• Tidak ada hasil yang ditemukan

I.5. Kerangka Teori I Teori Etnisitas I Teori Etnisitas

I.5.2. Perilaku Pemilih

Perilaku pemilih masyarakat adalah aspek yang sangat penting yang menunjang keberhasilan suatu pelaksanaan pemilihan umum. Perilaku pemilih dapat didefinisikan sebagai salah satu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pemilihan itu.17

Perilaku pemilih merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Secara umum teori tentang perilaku memilih dikategorikan kedalam dua kubu yaitu ; Mazhab

17

Colombia dan Mazhab Michigan.18

Penganut pendekatan ini percaya bahwa masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar sosial yang berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama, kelas (status sosial), pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku memilih. Oleh karena itu preferensi pilihan terhadap suatu partai politik merupakan suatu produk dari karakteristik sosial individu yang bersangkutan.

Mazhab Colombia menekankan pada faktor sosiologis dalam membentuk perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan di pemilu.Model ini melihat masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas.

19

18

http://www./2home.sol.no/-hmelberg/papers/950520. 29 /05/2014

Pengaruh isu yang ditawarkan bersifat situasional (tidak permanent/berubah-ubah) terkait erat dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, politik, hukum, dan keamanan khususnya yang kontekstual dan dramatis. Sementara itu dalam menilai seorang kandidat menurut Him Melweit, terdapat dua variabel yang harus dimiliki oleh seorang kandidat. Variabel pertama adalah kualitas instrumental yaitu tindakan yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat apabila ia kelak menang dalan pemilu. Variabel kedua adalah kualitas simbolis yaitu kualitas keperbadian kandidat yang berkaitan dengan integrasi diri, ketegasan, kejujuran, kewibawaan, kepedulian, ketaatan pada norma dan aturan dan sebagainya.

Terdapat beberapa daerah/wilayah yang merupakan kumpulan komunitas masyarakat yang terbentuk atas dasar sistim kekerabatan dan paguyuban berdasarkan keturunan (gemeinschaft by blood), dan yang menjadi pemuka masyarakat tersebut berasal dari keluarga / kerabat asli keturunan dari orang yang dipandang terkemuka dari segi sosial ekonomi atau terkemuka karena ketokohannya, sehingga warga masyarakat seringkali menyandarkan diri dan sikapnya terhadap pemuka/tokoh masyarakat tersebut. Sikap ini mencerminkan adanya dominasi ketokohan yang berperan untuk menentukan sikap dan perilaku serta orientasi warga bergantung pada pemuka masyarakat tersebut. Paternalisme sikap dan perilaku warga masyarakat secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya tidak pernah berubah, meskipun terdapat berbagai perubahan dalam kondisi sosial ekonomi, namun hal tersebut tidak menjadi faktor yang mempengaruhi adanya perubahan sosial budaya masyarakat setempat. Kecenderungan untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam berbagai kehidupan sosial ekonomi, sosial politik maupun sosial budaya, terbatas pada adanya sistem ide atau gagasan dari pemuka masyarakat untuk memodifikasi sistem sosial dan sistem budaya yang sudah mapan dalam kehidupan masyarakat disesuaikan dengan kondisi dan dinamika masyarakat. Faktor ini menjadi kendala bagi kandidat atau calon legislatif untuk menerobos masuk ke dalam komunitas masyarakat tersebut dalam rangka sosialisasi atau sekedar silaturahmi. Jika calon legislatif berhasil masuk ke dalam komunitas masyarakat tersebut, hanya sebatas etika pergaulan masyarakat yaitu menerima setiap tamu yang bersilaturahmi,

tetapi tidak akan mengikuti apa yang diinginkan oleh kandidat/calon legislatif yang bersangkutan.

Komunitas masyarakat yang heterogen cenderung lebih bersifat rasional, pragmatis, tidak mudah untuk dipengaruhi, terkadang memiliki sikap ambivalen, berorientasi ke materi. Sikap dan pandangan untuk memilih atau tidak memilih dalam proses politik lebih besar, sehingga tingkat kesadaran dan partisipasi politiknya ditentukan oleh sikap dan pandangan individu yang bersangkutan, tidak mudah untuk dipengaruhi oleh tokoh atau ikatan primordialisme tertentu. Kondisi sosial masyarakat pada strata demikian diperlukan adanya kandidat / calon yang memiliki kapabilitas yang tinggi baik dari aspek sosiologis ( memiliki kemampuan untuk mudah beradaptasi dengan kelompok masyarakat dan mampu mempengaruhi sikap dan orientasi komunitas masyarakat tersebut), atau popularitas dan reputasi tinggi pada kelompok masyarakat tersebut. Jika hal tersebut mampu dilakukan oleh seorang kandidat, maka sangat terbuka perolehan suara pemilih didapat dari komunitas masyarakat tersebut.

Keterpilihan seorang kandidat idealnya harus memenuhi standar yang diinginkan pemilih, artinya pemilih akan menentukan pilihannya didasarkan atas seberapa besar kontribusi dan partisipasi kandidat terhadap pemilih atau kelompok pemilih. Seberapa besar syarat-syarat kandidat terpenuhi secara umum seperti ; kapabilitas intelektual, kapabilitas kepemimpinan, kapabilitas etika dan moral. Kejelasan tentang visi dan misi serta program yang disampaikan kandidat, apakah pemilih memahami akan visi dan misi dan program yang disampaikan/ dilakukan

seorang kandidat sesuai dengan aspirasi, kebutuhan dan kepentingan masyarakat banyak atau tidak. Jika hal tersebut di atas tidak dipenuhi oleh seorang kandidat, maka pemilih pada suatu saat akan beralih sikap dan orientasinya ke kandidat lain. Isu strategis adalah pokok permasalahan yang harus diperhatikan dan dijawab oleh seorang kandidat. Dinamika masyarakat dewasa ini cenderung lebih rasional dalam menyikapi dan menentukan pilihan, meskipun tidak dipungkiri masih terdapat pemilih yang emosional dan tradisional. Figuritas dan popularitas kandidat di tengah masyarakat menjadi moment penting untuk dijadikan modal dalam mensosialisasikan diri.

Banyak hal yang dapat mempengaruhi pemilih dalam General election, diantaranya Keadaan politik, sosial, ekonomi dan pendidikan, hal ini sangat menentukan prilaku pemilih dalam memberikan suara mereka dalam pemilihan umum. Untuk itulah ada beberapa identifikasi model prilaku pemilih (Voting Behaviour) dalam menentukan pilihaan dalam pemilihan umum yang sering dipakai oleh para sarjana dalam analisanya, seperti yang diungkapakan Achmad Azis dalam kuliah Hukum Tata Negara, yaitu20

20

Achmad Azis. disampaikan dalam kuliah Hukum Tata Negara pada Mei 2009. Fakultas hukum.Universitas Trunojoyo

1. Sosiologycal Model 2. Psicologycal model 3. Ideologycal model 4. Rasional choice

Pertama, Pendekatan Sosiologis menekankan pentingnya beberapa hal yang berkaitan dengan instrument kemasyarakatan seseorang seperti, (i) status sosioekonomi (seperti pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, dan kelas), (ii) etnik, bahkan (iii) wilayah tempat tinggal (misalnya kota, desa, pesisir, ataupun pedalaman).

Beberapa hal ini menurut sarjana yang mengusungnya, Lipset (1960), Lazarsfeld (1968) hanya untuk menyebut beberapa nama, mempunyai kaitan kuat dengan perilaku pemilih. Penelitian mengenai perilaku ini dicetuskan oleh sarjana-sarjana ilmu politik dari University of Columbia (Columbia’s School) yang mengkaji perilaku pemilih pada waktu pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) tahun 1940. Mereka mendapati pola yang mempunyai kaitan erat dengan aspek-aspek tadi.

Pendekatan Kedua disebut dengan pendekatan psikologis, identifikasi kepartaian (party identification) adalah wujud dari sosialisasi politik tersebut, yang bisa dibina orang tua, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya. Sosialisasi ini berkenaan dengan nilai dan norma yang diturunkan orang tua, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lainnya sebagai bentuk penurunan dan penanaman kepada generasi baru. Oleh karena itu, pilihan seorang anak atau pemilih pemula yang telah melalui tahap sosialisasi politik ini tidak jarang memilih partai yang sama dengan pilihan orang tuanya. Bahkan, kecenderungan menguatnya keyakinan terhadap suatu partai akibat sosialisasi ini merupakan impak daripadanya. Untuk kasus terhadap anak-anak, menurut Jaros dan Grant,

identifikasi kepartaian lebih banyak disebabkan pengimitasian sikap dan perilaku anak ke atas sikap dan perilaku orang tuanya.

Ketiga, model prilaku pemilih berdasarkan kecenderungan ideology, model prilaku pemilih yang dipengaruhi oleh latar belakang ideology yang sama biasanya memepertimbangkan pilihannya pada wakil rakyat atau partai politik karena adanya keyakinan dan atau agama yang sama. Banyak partai politik yang mengusung latar belakang ideology, seperti Partai Kebangkitan Bangsa yang lahir setelah masa reformasi. Di Amerika serikat misalnya, penganut agama Kristen Protestan di AS cenderung memilih Partai Republik dibandingkan dengan mereka yang memeluk agama Katolik.

Keempat, pendekatan pilihan rasional yang dipopulerkan oleh Downs (1957) yang mengasumsikan bahwa pemilih pada dasarnya bertindak secara rasional ketika membuat pilihan dalam tempat pemungutan suara (TPS), tanpa mengira agama, jenis kelamin, kelas, latar belakang orang tua, dan lain sebagainya.

Dalam penelitian ini akan di fokuskan menggunakn pendekatan perlaku masyarakat sosiologi, dimana erat hubungannya dalam sebuah kerangka etnisitas yang melekat dalam masyarakat yang mempunyai kesamaan dengan etnisitas yang melekat pada diri caleg yang bertarung untuk memperubutkan kursi sebagai anggota legislative di kabupaten langkat Langkat. Teori perilaku pemilih berdasarkan pendekatan sosiologis sangat berkaitan dengan judul penelitian ini

tentang analisis hubungan etnisitas dengan kemenangan calon legislatif di pemilu legislatif 2014.

I.6. Metodologi Penelitian I.6.1. Jenis Penelitian

Berangkat dari uraian serta penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka dasar di atas, penelitian ini bertumpu pada penelitian kualitatif. Aplikasi penelitian kualitatif ini adalah konsekuensi metologis dari penggunaan metode deskriptif. Penelitian dekriptif adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa sekarang berdasarkan fakta dan data-data yang ada. Penelitian ini untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena.21 Bogdan dan Taylor mengungkapkan bahwa “metode kualitatif” sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deslriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. 22

Secara khusus penelitian deskriptif yang penulis gunakan dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Fakta

Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu objek, dihubungkan dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.

21

Bambang Prasteyo dkk, Metode Penelitian Kuantitatif : Teori dan Aplikasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 42

22

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1994, hal. 3

atau data yang ada dikumpulkan, diklarifikasi dan kemudian akan dianalisa. Pada penelitian deskriptif, penulis memusatkan perhatian pada penemuan fakta-fakta sebagaimana keadaan yang sebenarnya ditemukan. Karena itu dalam penelitian ini, penulis mengembangkan konsep dan menghimpun berbagai fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa.23

Penelitian ini juga akan menambah beberapa artikel yang berasal dari keputakaan untuk menambah pengetahuan yang berkaitan dengan daerah dan karakteristik masyarakat di Kab. Langkat. Kemudian menambahkan denagn berbagi teori yang telah diperoleh, sehingga tercipta suatu hasil yang dapat menunjukkan hubungan antara kesukuan dengan kemenangan yang diperoleh Dalam melakukan penelitian nantinya penulis akan menggunakan tehnik wawancara kepada beberapa tokoh masyarakat yang dianggap mampu mengartikulasikan berbagi kepentingan dalam penulisan penelitian ini. Adapun yang akan diwawancarai ialah para tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh didalam kesukuan disetiap daerah di Kab. Langkat, sehingga penulis dapat melihat bagaimana terjadinya proses kemenangan suatu caleg di Kab. Langkat yang berhubungan dengan kesukuan yang melekat pada caleg tersebut dan masyarakatnya, dimana seperti yang sudah dijelaskan diawal bahwa daerah tersebut merupakan daerah dari penduduk asli yang identitas kesukuannya ialah melayu, namun yang memperoleh suara terbanyak bukan merupakan dari kesukuan penduduk yang ada di aerah tersebut.

23

caleh di Kab. Langkat pada pemilu legislative yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 yang lalu.

Dokumen terkait