• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini adalah tentang perilaku penggunaan handphone (HP) pada mahasiswa. Fenomena ini menarik bagi peneliti karena setidaknya tiga alasan, yakni peneliti merasa prihatin melihat beberapa dari mahasiswa saat ini yang menggunakan HP sesuka hati, di mana pun dan kapan pun. Kedua, peneliti mencemaskan perilaku penggunaan HP peneliti yang kurang bijak, sehingga sering menyalahkan diri sendiri. Ketiga, topik ini merupakan bagian dari usaha peneliti untuk meningkatkan kesadaran teman-teman peneliti terkait penggunaan HP yang disfungsional. Adapun ketiga alasan peneliti di atas dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, peneliti sering bertemu dengan mahasiswa yang sedang menggunakan HP yang dimiliki sekalipun saat sedang belajar di kelas, perpustakaan, berjalan kaki, ibadah di gereja, atau dalam suatu perkumpulan. Hal ini kemudian menimbulkan rasa prihatin peneliti karena HP berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan atau mengganggu aktivitas mahasiswa. Misalnya, ketika mahasiswa menggunakan HP di kelas khususnya saat pelajaran sedang berlangsung, mahasiswa mungkin tidak dapat menangkap pelajaran yang disampaikan dengan baik. Tentu saja hal ini tidak diharapkan terjadi. Harapannya, setiap mahasiswa dapat menerima materi pelajaran yang disampaikan guna memiliki performa akademik yang baik. Begitu juga saat

sedang ibadah atau sedang dalam suatu perkumpulan, belajar, dan berjalan kaki. Pada dasarnya HP merupakan alat yang bermanfaat karena dapat menjadi alat bantu untuk memudahkan pekerjaan individu. Sehingga, tidak heran jika individu merasa ingin terus menggunakan HP. Namun, peneliti setuju dengan Billieux (2012) yang mengatakan bahwa salah satu masalah terpenting dari penggunaan HP adalah jika hal itu menjadi berlebihan atau tidak terkendali yang mana hal ini berpotensi menimbulkan konsekuensi dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, peneliti merasa cemas karena beberapa kali terlibat dalam penggunaan HP lebih dari batas waktu yang peneliti targetkan. Dalam situasi di mana seharusnya peneliti menyelesaikan tugas atau mengerjakan suatu pekerjaan, hal ini seringkali menjadi tidak produktif. Akibatnya, tugas-tugas yang perlu dikerjakan menjadi tertunda atau membutuhkan waktu lebih untuk menyelesaikannya. Situasi tersebut juga sering membuat peneliti merasa menyesal dan terus menyalahkan diri sendiri karena keasyikan dalam menggunakan HP, meski begitu perilaku tersebut tetap saja berulang di hari berikutnya. Melalui topik penelitian ini, menarik bagi peneliti untuk menambah pengetahuan mengenai proses atau faktor-faktor yang memengaruhi perilaku penggunaan HP dan menemukan solusi agar peneliti dapat menggunakan HP dengan bijak.

Ketiga, peneliti tertarik untuk menyoroti fakta melalui penelitian ini bahwa terlepas dari efek positif yang diberikan, penggunaan HP juga terkait dengan perilaku disfungsional yang bisa merugikan atau berbahaya. Misalnya,

rekan peneliti mengaku bahwa HP seringkali menjadi pengganggu untuk menyelesaikan kegiatannya, seperti mengerjakan skripsi, mandi, makan, atau membersihkan kamar. Pengakuan dari beberapa teman peneliti tersebut menimbulkan rasa empati peneliti. Sehingga, peneliti berharap topik penelitian ini dapat membantu meningkatkan kesadaran teman-teman peneliti mengenai perilaku penggunaan HP yang mungkin merugikan atau berbahaya bagi diri sendiri serta menemukan solusi untuk penggunaan HP yang lebih bijak.

Saat ini HP telah menjadi sebuah alat yang keberadaannya makin dibutuhkan masyarakat (Tarigan dan Simbolon, 2017). Berdasarkan Dream Incubator Marketing (Kaonang, 2016) yang telah melakukan survei terdahulu mengenai perilaku penggunaan HP pada individu dari semua kelompok usia ditemukan bahwa mengakses media sosial dan chatting merupakan aktivitas yang paling digemari oleh semua kelompok usia. Selanjutnya diikuti dengan mendengarkan musik, menonton video, mengecek email, panggilan telepon, bermain, mengambil foto, membaca berita, melihat informasi suatu produk, melihat peta atau sistem navigasi, mengedit foto, berbelanja, dan mengakses e-banking. Hal ini menunjukkan bahwa individu sering menggunakan HP.

Berdasarkan hal tersebut, akhir-akhir ini peneliti melihat adanya fenomena terkait dengan penggunaan HP yang terjadi di masyarakat. Pertama, mahasiswa menggunakan HP di kelas. Kedua, mahasiswa asyik menggunakan HP hingga cenderung mengabaikan orang sekitar. Ketiga, mahasiswa menggunakan HP lebih dari yang seharusnya sebagai suatu pengalihan. Keempat, siswa terlibat kecanduan HP.

Pertama, sebuah survei yang dilakukan oleh Satriani (2013) ditemukan bahwa saat ini mahasiswa suka menggunakan HP di dalam kelas. Saat di mana seharusnya mahasiswa mendengarkan penjelasan dosen mereka justru melakukan pengiriman teks, mengecek email, mengakses media sosial, atau bermain game dan hal ini dilakukan rata-rata 11 kali dalam satu hari. Seakan-akan beraktivitas dengan HP di dalam kelas telah menjadi hal yang wajar untuk dilakukan. Padahal jika terus-menerus dilakukan hal ini dapat mengganggu konsentrasi mahasiswa di kelas. Seperti pengakuan beberapa mahasiswa yang telah disebutkan oleh Satriani (2013) bahwa penggunaan HP di dalam kelas mengakibatkan mereka kurang berkonsentrasi atau kurang memperhatikan pelajaran dan kehilangan informasi. Bahkan yang lebih bahaya adalah mengalami penurunan nilai akibat perilaku tersebut (Satriani, 2013). Survei ini sejalan dengan Lepp, Barkley, dan Karpinski (2014) yang mengatakan bahwa semakin mahasiswa menggunakan HP mereka akan cenderung mengalami penurunan nilai akademik dan hal ini justru meningkatkan kecemasan, serta kepuasan terhadap hidupnya menjadi berkurang karena waktu mereka hanya dihabiskan untuk menggunakan HP. Kepuasan hidup mahasiswa juga dapat mengalami penurunan karena bagi mahasiswa salah satu indikator kepuasan hidup adalah prestasi akademik (Lepp et al., 2014).

Kedua, mahasiswa asyik menggunakan HP hingga cenderung mengabaikan orang sekitar. Dalam observasi yang dilakukan oleh Ningrum, Aziwarti, dan Rahmadani (2016) ditemukan bahwa mahasiswa sering menghabiskan waktunya dengan HP dan tampak selalu sibuk dengan HP yang

dimiliki hingga cenderung mengabaikan orang di sekitarnya. Hal ini didukung oleh fakta dari seorang mahasiswa yang mengungkapkan keluhannya mengenai perilaku teman-temannya yang ketika berkumpul justru asyik dengan HP masing-masing (Tarigan dan Simbolon, 2017). Padahal, sebelum ada HP individu dapat dengan mudah untuk saling menyapa dan berinteraksi ketika bersama. Perilaku penggunaan HP saat ini menjadi fenomena yang dikaitkan dengan penurunan kualitas hubungan antar manusia (Billieux, Linden, Acremont, Ceschi, dan Zermatten, 2007) di mana, individu terus-menerus sibuk menggunakan HP hingga cenderung mengabaikan orang yang ada di sekitarnya (Plant, 2001). Hal ini menunjukkan relasi yang kurang sehat.

Ketiga, mahasiswa menggunakan HP lebih dari yang seharusnya sebagai pengalihan. Hasil wawancara awal peneliti menemukan bahwa seorang rekan peneliti mengaku sering terlibat dalam penggunaan HP dengan jangka waktu lebih lama dari yang ditargetkan, yang kemudian menunda untuk mengerjakan tugas.

Aku sering banget itu kalo lagi ngerjain tugas yang sulit aku lariinnya ke HP, trus aku ngecek-ngecek HP bisa sampe sejam sendiri dan ngerjain tugas hanya sepuluh sampe lima belasan menit kayaknya, padahal ya tadinya mau sekedar ngecek aja di HP tapi malah sampe ke bablasan akhirnya ketunda deh selesainya (wawancara dengan R, 5 Januari 2018)

Hal ini menunjukkan bahwa individu melakukan penangan emosi negatif yang bersifat sementara. Carver dan Connor-Smith (2010) mengatakan penggunaan HP sebagai cara menangani emosi negatif cenderung menjadi

kurang efektif, karena hanya bersifat sementara waktu dan tidak memengaruhi tekanan yang dihadapi sehingga tekanan akan tetap ada. Bahkan, semakin lama individu menghindar justru akan semakin sulit menanganinya dan semakin sedikit waktu yang tersedia untuk menanganinya.

Keempat, baru-baru ini dua pelajar di Bondowoso, Jawa Timur didiagnosa mengalami gangguan jiwa akibat kecanduan HP (Widarsha, 2018). Seperti yang dikatakan oleh Widarsha, dua pelajar tersebut menunjukkan perilaku tidak mau ke sekolah karena tidak diizinkan menggunakan HP, bahkan salah seorang pelajar tersebut sampai membentur-benturkan kepalanya ke tembok jika tidak diberi HP. Lebih parahnya lagi, hasil psikotest salah seorang pelajar tersebut menunjukkan bahwa figur yang paling dibenci adalah orang tuanya sendiri. Hal ini karena orang tuanya dianggap menjadi penghalang untuk menggunakan HP. Hal ini menunjukkan adanya masalah kesehatan mental.

Berdasarkan empat poin fenomena di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat saat ini telah menunjukkan perilaku bermasalah terkait dengan penggunaan HP. Bentuk perilaku tersebut dapat dikategorikan sebagai perilaku ketergantungan HP (Billieux, 2012).

Pada dasarnya HP memang merupakan alat yang bermanfaat dan memudahkan individu dalam beraktivitas (Billieux, 2012). Namun pada kenyataannya, saat ini penggunaan HP telah dikaitkan dengan ketergantungan HP (Billieux, 2012). Hal ini didukung oleh Bianchi dan Phillips (2005), Liao,

He, dan Billieux (2016), Toda, Monden, Kubo, dan Morimoto (2004), Yen et al., (2009) yang sebelumnya telah meneliti mengenai ketergantungan HP.

Ketergantungan HP penting untuk diteliti mengingat bahwa ketergantungan dapat berdampak negatif bagi penggunanya (Billieux, 2012). Seperti yang diungkapkan oleh penelitian sebelumnya, ketergantungan berpotensi mengganggu kualitas tidur individu menjadi semakin buruk (Putri, 2018). Selain itu, berpotensi terhadap penurunan nilai akademik (Gi, Park, Kyung, dan Park, 2016), berpotensi terhadap penurunan kesehatan seperti sakit kepala, telinga, demam, kelelahan dan terkait muskuloskeletal (Goswami dan Singh, 2016).

Ketergantungan HP merupakan salah satu dari empat dimensi problematic use of mobile phone yang dikemukakan oleh Billieux (2012). Menurut Kuss et al., (2018), refleksi teoretis tidak lagi mengusulkan financial problems sebagai dimensi dari problematic use of mobile phone karena perkembangan HP yang telah memberikan banyak manfaat, seperti fitur WhatsApp dan Skype yang dapat memfasilitasi komunikasi dengan sedikit biaya bagi pengguna. Selain itu, perkembangan HP saat ini juga telah menyediakan fitur navigasi berkualitas tinggi dan permainan berbasis lokasi yang nyata (misalnya, Pokémon-GO) sehingga cenderung mengubah kemungkinan risiko terkait dengan dimensi dangerouse use dan prohibited use. Sehingga, dalam penelitian ini peneliti hanya akan berfokus pada dimensi ketergantungan HP karena dimensi ketergantungan juga masih perlu untuk ditindak lanjuti melalui penelitian, mengingat banyak individu yang merasa

mengalami ketergantungan HP (Kuss et al., 2018). Dimensi ketergantungan HP ini mengacu pada kriteria ketergantungan zat dalam DSM-IV-TR.

APA (2000) mendefinisikan ketergantungan sebagai suatu kondisi individu dengan gejala kognitif, perilaku, dan fisiologis di mana individu terus menggunakan HP terlepas dari berbagai masalah yang disebabkan oleh penggunaan HP tersebut. Hal ini berarti, terdapat berbagai masalah dalam penggunaan HP individu. Ketergantungan dapat terjadi dalam tujuh karakteristik yang dialami dalam masa satu tahun sebelumnya yakni tolerance, withdrawal, use more frequent or for longer than intended, relapse, overuse, reduce activities, dan continues use (American Psychiatric Association, 2000).

Individu dengan ketergantungan cenderung tidak pernah pergi tanpa membawa HP bahkan ketika ia lupa, ia akan mengambilnya (Kuss, Harkin, Kanjo, dan Billieux, 2018). Individu juga ditandai dengan penggunaan HP yang lebih sering serta durasi penggunaan yang lebih lama dari waktu yang ditentukan.

Fenomena dan penelitian tentang ketergantungan HP di atas memperlihatkan bahwa individu dengan ketergantungan pada HP tampaknya memiliki kesulitan dalam berkonsentrasi pada tugas yang sulit serta kurang mampu mempertimbangkan konsekuensi dari tindakannya. Kedua asumsi ini merupakan bagian dari impulsivitas. Sehingga peneliti menduga ada hubungan antara impulsivitas dan ketergantungan pada HP.

Hal ini didukung oleh Billieux Linden, D’Acremont, Ceschi, dan Zermatten (2007) serta Billieux, Linden, dan Rochat (2008) yang menunjukkan

bahwa meningkatnya impulsivitas cenderung membuat individu mengalami masalah dalam menunda penggunaan HP yang dimiliki yang mengarah pada ketergantungan, terutama dalam kondisi negatif.

Beberapa penelitian sebelumnya telah mengaitkan ketergantungan dengan regulasi diri (Deursen, Bolle, Hegner, dan Kommers, 2015), ekstraversi dan neurotisme (Bianchi dan Phillips, 2005), loneliness dan shyness (Bian dan Leung, 2014), serta impulsivitas (Billieux et al., 2007; 2008). Penelitian ini akan berfokus pada impulsivitas. Hal ini karena beberapa penelitian telah sering menunjukkan bahwa impulsivitas terlibat dalam berbagai keadaan psikologis terkait dengan ketergantungan seperti penggunaan alkohol (Whiteside dan Lynam, 2003) dan gangguan makan (Billieux et al., 2007).

Secara umum, impulsivitas merupakan tindakan cepat yang tidak direncanakan yang mengarah pada perilaku tanpa berpikir dan kecenderungan untuk bertindak tanpa rencana (Sediyama et al., 2017). Impulsivitas terdiri dari empat dimensi yang menunjukkan impulsivitas memiliki kecederungan tinggi atau rendah, yakni urgency, premeditation, perseverance, dan sensation seeking (Whiteside dan Lynam, 2001, 2003; Whiteside, Lynam, Miller, dan Reynolds, 2005).

Penelitian mengenai impulsivitas dan ketergantungan HP telah dilakukan di Indonesia. Namun, peneliti belum menemukan kajian yang secara persis meneliti tentang keduanya. Berkenaan dengan impulsivitas, penelitian yang sering dilakukan adalah terkait perilaku pembelian (Danti, 2016; Elga, 2017; Henrietta, 2012; Lestari, 2017; Renanita, 2017) di mana perilakunya

dilakukan tanpa pertimbangan dan disertai respon emosi yang kuat. Sedangkan, penelitian mengenai ketergantungan HP ada yang dikaitkan dengan stres akademik (Karuniawan dan Cahyanti, 2013), kualitas tidur (Hidayat dan Mustikasari, 2014; Putri, 2018), kecemasan (Palupi, Sarjana, dan Hadiati, 2018), serta produktivitas kerja (Riani, 2016). Sementara itu, penelitian yang secara persis mengulas terkait impulsivitas dan ketergantungan pada HP telah dilakukan di luar Indonesia (Billieux et al., 2007, 2008). Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai impulsivitas dan ketergantungan HP pada mahasiswa di Indonesia.

Perilaku penggunaan HP pada mahasiswa tidak lepas dari peran orang tua, organisasi kesehatan mental, serta ilmuwan dan praktisi psikologi. Pertama, terkait dengan peran orang tua, Arnett (2015) telah mengatakan bahwa mahasiswa bertumbuh dengan berkembangnya teknologi, terutama HP atau yang disebut sebagai digital natives. Dengan kata lain HP telah ada sejak mahasiswa masih bayi. Orang tua yang berperan memberikan kebebasan pada anak tanpa pendampingan untuk menjelaskan mengenai kegunaan HP, mengarahkan penggunaan HP sebagai media belajar, serta memberikan informasi dampak positif dan negatif menggunakan HP berpotensi membuat anak menjadi ketergantungan (Zulfitria, 2017). Sehingga, tambahan pengetahuan mengenai topik ini penting bagi orang tua karena dapat memberikan gambaran mengenai perilaku ketergantungan pada anak guna memberikan pendampingan lebih dini terhadap anak.

Kedua, terkait dengan peran organisasi kesehatan mental, seperti Indonesia Mental Health Care Foundation. Rarung (2015) telah mengatakan bahwa umumnya organisasi kesehatan memiliki tujuan untuk menyusun dan melaksanakan suatu program atau kebijakan guna meningkatkan derajat kesehatan di masyarakat. Hal ini berarti, organisasi kesehatan mental memiliki peran untuk andil dalam memberikan suatu kebijakan terkait dengan kesehatan mahasiswa. Kebijakan ini penting bagi perilaku ketergantungan HP pada mahasiswa. Sehingga, tambahan pengetahuan ini penting bagi organisasi kesehatan mental guna memahami ketergantungan HP pada mahasiswa. Akan sangat baik jika pihak organisasi kesehatan mental di Indonesia dapat memberikan arah dan kebijakan dalam penanganan ketergantungan terkait dengan kesehatan mahasiswa, tidak bergantungnya mahasiswa terhadap HP memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk terhindar dari berbagai konsekuensi yang merugikan atau senantiasa hidup bahagia.

Terakhir, ilmuwan dan praktisi psikologi di Indonesia berperan dalam kesejahteraan individu salah satunya dengan memberikan penanganan terkait kesehatan mental secara individual (Idham, Mubarok, dan Pratiwi, 2016). Hal ini bertujuan untuk mengatasi masalah yang dialami individu. Ilmuwan dan praktisi psikologi dapat terjun membaur dengan individu untuk secara langsung mengetahui betul permasalahan yang terjadi. Pengetahuan tersebut penting untuk pemahaman akan perilaku penggunaan HP pada mahasiswa. Sehingga, tambahan pengetahuan mengenai topik ini penting untuk melengkapi topik penelitian mengenai faktor-faktor psikologis ketergantungan pada HP di

Indonesia yang masih terbatas. Penelitian yang sudah dilakukan misalnya terkait stres akademik dan ketergantungan HP (Karuniawan dan Cahyanti, 2013), serta harga diri dan ketergantungan HP (Mulyana dan Afriani, 2017). Dengan demikian, topik ini dapat memberikan kontribusi teoretis mengenai impulsivitas dan ketergantungan HP, khususnya pada mahasiswa.

Dokumen terkait