BAB I PENDAHULUAN
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari satu hal atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.12
1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian
Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini antara lain :
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif. Yuridis normatif adalah penelitian dengan cara pengambilan bahan maupun data dari kepustakaan di mana penelitian ini mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum dalam masyarakat. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the books), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim
melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through judicial process).13
b. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis.
Penelitian deskriptif ialah suatu bentuk penelitian yang ditunjukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun
12Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta: UI Press, 2006), Hal.
43.
13 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Grafitti Press, 2006), Hal. 118.
fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena yang lainnya.14
2. Sumber Data
Selain itu skripsi ini juga menganalisis putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn.
Sumber data penelitian ini berasal dari data sekunder. Data sekunder didapatkan dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian yang meliputi :
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah : 1) R.B.G (Rechtsreglement voor de Buitengewesten);
2) H.I.R (Herziene Indonesische Reglement);
3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman;
5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Jo. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;
8) Putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn;
b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.
c. Bahan hukum tersier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia.
14 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), Hal. 21.
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data a. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan. Dilakukan dengan mempelajari berbagai sumber bacaan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini yaitu dari buku-buku hukum, makalah hukum, artikel hukum, pendapat para sarjana dan bahan-bahan lainnya.
b. Alat Pengumpulan Data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen. Studi dokumen dilakukan dengan mengumpulkan data dari dokumen-dokumen yang mendukung terhadap penelitian ini berupa literatur, peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel yang memiliki kaitan dengan permasalahan. Kemudian menjadi masukan dalam melengkapi analisis dalam permasalahan ini.
4. Analisis Data
Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan :
a. Mengumpulkan bahan hukum yang relevan dengan permasalahan;
b. Memilih kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan penelitian;
c. Menjelaskan hubungan hukum antara berbagai konsep, pasal yang ada;
d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif kualitatif.
Data yang berhasil dikumpulkan yakni data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar
sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mepertautkan bahan hukum yang ada. Mengolah dan mengintepretasikan data guna mendapat kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.15
F. Keaslian Penulisan
Dari penelitian yang dilakukan pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara belum ada penulisan yang menyangkut mengenai “Tinjauan Yuridis Dikabulkannya Gugatan Perceraian Atas Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan Di Kantor Catatan Sipil (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn)”. Judul tersebut didasarkan oleh ide, gagasan, pemikiran, referensi, buku-buku dan pihak-pihak lain. Judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya dan merupakan kasus dari Putusan Pengadilan Negeri Medan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, terdapat beberapa skripsi yang membahas masalah perceraian, yakni :
1. Ayu Atikah Suheri, 130200280, Analisis Hukum Mengenai Alasan Bercerai Karena Suatu Perselisihan Dan Pertengkaran Yang Menyebabkan Tidak Ada Harapan Untuk Hidup Rukun Lagi Di dalam Suatu Rumah Tangga Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Medan No.2084/Pdt.G/2015/PA.Mdn. Rumusan masalah :
a. Apakah perselisihan dan pertengkaran dapat dijadikan alasan bercerai?
15 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), Hal. 54.
b. Bagaimana dasar pertimbangan hakim mengabulkan permohonan perceraian?
2. Muhamad Reno Faizin Lazuardi, 140200430, Perceraian Dalam Perkawinan Campuran (Studi Putusan Pengadilan Agama No.0345/Pdt.G/2012/PAJS).
Rumusan masalah :
a. Bagaimanakah kasus posisi putusan Pengadilan Agama No.0345/Pdt.G/2012/PAJS?
b. Bagaimana putusnya perkawinan atas verstek?
c. Bagaimana analisis dan pertimbangan hukum hakim atas putusan Pengadilan Agama No.0345/Pdt.G/2012/PAJS?
Dengan demikian, maka keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan bab, di mana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis materi pembahasan keseluruhannya terbagi atas 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut :
Bab I merupakan pendahuluan, dalam bab ini menggambarkan hal-hal yang bersifat umum sebagai langkah awal dari tulisan ini. Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II membahas prosedur perceraian menurut hukum perkawinan di Indonesia, dalam bab ini diuraikan mengenai hukum perkawinan di Indonesia dan perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bab III membahas pertimbangan hukum hakim dalam perkara perceraian atas perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil (studi putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn), dalam bab ini dibahas mengenai kasus posisi, pertimbangan hukum hakim, dan analisis hukum terhadap pertimbangan hukum hakim pada putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn.
Bab IV membahas akibat hukum yang timbul dari putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn, dalam bab ini dibahas mengenai analisis terhadap putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn, dan akibat hukumnya terhadap para pihak.
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran, dalam bab ini memuat suatu kesimpulan dari permasalahan yang telah diuraikan. Kemudian dilanjutkan dengan memberikan beberapa saran yang diharapkan akan berguna dalam praktek.
BAB II
PROSEDUR PERCERAIAN
MENURUT HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Hukum Perkawinan Di Indonesia
Perkawinan dalam kehidupan manusia bukan hanya sekedar menyangkut masalah kebutuhan biologis sebagai wujud hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi juga mengandung aspek sosial, agama dan hukum sehingga perlu untuk dilihat dari banyak aspek terutama dari aspek agama dan hukum. Ditinjau dari sudut hukum, perkawinan adalah merupakan sebuah perbuatan hukum yakni seorang laki-laki mengikatkan diri dengan seorang perempuan untuk hidup bersama karena itu harus diperhatikan yang ditentukan dalam berbagai ketentuan hukum yang berlaku.
Di Indonesia sejak tanggal 2 Januari 1974 telah disahkannya UUP sebagai hukum positif di Indonesia yang berlaku hingga sekarang. Selain UUP, hukum perkawinan di Indonesia juga diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya di antaranya dalam PP No. 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI).
Sejak berlakunya UUP mengakibatkan ketentuan hukum perkawinan yang lahir sebelum UUP dianggap tidak berlaku lagi, sesuai dengan rumusan Pasal 66 UUP yaitu :
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wet-boek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiaers : 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemeng de Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.”
Ide unifikasi hukum di bidang hukum perkawinan merupakan maksud tersendiri dari para pembentuk UUP bahwa bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia, mutlak adanya UUP sebagai hukum nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia.16 Selain itu untuk menjamin kepastian hukum, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum UUP berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.17
Hazairin menyebutkan UUP merupakan unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Unifikasi itu bertujuan hendak memperlengkapi segala apa yang tidak diatur hukumnya dalam agama atau kepercayaan karena dalam hal tersebut negara berhak mengaturnya sendiri sesuai dengan zaman.18 Kepastian hukum ini memang diperlukan untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, maka untuk itu diperlukan norma hukum atau peraturan sebagai pedoman dalam bertindak dan dapat memprediksikan apa yang akan terjadi bila melakukan perbuatan tertentu. Oleh karena itu unifikasi hukum perkawinan menjadi sesuatu yang penting dan dapat berfungsi sebagai penjaga, pengatur dan menghasilkan ketertiban dalam masyarakat.19
Ditinjau dari perkembangan hukum perkawinan di Indonesia, orientasi hukum dalam rangka pembaharuan dan pembangunan hukum nasional adalah tidak mengenal pergolongan rakyat dan diterapkannya unifikasi hukum bagi warga negara Indonesia, adanya pandangan hukum yang mempertimbangkan
16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Penjelasan umum angka 1.
17 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Penjelasan umum angka 5.
18 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.cit., Hal. 39.
19 Waidin, Perspektif Hukum dan Keadilan Terhadap Kasus Buah Randu di Kabupaten Batang, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10, No. 1, Januari 2010, Hal. 23.
masuknya hukum agama dalam hukum nasional yang dibingkai dalam konsep unifikasi hukum, sehingga terdapat unifikasi akan tetapi juga mewadahi adanya pluralisme di sektor hukum (sahnya perkawinan), artinya hukum agama mendapatkan legitimasi sebagai hukum positif di Indonesia, dan berlakunya hukum agama harus ditafsirkan masih dalam koridor unifikasi hukum. Dalam hukum nasional khususnya dalam UUP masih terlihat nuansa hukum yang bersumberkan pada nilai-nilai dan pengertian hukum (begrip) atau konsep dari hukum agama, hukum adat dan KUH Perdata. Hanya dalam hal ini harus diperhatikan bahwa nuansa yang diperkenalkan (introdusir) kepada warganegara harus dipahami dalam suasana unifikasi hukum.20
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan instituisi yang sangat penting dalam masyarakat.
Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita.21 Oleh sebab itulah, beberapa ahli memandang dan memberikan arti yang sangat penting terhadap institusi yang bernama perkawinan.
Asser, Scholten, Pitlo, Petit, Melis, dan Wiarda,22
20 Tri lisiani Prihatinah, Tinjauan Filosofis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8, No. 2, Mei 2008, Hal. 41.
21 Salim H,S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), Hal. 61.
22 Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya: Airlangga University Press, 2000), Hal. 18.
memberikan definisi, bahwa perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk bersama atau bersekutu yang kekal. Esensi dari yang dikemukakan para pakar tersebut adalah bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum, baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.
Sedangkan menurut beberapa ahli lainnya seperti menurut Soetojo Prawirohamidjo menyatakan bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang (yuridis) dan kebanyakan religius. Pendapat lain disampaikan Subekti yang mengatakan, bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. 23
Sebelum keluarnya UUP, tidak ditemukan pengertian perkawinan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 26 KUH Perdata, dikatakan bahwa undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata saja.
Ratio pasal ini menunjukkan bahwa KUH Perdata memandang perkawinan bukan suatu perbuatan yang religius yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan bersifat materi atau kebendaan (zakelijk). Tujuan perkawinan hanya memfokuskan hubungan suami istri dengan nilai-nilai kebendaaan dan serba duniawi. Hubungan suami istri lebih baik mengagungkan sifat sosiologi dari pada religi. Religi tidak mendapat tempat dalam hubungan perdata pada soal-soal perkawinan. Hal ini didasarkan pada filosofi bahwa KUH Perdata menganut paham serba materi saja dengan mengagungkan individual-liberalistis.24
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga Ketentuan KUH Perdata sangat berbeda dengan UUP yang memberikan rumusan pengertian perkawinan dalam Pasal 1 UUP yaitu :
23 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Kencana, 2008), Hal. 100.
24 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.cit., Hal. 41.
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Berdasarkan pengertian Pasal 1 UUP tersebut, terdapat 5 (lima) unsur dalam pengertian perkawinan, yaitu:
1) Ikatan lahir batin.
Unsur pertama ini menunjukkan bahwa suatu perkawinan tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, akan tetapi kedua-duanya secara sinergis dan terpadu erat. Ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Sedangkan ikatan batin merupakan hubungan nonformal, suatu ikatan yang tidak tampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang mengikatkan dirinya. Ikatan batin ini merupakan dasar ikatan lahir, sehingga dijadikan pondasi yang utuh dalam membentuk dan membina keluarga yang kekal dan bahagia.25
2) Antara seorang pria dengan seorang wanita.
Unsur kedua ini menunjukkan bahwa tidak terbuka pintu hukum bagi sesama wanita atau sesama lelaki atau yang memiliki dua jenis kelamin untuk melangsungkan perkawinan. Identitas jenis kelamin harus jelas secara fisik dan biologis. Dalam realitas hukum, ditemukan adanya praktik perkawinan yang dilangsungkan antara jenis kelamin sejenis yaitu wanita dengan wanita.26
3) Sebagai suami-istri.
25 Titik Triwulan Tutik, Op.cit., Hal. 104.
26 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.cit., Hal. 42.
Unsur ketiga ini menunjukkan bahwa adanya persekutuan antara pihak-pihak yang melakukan perkawinan yakni seorang pria dengan seorang wanita dipandang sebagai suami istri jika telah melakukan kesepakatan, kecakapan, telah mendapat izin dari pihak lain dan menyangkut syarat-syarat formalitas pelangsungan perkawinan telah dipenuhi.27
Unsur keempat ini menunjukkan untuk apa dilangsungkannya perkawinan jika tidak memiliki tujuan. Keluarga bahagia dan kekal adalah cita-cita bagi kedua calon suami istri. Perkawinan yang bahagia harus pula diukur dengan potensi individu dan kolektif suami istri, sehingga ukurannya sangat relatif, tetapi yang paling umum bahagia adalah jika rumah tangga yang dijalani dari awal sampai akhir sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan serta pendidikan anak-anak, tidak mengalami keretakan atau kegoncangan yang mengarah kepada bubarnya perkawinan. Perkawinan bersifat kekal, artinya diharapkan bahwa perkawinan harus berlangsung seumur hidup kecuali salah satu meninggal dunia. Kekal mengisyaratkan bahwa bersikap hati-hati pada saat memilih calon suami atau istri, karena suami atau istri bukan seperti benda yang dipakai untuk kepentingan sesaat.
4) Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
28
Unsur kelima ini menunjukkan bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan. Keberadaan unsur Ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu 5) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
27 Titik triwulan tutik, Op.cit., Hal. 105.
28 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.cit., Hal. 44.
pertanggungjawaban kepada Tuhan Sang Pencipta. Dengan adanya unsur Ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah urusan manusia semata-mata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perkawinan mengandung paham teokratis.29
2. Syarat-Syarat Perkawinan
Unsur ini juga sejalan dengan amanat falsafah hidup bangsa Indonesia dalam sila pertama pada Pancasila.
Untuk dapat melakukan perkawinan secara sah, harus dipenuhi apa yang dinamakan dengan syarat sah suatu perkawinan. Syarat- sah suatu perkawinan ini ditentukan dalam UUP, sebagai ius constitutum telah merumuskan norma hukum mengenai perkawinan yang sah pada Pasal 2 UUP, yang menyebutkan perkawinan adalah sah apabila :
1) Dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
UUP telah menempatkan kedudukan agama sebagai dasar pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, untuk sahnya suatu perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan kepercayaannya. Dalam penjelasan Pasal 2 UUP disebutkan bahwa :
“Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Maka, yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) serta penjelasannya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agama dan maksud
29 Ibid, Hal.46.
hukum agama termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku.30 Sehubungan dengan adanya ketentuan tersebut, maka bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan perkawinan yang telah diatur dalam hukum perkawinan Islam. Demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, maupun Buddha, hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya perkawinan.31 Dengan demikian perkawinan yang sah menurut agama maka sah menurut peraturan perundang-undangan. Tidak ada dikhotomi antara hukum agama dan hukum negara. Untuk itu menentuan keabsahan suatu perkawinan menjadi domain aturan yang digariskan masing-masing agama dan aliran kepercayaan yang dianut calon mempelai.32
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagi warga negara yang melangsungkan perkawinan menurut tata cara agama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai dari Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, bagi warga negara yang bukan pemeluk agama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan pada kantor dinas kependudukan dan catatan sipil.33
30Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, (Jakarta:
Kencana, 2004), Hal. 125
31 Soemiyati, Hukum Perdata Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Yogyakarta: Leberty, 2002), Hal. 63.
32 Marwin, Pencatatan Perkawinan dan Syarat Sahnya Perkawinan dalam Tatanan Konstitusi , Jurnal Asas, Vol. 6, No. 2, Januari 2014, Hal. 105.
33 P.N.H.Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Di Indonesia, (Jakarta: DJambatan, 2005), Hal. 58.
Tata cara pendaftaran perkawinan lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Berikut rangkuman tata cara pendaftaran perkawinan :34
g) Menghadirkan 2 (dua) orang saksi yang mengalami dan mengikuti prosesi pemberkatan perkawinan pihak yang melangsungkan perkawinan. Khusus a) Pihak yang melakukan perkawinan dalam jangka waktu 60 (enam puluh)
hari setelah melangsungkan upacara pemberkatan perkawinannya baik di lembaga keagamaan ataupun di tempat tinggalnya, harus datang ke dinas kependudukan dan pencatatan sipil untuk mendaftarkan perkawinannya.
Surat bukti perkawinan agama, maksudnya adalah surat bukti yang menerangkan bahwa pihak yang bersangkutan telah melangsungkan perkawinan yang sah secara keagamaan dan kepercayaannya. Surat bukti ini biasa juga disebut dengan istilah pemberkatan perkawinan;
b) Akta kelahiran, maksudnya adalah akta otentik yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah akta kelahiran dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;
c) Surat keterangan dari lurah, maksudnya adalah surat keterangan pengantar dari pejabat kelurahan yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan telah melangsungkan perkawinan;
d) Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku dan Kartu Keluarga (KK) dari pihak-pihak bersangkutan yang telah dilegalisir oleh pihak Kelurahan;
e) Pas foto berdampingan antara pihak yang bersangkutan dengan ukuran 4 x 6 dan 2 x 3 sebanyak 5 (lima) lembar;
f) Menghadirkan orang tua pihak-pihak yang bersangkutan;
34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 34.
permasalahan ini, diharuskan orang yang cakap hukum dan tidak cacat hukum (albekwaam), minimal berusia 21 tahun.
Dalam perkembangan hukum perkawinan di Indonesia, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUP tersebut telah dikaji Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) dalam Putusan No. 46/PUU-VIII/2010. Sahnya suatu perkawinan menurut MK hanya didasarkan pada syarat yang ditentukan oleh ketentuan masing-masing agama dan kepercayaannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUP.
Syarat sah suatu perkawinan hakekatnya disandarkan pada ketentuan
Syarat sah suatu perkawinan hakekatnya disandarkan pada ketentuan