• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Satsabhara (Satuan Samapta Bhayangkara) adalah bagian dari unsur pelaksanaan tugas pokok yang berada dibawah naungan kapolres. Satsabhara memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tugas turjawali (pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli), pengamanan markas, pengamanan kegiatan masyarakat serta instansi pemerintah, penanganan tipiring (tindak pidana ringan), TPTKP (tindakan pertama tempat kejadian perkara), objek vital, dan pengendalian massa dalam rangka pemeliharaan keamanan serta menjaga ketertiban masyarakat (Pasal 55 dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI No. 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor).

Berdasarkan hasil wawancara Wakil Kepala Satsabhara dan anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten, tanggung jawab tugas-tugas yang harus diemban oleh anggota Satsabhara sesuai dengan peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Tugas tersebut seperti pemberian bimbingan, arahan, pengawasan, pengendalian masa, perawatan dan pemeliharaan alat kendaraan Satsabhara, pengamanan markas, SAR, turjawali, pelatihan ketrampilan pengamanan, pengamanan unjuk rasa, pengamanan pada acara konser musik, pengawalan keamanan vvip

kunjungan presiden, pemeliharaan ketertiban, siaga SAR, turjawali, pengamanan objek vital kota serta wilayah-wilayah. Anggota Satsabhara juga siap bersedia membantu subdivisi lainnya seperti membantu mengatur lalu lintas, mengamankan barang bukti dan lain-lainnya (Wawancara, 30 Maret dan 11 April 2018). Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten, terutama pada tuntutan tugas yang harus mereka kerjakan. Hal tersebut membuat fisik mereka terkuras pada saat menjalankan tugas, bahkan mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk istirahat dengan tenang (Wawancara, 30 Maret 2018).

Anggota Satsabhara memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan tugas sehari-hari di lapangan. Banyak masalah yang harus dihadapinya seperti kelelahan fisik pada saat menjalankan tugas, waktu kerja yang tidak menentu dan adanya tekanan yang tinggi dari atasan. Tekanan yang tinggi dari atasan dapat terjadi dikarenakan sistem organisasi polisi yang hierarki. Masalah-masalah tersebut dapat dirasakan oleh anggota Satsabhara disetiap harinya yang dapat membuat anggota Satsabhara dapat rentan mengalami stres kerja. Hal tersebut juga didukung oleh Morash, Haarr, Kwak (2006, dalam Singh, 2016) yang menyatakan bahwa budaya organisasi dan struktur dalam instansi kepolisian dapat menciptakan stres kerja.

Berdasarkan CbsNews.com (Picchi, 11 Januari 2018), mengungkapkan bahwa pekerjaan polisi adalah pekerjaan yang memiliki tingkat stres kerja yang tinggi. Pekerjaan polisi berada diurutan ke 4,

pekerjaan yang memiliki stres kerja yang tinggi dibandingkan dengan pekerjaan lainnya seperti koordinator acara, reporter, broadcaster, pekerjaan yang terkait dengan hubungan masyarakat dan eksekutif senior di perusahaan. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan polisi memiliki resiko mempertaruhkan nyawanya sebagai dari bagian pekerjaannya untuk membantu orang lain. Somodevilla (1978, dalam Singh, 2016) juga menyatakan bahwa menjadi petugas polisi adalah pekerjaan yang berada dibawah tekanan dan stres kerja yang tidak tertandingi dibandingkan dengan pekerjaan lainnya. Selain itu, berdasarkan dari surat kabar elektronik DetikNews.com (Saut, 23 Maret 2017), anggota Reserse, Satlantas dan Satsabhara memiliki tingkat stres kerja yang tinggi dibandingkan dengan divisi lainnya. Hal tersebut dikarenakan Reserse, Satlantas dan Sabhara memiliki beban kerja seperti tugas untuk penanganan kasus dan jam kerja yang berlebihan daripada divisi lainnya.

Stres kerja sendiri merupakan kondisi dinamis di mana seseorang individu dihadapkan dengan kesempatan atau peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan atau diinginkan individu dan hasilnya dipandang tidak pasti dan penting. (Robbins dan Judge 2008). Robbins dan Judge (2008) juga menyatakan bahwa stres kerja dapat dilihat dari aspek perilaku, psikologis dan fisik. Aspek perilaku stres kerja seperti muncul ketidakteraturan waktu tidur, produktivitas kerja menurun, gelisah, berbicara gagap, tingkat membolos atau mangkir kerja yang tinggi, perputaran kerja, perubahan kebiasaan makan, meningkatnya

konsumsi rokok dan alkohol. Selain itu, Aspek psikologis stres kerja yang muncul seperti mudah marah atau jengkel, mudah bosan atau jenuh, cemas, rasa tegang dan menunda-nunda pekerjaan. Kemudian, Aspek fisik stres kerja seperti metabolisme tubuh terganggu, detak jantung meningkat, tekanan darah naik, serangan jantung, sakit kepala dan tarikan pernafasan tidak teratur.

Berdasarkan dari surat kabar elektronik SindoNews.com (Barnugroho, 18 September 2015), anggota Sabhara di wilayah Polda Daerah Istimewa Yogyakarta ditangkap satuan narkoba Polres Sleman dikarenakan mengkonsumsi ganja. Anggota Sabhara tersebut mengkonsumsi ganja dengan tujuan sebagai obat penenang dikarenakan mengalami kesulitan tidur.

Berdasarkan dari surat kabar SindoNews.com (Kurniawan, 8 Oktober 2018) juga mengungkapkan bahwa 6 anggota kepolisian Polres Tangerang yang didominasi anggota Satsabhara dipecat tidak hormat dikarenakan membolos kerja atau mangkir kerja selama 30 hari berturut-turut. Selain itu, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Wakil (2015), mengungkapkan bahwa stres kerja yang dialami oleh polisi meningkatan konsumsi rokok dan minuman beralkohol. Hal tersebut dilakukan untuk mengatasi stres yang dialaminya.

Wawancara juga dilakukan kepada beberapa anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten, empat (4) dari lima (5) anggota Satsabhara

mengalami stres kerja yang ditunjukkan pada aspek perilaku. Dalam menjalankan tugas kondisi yang mereka alami berkaitan dengan aspek perilaku stres kerja seperti perubahan kebiasaan makan, ketidakteraturan tidur, meminum minuman beralkohol dan konsumsi rokok meningkat (Wawancara, 30 Maret 2018).

Berdasarkan data yang diperoleh diatas, maka dapat disimpulkan bahwa anggota polisi mengalami stres kerja yang ditunjukkan dalam aspek perilaku. Aspek perilaku stres kerja yang muncul pada anggota polisi adalah perilaku membolos, perubahan kebiasaan makan, mengalami ketidakteraturan tidur, konsumsi rokok meningkat, konsumsi minuman beralkohol, dan mengkonsumsi narkoba.

Berdasarkan dari surat kabar elektronik HealthDetik.com (28 September 2012) mengungkapkan petugas kepolisian dan petugas pemadam kebakaran memiliki tekanan darah yang tinggi dibandingkan dengan pekerjaan lainnya. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Mallik, Mukhopadhyay, Kumar dan Sinhababu (2014) yang meneliti mengenai hipertensi, prehipertensi dan normotensi (tensi normal) pada polisi di Kabupaten Bengal barat India. Ia menemukan bahwa 41,9% dari 1817 polisi mengalami hipertensi, 42,9% dari 1817 polisi mengalami prehipertensi dan sisanya sebanyak 15,2 % dari 1817 polisi mengalami normotensi.

Wawancara juga dilakukan kepada beberapa anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten, empat (4) dari lima (5) anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten mengalami stres kerja yang ditunjukkan pada aspek fisik. Dalam menjalankan tugas kondisi yang mereka alami berkaitan dengan aspek fisik stres kerja seperti munculnya gangguan pada kepala yang terasa berat dan pusing serta keringat yang berlebihan (Wawancara, 30 Maret 2018).

Berdasarkan data yang diperoleh diatas, maka dapat disimpulkan bahwa anggota polisi mengalami stres kerja yang ditunjukkan dalam aspek fisik. Aspek fisik stres kerja yang muncul pada anggota polisi ditandai dengan munculnya tekanan darah yang tinggi, keringat berlebihan, dan kepala terasa berat serta pusing.

Husain (2014) melakukan penelitian mengenai tingkat depresi, kecemasan dan stres pada polisi di pakistan. Hasil penelitiannya menemukan bahwa dari 315 anggota kepolisian yang bertugas di tiga kabupaten di pakistan mengalami depresi dan stres yang berat serta mengalami kecemasan yang sangat berat atau parah.

Selain itu, dari hasil wawancara yang dilakukan kepada wakil kepala Satsabhara Polisi di Polres Klaten (Wawancara, 11 April 2018) mengungkapkan bahwa aspek psikologis yang muncul pada anggota Satsabhara yang berkaitan dengan stres kerja adalah munculnya rasa cemas. Wakil kepala satuan Satsabhara tersebut mengungkapkan bahwa

anggotanya merasakan cemas pada saat mendengar kabar mengenai teror bom yang berfokus pada anggota kepolisian. Berdasarkan hasil wawancara kepada beberapa anggota Satsabhara pula, tiga (3) dari lima (5) anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten mengungkapkan bahwa dalam menjalankan tugas kondisi yang mereka alami berkaitan dengan aspek psikologis stres kerja seperti munculnya rasa bosan atau jenuh dikarenakan tugas yang monoton, rasa cemas dikarenakan informasi buruk yang mengancam anggota kepolisian dan rasa tegang disaat mendapatkan tugas baru secara mendadak (Wawancara, 30 Maret 2018).

Berdasarkan data yang diperoleh diatas, maka dapat disimpulkan bahwa anggota kepolisian mengalami stres kerja yang ditunjukkan dalam aspek psikologis. Aspek psikologis stres kerja yang muncul pada anggota polisi ditandai dengan munculnya rasa cemas, rasa tegang dan rasa bosan atau jenuh pada saat menjalankan tugas.

Menurut hasil wawancara kepada wakil kepala bagian Satsabhara Polisi di Polres Klaten, tidak dipungkiri semua pekerjaan akan memiliki titik stres kerja. Akan tetapi, tingkatan stres kerja yang dialami masing-masing individu akan berbeda (Wawancara, 11 April 2018). Selain itu, berdasarkan hasil wawancara kepada kepala bagian Satsabhara Polisi di Polres Klaten mengungkapkan bahwa anggota polisi lebih cenderung memiliki tingkatan stres kerja dengan kategori sedang. Hal tersebut dikarenakan banyaknya tuntutan tugas serta peran dukungan-dukungan dari atasan, masyarakat dan instansi sendiri yang kurang ditingkatkan

(Wawancara, 9 April 2018). Kepala bagian Satsabhara juga mengatakan bahwa anggota Satsabhara juga sudah mendapatkan perhatian dari segi pembinaan kesejahteraan rohani, mental, jasmani, moril dan materil, pembinaan dan pemeriksaan psikologis serta kesehatan jiwa khususnya dari bidang Bagsumda. Akan tetapi, kepala bagian Satsabhara Polres Klaten mengungkapkan bahwa masih ada anggota yang mengalami kondisi yang berkaitan dengan stres dalam bekerja (Wawancara, 9 April 2018).

Tabel 1

Tabel Hasil Preliminary Wawancara Stres Kerja

No Inisial Perilaku Psikologis Fisik 1. TB Bripda Perubahan kebiasaan makan dan gangguan tidur Merasa bosan dan jenuh kepala terasa berat dan pusing 2. CB Bripda Konsumsi rokok meningkat dan meminum minuman beralkohol Merasa bosan dan tegang. kepala pusing sebelah. 3. AA Bripda Kebiasaan makan yang berubah dan konsumsi rokok meningkat

Sudah terbiasa Kelelahan dan berkeringat dengan intensitas lebih. 4. SH Briptu Tidur tidak teratur dan hanya tidur sebentar saja. Merasa cemas karena banyak teror. Sudah terbiasa dengan kondisi di lapangan 5. NN Bripka Merasa tidak ada perubahan yang berarti Merasa nyaman dikarenakan sudah terbiasa. berkeringat yang lebih.

Kondisi stres kerja polisi juga didukung oleh temuan sebelumnya oleh Vigfúsdóttir (2017) dengan judul Social Support, Stress and Burnout among Icelandic Police Officers yang menemukan bahwa dari 93 polisi (subjek) di islandia mengalami stres kerja dengan kualifikasi stres kerja rendah dengan jumlah 2,5%, stres kerja sedang dengan jumlah 70,9% dan stres kerja tinggi dengan jumlah 26,9%. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Amir, Hussain, Humayon, Raza, dan Ansari (2017) dengan judul Assessment of Work Stress among Police in Pakistan menemukan bahwa 116 atau 97% dari 120 responden polisi di pakistan mengalami stres kerja dengan kategori tinggi. Hal serupa juga ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Jonyo (2015) yang menemukan bahwa polisi di Nakuru (Kenya) mengalami stres kerja tinggi 53,6% dan stres kerja sedang sebanyak 46,4% dari 84 subjek polisi.

Menurut hasil pemaparan kondisi terkini melalui wawancara preliminary, surat kabar dan dari hasil penemuan sebelumnya dapat dilihat bahwa anggota polisi mengalami stres kerja. Stres kerja yang muncul pada anggota kepolisian sesuai dengan aspek stres kerja yang diungkapkan oleh Robbins dan Judge (2008) yaitu meliputi Aspek fisik, psikologi dan perilaku. Aspek perilaku stres kerja pada anggota anggota kepolisian yang muncul seperti membolos atau mangkir kerja, perubahan kebiasaan makan, mengalami ketidakteraturan tidur, konsumsi rokok meningkat, dan konsumsi minuman beralkohol. Aspek fisik stres kerja yang muncul ditandai dengan tekanan darah yang tinggi, keringat berlebihan, dan kepala

terasa berat serta pusing. Aspek psikologis stres kerja ditandai dengan munculnya rasa cemas, rasa bosan atau jenuh, dan rasa tegang pada saat menjalankan tugas. Selain itu, berdasarkan hasil penemuan sebelumnya menemukan bahwa subjek penelitian (polisi) mengalami stres kerja dengan kategori rendah hingga tinggi.

Seseorang yang bekerja sebagai polisi seharusnya tidak mengalami stres dalam bekerja yang dibuktikan dengan ketidakmunculan gejala stres kerja. Pada faktanya berdasarkan informasi yang dikumpulkan melalui media masa, penelitian sebelumnya dan hasil wawancara preliminary menunjukkan bahwa anggota polisi khususnya anggota Satsabhara mengalami stres kerja. Kondisi stres dalam bekerja anggota polisi bagian Sabhara ditunjukkan dengan munculnya gejala perilaku, gejala fisik dan gejala psikologis.

Berdasarkan pemaparan kondisi terkini pada anggota kepolisian melalui informasi dari media masa, penelitian sebelumnya dan hasil preliminary wawancara, maka peneliti tertarik untuk meneliti stres kerja pada anggota kepolisisan khususnya anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten. Dampak dari stres kerja dapat merugikan diri sendiri, orang disekitar dan organisasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jonyo (2015) menyatakan bahwa stres kerja yang tinggi pada polisi dapat menyebabkan buruknya kinerja. Greenberg dan Baron (2000, dalam Jonyo, 2015) juga menyatakan bahwa stres kerja dapat mengurangi efisiensi, inisiatif/ kapasitas melakukan suatu hal dalam bekerja,

mengurangi minat dalam diri, membuat pikiran kaku, kurangnya perhatian pada organisasi, rekan kerja dan hilangnya tangung jawab dalam bekerja. Maka sangatlah perlu memberikan perhatian dan penanganan sejak dini mengenai stres kerja pada anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten.

Menurut Robbins dan Judge (2008), sumber seseorang dapat mengalami stres kerja berasal dari sumber organisasi, sumber lingkungan dan sumber personal. Selain itu, Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa terdapat variabel yang dapat memoderasi antara faktor atau potensi stres kerja dengan stres kerja itu sendiri. Variabel yang dapat memoderasi tersebut berkaitan dengan perbedaan individu seperti persepsi, pengalaman kerja, dukungan sosial, keyakinan pada lokus kontrol, keyakinan diri dan permusuhan.

Berdasarkan hasil wawancara pribadi kepada beberapa anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten, satu (1) dari lima (5) anggota mengungkapkan bahwa sumber yang menyebabkan anggota mengalami stres kerja adalah faktor personal yang berupa masalah keluarga yang dibawa ketempat kerja. Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada beberapa anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten, empat (4) dari lima (5) anggota Satsabhara (Wawancara, 30 Maret 2018), wakil kepala bagian Satsabhara (Wawancara, 11 April 2018) dan kepala bagian Satsabhara (Wawancara, 9 April 2018) mengungkapkan bahwa sumber yang menyebabkan anggota mengalami stres kerja adalah dukungan sosial yang sangat minim. Minimnya dukungan sosial yang

dimaksud adalah seperti kurangnya dorongan, penghargaan, perhatian dari atasan dan keluarga. Selain itu, ketidakpedulian antar rekan kerja dalam membantu menyelesaikan tugas serta jiwa keanggotaan antar keanggotaan yang minim. Hal tersebut juga ditambah dengan keengganan senior dalam memberikan tanggapan dan petunjuk kepada juniornya (Wawancara 9, 11 April dan 30 Maret 2018).

Menurut hasil pemaparan preliminary wawancara kepada lima (5) anggota Satsabhara, wakil kepala Satsabhara serta kepala Satsabhara Polisi di Polres Klaten, peneliti ingin berfokus menghubungkan dukungan sosial dengan stres kerja. Dukungan sosial menurut Robbins dan Judge (2008) termasuk dalam variabel moderator antara potensial stres dengan stres kerja itu sendiri. Akan tetapi, pada penelitian ini dukungan sosial dilihat sebagai variabel bebas yang dapat mempengaruhi stres kerja. Hal tersebut dilandasan bahwa empat (4) dari lima (5) anggota (Wawancara, 30 Maret 2018), wakil kepala (Wawancara, 11 April 2018) dan kepala bagian (Wawancara, 9 April 2018) Satsabhara Polisi di Polres Klaten mengungkapkan bahwa mereka mengalami stres kerja yang disebabkan oleh dukungan sosial yang sangat minim. Maka dengan itu, dukungan sosial pada penelitian ini menjadi fokus sebagai variabel bebas.

Hal tersebut juga didukung dari penelitian yang dilakukan oleh Noviati (2015) mengenai stres kerja yang ditinjau dari kecerdasan emosi, modal psikologis dan dukungan sosial pada karyawan percetakan, perawat dan anak buah kapal. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa

dukungan sosial (variabel independen) memiliki hubungan negatif sangat kuat dan signifikan dengan stres kerja (variabel dependen). Hal ini dapat diartikan bahwa jika dukungan sosial yang diterima oleh karyawan percetakan, perawat dan anak buah kapal tinggi maka stres kerja yang dialaminya rendah. Variabel dukungan sosial dalam penelitian ini memiliki hubungan paling kuat diabandingkan dengan variabel modal psikologis dan kecerdasan emosional. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dukungan sosial sangat berpengaruh secara langsung pada stres kerja. Individu yang bekerja secara langsung dihadapkan pada kondisi harus berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Maka dengan itu, lingkungan sosial memiliki kontribusi terhadap kondisi individu (Noviati, 2015). Seperti halnya dukungan sosial yang memiliki kontribusi terhadap kondisi stres kerja yang dialami seseorang.

Menurut sarafino (2008), dukungan sosial adalah rasa nyaman, perhatian, penghargaan atau pertolongan yang diperoleh seseorang dari orang lain. Dukungan sosial menurut Sarafino (2008) tersebut memuat empat tipe dukungan, seperti tipe dukungan instrumental, tipe dukungan emosional, tipe dukungan persahabatan dan tipe dukungan informasi. Keberadaan dukungan yang diberikan oleh rekan kerja atau supervisor dapat membantu menyangga dampak stres kerja (Robbins dan Judge, 2008). Selain itu, dukungan sosial dapat mengurangi stres kerja seseorang dengan tingkat tekanan yang tinggi sekalipun (Robbins dan Judge, 2008). Dukungan sosial yang tinggi dapat membantu seseorang dalam

menurunkan tingkat stres kerja yang dialaminya khususnya pada anggota Satsabhara. Berdasarkan hasil wawancara Kepala Satsabhara Polisi di Polres Klaten (Wawancara, 9 April 2018) mengatakan bahwa dukungan berupa kepedulian antar rekan kerja dan kenaikan gaji dari instansi dapat membantu menurunkan tingkat stres dalam bekerja. Selain itu, bentuk nasehat, saran dan rasa keanggotaan juga dapat mengurangi stres kerja anggota. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan anggota mendapatkan perhatian kesejahteraan hidup yang lebih dari rekan kerja dan instansi.

Selain itu, Sarafino (2008) juga mengungkapkan bahwa seseorang dengan dukungan sosial rendah atau menerima dukungan tidak sesuai yang dibutuhkan maka dapat berdampak pada ketidakberkurangnya tekanan atau stres yang dialami seseorang. Menurut Matterson dan Ivancevich (dalam Priansa dan Suwatno, 2011) seseorang yang tidak mendapatkan dukungan sosial yang memadai dalam menjalankan pekerjaan dengan beban kerja berlebihan dapat menimbulkan stres kerja. Robbins dan Judge (2008) juga menyatakan bahwa tidak adanya dukungan dari kolega serta buruknya hubungan antar pribadi dapat menyebabkan stres dalam bekerja. Terutama pada individu yang memerlukan kebutuhan sosial yang tinggi.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, hasil wawancara preliminary dan media massa, maka penelitian mengenai hubungan antara dukungan sosial dan stres kerja pada anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten ini penting dan mendesak untuk dilakukan. Hal tersebut dikarenakan adanya masalah mengenai stres kerja pada anggota Satsabhara Polisi di Polres

Klaten yang ditandai dengan munculnya gejala perilaku, fisik dan psikologis. Hal tersebut diduga muncul dikarenakan minimnya dukungan sosial yang diterima pada anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten. Selain itu, penelitian ini juga dilandaskan pada hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa dukungan sosial (variabel independen) menjadi salah satu penentu dari kondisi stres kerja (variabel dependen). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan berfokus pada karyawan, perawat, anak buah kapal dan polisi secara umum. Maka dengan itu, penelitian ini juga penting untuk dilakukan pada konteks anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten. Hal tersebut dilandaskan dengan minimnya penelitian yang berfokus pada anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten mengenai hubungan dukungan sosial dan stres kerja. Maka dengan itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara dukungan sosial dan stres kerja pada anggota kepolisian khususnya anggota Satsabhara Polisi di Polres Klaten.

Dokumen terkait