik (Permen PUPR No. 2 Tahun 2016).
Program KOTAKU merupakan program yang bermaksud untuk membangun sistem yang terpadu untuk penanganan permukiman kumuh, dimana prinsipnya pemerintah daerah menjadi nakhoda dalam memimpin dan berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan dalam perencanaan maupun implementasinya, serta mengedepankan partisipasi masyarakat. KOTAKU juga diharapkan menjadi “platform kolaborasi” yang mendukung penanganan permukiman kumuh seluas 35.291 hektar yang dilakukan secara bertahap di seluruh Indonesia dalam rangka mendukung tercapainya sasaran RPJMN 2015- 2019 yaitu kota tanpa kumuh menjadi 0 hektar (SE DJCK PUPR No.
40/SE/DC/2016).
Dari rangkaian penjelasan diatas mengenai beberapa program yang telah diimplementasikan oleh pemerintah terhadap penanganan permasalahan perumahan dan permukiman kumuh, serta kondisi kawasan permukiman kumuh yang masih terjadi khususnya di Kota Subulussalam, penulis tertarik untuk melakukan kajian lebih lanjut tentang penanganan permasalahan perumahan dan permukiman kumuh tersebut dan menuangkannya dalam penelitian yang berjudul Analisis Pelaksanaan Program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) di Kota Subulussalam Provinsi Aceh.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dikaji berkaitan dengan pelaksanaan program Kota Tanpa Kumuh di Kota Subulussalam, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah karakteristik masyarakat yang tinggal pada kawasan permukiman kumuh di Kota Subulussalam?
2. Bagaimanakah kondisi fisik kawasan permukiman kumuh di Kota Subulussalam?
3. Bagaimanakah tingkat kekumuhan kawasan permukiman kumuh di Kota Subulussalam?
4. Bagaimanakah tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan program KOTAKU di Kota Subulussalam?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan karakteristik masyarakat yang tinggal pada kawasan permukiman kumuh di Kota Subulussalam.
2. Untuk menganalisis kondisi fisik kawasan permukiman kumuh di Kota Subulussalam.
3. Untuk menganalisis tingkat kekumuhan kawasan permukiman kumuh di Kota Subulussalam.
4. Untuk menganalisis tingkat partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan program KOTAKU di Kota Subulussalam.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para peneliti lain, Pemerintah maupun masyarakat luas.
1. Manfaat Akademis, yaitu:
a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi Ilmu Pengetahuan, terutama menyangkut ilmu perencanaan dan pengembangan wilayah dan pedesaan;
b. Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan bermanfaat bagi Peneliti lain yang berminat melakukan kajian dan menindaklanjuti kajian sejenis
2. Manfaat Praktis, yaitu:
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa terkait dengan kebijakannya terhadap program- program yang berkenaan dengan penanganan kawasan permukiman kumuh saat ini, serta kebijakannya kedepan dalam rangka menciptakan program-program nyata berkaitan dengan upaya pencegahan timbulnya permukiman kumuh di Kota Subulussalam;
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan peran, keikutsertaan dan rasa tanggungjawabnya terhadap penyelenggaraan program-program pemerintah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilakukan berkaitan dengan penanganan kawasan permukiman kumuh menjadi referensi sebagai metode teori dalam melakukan penelitian ini, antara lain:
1. VIVUT ANGGARA (2018), Analisis Tingkat Kekumuhan dan Strategi Penanganan Kawasan Permukiman Kumuh di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai. (Tesis). Universitas Sumatera Utara. Program Pascasarjana. Fenomena yang dikaji adalah kondisi fisik kawasan permukiman, tingkat kekumuhan kawasan permukiman, dan strategi penanganan kawasan permukiman. Metode analisis yang digunakan adalah melakukan pendekatan survey dengan metode analisis deskriptif kualitatif dan spasial. Hasil penelitian terhadap kondisi fisik permukiman kumuh menunjukkan adanya ketidakteraturan bangunan, adanya jalan yang rusak, belum terpenuhi air yang bersih, adanya drainase yang tidak terpelihara, pembuangan limbah rumah tangga yang tidak sesuai pelayanan teknis dan tidak adanya proteksi kebakaran, sedangkan tingkat kekumuhan berdasarkan identifikasi (Permen PUPR No. 2 Tahun 2016) bahwa kawasan permukiman kumuh tersebut berada pada tingkat kekumuhan sedang (KS).
2. HASRUL RIZKA, AGUS PURWOKO dan RUJIMAN (2018), Perencanaan Penanganan Kawasan Pemukiman Kumuh Di Kelurahan Tanjung Tiram Kabupaten Batubara. (Jurnal). Universitas Sumatera Utara. Program Pascasarjana. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi fisik
permukiman kumuh, menganalisis tingkat kekumuhan permukiman dan menganalisis perencanaan penanganan. Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif analisis kualitatif dimana peneliti menggambarkan fenomena, yang ada dengan menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis untuk mempermudah pemahaman dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian disimpulkan bahwa kondisi fisik permukiman kumuh perlunya perbaikan dan penataan kembali, hasil analisis untuk tingkat kekumuhan permukiman di Kelurahan Tanjung Tiram adalah kekumuhan sedang, dan hasil analisis untuk perencanaan penanganan adalah model program perbaikan kampung (KIP).
3. AMALIA ITANI WARGANEGARA (2017), Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Dalam Keberhasilan Program Kota Tanpa Kumuh/KOTAKU (Studi Kasus di Kelurahan Kebon dalem Kota Cilegon dan Kelurahan Lontar Baru Kota Serang Provinsi Banten). (Tesis). Institut Teknologi Bandung. Program Studi Magister Studi Pembangunan. Penelitian ini mencoba untuk menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat di dalam program KOTAKU di Kelurahan Kebondalem Kota Cilegon dan Kelurahan Lontar Baru Kota Serang sebagai gambaran dari dua wilayah eks-pelaksanaan PNPM MP. Pendekatan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, untuk menggambarkan hasil evaluasi PNPM MP sebagai program yang bergulir sebelumnya menjadi pembanding untuk mencapai efektivitas dalam perencanaan program KOTAKU sebagai kelanjutan proses pengentasan kawasan kumuh dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan
pemerintah daerah sebagai nahkoda sehingga lebih sesuai dengan kebutuhan.
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan besar pada faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi antara lain adalah pengaruh struktur, kultur dan proses sosial yang secara nyata tampak pada tangga partisipasi di kedua lokasi penelitian. Sehingga pendalaman terhadap modal sosial sebagai langkah awal ketika pemerintah akan menjalankan suatu program di suatu wilayah karena jika dalam kondisi modal sosialnya terlalu rendah maka program itu tidak bisa hanya berpikir output saja (perubahan fisik) tetapi juga memodifikasi modal sosialnya agar sasaran program dapat tercapai.
4. TORA DAENG MASARO (2016), Analisis Penanganan Kawasan Kumuh Kota Tebing Tinggi. (Tesis). Universitas Sumatera Utara. Program Pascasarjana. Fenomena yang dikaji adalah kondisi kawasan kumuh, tingkat sosial ekonomi masyarakat, faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat tinggal di kawasan kumuh dan tingkat partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda dengan jumlah responden sebanyak 100 orang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi permukiman di Kota Tebing Tinggi menunjukkan banyak masyarakat yang menghuni rumah kurang layak huni, rusak maupun struktur bangunan kurang layak, kepadatan rumah tinggi dan konstruksi bangunan dari kayu sehingga rawan terhadap bahaya kebakaran. Selain itu kurangnya pelayanan air bersih, sarana dan prasarana drainase, pembuangan limbah rumah tangga, persampahan, dan kurangnya kualitas jalan lingkungan (banyak jalan dalam kondisi tidak ada perkerasan
permukaan jalan/jalan tanah) serta kurangnya kesadaran masyarakat. Tingkat sosial ekonomi masyarakat di permukiman kumuh Kota Tebing Tinggi masih rendah, hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan masyarakat. Secara simultan faktor-faktor harga lahan, jarak ke tempat kerja, pendapatan dan pendidikan berpengaruh nyata terhadap keputusan masyarakat untuk tinggal di kawasan kumuh. Pola partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kawasan kumuh sama yaitu rata-rata 60%
tidak mengikuti dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, menerima hasil program dan menilai hasil program.
5. SEKAR AYU ADVIANTY dan KETUT DEWI MARTHA ERLI HANDAYANI (2013), Tingkat Partisipasi Masyarakat pada Permukiman Kumuh Kelurahan Ploso. (Jurnal Teknik). Institut Teknologi Sepuluh November. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat pada permukiman kumuh Kelurahan Ploso.
Metode analisis yang digunakan pada penelitian terdiri dari dua teknik analisis yaitu, pertama menggunakan teknik pembobotan/skoring untuk menentukan tingkat kekumuhan tiap RW dan mengukur tingkat partisipasi masyarakat; kedua menggunakan teknik analisis crosstab (tabulasi silang) untuk menganalisis keterkaitan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat di Kelurahan Ploso. Hasil studi menunjukkan bahwa permukiman di Kelurahan Ploso memiliki kategori tingkat kekumuhan sedang dan tinggi. Tingkat partisipasi masyarakat pada permukiman dengan tingkat kekumuhan tinggi berada pada tangga partisipasi ketiga yaitu
pemberian informasi. Berbeda dengan tingkat partisipasi masyarakat pada kekumuhan sedang yang tangga partisipasinya lebih bervariasi.
6. RISNA DEWI (2011), Pengembangan Konsep Pemukiman Berkelanjutan (Studi Kasus di Pemukiman Kumuh Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe). (Tesis). Universitas Sumatera Utara. Program Pascasarjana.
Fenomena yang dikaji adalah merumuskan masalah bagaimana profil kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan pemukiman kumuh di Gampong Pusong Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe dan bagaimana pengembangan konsep pemukiman berkelanjutan di pemukiman kumuh Gampong Pusong Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Tehnik pengumpulan data melalui observasi langsung, wawancara mendalam, kuesioner, fokus group diskusi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil kondisi sosial, ekonomi, lingkungan pemukiman kumuh di Gampong Pusong Kecamatan Banda Sakti belum menuju kepada pembangunan berkelanjutan.
Total semua indikator baik dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan mempunyai kecenderungan rendah. Pengembangan konsep pemukiman yang baik menurut penulis adalah pemanfaatan potensi laut yang berkelanjutan berbasis masyarakat dengan mengembangkan konsep minapolitan.
7. ADINA SARI LUBIS (2010), Kajian Karakteristik Pemukim Kumuh Dan Liar Di Perkotaan Studi Kasus : Kelurahan Tegal Sari Mandala II Kecamatan Medan Denai Kota Medan. (Tesis). Universitas Sumatera Utara. Program Pascasarjana. Fenomena yang dianalisis adalah masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan kumuh, pemukim kumuh dan liar, dan
karakteristik pemukim. Metode analisis yang digunakan adalah metodologi penggabungan melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemukim memiliki pendidikan formal tertinggi tamat SMU/sederajat serta sebagian besar tidak memiliki keterampilan khusus.
Mata pencaharian pemukim beraneka ragam dan merupakan pekerjaan di sektor informal. Pengeluaran terbesar pemukim adalah pengeluaran untuk makanan (65,1%), membuktikan bahwa rumah tangga pemukim termasuk rumah tangga berpenghasilan rendah. Pengeluaran untuk kesehatan diusahakan sekecil mungkin dan umumnya diperoleh dengan cara berhutang.
Begitu pula pengeluaran untuk pendidikan diperoleh dengan cara berhutang demi kepentingan pendidikan anak-anak. Selanjutnya Pemukim yang menyewa rumah.
8. ENDHI MARTHA MULIA (2008), Analisis Faktor-Faktor Tekanan Lingkungan Pada Pemukiman Kumuh (Studi Kasus Pemukiman Kampung Kubur, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah). (Tesis). Universitas Sumatera Utara. Program Pascasarjana.
Fenomena yang dikaji adalah faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan lingkungan pada pemukiman kumuh dan faktor-faktor yang dominan mempengaruhi terjadinya tekanan lingkungan pada pemukiman kumuh.
Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kualitatif melalui pengumpulan data primer dan skunder. Pengumpulan data tersebut melalui studi dokumentasi, observasi lapangan, penyebaran kuisioner, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemukiman Kampung Kubur mengalami tekanan lingkungan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor
dari aspek ekonomi, sosial dan budaya, fisik lingkungan. Faktor-faktor yang dominan mempengaruhi tekanan lingkungan pada pemukiman Kampung Kubur terdiri dari faktor aspek ekonomi, faktor aspek fisik hunian, serta faktor aspek sosial dan budaya.
9. ENY ENDANG SURTIANI (2006), Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terciptanya Kawasan Permukiman Kumuh Di Kawasan Pusat Kota (Studi Kasus: Kawasan Pancuran, Kota Salatiga) (Tesis). Universitas Diponegoro. Program Pascasarjana. Fenomena yang dikaji adalah kawasan Permukiman Pancuran adalah kawasan permukiman yang terletak di pusat Kota Salatiga yang dikelilingi oleh kawasan pertokoan Jend. Sudirman, Pasar Raya I dan II, Pasar Gedhe dan Pasar Blauran. Analisis kuantitatif dilakukan dengan metode analisis regresi dan diperoleh hasil bahwa faktor yang mempunyai pengaruh kuat penyebab Kawasan Permukiman Pancuran menjadi kumuh adalah tingkat penghasilan, status kepemilikan hunian, dan lama tinggal. Hasil analisis studi dapat disimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan kawasan Pancuran menjadi kumuh adalah faktor tingkat penghasilan, status kepemilikan hunian, dan lama tinggal.
10. SIGIT WIDYONINDITO (2003), Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Program Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh Di Kelurahan Rejowinangun Selatan Kota Magelang. (Tesis). Universitas Diponegoro.
Program Pascasarjana. Fenomena yang dikaji adalah partisipasi masyarakat dalam tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengembangan hasil-hasil program penataan permukiman kumuh yang telah dilaksanakan di Kelurahan Rejowinangun Selatan Kota Magelang. Dari hasil
studi didapatkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam tahap perencanaan adalah sangat rendah, hal tersebut disebabkan oleh banyak factor, antara lain karena sedikitnya media informasi dan hanya digunakannya tokoh masyarakat dalam tahap ini. Pada tahap pelaksanaan tingkat partisipasi masyarakat cukup tinggi karena lebih mudahnya mobilisasi masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan. Sedangkan dalam tahap pemanfaatan dan pengembangan partisipasi masyarakat berada dalam tingkat yang rendah- sedang karena minimnya informasi mengenai cara-cara pengembangan hasil- hasil pembangunan. Faktor internal yang paling berpengaruh dan menonjol adalah faktor keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan dan kemudahan akses informasi bagi masyarakat.
2.2 Kawasan Permukiman Kumuh
2.2.1 Pengertian Kawasan Permukiman Kumuh
Kawasan permukiman kumuh dapat diartikan sebagai sebuah kawasan permukiman dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Kawasan permukiman kumuh dapat ditemui di berbagai kota besar di dunia. Kawasan permukiman kumuh umumnya dihubung-hubungkan dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran tinggi.
Kawasan permukiman kumuh dapat pula menjadi sumber masalah sosial seperti kejahatan, obat-obatan terlarang dan minuman keras. Di berbagai Negara miskin, kawasan permukiman kumuh juga menjadi pusat masalah kesehatan karena kondisinya yang tidak higienis.
Istilah mengenai kumuh sebelumnya mulai muncul di Inggris pada tahun 1880, dimana ketika itu sedang gencar-gencarnya gerakan reformasi perumahan yang menyatakan beberapa konsep operasional terkait material rumah yang tidak layak bagi kehidupan manusia. Maksudnya adalah standar pelayanan perumahan di negara tersebut dianggap sudah tidak memenuhi kelayakan terutama dalam hal teknis penyediaan material bangunan rumah. Hal ini memunculkan gagasan bahwa kawasan kumuh sudah harus dimasukkan dalam pemetaan perencanaan sebuah kota yang termuat dalam agenda pembangunan kota. Sehingga berdasarkan aksi gerakan reformasi di Inggris, beberapa negara lainnya mulai melirik betapa permasalahan kawasan permukiman kumuh sudah menjadi suatu hal yang harus ditangani secara tepat dan tepat (Prayitno, 2014).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kumuh adalah cemar atau kotor. Penjelasan makna tentang cemar atau kotor tersebut dimaksudkan pada keadaan atau sifat tentang suatu wilayah, kampung dan lain sebagainya yang tidak tertata sedemikian indahnya. Jika disederhanakan lagi bahwa kumuh merupakan kondisi suatu wilayah, kampung dan lain sebagainya yang tidak tertata dengan baik karena disebabkan oleh pencemaran. Disisi lain, pendapat tentang kawasan kumuh dan permukiman kumuh, juga telah banyak dikemukakan oleh para ahli, regulasi-regulasi maupun lembaga-lembaga resmi lainnya.
Acharya (2010) mendefinisikan kawasan kumuh sebagai hunian yang tidak memadai karena tidak adanya ketersediaan fasilitas fisik (RTH, drainase, supply air bersih, jaringan komunikasi, dll) dan fasilitas sosial (organisasi sosial, kesehatan, dan sebagainya). Kawasan kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun
sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya (Putro, 2011).
UN-HABITAT, kawasan kumuh memiliki indikator dari segi pelayanan dasar, yaitu akses terhadap air bersih, sanitasi, kualitas struktur rumah (atap, lantai, dinding), serta kepadatan luas lantai perkapita dimana rumah akan tergolong kumuh (tidak layak huni) luas lantai lebih kecil atau sama dengan 7,2 m² dan permukiman padat penduduk yang bercirikan pada kepemilikan rumah.
Sedangkan menurut Bank Dunia (1999) kawasan kumuh merupakan bagian yang terabaikan dalam pembangunan perkotaan. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi sosial demografis di kawasan kumuh seperti kepadatan penduduk yang tinggi, kondisi lingkungan yang tidak layak huni dan tidak memenuhi syarat serta minimnya fasilitas pendidikan, kesehatan dan sarana prasarana sosial budaya.
Tumbuhnya kawasan kumuh terjadi karena tidak terbendungnya arus urbanisasi.
Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization) yang disingkat ILO (2008) dalam Edi Suharto (2009 : 69), kawasan kumuh adalah tempat tinggal yang kumuh, pendapatan yang rendah dan tidak menentu, serta lingkungan yang tidak sehat dan bahkan membahayakan dan hidup penuh resiko dan senantiasa dalam ancaman penyakit dan kematian (https://perencanaankota.blogspot.com. 22 Juli 2018).
Lembaga Cities Alliance Action Plan, mendefinisikan bahwa kawasan kumuh merupakan bagian kota yang terabaikan sehingga mengakibatkan perumahan dan kondisi kehidupan masyarakatnya berada dalam status miskin.
Kawasan ini dapat terletak ditengah kota dengan kepadatan yang tinggi atau terbangun secara spontan dipinggirin kota.
Watson (1974) mendefinisikan permukiman kumuh sebagai yang berstatus tidak layak untuk tempat tingal manusia. Pendapat yang hampir bersamaam juga dinyatakan oleh Judohusodo (1991) bahwa permukiman kumuh adalah bentuk hunian tidak teratur, tidak tersedia fasilitas umum (sarana dan prasarana permukiman yang baik), dan bentuk fisik bangunan yang tidak layak huni, Judohusodo merincikan dari fenomena kependudukan bahwa daerah kumuh juga ditandai dengan rendahnya kualitas kehidupan, seperti tinginya angka kepadatan yaitu berkisar antara 350-1.250 jiwa per hektar dengan ukuran luas kampung mulai 15-120 hektar. Dari seluruh bangunan rumah yang ada dipermukiman kumuh 60-70% ditempati oleh pemilik, dan 30-40% disewakan, sistem sewanya dalam satu kamar dihuni oleh beberapa orang atau keluarga..
Drakakis-Smith (1980) dan Grimes (1976) mengartikan permukiman kumuh sebagai permukiman dengan unit-unit rumah berukuran kecil-kecil dan kondisi lingkungannya yang buruk, pola settlement yang tidak teratur serta kualitas lingkungan yang rendah, juga minimnya fasilitas umum. Hal senada dikemukakan oleh Sutanto (1985) bahwa permukiman kumuh dapat diidentifikasikan dari foto udara berdasarkan faktor fisiknya, antara lain: ukuran rumah kecil, kepadatan rumah tinggi, dan atap dengan rona tidak seragam. Atas dasar morfologinya pada foto udara, permukiman kumuh dapat dibedakan menjad 6 (enam) kategori, yaitu: (1) Daerah permukiman kumuh didaerah lama, (2) Daerah permukiman kumuh disekitar daerah industri, (3) Daerah permukiman kumuh disepanjang sungai, (4) Daerah permukiman kumuh disepanjang
kolam/waduk, (5) Daerah permukiman kumuh didaerah pertanian, dan (6) Daerah permukiman kumuh diproyek perumahan.
Masrun (2009) memaparkan bahwa permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas. Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahanyakan kehidupannya. Pada umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang terbuka / rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan perbelanjaan (https://retnokartikasari717.blogspot.com.
22 Juli 2018).
Dalam Kamus Tata Ruang (1997) permukiman kumuh (Slum) adalah permukiman tidak layak huni atau dapat membahayakan kehidupan penghuni, karena keadaan keamanan dan kesehatan memprihatinkan, kenyamanan dan keandalan bangunan di lingkungan tersebut tidak memadai, baik dilihat dari segi tata ruang, kepadatan bangunan yang sangat tinggi, kualitas bangunan yang sangat rendah serta prasarana dan sarana lingkungan yang tidak memenuhi syarat.
Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, “permukiman kumuh” adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Berdasarkan pandangan dan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa, kawasan pemukiman kumuh adalah suatu kawasan pemukiman yang tidak layak untuk dihuni bagi manusia karena tidak memenuhi persyaratan untuk hunian baik secara teknis maupun non teknis, akibat dari ketidak tersediaan sarana dan prasarana permukiman yang baik sehingga dapat membahayakan kelangsungan kehidupan penghuninya.
2.2.2 Ciri dan Karakteristik Kawasan Permukiman Kumuh
Berdasarkan definisi-definisi yang telah disebutkan seblumnya, dapat diambil benang merah terkait dengan ciri, karakter dan kriteria mengenai kawasan permukiman kumuh. Diantaranya menurut Sinulingga (2005), ciri-ciri permukiman kumuh terdiri dari :
1. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/ha. Pendapat para ahli perkotaan menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan perlindungan terhadap penyakit;
2. Jalan-jalan sempit dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain;
3. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan- jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air;
4. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya
5. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan;
6. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umunya tidak permanen dan malahan banyak sangat darurat;
7. Pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.
Sedangkan menurut UNCHS (1982) dalam Sochi (1993) ciri – ciri permukiman kumuh ini antara lain:
1. Sebagian besar terdiri atas rumah tua (rusak) pada bagian lama suatu kota (semula didirikan dengan izin);
2. Sebagian besar penghuninya merupakan penyewa;
3. Di beberapa tempat ada rumah bertingkat pemilik yang sekaligus menyewakan beberapa rumah kumuh;
4. Kepadatan rumahnya tinggi;
5. Ada yang berasal dari proyek perumahan yang kurang terpelihara; dan
6. Ada yang dibangun oleh sektor informal, dengan sewa murah untuk menampung migran ekonomi lemah yang datang dari desa.
Gambaran lingkungan permukiman kumuh, menurut Khomarudin (1997) mempunyai ciri dan karakternya adalah:
1. Lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan;
2. Luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni;
3. Rumah hanya sekedar tempat untuk berlindung dari panas dan hujan;
4. Hunian bersifat sementara dan dibangun di atas tanah bukan milik penghuni;
5. Lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa perencanaan;
6. Prasarana kurang (MCK, air bersih, saluran buangan, listrik, jalan lingkungan);
7. Fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan);
8. Mata pencaharian yang tidak tetap dan usaha non-formal; dan 9. Pendidikan masyarakat rendah.
Prayitno (2014) mendefinisikan ciri dan karakteristik kekumuhan dalam permukiman menjadi indikator penting mengenai kawasan permukiman kumuh, diantaranya:
1. Kurangnya pelayanan dasar. Dalam hal ini, penghuni kawasan kumuh memiliki keterbatasan atau bahkan tidak memiliki akses terhadap pelayanan dasar seperti fasilitas sanitasi, sumber air bersih, sistem pengumpulan atau pengelolaan sampah, jaringan listrik dan drainase.
2. Rumah tidak layak huni. Kondisi rumah yang tidak layak huni dapat diartikan sebagai rumah yang dibangun dengan material non permanen, untuk atap bukan genting, lantai tidak keras, dinding terbuat dari bahan bambu (gedhek). Selain itu, rumah tidak layak huni juga dapat dilihat dari sisi ukuran hunian dimana standar minimum luasan bagi satu orang dari beberapa lembaga di Indonesia berbeda-beda, ada yang 7,2 m², ada pula yang 9 m².
3. Permukiman dengan tingkat kepadatan tinggi. Kepadatan yang dimaksud dalam hal ini adalah banyaknya bangunan rumah yang terdapat pada satu area kawasan kumuh. Hal ini akan menunjukkan betapa sempitnya ruang yang tersedia bagi tiap orang. Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri, kepadatan bangunan yang
tergolong tinggi adalah sebesar > 100 bangunan/ha dengan kepadatan penduduk > 200 jiwa/km².
4. Kondisi hidup yang tidak sehat dan lokasi yang berisiko. Hal ini dapat dimaknai dengan lingkungan permukiman penduduk yang tidak memenuhi standar kesehatan, sehingga berdampak pada kerentanan terhadap kesehatan penduduk. Disisi lain, kawasan ini juga terbangun dilokasi yang cukup beresiko terhadap kesehatan dan keselamatan penghuninya seperti kawasan pinggir sungai, kawasan yang dekat tanah yang rawan longsor, dan sebagainya dimana hal ini riskan terhadap keselamatan jiwa manusia.
5. Ketiadaan jaminan hak bermukim. Pemaknaannya adalah ketiadaan jaminan hak bermukim yang sewaktu-waktu penghuninya akan mengalami penggusuran. Alasannya dapat beragam, diantaranya melanggar tata ruang seperti pola penggunaan lahan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam sebuah dokumen Rencana Tata Ruang (RTR).
6. Kemiskinan dan eksklusi sosial. Sudah tergambar jelas bahwa hampir sebagian besar bahkan keseluruhan penghuni kawasan kumuh merupakan masyarakat yang tidak bisa atau tidak ingin lepas dari lingkaran setan kemiskinan dan cenderung akan menyebabkan kelanggengan.
2.2.3 Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh
Merangkum beberapa pandangan mengenai ciri-ciri dan karakteristik kawasan permukiman kumuh yang selanjutnya menjadi dasar perumusan kriteria dan indikator dari gejala kumuh dalam proses identifikasi lokasi kawasan permukiman kumuh sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, perlu
diidentifikasikan kekumuhan terutama secara fisik berdasarkan tahapan kriteria permukiman kumuh. Identifikasi permasalahan kekumuhan tersebut merupakan tahapan identifikasi untuk menentukan permasalahan kekumuhan pada objek kajian yang difokuskan pada aspek kualitas fisik bangunan dan infrastruktur keciptakaryaan pada suatu lokasi. Identifikasi permasalahan kekumuhan dilakukan berdasarkan pertimbangan pengertian perumahan kumuh dan permukiman kumuh, persyaratan teknis sesuai ketentuan yang berlaku, serta standar pelayanan minimal yang dipersyaratkan secara nasional berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut (Permen PUPR No. 2 Tahun 2016):
1. Kondisi bangunan gedung, dengan kriterianya meliputi:
a. Ketidakteraturan bangunan. Merupakan kondisi bangunan gedung pada permukiman tidak memenuhi ketentuan tata bangunan dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), paling sedikit pengaturan bentuk, besaran, perletakan, dan tampil bangunan pada suatu zona.
b. Tingkat kepadatan bangunan:
Tingkat kepadatan bangunan yang tinggi yang tidak sesuai dengan ketentuan rencana tata ruang merupakan kondisi bangunan gedung pada perumahan dan permukiman dengan:
a. Koofisien Dasar Bangunan (KDB) yang melebihi ketentuan RDTR.
KDB yaitu angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung yang dapat dibangun dengan luas lahan yang dikuasai.