• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indonesia merupakan Negara dengan jumlah masyarakat lebih kurang sekitar 202 juta penduduk yang tersebar di seluruh kepulauan dan provinsi di Indonesia. Oleh karna itu banyak di temukan berbagai masalah-masalah social dan kesehatan yang membuat Negara Indonesia memiliki berbagai macam polemic yang harus diselesaikan. Permasalahan-permasalahan yang timbul akibat kepadatan penduduk antara lain banyak berkembang dikarenakan pernikahan yang begitu tidak terkonsep dan tidak memiliki standar usia dewasa yang diperbolehkan UU tentang pernikahan. Undang-undang No1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1 berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun (Hazairin,1992).

Praktek pernikahan dini banyak dipengaruhi oleh tradisi lokal, sekalipun ada ketetapan undang-undang yang melarang pernikahan dini, ternyata ada juga fasilitas dispensasi. Pengadilan agama dan kantor urusan agama sering memberi dispensasi jika mempelai wanita ternyata masih dibawah umur (Arni, 2009).

Di Indonesia masih sering terjadi praktek pernikahan anak di bawah umur. Undang-undang perkawinan dari tahun 1974 juga tidak tegas melarang praktek itu. Menurut UU perkawinan, seorang anak perempuan baru boleh menikah di atas usia 16 tahun, seorang anak laki-laki di atas usia 18 tahun, tapi ada juga dispensasi. Jadi, kantor urusan agama (KUA) masih sering memberi dispensasi untuk anak perempuan dibawah 16 tahun (Arni, 2009).

Adapun dalam aspek pandangan study kajian ilmu kesehatan masyarakat mengenai kesehatan reproduksi, usia dini mempengaruhi angka kematian ibu, pernikahan dini juga menyebabkan beragam masalah reproduksi. Di antara masalah kesehatan yang umum muncul akibat pernikahan dini dan melahirkan di usia muda adalah fistula obstetric, yang dicirikan oleh adanya bagian abnormal antara saluran lahir dan organ internal seperti rektum. Fistula menyebabkan sejumlah masalah medis seperti tak mampu menahan berkemih, infeksi kandung kemih, mandul, dan gagal ginjal (Hafiza, 2010).

Selain itu resiko yang terjadi akibat pernikahan usia dini diantaranya adalah keguguran, persalinan prematur, BBLR, kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia pada kehamilan, keracunan kehamilan, dan kematian (Kusmiran, 2011).

Komplikasi dari kehamilan dan persalinan merupakan penyebab utama kematian anak perempuan berusia 15 sampai 19 tahun di negara-negara berkembang . Dari 16 juta remaja perempuan yang melahirkan setiap tahun diperkirakan 90 % sudah menikah dan 50 ribu diantaranya telah meninggal. Selain itu resiko terjadinya kematian ibu dan dan kematian bayi yang baru lahir 50 % lebih tinggi dilahirkan oleh ibu di bawah usia 20 tahun antara ibu dibandingkan pada wanita yang hamil di usia 20 tahun ke atas (WHO, 2012).

Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs (UNDESA, 2010), Indonesia merupakan negara ke-37 dengan jumlah pernikahan dini terbanyak di dunia di tahun 2007. Untuk level ASEAN, tingkat pernikahan dini di Indonesia berada di urutan kedua terbanyak setelah Kamboja. Menurut Riskesdas 2010, Perempuan muda di Indonesia dengan usia 10-14 tahun menikah

sebanyak 0,2 persen atau lebih dari 22.000 wanita muda berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah menikah. Jumlah dari perempuan muda berusia 15-19 tahun yang menikah lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun (11,7 % perempuan dan 1,6 % laki-laki usia 15-19 tahun). Selain itu jumlah aborsi di Indonesia diperkirakan mencapai 2,3 juta pertahun. Sekitar 750.000 diantaranya dilakukan oleh remaja (BkkbN, 2011).

Berdasarkan data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BkkbN), rasio pernikahan dini di Indonesia khususnya perkotaan pada tahun 2012 adalah 26 dari 1.000 perkawinan dan meningkat pada tahun 2013 menjadi 32 per 1.000 pernikahan. Angka ini berbanding terbalik dengan kenyataan di perdesaan, yang justru turun dari 72 per 1.000 pernikahan menjadi 67 per 1.000 pernikahan pada tahun 2013. Jadi, digabungkan antara rasio di perkotaan dan perdesaan pada 2013, rata-rata masih 48 per 1.000 pernikahan. Untuk menurunkan angka tersebut, bkkbn menggencarkan program Generasi Berencana (Genre) dan membuat target untuk menurunkan angka pernikahan dini sebesar 30 per 1.000 pernikahan. Program itu berisi sosialisasi tentang pengetahuan mengenai keluarga berencana yang sasarannya adalah siswa SMA dan mahasiswa (Puspitasari, 2009). Permasalahan kesehatan reproduksi di mulai dengan adanya perkawinan / hidup bersama. Di antara perempuan 10-54 tahun, 2,6 persen menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9 persen menikah pada umur 15-19 tahun. Menikah pada usia dini merupakan masalah kesehatan reproduksi karena semakin muda umur menikah semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi. Angka kehamilan penduduk perempuan 10-54 tahun adalah 2,68 persen, terdapat kehamilan pada umur kurang 15 tahun, meskipun sangat kecil (0,02%) dan

kehamilan pada umur remaja (15-19 tahun) sebesar 1,97 persen. Apabila tidak dilakukan pengaturan kehamilan melalui program keluarga berencana (KB) akan mempengaruhi tingkat fertilitas di Indonesia (Riskesdas, 2013).

Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan BPS Sumut menyebutkan 10 sampai 11 % wanita usia subur (WUS) menikah di usia 16 tahun pada 2010, dan menurut keterangan dari BPS Sumut sendiri paling tidak, ada 47,79% perempuan dikawasan pedesaan kawin pada usia dibawah 16 tahun, sementara diperkotaan besarnya mencapai 21,75% pada tahun 2011. Dari kantor kementerian agama menyebutkan bila di tahun 2006 kasus pernikahan usia dini sebanyak 19 kasus, dan meningkat menjadi 42 kasus di tahun 2007, serta melonjak lagi menjadi 68 kasus di tahun 2008, hingga desember 2010 diperkirakan maksimal terjadi 50 kasus perawinan di usia dini pada remaja (Eridani, 2011).

Menurut data Kementerian Agama dan Kantor Urusan Agama Kota Pematangsiantar jumlah pernikahan usia dini pada tahun 2013 sebanyak 25 perkawinan usia dini, pada tahun 2014 sebanyak 29 perkawinan usia dini dan pada tahun 2015 sampai dengan bulan September sebanyak 18 perkawinan usia dini. Untuk di Kecamatan Siantar Martoba tercatat pada tahun 2013 sebanyak 5 perkawinan usia dini, pada tahun 2014 sebanyak 7 pernikahan usia dini dan pada tahun 2015 sampai dengan bulan september sebanyak 10 pernikahan usia dini.

Dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber, didapatkan informasi bahwa ada sebagian pasangan yang menikah di usia dini disebabkan oleh faktor orang tua dan ada juga oleh faktor diri sendiri. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti baik itu berupa observasi maupun wawancara dengan beberapa masyarakat di Kecamatan Siantar Martoba, peneliti

menemukan bahwa sebagian remaja yang menikah di usia dini ada yang mengalami perceraian. Dan mereka cenderung memisahkan diri dari lingkungan terutama dengan teman seusianya, dan ada yang tidak mampu merawat anaknya secara mandiri sehingga harus bergantung pada orang tua dan mertuanya. Dan dari hasil wawancara dan tanya jawab peneliti dengan beberapa orang remaja putri yang masih sekolah, menyatakan bahwa mereka belum mengerti tentang kesehatan reproduksi dan apa saja dampak yang akan terjadi akibat pernikahan dini bagi kesehatan reproduksi baik bagi remaja itu sendiri atau pun lingkungan sekitarnya.

Sikap atas persoalan ini terbagi dalam dua sisi yang berseberangan. Dengan alasan bahwa dengan menikah di usia muda akan menghindari hal-hal yang dilarang baik asas agama maupun sosial di tengah gejolak pergaulan yang semakin ”menggila” seperti saat ini. Alasan lain adalah pikiran bahwa dengan menikah muda, mereka akan masih sehat dan aktif berkarya di saat anak-anak mereka tumbuh besar yang membutuhkan biaya untuk keperluan pendidikan dan persoalan lainnya. Selain itu muncul pula alasan lain yang mengatakan bahwa nikah muda itu ”asyik”, pokoknya asyik aja. meskipun dengan dalih dari pada terjerat dalam pergaulan bebas dan menghindari terjadinya hamil di luar pernikahan (Fatiyani, 2014).

Dari pihak yang berseberangan melihat dan menelaah bahwa mereka yang menikah muda akan lebih cenderung untuk mengalami kegagalan dalam rumah tangga mereka. Tingginya perkara perceraian di hampir semua daerah yang menjadi area penelitian Ikatan Sosiologi Indonesia ( ISI ) berbanding lurus dengan tingkat penikahan di usia muda. Namun dalam alasan perceraian tentu saja bukan

karena alasan kawin muda, melainkan alasan ekonomi dan lain sebagainya. Tetapi masalah tersebut tentu saja sebagai salah satu dampak dari pernikahan yang dilakukan tanpa kematangan usia dan psikologis. Menikah di usia muda juga akan menimbulkan banyak permasalahan di berbagai sisi kehidupan ekonomi misalnya, dengan tingkat pendidikan rendah yang dimiliki pasangan akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak yang berimbas pada kurangnya kecukupan secara ekonomi dalam rumah tangga (Hotnatalia, 2013).

Pada hakikatnya pernikahan adalah suatu kesatuan yang dianggap sakral bagi setiap lapisan masyarakat di Indonesia. Di kota-kota besar di Indonesia dan kota yang sedang berkembang memiliki dampak tingkat pernikahan dini yang sangat tinggi antara lain adalah kota Pematangsiantar. Dari kasus pernikahan dini yang berada di kota Pematangsiantar, penulis sangat tertarik mengakaji lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang mendorong tingginya tingkat pernikahan dini di kecamatan siantar martoba. Berawal dari kota yang sedang berkembang tingkat pergaulan remaja sendiri tidak terkontrol secara langsung oleh orang tua. Tingkat perkembangan tekhnologi di pematangsiantar berkembang secara pesat, terutama di bidang Internet. Internet merupakan suatu cakrawala yang dapat melihat jendela dunia , akan tetapi dimasyarakat penggunaan internet sangat tidak terkontrol sehingga membuat masyrakatnya banyak menggunkan sebagai sesuatu berpusat pada hal yang bersifat negative. Penggunaan internet yang tidak dilakukan secara filtrasi mengakibatkan dampak yang tidak baik pada pranata social masyarakat. Salah satu akibat yang menjadikan komsumen internet yang tidak baik adalah penggunaan internet sebagai akses pornografi . Diantara

konsumen pornografi banyak banyak terdapat masyarakat yang memliki usia yang masih dini (Muda ) sehingga berdampak pada perilaku yang tidak baik.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian untuk mendeskripsikan pernikahan usia mudah khususnya untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan usia muda di Kecamatan Siantar Martoba Kota Pematangsiantar. Dengan melihat kenyataan ini telah mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “gambaran perilaku terhadap terjadinya pernikahan dini di Kecamatan Siantar Martoba Kota Pematangsiantar”.