• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

1.1. Latar Belakang

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang mampu menciptakan makna bagi dunianya melalui adaptasi ataupun interaksi. Pola interaksi merupakan suatu cara, model, dan bentuk-bentuk interaksi yang saling memberikan pengaruh dan mempengaruhi dengan adanya timbal balik guna mencapai tujuan. Tanpa adanya interaksi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain.

Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya. Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar perorangan, antar kelompok manusia dan antar orang dengan kelompok masyarakat. Interaksi terjadi apabila dua orang atau kelompok saling bertemu

11 dan pertemuan antara individu dengan kelompok dimana komunikasi terjadi diantara kedua belah pihak (Yulianti, 2003: 191).

Adaptasi dan interaksi merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi (Gerungan,1991:55). Adaptasi sering dibaurkan dengan penyesuaian. Oleh karenanya adaptasi tentu merupakan bagian dari rangkaian usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respons terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal. Adaptasi dilakukan ketika terjadi suatu ketidakseimbangan dalam suatu situasi dan kondisi (keadaan atau sistem). Ketidakseimbangan terjadi akibat interaksi manusia dengan lingkungan, tuntutan lingkungan yang berlebih atau kebutuhan yang tidak sesuai dengan situasi lingkungan.

Tuntutan meraih pendidikan berkualitas merupakan salah satu faktor yang mendorong mahasiswa bermigrasi dari satu daerah ke daerah lain. Tetapi, migrasi yang terlalu jauh jaraknya serta memiliki atmosfer budaya dan sosial yang sangat jauh berbeda dengan daerah asal kelahiran akan membuat adaptasi dan interaksi semakin berkembang. Salah satunya adalah mahasiswa asal Papua yang berada di Kota Medan.

Papua merupakan sebuah pulau yang terletak di ujung timur Indonesia. Namun, di pulau ini tidak hanya diisi oleh bagian Negara Republik Indonesia saja, tetapi ada negara lain yang menjadi satu pulau dengan Papua yaitu Papua Nugini

12 atau East New Guinea yang berada di sebelah timur Papua Indonesia. Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, namun sejak tahun 2003 dibagi menjadi dua provinsi di mana bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Provinsi ini memiliki berbagai macam suku yang mendiami provinsi tersebut diantaranya adalah suku asmat, dani, biak, komoro, dan sebagainya.

tanggal 23 Januari 2015 pukul 18.00).

Masyarakat Papua yang mendiami daerah pesisir lebih terbuka terhadap adanya pengaruh dari luar, sudah sejak lama ujung barat laut Irian dan seluruh pantai utara penduduknya dipengaruhi oleh penduduk dari Kepulauan Maluku (Ambon, Ternate, Tidore, Seram, dan Key), maka adalah tidak mengherankan apabila suku-suku bangsa disepanjang pesisir pantai (Fak-Fak, Sorong, Manokwari dan Teluk Cenderawasih) lebih terbuka menerima pengaruh dari luar. Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakatnya, dapat dikatakan beraneka ragam, beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi yaitu suku-suku di Pantai Selatan Irian yang lebih dikenal sebagai Suku Asmat. Selain itu dari segi bahasa digolongkan kedalam kelompok bahasa Melanesia dan diklasifikasikan dalam 31 kelompok bahasa dimana jumlah pemakai bahasa tersebut sangat bervariasi mulai dari puluhan orang sampai puluhan ribu orang.

Kemudian, jika dilihat dari perkembangan pendidikan di daerah Papua, pada masa penjajah, pendidikan mendapat jatah yang cukup besar dalam anggaran pemerintahan Belanda. Akan tetapi pendidikan tidak disesuaikan dengan

13 kebutuhan tenaga kerja disektor perekonomian modern, dan lebih diutamakan nilai-nilai Belanda dan agama Kristen. Pada akhir tahun 1961 rencana pendidikan diarahkan kepada usaha peningkatan keterampilan, tetapi lebih diutamakan pendidikan untuk kemajuan rohani dan kemasyarakatan. Pada tahun 1950-an pendidikan dasar terus dilakukan oleh kedua misi keagamaan tersebut. Pada tahun 1961 tercatat murid yang berasal dari papua belajar di sekolah menengah pertama, belajar diluar negeri, serta ada yang masuk sekolah pertanian maupun sekolah perawat kesehatan. Tahun 2006 mulai terjadi kemunduran pendidikan di daerah Papua mengingat masa Belanda di Papua buku-bukupengajar hingga prabot selalu dipenuhi untuk masyarakat Papua.

diakses pada

tanggal 3 Juni 2015 pukul 14.00 WIB)

Dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Papua masih menjadi provinsi yang tertinggal dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dibandingkan dengan provinsi yang lain. Hal ini disebabkan karena kurangnya fasilitas dan tenaga pengajar yang memadai. Anak usia 7-12 tahun yang seharusnya duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) tetapi tidak mendapat kesempatan untuk mengeyam bangku SD. Hal itu dikarenakan terbatasnya ketersediaan gedung sekolah disejumlah kampung yang tersebar di gunung dan lembah yang belum memiliki infrastruktur Pendidikan Dasar.

14

pukul 15.00).

Pemerintah pusat dan DPR telah mengeluarkan UU Nomor 21/2001 tentang otonomi khusus bagi Papua tujuannya untuk mengejar ketertinggalan yang pada hakikatnya untuk melakukan percepatan pembangunan bagi Provinsi Papua dan Papua Barat agar bisa sederajat dengan provinsi lain. Pemerintah membuat sebuah lembaga yang bernama Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) yang bertujuan untuk mendukung koordinasi, memfasilitasi, dan mengendalikan pelaksanaan percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. UP4B dibentuk dengan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2011 dengan masa kerja sampai 2014 yang berkedudukan di Ibukota Provinsi Papua.

(http://www.up4b.go.id/index.php/component/content/article/15-halaman/37- tentang diakses pada tanggal 11 Januari 2015 pukul 13.00).

Salah satu yang menjadi fokus utama dalam program UP4B yang dibuat oleh pemerintah adalah Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK). Program Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK) ini memberikan kesempatan bagi putra/putri asli Papua lulusan SMA/SMK untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di luar Papua. Program ini dimulai sejak 2012 dengan mengirimkan 770 siswa lulusan SMA/SMK ke 32 PTN melalui koordinasi, sinkronisasi dan fasilitasi UP4B dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud, dan

15 Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri (MRPTNI) serta Pemerintah Provinsi Papua, Papua Barat, dan Kabupaten/Kota.

Januari 2015 pukul 20.00).

Demikian juga halnya dengan mahasiswa perantau seperti mahasiswa Universitas Sumatera Utara asal Papua yang diterima melalui program Afirmasi. Universitas Sumatera Utara mulai menerima mahasiswa Afirmasi sejak tahun pertama diadakan yaitu tahun 2012. Seluruh mahasiswa Universitas Sumatera Utara asal Papua tersebut tinggal di asrama putra dan asrama putri serta diberikan biaya hidup perbulan dan akan kembali ke daerah masing-masing untuk membangun daerahnya setelah menyelesaikan kuliahnya di Universitas Sumatera Utara.

Mahasiswa Papua di Medan adalah salah satu contoh kelompok remaja yang melakukan migrasi dengan alasan untuk melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Dengan latar belakang sosial-budaya yang berbeda, mahasiswa Papua tentu saja dituntut untuk dapat beradaptasi dan berinteraksi dengan masyarakat lokal di Medan yang umumnya beretnis Batak, Melayu Deli, Jawa, Cina dan suku lainnya Tetapi pada kenyataannya, mereka mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan berinteraksi terkait adanya perbedaan nilai, norma, kebiasaan, dan etika sosial yang berlaku di masyarakat.

Perbedaan budaya, karakter, adat-istiadat, dialek bahkan lingkungan menyebabkan mahasiswa Papua mengalami kesulitan besar dalam melakukan

16 adaptasi dan interaksi sosial. Selain itu, kebiasaan perilaku mahasiswa Papua lainnya adalah berbicara dengan suara keras, suka tertawa lantang, bertemperamen tinggi sehingga sering menyulut kegaduhan atau perkelahian yang membuat interaksi menjadi kurang efektif dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan serta proses belajar yang akan mereka tempuh tidak efektif.

Keberadaan mahasiswa pendatang atau perantau di daerah yang baru akan menyebabkan suatu perasaan asing bagi para mahasiswa pendatang ketika berada di lingkungan yang baru. Ketika pertama kali berada di sebuah lingkungan baru, berbagai macam ketidakpastian (uncertainty) dan kecemasan dialami oleh hampir semua individu. Ketidakpastian dan kecemasan ini relatif berbeda pula antar individu ketika melakukan komunikasi yang pada gilirannya akan menyebabkan munculnya tindakan atau perilaku yang tidak fungsional. Ekspresi perilaku yang tidak fungsional tersebut antara lain tidak memiliki kepedulian terhadap eksistensi orang lain, ketidaktulusan dalam berkomunikasi, menghindari komunikasi dan cenderung menciptakan permusuhan (Turnomo Rahardjo: 2005). Misalnya, salah satu kecemasan yang dialami bagi mahasiswa Universitas Sumatera Utara asal Papua ini adalah dalam hal berkomunikasi karena ketika individu masuk dan mengalami kontak budaya lain. Dalam hal ini mahasiswa asal Papua dan mahasiswa yang berasal dari daerah lain melakukan proses komunikasi dan terlibat dalam berbagai kegiatan yang memungkinkan terjadinya interaksi diantara mereka. Karena itu, sangat wajar ketika individu masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan bahkan tekanan mental karena belum terbiasa dengan hal-hal yang ada di lingkungan baru.