• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daftar Singkatan dan Istilah

Lampiran 1 Koordinat Batas Luar Wilayah Kajian Pemberdayaan Masyarakat d

1.1. LATAR BELAKANG

Kondisi hutan dan lahan gambut yang ada di Indonesia terutama di Sumatera dan Kalimantan terus menerus mengalami degradasi. Penyebab utama degradasi antara lain adalah kegiatan-

kegiatan penebangan hutan baik legal maupun illegal, dan konversi (perubahan fungsi dan status

kawasan menjadi penggunaan di luar sektor kehutanan) menjadi areal pertanian, perkebunan, perladangan, transmigrasi. Kegiatan pengelolaan lahan gambut yang tidak memperhatikan karakteristik ekosistem hutan rawa gambut dan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan telah menimbulkan permasalahan lingkungan seperti kebakaran hutan dan permasalahan asap yang selalu terjadi setiap tahun serta menurunnya kesejahteran masyarakat. Permasalahan kebakaran dan asap tidak hanya merusak sumberdaya alam di lahan gambut (kehilangan biodiversitas) tetapi juga menimbulkan permalahan kesehatan dan gangguan penerbangan yang berdampak luas pada permasalahan ekonomi terutama sektor wisata dan jasa lainnya. Dampak kebakaran di lahan gambut dan permasalahan asap tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia tetapi dirasakan pula oleh negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Hutan rawa gambut mempunyai banyak fungsi, seperti fungsi hidrologi, biokimia, perlindungan biodiversitas dan produksi hasil hutan. Hutan rawa gambut juga mempunyai fungsi sebagai penjaga iklim global karena cadangan karbonnya yang sangat besar. Menurut perhitungan Matby dan Immirzi (1993) dalam Murdiyarso dan Suryadiputra (2004), simpanan karbon yang terdapat dalam gambut di dunia sebesar 329-525 Gt (Giga ton) atau 35% dari total C dunia. Sekitar 86% (455 Gt) dari karbon di lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate (Kanada dan Rusia) sedangkan sisanya sekitar 14% (70 Gt) terdapat di daerah tropis. Jika diasumsikan bahwa

kedalaman rata-rata gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot isi 114 kg/m3 dan luasnya 16 juta ha,

maka cadangan Karbon di lahan gambut Indonesia adalah sebesar 46 Gt. (catatan: 1 Gt = 109

ton). Apabila gambut tersebut terbakar atau mengalami kerusakan, gambut akan mengeluarkan

gas terutama CO2, N2O, dan CH4 ke udara dan siap menjadi perubah iklim dunia. Jika hal ini

terjadi, maka umat manusia di muka bumi akan menanggung dan merasakan dampaknya. Selama terjadinya kebakaran di Indonesia pada tahun 1997, diperkirakan antara 0,81 – 2,57 Gt C dilepaskan ke atmosfir. Jumlah tersebut setara dengan 13 – 40 % dari rata-rata emisi karbon global tahunan yang berasal dari bahan bakar fosil.

Di Indonesia, aktivitas yang paling berpotensi meningkatkan laju degradasi dan berkurangnya luas hutan dan lahan gambut termasuk simpanan C di dalamnya adalah kegiatan pembukaan hutan di lahan gambut melalui penebangan hutan secara berlebihan. Kegiatan pembukaan hutan ini sering diikuti dengan perubahan fungsi hutan menjadi areal perkebunan atau pertanian lainnya. Degradasi hutan dan lahan gambut dipercepat dengan sering dijalankannya sistem tebas-bakar dan pembuatan saluran untuk drainase dan sarana transportasi dalam persiapan penanaman tanaman perkebunan, tanaman pertanian, dan pembangunan HTI .

Salah satu bukti nyata kegagalan pengelolaan lahan gambut yang tidak bijaksana dan berkelanjutan adalah adanya Megaproyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah untuk pembangunan pertanian. Kegiatan Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah dimulai dengan pembuatan saluran drainase dengan total panjang saluran kurang lebih 4.470 km. Namun saluran-saluran tersebut saat ini banyak menimbulkan masalah

Di luar Kalimantan Tengah, permasalahan pengelolaan lahan gambut di daerah lain seperti di Kalimantan Barat, Riau, Sumatera Selatan dan Jambi tidak kalah rumitnya. Terjadinya tumpang tindih/konflik penggunaan lahan, masalah kemiskinan, adanya otonomi daerah yang mengundang investor untuk pemanfatan lahan gambut dengan dalih kepentingan ekonomi dan lemahnya penegakan hukum turut mempercepat terjadinya degradasi di lahan gambut. Degradasi dan penurunan fungsi baik fungsi ekologis maupun fungsi produksi lahan gambut tidak hanya terjadi pada kawasan budidaya tetapi terjadi pula pada kawasan konservasi lahan basah seperti Taman Nasional Danau Sentarum di Kalimantan Barat dan Taman Nasional Berbak (TNB) di Jambi yang

keduanya merupakan situs Ramsar (Ramsar Site).

Menyadari hal tersebut Wetlands International Indonesia Programme (WI-IP) bekerjasama dengan masyarakat lokal, Pemerintah Daerah dan lembaga swadaya masyarakat, melakukan kegiatan penyelamatan/konservasi lahan gambut melalui program pemberdayaan masyarakat berupa

pemberian hibah (small grant fund) di kawasan penyangga (buffer zone) Taman Nasional Berbak

(TNB), Jambi dan kegiatan penyekatan saluran Eks-PLG Blok A Mentangai, Kalimantan Tengah,

sejak tahun 2003. Kegiatan ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan proyek CCFPI (Climate

Change, Forests and Peatlands in Indonesia) yang didanai oleh CIDA (Canadian International Development Agency) melalui Dana Pembangunan dan Perubahan Iklim Kanada. Penyelenggaraan proyek dilaksanakan bersama oleh Wetlands International-Indonesia

Programme (WI-IP) dengan WHC (Wildlife Habitat Canada). Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan

dalam proyek ini berkaitan dengan usaha-usaha perlindungan dan rehabilitasi hutan dan lahan gambut baik di tingkat lokal maupun nasional. Dalam pelaksanaannya di lapangan, proyek ini

menerapkan pendekatan-pendekatan yang bersifat kemitraan dengan berbagai pihak terkait (multi

stakeholders) dan dengan keterlibatan yang kuat dari masyarakat setempat.

Untuk membatasi kerusakan dan mengurangi tekanan-tekanan terhadap eksploitasi sumber daya alam hutan rawa gambut di Taman Nasional Berbak (TNB), propinsi Jambi, Wetlands International Indonesia Programme (WI-IP) bekerjasama dengan masyarakat, LSM dan pemerintah daerah Jambi sejak akhir tahun 2003, telah melakukan berbagai intervensi di sekitar TNB. Intervensi dilakukan di tiga buah desa (Desa Sungai Aur, Desa Telago Limo dan Desa Sungai Rambut) yang

terletak dalam kawasan penyangga (buffer zone) dan di dalam TNB. Kegiatan intervensi tersebut

meliputi: (1) Patroli bersama yang bertujuan untuk mengawasi kemungkinan terjadinya

penebangan liar dan kebakaran hutan di dalam TNB, dengan melibatkan berbagai stakeholders,

(2) Pembentukan dan Pelatihan Pemadaman Kebakaran di ketiga desa untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran di dalam dan sekitar TNB, (3) Pembangunan Rumah Jaga dan Pintu Gerbang TNB sebagai sarana untuk mengaktifkan pengawasan terhadap keluar-masuknya orang

ke dalam TNB, (4) Pemberian Dana Hibah (small grant fund) kepada sejumlah kelompok

masyarakat di tiga desa tersebut di atas. Untuk yang terakhir ini, dana hibah yang diberikan dapat digunakan oleh anggota kelompok sebagai modal kerja untuk memulai usaha kecil yang mereka minati, misalnya untuk usaha beternak ayam, itik, kambing atau sebagai modal untuk kegiatan di sektor pertanian, namun sebagai “balas jasa” dari pemberian hibah tersebut, mereka diwajibkan melakukan penanaman pohon kehutanan. Semua kegiatan di atas merupakan bagian dari

kegiatan proyek “Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia” (CCFPI) yang didanai oleh

Canadian International Development Agency” (CIDA) melalui Dana Pembangunan dan Perubahan Iklim Kanada.

Di lokasi Eks-PLG, Blok A Mentangai, Kalimantan Tengah, WI-IP melalui proyek CCFPI sejak bulan September tahun 2003, telah melaksanakan kegiatan penabatan saluran. Di lokasi ini,

Tujuan dari kegiatan penabatan atau penyekatan saluran (canal blocking) ─ada 7 (tujuh) buah

tabat/block yang dibangun─ adalah untuk mencegah larinya air gambut ke sungai melalui saluran-

saluran yang terbengkelai (neglected/abndoned) ini. Setelah tabat/block ini dibangun diharapkan

air di dalam tanah gambut (ground water) akan naik, gambut menjadi tetap basah, tidak mudah

terbakar, subsidensi dapat dikurangi, dan akhirnya karbon yang terdapat di dalam lahan gambut dapat dipertahankan. Penabatan tidak hanya dimaksudkan untuk sekedar menahan air di dalam parit dan saluran, tetapi memiliki tujuan yang lebih luas, yaitu memperbaiki kondisi ekologis lokasi di sekitarnya bahkan ke lokasi yang lebih jauh.

Kegiatan penabatan tidak berhenti pada pembuatan saluran tetapi diikuti pemantauan (monitoring dan evaluasi) untuk mengetahui dampak penabatan terhadap pemulihan kualitas lingkungan gambut terutama sistem hidrologi, pemulihan ekosistem hutan dan menekan laju kehilangan karbon (C). Kegiatan monitoring dan evaluasi pasca-penabatan antara lain meliputi : (1) kegiatan pemantauan perubahan tinggi muka air, (2) pemantauan dan analisis kualitas air, (3) pemantauan biota air, (4) penanaman dan perawatan bibit tanaman yang ditanam di sekitar saluran yang ditabat dan (5) pemantauan dan pemeliharaan konstruksi tabat.

Berpijak pada permasalahan dan kegiatan tersebut maka kegiatan kajian perolehan karbon (C) sebagai dampak dari beberapa intervensi pada dua lokasi kegiatan proyek CCFPI, yaitu di Eks- PLG Blok A Mentangai, Kalimantan Tengah dan di TNB serta kawasan peyangganya di Jambi perlu untuk dilakukan.