• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTU PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK

DAFTAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Pertanian merupakan salah satu sektor yang memegang peranan sangat penting, terutama dalam perekonomian. Hal ini tercatat di tahun 2007, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 6,5 persen dengan kontribusi terbesar berasal dari sektor pertanian sebesar 1,3 persen (Deptan, 2007). Sektor pertanian juga berkontribusi dalam penyumbang devisa negara yang cukup besar, penyediaan pangan, penyediaan tenaga kerja, kontribusi pasar dan produk dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Dari berbagai jenis pangan, padi merupakan komoditas yang menduduki posisi penting sebagai makanan pokok penduduk Asia yang dihuni oleh dua per tiga penduduk miskin dunia, dimana penduduk Asia memproduksi dan mengkonsumsi 90% beras dari hasil padi yang ditanam dan lebih dari 50 persen konsumsi kalori serta hampir 50 persen konsumsi protein berasal dari padi (Mears, 1981). Selain itu, padi merupakan komoditas yang strategis dalam perekonomian Indonesia, sehingga kekurangan suplai pada harga yang wajar

merupakan ancaman terhadap kestabilan ekonomi dan politik (Baharsyah et al., 1988).

Keberhasilan pembangunan ekonomi sejak awal tahun 1980-an telah mengubah pola permintaan dan konsumsi masyarakat serta produksi pangan. Data SUSENAS sejak tahun 1990 menunjukkan, pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi beras per kapita mulai menurun. Pola pendapatan rumah tangga petani juga mulai berdiversifikasi dan pangsa pendapatan dari usahatani padi terhadap

2  pendapatan keluarga juga menurun. Pendapatan dari upah/gaji dari luar pertanian serta dari usahatani nonpadi meningkat (Kasryno dan Pasandaran, 2004).

Sektor pertanian Indonesia memiliki potensi ekonomi dan sumber daya yang melimpah, tetapi petaninya yang merupakan konstituen terbesar masih terjerat kemiskinan struktural. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menyampaikan sambutan pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan di Istana Negara awal Desember 2005 menyebutkan bahwa 55 persen dari jumlah penduduk miskin adalah petani, dan 75 persen dari petani miskin itu adalah petani tanaman pangan (Arifin, 2007).

Dari sisi kebijakan pemberasan nasional, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan pembangunan ekonomi pemberasan nasional dalam rangka meningkatkan pendapatan petani dan memantapkan ketahanan pangan nasional, dituangkan dalam Inpres No. 9 Tahun 2002 tentang penetapan kebijakan pemberasan. Secara garis besar, isi kebijakan tersebut, yaitu: (1) memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional, (2) memberikan dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatkan pendapatan padi, (3) melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh pemerintah, (4) menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan kepada petani dan konsumen dan (5) memberikan jaminan bagi persediaan dan penyaluran beras dan bahan pangan lain bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan. Butir-butir yang terkandung dalam Inpres tersebut merefleksikan bahwa pemerintah telah menerapkan kebijakan promosi dan proteksi untuk mengembangkan ekonomi pemberasan nasional. Kebijakan promosi dilakukan pemerintah untuk

3  mengembangkan daya saing komoditas padi/beras nasional melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi usahatani padi, sedangkan kebijakan proteksi dimaksudkan untuk melindungi petani dari dampak negatif (injury effects) perdagangan bebas. Melalui kebijakan proteksi dan promosi ini, diharapkan ketahanan pangan nasional dapat dibangun atas kemandirian pangan yang berkelanjutan (Suryana dan Hermanto, 2004).

Tabel 1. Luas Areal Pertanaman, Produksi dan Produktivitas Padi di Indonesia Tahun 2000-2009

Tahun Luas Areal Padi Produksi Padi* Produktivitas

(Juta ha) (Ton) (Ton/ha)

2000 11.793.475 51.898.852 4,40 2001 11.499.997 50.460.782 4,39 2002 11.521.166 51.489.694 4,47 2003 11.488.034 52.137.604 4,54 2004 11.922.974 54.088.468 4,54 2005 11.839.060 54.151.097 4,57 2006 11.786.430 54.454.937 4,62 2007 12.147.637 57.157.435 4,70 2008 12.327.425 60.325.925 4,89 2009 12.883.576 64.398.890 5,00 Trend (%) 1,01 2,47 1,43 Sumber : BPS (2009)

Keterangan : *Bentuk Gabah Kering Giling (GKG)

Pertumbuhan produksi padi nasional tahun 2000-2007 mulai menunjukkan gejala stagnan. Pada tahun 2000-2007 hanya meningkat rata-rata kurang dari 1% per tahun. Hal ini mendorong pemerintah untuk melakukan beragam program intensifikasi dan ekstensifikasi, sehingga pada tahun 2007-2009 pertumbuhan produksi padi mengalami peningkatan yang cukup tinggi sebesar 3,14% per tahun.

Luas areal padi di Indonesia dalam periode 2000-2009 meningkat dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar 1,01 persen (Tabel 1). Pertumbuhan ini cukup besar jika dibandingkan pada tahun 2000-2007, rata-rata pertumbuhan

4  hanya sebesar 0,44 persen. Pertumbuhan luas areal padi yang rendah ini diakibatkan adanya konversi lahan sawah yang cukup besar. Konversi tersebut dapat berbentuk persaingan penggunaan lahan untuk keperluan usahatani nonpadi ataupun konversi penggunaan lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian dalam bentuk jalan raya, bangunan industri, dan pemukiman.

Konversi lahan yang semakin luas ini diindikasikan oleh jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dengan cepat. Peningkatan jumlah penduduk yang sangat cepat ini juga berdampak terhadap permintaan kebutuhan beras yang naik cukup besar (Lampiran 1). Hal ini tentunya dikhawatirkan akan terjadi masalah krisis pangan, karena tidak terpenuhinya kebutuhan permintaan beras dari produksi padi yang dihasilkan.

Dihadapkan pada kondisi kelambanan perluasan lahan, kesulitan dalam meningkatkan produktivitas padi dan kebutuhan pangan masyarakat yang semakin meningkat, maka pada tahun 1963 pemerintah menetapkan kebijakan untuk menerapkan teknologi pertanian modern yang dikenal sebagai teknologi “Revolusi Hijau” atau pertanian konvensional. Revolusi Hijau merupakan perubahan pola budidaya tanaman berdasarkan efisiensi yang menjadi salah satu pemecahan masalah kekurangan pangan (Sutanto, 2002b).

Pada kenyataannya program Revolusi Hijau memang dapat meningkatkan produksi pangan di Indonesia. Kenaikan ini berhasil dicapai melalui upaya peningkatan produktivitas padi sawah. Upaya ini berhasil dalam mengurangi terjadinya kemiskinan. Akan tetapi, pemenuhan kebutuhan pangan melalui pendekatan intensifikasi yang berlebihan menghasilkan dampak sampingan, yaitu dampak terhadap biaya sosial (social cost) dan lingkungan. Pengaruh yang sangat

5  parah adalah menurunnya keanekaragaman genetik varietas padi yang ditanam dan penggunaan inseksida secara berlebihan.

Dalam upaya mengatasi ketidakberlanjutan sistem pertanian tersebut, dikembangkan konsep pertanian yang mengupayakan keberlanjutan dengan meminimalkan input eksternal serta memperhatikan dampak negatif dari kegiatan pertanian. Konsep ini mengupayakan pemanfaatan sumber daya yang terdapat di dalam sistem secara optimum (Ito, 2000). Reijntjes et al. (1999) juga menyatakan bahwa dengan memanfaatkan sumber daya yang terdapat di dalam sistem serta penggunaan masukan luar sebagai pelengkap, diharapkan dapat memberikan hasil yang menggabungkan produktivitas tinggi dengan keamanan dan kelestarian sumber daya alam.

Konsep yang meminimalkan masukan luar menempatkan pertanian berkelanjutan diantara konsep pertanian konvensional dan organik, yang keduanya memiliki perbedaan yang mencolok. Pertanian konvensional tergantung dengan pemanfaatan pupuk dan pestisida yang cukup tinggi, sedangkan pertanian organik tidak menggunakan pupuk kimia dan pestisida buatan.

Dokumen terkait