• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak pennasalahan penyelesaian utang piutang dalam masyarakat.

Krisis moneter yang melanda negara Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan untuk mempertabankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah. Hal ini sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Tidak hanya dalam kelangsungan usaha dan segi-segi ekonomi pada umumnya, tetapi juga pada masalah ketenagakerjaan dan aspek-aspek sosial lain yang saling berantai jika tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas, antara lain hilangnya lapangan pekerjaan dan permasalahan sosial lainnya.

Untuk dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukung.

Salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian utang piutang yang erat kaitannya dengan kebangkrutan dunia usaha adalah peraturan tentang kepailitan, termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban pembayaran utang. Pada tanggal 22 April 1998 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan tanggal 9 September 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135). Sebelum UU No. 4 Tahun 1998 jo Perpu No. 1 Tahun 1998 dikeluarkan, masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang di Indonesia diatur dalam Fail/isemenls-Verordening, selanjutnya disingkat FV (Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 jo Slaatsblad Tahun 1906 Nomor 348).

Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tersebut bukanlah mengganti Faillifiements-Verordening., tetapi hanya sekedar mengubah dan menambah. Karena secara yuridis formal, peraturan kepailitan yang lama tersebut masih tetap berlaku.

Hanya saja karena pasal-pasal diubah (termasuk diganti) dan ditambah tersebut sedemikian banyaknya, maka sungguhpun secara formal perpu kepailitan hanya

“mengubah” peraturan yang lama, tetapi secara material, perpu kepailitan tersebut telah “mengganti” peraturan yang lama tersebut.

Pembahan terhadap Peraturan Kepailitan tersebut diatas hanya dilakukan dengan memperbaiki, menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang

dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat. Pada tanggal 18 Oktober 2004 dikeluarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang ini mencabut Faillixsements Verordenmg (Stb. 1905 Nomor 217) jo. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 kecuali ketentuan mengenai Pengadilan Niaga (Pasal 280 s.d Pasal 285).

Ada beberapa faktor perlunya dibuat pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban, yaitu sebagai berikut:

1. untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.

2. untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.

3. untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggungjawabnya terhadap para kreditor.1

Dalam sejarah hukum di Indonesia, Hukum Kepailitan mengalami perubahan tersendiri. Kepailitan yang tadinya nyaris tidak pernah dipergunakan oleh praktisi hukum, dalam waktu singkat mengalami peningkatan permohonan.

Dalam 3 (tiga) tahun pertama Pengadilan Niaga rata-rata menerima 72 permohonan tiap tahunnya. Hanya dalam tiga bulan operasi Pengadilan Niaga pada tahun 1998, Pengadilan Niaga menerima 31 (tiga puluh satu) permohonan pailit, tahun kedua jumlah tersebut meningkat menjadi 100 (seratus) permohonan, yang merupakan rekor permohonan terbanyak yang diajukan dalarn satu tahun. Pada tahun ketiga jumlah tersebut sedikit menurun

1 Penjelasan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

menjadi 84 (delapan puluh empat) permohonan. Baru pada tahun keempat kuantitas permohonan ke Pengadilan Niaga mengalami penurunan. Pada pertengahan tahun keempai Pengadilan Niaga hanya menerima 34 (tiga puluh empat) permohonan pailit.2

Kepailititan memang mengalami pasang surut dalam pemakaiannya dalam masyarakat. “Pada awal abad dua puluh, lembaga kepailitan dapat dikatakan cukup umum digunakan di kalangan pelaku usaha”.3

“Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai kesulitan membayar utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan, Dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya”.4 Menurut Sudargo Gautama, “setiap minggu pada hari pemeriksaan rol perdata, selalu dapat dikumpulkan puluhan permohonan pailit untuk diperiksa oleh Majelis Hakim”.5

“Para pihak yang dipailitkan umumnya adalah pedagang, pemilik toko, pendeknya adalah masyarakat kebayakan yang benar-benar menggunakan kepailitan sebagai alat

“keluar” dari utang yang tidak mampu dibayarnya”.6 Pada tahun 90-an kondisi tersebut berubah, menjelang diundangkannya Undang-undang Kepailitan sedikit sekali permohonan pailit diajukan pada masa itu. “Bahkan konsultan hukum dalam memberikan nasihat hukum kepada kliennya lebih memilih untuk mengabaikan

2Ibid, hlm. 22

3Aria Suyudi, dkk, 2004, Analisis Hukum Kepailitan Indonesia Kepailitan di Negeri Pailit, Jakarta ; Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK), hlm. 21

4 J. Djohansah, "Pengadilan Niaga" dalam Rudy Lontoh (Ed), 2001, Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Pemindaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung ; Alumni, hlm. 23, lihat juga Pasal 2 ayat (1) UU 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

5 Sudargo Gautama, 1998, Komentar A tax Peraturan Kejahatan Baru untuk Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Baku, hlm. 2

6Aria Suyudi, dkk. Loc Cit

peraturan kepailitan dan menganggap kepailitan adalah “pasal mati” yang tidak patut diperhitungkan konsekuensinya di Indonesia”.7

Kepailitan dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi oleh kreditor dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitor dapat dibagikan kepada semua kreditor sesuai dengan hak masing-masing. Hal ini dikarenakan pada dasarnya kepailitan ada demi untuk menjamm para kreditor untuk memperoleh hak-haknya atas harta debitor pailit.

Lembaga kepailitan merupakan “suatu lembaga yang memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitor dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu membayar”.8Lembaga kepailitan ini mempunyai dua fungsi, yaitu:

1. pemberi jaminan kepada kreditor bahwa debitor tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggungjawab terhadap semua hutang-hutangnya kepada semua kreditor.

2. memberi perlindungan kepada debitor terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditor-kreditornya.9

Putusan pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap melakukan perbuatan hukum, menguasai, dan mengurus harta kekayaan sejak putusan pemyataan pailit diucapkan, yang “mengakibatkan debitor demi hukum kehilangan hak untuk mengusai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pernyataan kepailitan”.10

7Jerry Hoff, "Undang-undang Kepailitan di Indonesia" dalam Aria Suyudi, Ibid, hlm. 23

8ibid

9 Imran Nating, 2004, Peranan dun Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, hlm.

10 Fred B.C. Tumbuan, "Pokok-Pokok Undang-undang tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh PERPU No. 1/1998" dalam Rudy A. Lontoh, Op Cit, hlm 125

Putusan pernyataan pailit terbadap debitor membawa dampak besar bagi para kreditor dari debitor pailit tersebut. Dalam hal ini masalah selanjutnya yailu bagaimana mereka mendapatkan hak-haknya atas harta debitor pailit. Siapa yang akan mengurus pembagian harta debitor pailit pailit kepada para kreditor berdasarkan hak masing-masing.

Setiap debitor baik badan hukum atau perorangan dapat dipailitkan asalkan memenuhi syarat-syarat dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang selanjutnya disingkat dengan UU KPKPU. Sementara prosedur perkara permohonan kepailitan tersebut diatur secara khusus dalam UU KPKPU yang sangat berbeda dengan prosedur perkara biasa.

Syarat utama untuk dapat dinyatakan pailit adalah bahwa seorang debitor mempunyai paling sedikit 2 (dua) kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya yang sudah jatuh waktu. Dalam pengaturan pembayaran ini, tersangkul baik kepentingan debitor sendiri, maupun kepentingan para kreditornya. Dengan adanya putusan pernyataan pailit tersebut, diharapkan agar harta pailit debitor dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh utang debitor secara adil dan merata serta berimbang.

Seorang Kurator memiliki peran utama dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit demi kepentingan kreditor dan debitor itu sendiri. Dalam Pasal I butir 5 UU KPKPU diberikan defenisi “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta

debitor pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini”. Pelaksanaan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit tersebut diserahkan kepada Kurator yang diangkat oleh Pengadilan, dengan diawasi oleh Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Hakim Pengadilan.

Uniuk melaksanakan lugas dan kewenangannya, seorang Kurator perlu memilah kewenangan yang dimilikinya berdasarkan undang-undang, yaitu:

a. kewenangan yang dapat dilaksanakan tanpa diperlukannya persetujuan dari imiansi atau pihak lain;

b. kewenangan yang dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan dari pihak lain, dalam hal ini Hakim Pengawas.11

Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tersebut, Kurator paling tidak harus mempunyai kemampuan antara lain:

a. penguasaan hukum perdata yang memadai;

b. penguasaan hukum kepailitan,

c. penguasaan manajemen (jika debitor pailit merupakan suatu perusahaan yang masih dapat diselamatkan kegiatan usahanya); dan

d. penguasaan dasar mengenai keuangan.12

Kemampuan tersebut idealnya harus dimiliki oleh seorang Kurator karena dalam praktiknya masih ada beberapa Kurator yang kurang maksimal dalam pengurusan dan pemberesan budel pailit atau seringkali Kurator tidak didukung sumber daya manusia yang memadai untuk meiakukan due diligent dan/atau penelitian terhadap laporan keuangan debitor pailit sehingga budel pailit pun menjadi tidak maksimal.13

Kemampuan Kurator harus diikuti dengan integritas. Fntegritas berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta keharusan untuk mentaati standar profesi dan etika

11 Marjan E. Pane, 2002, “Permasalahan Seputar Kurator”, makalah dalam “Lokakarya Kurator/Pengurus dan Hakim Pengawas; Tinjauan Secara Kritis”, Jakarta, 30-31 Juli

12Ibid

13Imran Nating, Op. Cit, hlm. 13

sesuai isi dan semangatnya. Integritas merupakan salah satu ciri yang fundamental bagi pengakuan terhadap profesionalisme yang melandasi kepercayaan publik serta patokan (benchmark) bagi anggota (Kurator) dalam menguji semua keputusan yang diambilnya.

Integritas mengharuskan Kurator untuk antara lain bersikap jujur dan dapat dipercaya serta tidak mengorbankan kepercayaan publik demi kepentingan pribadi.

Integritas mengharuskan Kurator bersikap objektif dan menjaiankan profesinya secara cermat dan seksama.14

Kurator yang diangkat harus mandiri dan tidak boleh mempunyai benturan kepentingan dengan debitor ataupun kreditor. Seorang kreditor atau debitor yang mengajukan permohonan kepailitan dapat meminta penunjukan seorang Kurator kepada pengadilan. Apabila tidak ada perminlaan, Hakim Pengadilan Niaga dapat menunjuk Kurator dan atau Balai Harta Peninggalan yang bertindak sebagai Kurator.

Tugas Kurator tidak mudah atau dapat dijalankan dengan mulus seperti yang ditentukan dalam undang-undang. Masalah yang dihadapi oleh Kurator seringkali menghambat proses kinerja Kurator yang seharusnya, seperti menghadapi debitor dengan tidak sukarela menjalankan putusan pengadilan, misalnya debitor tidak memberi akses data dan informasi atas asetnya yang dinyatakan pailit.

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah mengatur dengan jelas bagaimana kewenangan

14 Kode Etik Profesi Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia, Bagian Pertama Prinsip Kelima

dan tugas serta tanggung jawab dari Kurator, namun dalam kenyataannya melaksanakan tugas sebagai Kurator tidaklah sesederhana yang digambarkan dalam undang-undang.