• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROSEDUR PERCERAIAN MENURUT HUKUM

A. Hukum perkawinan di Indonesia

2. Syarat-syarat perkawinan

Unsur ini juga sejalan dengan amanat falsafah hidup bangsa Indonesia dalam sila pertama pada Pancasila.

Untuk dapat melakukan perkawinan secara sah, harus dipenuhi apa yang dinamakan dengan syarat sah suatu perkawinan. Syarat- sah suatu perkawinan ini ditentukan dalam UUP, sebagai ius constitutum telah merumuskan norma hukum mengenai perkawinan yang sah pada Pasal 2 UUP, yang menyebutkan perkawinan adalah sah apabila :

1) Dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

UUP telah menempatkan kedudukan agama sebagai dasar pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, untuk sahnya suatu perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan kepercayaannya. Dalam penjelasan Pasal 2 UUP disebutkan bahwa :

“Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Maka, yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.”

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) serta penjelasannya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agama dan maksud

29 Ibid, Hal.46.

hukum agama termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku.30 Sehubungan dengan adanya ketentuan tersebut, maka bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan perkawinan yang telah diatur dalam hukum perkawinan Islam. Demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, maupun Buddha, hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya perkawinan.31 Dengan demikian perkawinan yang sah menurut agama maka sah menurut peraturan perundang-undangan. Tidak ada dikhotomi antara hukum agama dan hukum negara. Untuk itu menentuan keabsahan suatu perkawinan menjadi domain aturan yang digariskan masing-masing agama dan aliran kepercayaan yang dianut calon mempelai.32

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagi warga negara yang melangsungkan perkawinan menurut tata cara agama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai dari Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, bagi warga negara yang bukan pemeluk agama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan pada kantor dinas kependudukan dan catatan sipil.33

30Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:

Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, (Jakarta:

Kencana, 2004), Hal. 125

31 Soemiyati, Hukum Perdata Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Yogyakarta: Leberty, 2002), Hal. 63.

32 Marwin, Pencatatan Perkawinan dan Syarat Sahnya Perkawinan dalam Tatanan Konstitusi , Jurnal Asas, Vol. 6, No. 2, Januari 2014, Hal. 105.

33 P.N.H.Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Di Indonesia, (Jakarta: DJambatan, 2005), Hal. 58.

Tata cara pendaftaran perkawinan lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Berikut rangkuman tata cara pendaftaran perkawinan :34

g) Menghadirkan 2 (dua) orang saksi yang mengalami dan mengikuti prosesi pemberkatan perkawinan pihak yang melangsungkan perkawinan. Khusus a) Pihak yang melakukan perkawinan dalam jangka waktu 60 (enam puluh)

hari setelah melangsungkan upacara pemberkatan perkawinannya baik di lembaga keagamaan ataupun di tempat tinggalnya, harus datang ke dinas kependudukan dan pencatatan sipil untuk mendaftarkan perkawinannya.

Surat bukti perkawinan agama, maksudnya adalah surat bukti yang menerangkan bahwa pihak yang bersangkutan telah melangsungkan perkawinan yang sah secara keagamaan dan kepercayaannya. Surat bukti ini biasa juga disebut dengan istilah pemberkatan perkawinan;

b) Akta kelahiran, maksudnya adalah akta otentik yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah akta kelahiran dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;

c) Surat keterangan dari lurah, maksudnya adalah surat keterangan pengantar dari pejabat kelurahan yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan telah melangsungkan perkawinan;

d) Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku dan Kartu Keluarga (KK) dari pihak-pihak bersangkutan yang telah dilegalisir oleh pihak Kelurahan;

e) Pas foto berdampingan antara pihak yang bersangkutan dengan ukuran 4 x 6 dan 2 x 3 sebanyak 5 (lima) lembar;

f) Menghadirkan orang tua pihak-pihak yang bersangkutan;

34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 34.

permasalahan ini, diharuskan orang yang cakap hukum dan tidak cacat hukum (albekwaam), minimal berusia 21 tahun.

Dalam perkembangan hukum perkawinan di Indonesia, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUP tersebut telah dikaji Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) dalam Putusan No. 46/PUU-VIII/2010. Sahnya suatu perkawinan menurut MK hanya didasarkan pada syarat yang ditentukan oleh ketentuan masing-masing agama dan kepercayaannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUP.

Syarat sah suatu perkawinan hakekatnya disandarkan pada ketentuan agama, sedangkan pencatatan perkawinan hanya merupakan syarat administratif yang tidak menentukan sahnya perkawinan. Pandangan MK tersebut selaras dengan pendapat Bagir Manan yang menyebutkan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP, yakni perkawinan menurut masing-masing agama (syarat-syarat agama) merupakan syarat tunggal sahnya perkawinan. Sedangkan, pencatatan perkawinan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) UUP, tidak menunjukkan kualifikasi sederajat yang bermakna sahnya perkawinan menurut agama adalah sama dengan pencatatan perkawinan, sehingga yang satu dapat menganulir yang lain.35

Pandangan tentang pencatatan perkawinan sebagai kewajiban administratif juga disampaikan oleh Ahmad Tholabi Kharlie, yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan di Indonesia hanya merupakan peraturan administratif saja, tidak termasuk sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan. Namun, pencatatan perkawinan yang hanya berstatus administratif ini justru memberikan ambiguitas dalam pemahaman dan penerapannya, karena melahirkan konsekuensi

35 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesian dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), Hal. 157.

yuridis bahwa setiap perkawinan yang dilakukan menurut agama yang bersangkutan dapat dianggap sah meskipun tidak dicatatkan.36

Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 ini sekaligus menjadi pemutus adanya silang pendapat yang terjadi di tengah masyarakat, tentang fungsi atau kedudukan pencatatan perkawinan terhadap status keabsahan perkawinan. Majelis hakim MK menafsirkan Pasal 2 ayat (2) UUP sebagai suatu kewajiban administratif yang tidak mengikat terhadap keabsahan perkawinan, dimana setiap warga negara yang melakukan tindakan hukum yang akan menimbulkan akibat hukum, wajib untuk mencatatkan dalam daftar yang telah disediakan oleh negara untuk itu. Negara memiliki kewenangan untuk mengatur tata kehidupan para warganya, termasuk menentukan kewajiban untuk mencatatkan setiap perkawinan demi tujuan memberikan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

37

Selain syarat sahnya perkawinan, dalam UUP terdapat syarat-syarat perkawinan sebagai hukum nasional diatur dalam ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 UUP terdiri dari syarat substantif dan syarat ajektif. Syarat substantif adalah syarat-syarat yang menyangkut diri pribadi calon suami dan calon istri. Persyaratan substantif tersebut adalah sebagai berikut :38

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan (kata sepakat) calon suami-istri (Pasal 6 ayat (1) UUP);

2) Umur dari calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri berumur 16 tahun. Jika belum berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orangtua.

36 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), Hal. 190.

37 D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca

Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2012), Hal. 224.

38 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op. cit., Hal.48.

Kalau orangtua sudah meninggal diperoleh dari wali, dan jika tak ada wali diperoleh izin pengadilan setempat (Pasal 7 ayat (1) UUP);

3) Calon istri tidak terikat pada pertalian perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9 UUP);

4) Adanya waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya apabila akan melangsungkan perkawinannya yang kedua (Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUP);

5) Calon suami-istri memiliki agama yang sama (Pasal 8 UUP).

Sedangkan syarat ajektif adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Persyaratan ajektif adalah sebagai berikut : 39

1) Kedua calon suami istri atau kedua orangtua atau wakilnya memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan secara lisan atau tertulis (Pasal 4 PP No.9 Tahun 1975);

2) Pemberitahuan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975);

3) Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan meneliti semua dokumen-dokumen yang berkaitan dengan identitas calon suami-istri (Pasal 6 dan Pasal 7 PP No.9 Tahun 1975);

4) Pengumuman tentang waktu dilangsungkan perkawinan pada Kantor Pencatatan Perkawinan untuk diketahui umum. Lazimnya ditempel pada papan pengumuman dikantor tersebut agar mudah dibaca masyarakat (Pasal 8 dan Pasal 9 PP No.9 Tahun 1975);

39 Ibid, Hal.49.

5) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman (Pasal 10 ayat (1) PP No.9 Tahun 1975);

6) Perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri 2 (dua) orang saksi (Pasal 10 ayat (3) PP No.9 Tahun 1975);

7) Akta perkawinan ditandatangani oleh kedua calon suami-istri, diikuti saksi dan pegawai pencatat. Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua). Helai pertama disimpan oleh pencatat, dan helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah kantor pencatat perkawinan tersebut. Kepada suami-istri diberikan akta perkawinan (Pasal 11 dan Pasal 12 PP No.9 Tahun 1975).

3. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Perkawinan menciptakan hubungan hukum suami dan istri antara seorang pria dan seorang wanita, yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing maupun bersama dalam keluarga. Dengan kata lain, perkawinan menimbulkan peranan dan tanggung jawab suami dan istri dalam keluarga.40

Untuk menegakkan rumah tangga yang bahagia, sejahtera dan kekal yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat, suami dan istri memikul kewajiban yang luhur. Dalam mencapai itu, suami dan istri berkewajiban saling mencintai, menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

Kewajiban-kewajiban ini dicantumkan di dalam Pasal 30 dan Pasal 33 UUP.

Ketentuan Pasal 30 dan Pasal 33 UUP tersebut merupakan ciri dari kehidupan Hak dan kewajiban antara suami istri tersebut diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UUP.

40 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), Hal. 337.

keluarga modern, di mana suami-istri secara bersama-sama wajib memikul tanggung jawabnya.41

Selanjutnya, ketentuan dalam Pasal 31 UUP menentukan, bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum serta suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Walaupun hak dan kedudukan suami-istri seimbang namun mereka mempunyai peranan dan tanggung jawab yang berbeda dalam keluarga. Menurut Pasal 31 UUP suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga sebagai pendamping suami dan istri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Dalam kedudukan sebagai kepala rumah tangga, suami merupakan pemimpin dan sekaligus pembimbing terhadap istri, anak-anak dan kerumahtanggaan lainnya. Istri sebagai ibu rumah berkewajiban menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

42

Agar dapat hidup dengan tenang, suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami-istri bersama. Hal ini ditentukan di dalam Pasal 32 UUP. Kediaman tetap dalam keluarga modern tidak berarti adanya bangunan rumah tangga yang tetap dikuasai dan/atau dimiliki bangunannya, tetapi tempat kediaman yang tetap dalam arti tidak dalam waktu yang singkat berpindah-pindah, sehingga alamat tempat kediaman menjadi tidak menentu dan tidak dapat diketahui domisilinya, akibatnya menyulitkan dalam perhubungan hukum. Begitu pula walaupun penguasaan dan pemilikan tempat

41 Hilman Hadikusuma, Hukum kekerabatan Adat, (Jakarta: Fajar Agung, 1987), Hal.

104.

42 Rachmadi Usman, Op. cit., Hal. 338.

kediaman itu dikuasai oleh istri, namun alamatnya atas nama suami dalam kedudukannya sebagai kepala rumah tangga. Penyediaan tempat kediaman ini menjadi kewajiban suami yang didasarkan pada kesanggupannya dengan memerhatikan kepentingan dan pendapat istrinya. Dengan demikian, penentuan tempat kediaman bukan semata-mata di tangan suami, harus dimusyawarahkan secara bersama-sama oleh suami-istri.43

Sebagai kepala keluarga, suami tidak mendapatkan hak-hak suami melebihi dari istri atau istri-istri. Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) UUP menentukan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa suami yang berkewajiban untuk menanggung biaya keperluan hidup berumah tangga tersebut, kecuali istri rela atau ikhlas untuk itu.

Saat ini kewajiban seperti itu tidak harus mutlak dibebankan kepada suami, kalau perlu bisa dibantu oleh istrinya, namun jangan mewajibkan istri untuk bekerja.

44

Selain itu, dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2) UUP menerangkan bahwa istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dengan demikian selaku ibu rumah tangga, seorang istri berkewajiban untuk menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Soal pembelanjaan rumah tangga sehari-hari menjadi kewajiban istri untuk mengatur dan menyelenggarakannya.45

43 Hilman Hadikusuma, Op. cit., Hal. 106.

44 Rachmadi Usman, Op. cit., Hal. 339.

45 Ibid, Hal. 340.

Selanjutnya, ketentuan hak suami-istri yang dicantumkan di dalam Pasal 34 ayat (3) UUP menyebutkan bahwa kelalaian dalam melaksanakan kewajiban masing-masing, suami atau istri dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.

4. Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya

Masalah putusnya perkawinan, UUP mengaturnya dalam Bab VIII Pasal 38 sampai Pasal 41. Ketentuan Pasal 38 UUP menyebutkan suatu perkawinan dapat putus karena tiga hal, yaitu kematian salah satu pihak, perceraian dan atas keputusan pengadilan.

Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya hubungan perkawinan dikarenakan kematian salah seorang dari suami istri. Secara hukum dengan adanya kematian tersebut maka putuslah hubungan perkawinan mereka.

Makna dari kematian bukanlah kematian perdata, akan tetapi kematian daripada pribadi orangnya, bahkan yang dimaksud oleh undang-undang kematian salah satu pihak, apakah si suami ataukah si istri.46 Putusnya perkawinan dengan matinya salah satu suami istri menimbulkan hak saling mewaris antara suami istri atas harta peninggalan yang mati menurut hukum waris, kecuali matinya salah satu pihak itu karena dibunuh oleh salah satu yang lain suami istri. Akibat lainnya yang ditimbulkan dari kematian adalah suami atau istri yang masih hidup diperbolehkan untuk menikah lagi, asal memenuhi syarat-syarat perkawinan.47

Selanjutnya, putusnya perkawinan menurut UUP juga dapat terjadi karena perceraian. Terkait dengan perceraian, juga ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak serta harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri tidak akan dapat rukun kembali sebagai suami istri.

48

46 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., Hal. 135.

47 Rachmadi Usman, Op. cit., Hal. 399.

48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 39.

Akibat hukum yang ditimbulkan dari putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 41 UUP, akibat-akibatnya adalah sebagai berikut :

a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Selain dari kematian para pihak dan perceraian, putusnya perkawinan juga terjadi dikarenakan adanya keputusan pengadilan. Keputusan pengadilan sebagai salah satu cara putusnya perkawinan adalah berbeda dengan keputusan pengadilan dalam rangka perceraian. Maksud dari keputusan pengadilan dalam UUP tersebut dalam rangka pembatalan perkawinan yang diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UUP. Akibat hukum yang ditimbulkan dari putusnya perkawinan karena keputusan pengadilan adalah perkawinan yang awalnya telah ada dianggap tidak pernah ada atau tidak sah lagi.49

B. Perceraian Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Dengan berlakunya UUP, bangsa Indonesia telah memiliki hukum perkawinan, termasuk hukum perceraian yang berlaku secara nasional

49 H.Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), Hal. 99.

berdasarkan Pancasila dan tetap berpijak pada semboyan “bhineka tunggal ika”, yang bermakna walaupun pada pokoknya bangsa Indonesia sudah mempunyai hukum perkawinan, termasuk hukum perceraian yang berlandaskan kesatuan, namun kebhinekaannya tetap masih berlaku.50

Jadi, istilah “perceraian” secara yuridis berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti berlaki-bini (suami istri). Istilah perceraian menurut UUP sebagai aturan hukum Positif tentang perceraian menunjukan adanya tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutus hubungan perkawinan di antara mereka.

Istilah “perceraian” terdapat dalam Pasal 38 UUP yang memuat ketentuan fakultatif bahwa :

“Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan”.

51

1. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

Jika merujuk kepada UUP, maka perceraian menurut Pasal 38 UUP adalah salah satu bentuk putusnya perkawinan. Terkait pengertian perceraian menurut UUP tidak secara kongkret dijelaskan apa yang menjadi pengertian dari perceraian. Namun, pengertian perceraian dapat diketahui dari penjelasan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pengertian dari kata “cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan jenis kata kerja yang memiliki arti pisah atau putus hubungan sebagai suami istri. Kemudian, pengertian dari kata

“perceraian” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan jenis kata benda yang mengandung arti perpisahan, perihal bercerai (antara suami-istri) atau

50 Muhammad Syaifuddin, Op. cit., Hal. 12.

51 Ibid, Hal. 16.

perpecahan. Adapun pengertian dari kata “bercerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan jenis kata kerja yang memiliki arti tidak bercampur atau berhenti berlaki-bini.52

“Penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.”

Selain itu, pengertian perceraian juga dapat diketahui dari pendapat-pendapat para ahli hukum (menurut doktrin hukum). Salah satunya yaitu, pengertian perceraian menurut Subekti adalah :

53

Pengertian perceraian juga dapat dijelaskan dari beberapa perspektif hukum berikut :54

a. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UUP yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai berikut :

1) Perceraian dalam pengertian cerai talak yang diuraikan dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP No.9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisitif suami kepada Pengadilan Agama;

2) Perceraian dalam pengertian cerai gugat yang diuraikan dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 PP No.9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang diajukan gugatan cerainya olehdan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya

52 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), Hal. 185.

53 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Internusa,1985), Hal. 42.

54 Muhammad Syaifuddin, Op. cit., Hal. 19-20.

sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

b. Perceraian menurut hukum agama selain hukum Islam, yang telah pula dipositifkan dalam UUP dan dijabarkan dalam Pasal 20 dan Pasal 34 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang gugatan cerainya diajukan oleh dan atas inisiatif suami atau istri kepada Pengadilan Negeri, yang dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan oleh pegawai pencatat di kantor catatan sipil.

Terkait dasar hukum dari perceraian diatur dalam ketentuan mengenai putusnya perkawinan yakni dalam Bab VIII yang terdiri dari :

1) Pasal 38 UUP sebagai dasar hukum yang menyatakan perkawinan dapat putus karena perceraian;

2) Pasal 39 ayat (1) UUP sebagai dasar hukum terkait perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadian;

3) Pasal 39 ayat (2) UUP sebagai dasar hukum terkait alasan perceraian yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975;

4) Pasal 39 ayat (3) UUP sebagai dasar hukum terkait tata cara perceraian di depan persidangan yang lebih lanjut diatur dalam Pasal 41 UUP, Pasal 14 sampai dengan Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975 mengenai talak dan Pasal 40 UUP, Pasal 41 UUP, Pasal 19 sampai dengan Pasal 36 PP No.9 Tahun 1975 mengenai gugatan perceraian;

5) Pasal 41 UUP sebagai dasar hukum terkait akibat dari suatu perceraian.

2. Alasan Perceraian

Dalam kajian hukum, perceraian tentu tidak dapat terjadi begitu saja.

Artinya, harus ada alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk melakukan suatu

perceraian. Itu sangat mendasar, terutama bagi pengadilan yang notabene berwenang memutuskan, apakah suatu perceraian layak atau tidak untuk dilaksanakan. Termasuk segala keputusan yang menyangkut konsekuensi tejadinya perceraian. Misalnya, soal perebutan hak asuh anak, pemberian nafkah mantan istri dan anak, serta pembagiannya harta gono gini.55

Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) UUP yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975, dijelaskan bahwa perceraian boleh dilakukan bila terdapat sejumlah alasan penting yang mendasarinya. Jika bukan demikian maka pengadilan tidak akan mengambil langkah bercerai sebagai solusi atas gugatan perceraian yang diajukan seorang penggugat. Alasan-alasan tersebut adalah :

Pasal 39 ayat (2) UUP merupakan dasar hukum terkait alasan perceraian yang menyebutkan bahwa :

“Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.”

56

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya sukar disembuhkan;

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya sukar disembuhkan;

Dokumen terkait