• Tidak ada hasil yang ditemukan

Setiap pemilihan apapun yang akan berlangsung, selalu ada cara menilai sang petarung yang siap naik panggung. Salah satu isu yang sering menjadi hangat adalah isu kesukuan. Dalam setiap pemilihan, isu kesukuan tersebut tiba-tiba menguat dan sangat kental dalam diri sebagian calon pemilih (voters). Rasa yang muncul dari pandangan pertama atau dari kesamaan tempat asal dan dimana dibesarkan. Baik disadari penuh atau hanya setengah-setengah. Kesukuan adalah salah satu bagian kecil dari primordialisme disamping isu kepercayaan, adat istiadat, tradisi dan sebagainya.

Kaitannya dengan pemilihan, sudut pandang kesukuan lebih ditentukan seberapa besar intensitas kebersamaan di antara mereka atau dikaitkan dengan jarak yang lebih dekat. Apabila sejumlah calon yang akan bertarung, terdapat beberapa orang yang memiliki suku yang sama. otomatis pemilih yang berlatar berlakang suku yang sama akan mencari sesuatu atau kesamaan yang lebih dekat lagi. Siapa sosok calon yang benar-benar terasa dekat, baik hubungan darahnya, tempat tinggalnya, dan sebagainya. Mencocokkan diri dari hal general kepada hal yang lebih spesifik, dan minus dalam mencocokkan dalam hal kompetensi, kapabilitas serta integritas.

Istilah etnik atau yang diterjemahkan ke dalam istilah suku-bangsa, berasal dari perkataan Yunani Eovikos yang ertinya heathen, yaitu penyembah berhala atau sebutan bagi orang yang tidak ber-Tuhan. Sementara itu, istilah itu sendiri dalam bahasa Yunani berasal dari akar kata eOvos (’ethnos’) yang diterjemahkan sebagai nation atau bangsa, yaitu suatu istilah yang lazim dipakai untuk menunjuk pada bangsa-bangsa yang bukan Israel. Dengan kata lain, menurut the Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, ada dua pengertian yang terkandung dalam istilah ethnic, (a) menunjuk kepada bangsa-bangsa yang non Kristian atau non Yahudi dan (b) menunjuk kepada bangsa yang masih menyembah berhala. Dalam pengertian berkiutnya, istilah ethnic dikenal luas setelah dipakai secara resmi oleh suatu Ethnological Society, yaitu suatu lembaga yang didirikan di Landon pada 1843, Seterusnya tahun 1848 di Paris ditubuhkan pula institusi serupa yaitu Societe Ethnologique de Paris. Di New York institusi serupa juga sudah ada sejak 1842 yang dipanggil American Ethnological Society.1

Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas. Misalnya etnik Cina, etnik Arab, dan etnik Tamil-India. Perkembangan belakangan, istilah etnik juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnik Bugis, etnik Minang, etnik

1

http://sosbud.kompasiana.com/2014/02/03/kecenderungan-isu-kesukuan-primordialisme-dalam-pemilu-629112.html.diakses19/7/2014

Dairi-Pakpak, etnik Dani, etnik Sasak, dan ratusan etnik lainnya. Akhir-akhir ini istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi dengan keprimitifan (suku dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai ‘tribe’), sedangkan istilah etnik dirasa lebih netral. Istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Dalam hal ini keduanya akan digunakan secara bergantian tergantung konteksnya. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.

Sebuah kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah. Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi suatu etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnik tersebut. Pada saat anggota kelompok etnik melakukan migrasi, sering terjadi keadaan dimana mereka tercerabut dari akar budaya etniknya karena mengadopsi nilai-nilai baru. Demikian juga dengan bahasa, banyak anak-anak dari anggota kelompok etnik tertentu yang merantau tidak bisa lagi berbahasa etniknya. Akan tetapi mereka tetap menganggap diri sebagai anggota etnik yang sama dengan

orangtuanya dan juga tetap diakui oleh kelompok etnikya. Jadi, keanggotaan seseorang pada suatu etnik terjadi begitu saja apa adanya, dan tidak bisa dirubah. Tidak bisa seorang etnis Sunda meminta dirubah menjadi etnis Bugis, atau sebaliknya. Meskipun orang bisa saja memilih untuk mengadopsi nilai-nilai, entah dari etniknya sendiri, dari etnik lain, ataupun dari gabungan keduanya.

Merujuk kepada Barker bahawa etnisitas, ras dan kebangsaan merupakan “titik simpul” identitas yang paling menetap dimasyarakat barat moden. Seterusnya bahwa Etnisitas merupakan suatu konsep budaya yang berintikan penganutan norma, nilai, keyakinan, symbol, dan praktik budaya bersama. Etnisitas merupakan suatu konsep relasional yang terkait dengan kategori-kategori identifikasi diri dan askripsi social. Apa yang kita pikir sebagai identitas kita tergantung pada apa yang kita pikir bukan identitas kita. Etnisitas lebih tepat dipahami sebagai proses penciptaan batas-batas yang disusun dan dipertahankan dalam kondisi-kondisi sosiohistoris tertentu.2

Semenjak era reformasi, demokrasi yang diusung mengarah pada demokrasi partisipatif atau langsung, salah satunya karena banyak pejabat politik yang tidak melakukan tanggung jawabnya dengan baik, sehingga legitimasi mereka lemah. Di sisi lain memunculkan ketidakpercayaan rakyat pada penguasa mendorong rekrutmen pejabat politik ke arah demokrasi langsung. Sehingga tidak mengherankan bila rekrutmen hampir semua jabatan politik dilaksanakan dalam format demokrasi yang bergerak pada hubungan negara dan warga negara secara

2

langsung. Fase demokrasi langsung ini merupakan era baru reformasi politik di Indonesia yang pertama kali digelar sejak kemerdekaan Indonesia.

Pemilihan umum ialah salah satu syarat dalam era demokrasi, dimana pemilihan umum merupakan ajang partai politik bertarung serta memberi kesempatan atau peluang untuk menduduki Eksekutif dan Legislatif. Bagi suatu negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi maupun yang membangun proses demokrasi, partai politik menjadi sarana demokrasi yang bisa berperan sebagai penghubung antara rakyat dan pemerintah. Pembentukan partai politik berdasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi, yakni pemerintahan yang dipimpin oleh mayoritas melalui pemilihan umum. Untuk menciptakan pemerintahan yang mayoritas, diperlukan partai-partai yang dapat digunakan sebagai kendaraan politik untuk ikut dalam pemilihan umum. Bagi J Kristiadi, pemilu demokratis adalah perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elit atau pergantian kekuasaan dapat dilakukan secara damai dan beradab.

Pemilihan umum untuk memilih calon anggota legislatif di Kab. Langkat yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 dapat dikatakan berjalan tanpa mengalami hambatan yang terlalu berarti. Semua proses dari awal dibukanya tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari lima dapil yang ada hingga pencatatan hasil akhir pilihan masyarakat terhadap calon anggota legislatif tidak didapati penyelewangan seperti yang terjadi di beberapa daerah lain. Adapun yang tidak luput dari perhatian adalah yang menjadi pemenang adalah caleg Golkar yang

mempunyai latar belakang suku yang berbeda dengan suku asli yang ada di daerah tersebut.

Dari data di atas dapat kita lihat bahwa yang lebih banyak memenangkan perebutan kursi legislative di Kab. Langkat ialah caleg yang bersuku batak karo, kemudian menyusul suku jawa, suku batak mandailing, dan terakhir suku melayu yang notabene adalah penduduk asli di Kab. Langkat. Seharusnya yang terjadi adalah suku melayu yang merupakan penduduk asli di daerah tersebut menang dikarenakan daerah tersebut merupakan daerah yang sudah mereka tinggali lama dan daerah tersebut juga merupakan daerah asli mereka. Namun yang terjadi adalah yang sebaliknya, dimana suku asli ternyata tidak mampu bersaing dengan suku-suku pendatang lain yang menempatkan calegnya di ajang pemilihan umum untuk memilih calon anggota legislative di Kab. Langkat.

Berdasarkan hasil SP2000 penduduk Kab. Langkat mayoritas bersuku bangsa jawa (56,87 %), diikuti dengan suku melayu (14,93%), Karo (10,22%), Tapanuli atau Toba (4,5%), Madina (2,54%), dan lainnya (10,94%).3

3

BPS Kab. Langkat, 2010

Dengan besarnya jumlah penduduk pendatang dengan latarbelakang kesukuan yang ada di Kab. Langkat, maka rasa saling memiliki dan kesamaan yang terdapat di dalam daerah tersebut pun semakin terasa. Oleh karena itu apakah indikasi kesamaan suku yang melekat di dalam diri caleg dengan suku yang melekat di dalam masyarakat pendatang yang akhirnya membuat caleg tersebut dapat menang di Kab. Langkat ataukah masyarakat asli yang bersukukan melayu, yang memang

jumlahnya semakin sedikit yang menyebabkan caleg yang datang dari penduduk asli menjadi kalah dalam perebutan kursi kekuasaan yang ada di daerah tersebut.

Hubungan antara kesukuan dengan kemenangan suatu caleg di suatu daerah membuat ketertarikan bagi penulis untuk meneliti lebih lanjut bagaimana hubungan antara dua variable ini sehingga seorang caleg yang mempunyai kesamaan suku dengan pemilihnya dapat memang di dalam pemilihan umum untuk memilih anggota legislative di suatu daerah.

Dokumen terkait