TINJAUAN YURIDIS DIKABULKANNYA GUGATAN
PERCERAIAN ATAS PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN DI KANTOR CATATAN SIPIL
(STUDI PUTUSAN NO.257/PDT.G/2018/PN.MDN)
OLEH:
NIM : 150200425
LAORA HAPPY NIA SILITONGA
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM
MEDAN 2019
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Laora Happy Nia Silitonga Nim : 150200425
Departemen : Hukum Keperdataan
Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis Dikabulkannya Gugatan Perceraian Atas Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan Di Kantor Catatan Sipil (Studi Putusan Pengadilan Negeri No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn)
Dengan ini menyatakan:
1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.
Medan, Februari 2019
NIM. 150200425
Laora Happy Nia Silitonga
KATA PENGANTAR
Stay up on that rise and never come down, motto sederhana yang selalu penulis genggam dalam menjalani kehidupan termasuk kehidupan perkuliahan.
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia- Nya sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH).
Adapun skripsi yang Penulis angkat berjudul Tinjauan Yuridis Dikabulkannya Gugatan Perceraian Atas Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan Di Kantor Catatan Sipil (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/Pn.Mdn). Penulis mengangkat judul skripsi ini sebagai tugas akhir bermula dari fenomena yang ada di dekat Penulis. Penulis menyadari bahwa hukum tidak selalu dapat mengikuti masyarakat dalam hal ini mengenai perceraian atas perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil yang belum jelas pengaturannya. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk membahas mengenai hal ini. Semoga skripsi ini dapat menambah wawasan pembaca serta menjadi masukan bagi pemerintah.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan, oleh karena itu Penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.
Selama kurang lebih 8 (delapan) semester Penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, banyak kendala yang Penulis alami. Namun berkat bimbingan dan motivasi serta doa dari pihak- pihak disekitar penulis, segala kendala dapat Penulis hadapi. Termasuk dalam menyelesaikan tugas akhir
ini, ada waktu penulis merasa bingung, merasa malas, merasa jenuh bahkan merasa putus asa. Disaat-saat itu Penulis bersyukur karena Tuhan selalu menyertai, selalu ada tangan- tangan yang bersedia membantu, selalu ada kata- kata yang memotivasi, selalu ada senyum yang menghibur dan selalu ada doa-doa dari orang tua Penulis yang berada di tempat yang berbeda dengan Penulis.
Semoga dengan gelar yang kelak penulis dapatkan, Penulis dapat memberikan manfaat bagi sesama.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada pihak-pihak yang banyak membantu, membimbing, dan memberikan motivasi. Untuk itu Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Jelly Levisa S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan bimbingan serta nasihat dengan penuh kesabaran mulai dari awal penulisan skripsi ini sampai dengan selesainya penulisan ini.
6. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara.
7. Ibu Suria Ningsih, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis selama perkuliahan.
8. Ibu Dr. Yefrizawati, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan bimbingan serta nasihat dengan penuh kesabaran mulai dari awal penulisan skripsi ini sampai dengan selesainya penulisan ini.
9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak sekali ilmu yang sangat berharga kepada Penulis selama menjadi mahasiswi.
10. Seluruh Staf Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu Penulis selama mengikuti perkuliahan.
11. Perkumpulan Gemar Belajar (GEMBEL) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, rumah Penulis bertemu alumni dan mahasiswa-mahasiswi yang berintegritas, yang sangat luar biasa dalam setiap hal, suka membantu, diskusi kapanpun dan dimanapun serta yang selalu memberi pertolongan pertama.
GEMBEL, One and Only, Love You!. Salam persahabatan!
12. Komunitas Peradilan Semu Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (KPS FH USU), tempat Penulis membuka mata untuk terus mau belajar dan menemukan semangat berkompetisi dengan sportif. KPS FH USU, Proud of You, Love You!. Salam mooters!
13. Sahabat diskusi yang mencintai Penulis selama perkuliahaan, Presiden Mooidi, Wapres Fanidia, MenKPK Fransiskus, Menkeu Iin, Menkominfo Tety, Mensek Kiki, Mendik Maria, dan Yosafat.
14. Sahabat Penulis yang dicintai penulis selama perkuliahaan G14 (Bang David, Bang Indra, Bang Teo, Kak Elisabet, dll), G16 (Dek Febry, Dek Bunga, Dek
Indah, Dek Daniel, Dek Gunawan, Dek Gled, Dek Maruli, Dek Shania, dll), G17 (Dek Ariel, Dek Rizky, Dek, Jusniar, Dek Agustina, Dek Elvani, Dek Wina, Dek Valen, Dek Cyntia, Dek Mia, Dek Marshall, Dek Fixma, dll), Delegasi NMCC BULAKSUMUR III, Delegasi NMCC SOEDARTO VI, DIKLAT, KPS 14, KPS 15, KPS 16, KPS 17, dan KPS 18.
15. KEMENDD, TIMREG 2018, dan G18 (Dek Edelis, Dek Elisabeth, Dek Andreanus, Dek Tranis, Dek Agatha, Dek Melvin, Dek Sapa, Dek Chaca, Dek Chow, Dek Sifra, Dek Dina, Dek Apriani, Dek Felix, Dek David, Dek Fahrur, Dek Ronaldo) yang selalu menjadi motivasi Penulis ditengah-tengah kesibukan dalam penyelesaian skripsi ini.
16. Kak Kristy, yang mengarahkan Penulis memilih jurusan hukum dan yang sama- sama berjuang mendapatkan gelar.
17. Alumni GEMBEL, Bang Jo, Bang Jhon, Bang Alboin, Kak Yusty dan lain-lain yang menjadi teladan Penulis.
18. Seluruh Anak Sekolah Minggu HKBP MELATI, yang selalu menjadi penyemangat.
19. Kak Josephine, Putri, Kak Winda, Sutan, Guru Sekolah Minggu HKBP MELATI, Naposobulung HKBP MELATI dan Remaja HKBP MELATI yang senantiasa dalam suka maupun duka menemani serta menghibur Penulis selama penyelesaian skripsi ini.
20. Sahabat SMA Penulis, Ananda, Bernard, Daniel, Delila, Diella, Epiphania, Frans, dan Sem yang selalu menjadi alasan Penulis untuk cepat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
21. Kak Laratisa dan Bang Herbet sebagai pemimpin kelompok kecil KMK bagi Penulis, yang selalu mendoakan penulis.
22. Saudaraku Meydana, Putri, Sandra dan GRUP F STAMBUK 2015.
23. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak disebutkan satu persatu.
Teristimewa kepada Orang Tua yang menaruh kasih setiap waktu, kepada bapak tercinta Partomuan Silitonga dan mama tercinta Rutnai Simangunsong yang tanpa lelah mendukung, menjadi tumpuan, penyemangat dan kekuatan, menjadi alasan terbesar Penulis meraih gelar Sarjana Hukum. Kak Nadiah dan Dek Fani, kedua saudara perempuan Penulis yang senantiasa berdoa dan turut memberi motivasi kepada Penulis. Seluruh keluarga besar Penulis, kepada keluarga Opung Ginonggom dan keluarga Opung Rotua yang selalu memberikan doa dan restu serta mendukung dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih untuk doa dan dukungan yang tanpa henti, keluarga tercinta.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Medan, Februari 2019
Hormat Penulis,
Laora Happy Nia Silitonga
150200425
ABSTRAK
Laora Happy Nia Silitonga*) Rosnidar Sembiring**)
Yefrizawati***)
Perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil dianggap tidak pernah diakui oleh negara karena tidak memenuhi syarat sahnya suatu perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal ini seharusnya berakibat tidak dapatnya diajukan suatu perbuatan hukum setelah perkawinan berlangsung, salah satunya sebagai dasar dalam mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan negeri. Gugatan perceraian yang dikabulkan dalam studi putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn merupakan putusan pengadilan negeri yang mengabulkan gugatan perceraian atas perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil sehingga menunjukan adanya kesenjangan hukum antara das sollen dan das sein. Berdasarkan uraian tersebut, perlu diteliti lebih lanjut permasalahan terkait prosedur perceraian menurut hukum perkawinan di Indonesia, mengenai pertimbangan-pertimbangan hukum hakim dan akibat hukum dari putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn.
Penelitian ini merupakan penelitian dengan jenis penelitian berupa yuridis normatif dan sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis. Selain itu, terkait sumber data penelitian ini berasal dari data sekunder. Kemudian, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dan terkait analisis data mempergunakan teknik analisis metode kualitatif.
Dari hasil penelitian yang diteliti, prosedur perceraian di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yakni diawali dengan pengajuan gugatan, pemeriksaan alat bukti, dan diakhiri dengan pembacaan putusan akhir oleh Majelis Hakim. Hasil lainnya mengenai pertimbangan hukum hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn menggunakan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 1776K/PDT/2007 untuk menyatakan perkawinan Penggugat dan Tergugat adalah sah menurut hukum. Selanjutnya, dengan dikabulkannya putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn memberi akibat hukum kepada hubungan hukum suami isteri yaitu putusnya hubungan hukum antara suami dan isteri serta akibat hukum kepada anak hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat.
Kata kunci: Perkawinan tidak didaftarkan, Perceraian
*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**) Dosen Pembimbing I
***) Dosen Pembimbing II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 7
C. Tujuan Penulisan ... 7
D. Manfaat Penulisan ... 8
E. Metode Penelitian ... 8
F. Keaslian Penulisan ... 11
G. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II PROSEDUR PERCERAIAN MENURUT HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA ... 14
A. Hukum perkawinan di Indonesia ... 14
1. Pengertian Perkawinan ... 16
2. Syarat-syarat perkawinan ... 20
3. Hak dan Kewajiban Suami Isteri ... 26
4. Putusnya Perkawinan ... 29
B. Perceraian Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 30
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ... 31
2. Alasan Perceraian ... 33
3. Akibat Hukum Perceraian ... 35
C. Prosedur Perceraian Di Pengadilan Negeri ... 38
1. Tata Cara Pengajuan Gugatan Perceraian Ke Pengadilan Negeri ... 40
2. Proses Pemeriksaan Dalam Persidangan Perkara Gugatan Perceraian Di Pengadilan Negeri ... 41
BAB III PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PERKARA PERCERAIAN ATAS PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN DI KANTOR CATATAN SIPIL (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN
NO.257/PDT.G/2018/PN.MDN) ... 44
A. Kasus Posisi ... 44
B. Pertimbangan Hukum Hakim ... 46
C. Analisis Hukum Terhadap Pertimbangan Hukum Hakim .. 48
BAB IV AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL DARI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NO.257/PDT.G/2018/PN.MDN) ... 59
A. Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn ... 59
B. Akibat Hukum Terhadap Para Pihak ... 67
1. Suami... 69
2. Isteri ... 72
3. Anak ... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 77
A. Kesimpulan ... 77
B. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN
1. Putusan Pengadilan Negeri No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peraturan perundang-undangan yang paling pokok mengenai perkawinan di negara Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP). Undang-undang tersebut lahir agar menjamin hak seseorang untuk melakukan perkawinan yang sebagaimana di amanatkan dalam Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Aturan mengenai perkawinan sendiri tidak terlepas dari Pancasila, yakni sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengenai hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pengertian perkawinan yaitu perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Sebagaimana dijelaskan dari pengertian tersebut bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.2
Perkawinan yang sah haruslah dilakukan dengan merujuk kepada Pasal 2 ayat (1) UUP bahwa suatu perkawinan yang sah dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Selain itu, merujuk pula kepada Pasal 2 ayat (2) UUP bahwa suatu perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan pada Kantor
1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1.
2 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama), (Bandung: Masdar Maju, 2007), Hal. 4.
Urusan Agama (KUA), sedangkan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil.3
Perkawinan yang dikehendaki dalam UUP bukan hanya mengutamakan keabsahannya sesuai agama dan kepercayaan juga harus diikuti oleh pengakuan negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUP jika hanya memenuhi salah satu ayat saja, peristiwa perkawinan tersebut dapat dikatakan belum memenuhi unsur hukum yang ditentukan oleh UUP. Hal ini dikarenakan perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum antara suami istri, sehingga dengan perkawinan yang dilakukan menimbulkan akibat hukum. Adanya akibat hukum ini erat sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum. Jika suatu perkawinan yang dilakukan tidak sah menurut hukum, maka akibat yang timbul dari perkawinan itu pun dengan sendirinya tidak sah.
4 Pencatatan perkawinan harus dianggap sebagai hal yang sangat penting sebagai bukti berkaitan dengan status perkawinan itu sendiri, perlindungan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, hak-hak anak, dan juga menyangkut akibat hukum terhadap anak-anaknya.5
Pencatatan tiap-tiap perkawinan sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.6
3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (2).
4 Zainuddin dan Afwan Zainuddin, Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan Permasalahannya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), Hal. 2.
5 Y Sri Pudyatmoko, Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, (Yogyakarta:
Grasindo, 2009), Hal. 310.
6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Penjelasan umum angka 4 huruf b.
Dengan dilakukannya pencatatan perkawinan maka negara secara langsung mengakui suatu perkawinan yang diwujudnyatakan dalam suatu akta
resmi yang disebut sebagai akta perkawinan yakni dokumen tertulis yang dibuat oleh pejabat berwenang yang di dalamnya menyatakan bahwa kedua orang yang tertulis dalam dokumen telah menikah secara sah dan membuktikan bahwa terdapat ikatan lahir dan batin antar kedua orang tersebut.
Perkawinan yang sah menurut UUP tersebut juga diharapkan dapat membentuk sebuah keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua orang dapat mencapai tujuan ideal perkawinan yang diharapkan tersebut. Menurut Abdul Ghofur Anshori, dalam kehidupan rumah tangga sering dijumpai orang (suami istri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain ataupun kepada keluarganya, akibat tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan diantara keduanya (suami istri) tersebut.7
Secara mendasar memang benar perkawinan merupakan ikatan suci antara seorang pria dan wanita, yang saling menyayangi dan mencintai serta setiap orang berniat untuk menikah sekali seumur hidupnya saja. Tidak pernah terbesit bila dikemudian hari harus bercerai, lalu menikah lagi dengan orang lain atau memilih untuk hidup sendiri. Namun, pada kenyataannya tidak sedikit pasangan suami istri yang akhirnya harus memilih berpisah alias bercerai. Faktor ketidakcocokan dalam sejumlah hal, berbeda persepsi serta pandangan hidup, paling tidak menjadi beberapa penyebab terjadinya perceraian.
8
Cara melakukan perceraian adalah dengan gugatan. Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah
7Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum Positif), (Yogyakarta: UII Press, 2011), Hal. 233.
8 Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008), Hal. 11.
hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.9
Cerai gugat dapat dilakukan oleh seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam.
Di dalam UUP secara rinci tidak dijelaskan bagaimana tata cara perceraian yang harus dilakukan dan tata cara mengajukan gugatan perceraian oleh suami atau istri yang ingin bercerai. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan dan tata cara mengajukan gugatan perceraian lebih jelas diatur dalam peraturan perundangan tersendiri yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut PP No. 9 Tahun 1975).
10 Perceraian menurut hukum agama selain agama Islam diajukan ke Pengadilan Negeri yakni perceraian yang gugatan cerainya diajukan atas inisiatif suami atau istri, yang dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan oleh pegawai pencatat di kantor catatan sipil sebagai perkawinan yang diakui oleh negara.11
9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 20 ayat (1).
10 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata: Orang dan Keluarga (Edisi 3), (Medan: USU Press, 2018), Hal. 92.
11 Muhammad Syaifuddin, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), Hal. 7.
Akan tetapi, dalam faktanya terdapat gugatan perceraian yang diajukan atas perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil atau yang dapat dikatakan sebagai perkawinan yang tidak diakui oleh negara dan putusan pengadilan mengabulkannya. Hal ini menjadi permasalahan yang perlu dibahas dan dikaji ulang berdasarkan ketentuan hukum materil dan ketentuan formil terkait hukum perkawinan.
Seperti pada kasus di dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn tanggal 10 Juli 2018, yakni seorang istri berinisial WA yang bekerja sebagai ibu rumah tangga mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri Medan tanggal 02 Mei 2018 dengan register perkara No.
257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn menggugat suaminya berinisial DK yang bekerja sebagai pekerja di bengkel. Pada kasus ini, WA sebagai Penggugat dan DK sebagai Tergugat telah melakukan pemberkatan nikah pada tanggal 12 Januari 2002 di Gereja Reformasi Injili Sentosa Asih Jemaat Maranatha. Perkawinan Penggugat dan Tergugat tersebut hanya memiliki surat keterangan menikah dari pihak gereja dan belum melakukan pendaftaran perkawinan di kantor catatan sipil sehingga belum memiliki akta catatan sipil.
Pada mulanya perkawinan Penggugat dan Tergugat berlangsung secara harmonis dan perkawinan mereka telah dikaruniai anak sebanyak 2 (dua) orang.
Namun, setelah mengarungi rumah tangga hingga kelahiran anak kedua, hubungan antara Penggugat dan Tergugat mulai muncul pertengkaran yang terjadi karena Tergugat sering pulang larut malam, tidak memberikan biaya hidup dan tuduhan-tuduhan terjadinya perselingkuhan. Pertengkaran tersebut memuncak pada tahun 2013, Penggugat dan Tergugat sepakat untuk pisah meja dan ranjang.
Penggugat merasa kehidupan terpisah kurang lebih selama 5 (lima) tahun lamanya bukanlah hal yang wajar dan tidak dapat dipertahankan lagi sehingga Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Medan.
Gugatan Perceraian tersebut kemudian diproses dan dikabulkan oleh majelis hakim. Dikabulkannya gugatan perceraian tersebut merupakan putusan yang mengabulkan gugatan perceraian atas perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil sehingga menunjukan adanya kesenjangan hukum antara das
sollen dan das sein. Suatu perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan
sipil seharusnya perkawinan tersebut dianggap tidak pernah diakui oleh negara dan tidak bisa diproses secara hukum. Hal ini seharusnya berakibat tidak dapatnya diajukan suatu perbuatan hukum setelah perkawinan berlangsung, salah satunya sebagai dasar dalam mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan negeri.
Dalam pertimbangan hukumnya putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn menyatakan bahwa status perkawinan Penggugat dan Tergugat sah menurut hukum meski tidak dilakukannya pendaftaran perkawinan ke kantor catatan sipil sehingga dapat diproses di Pengadilan Negeri. Selain itu, pertimbangan hukum dikabulkannya gugatan perceraian disertai dengan alasan bahwa perceraian diajukan dengan alasan pertengkaran dan percekcokan yang puncaknya berlangsung ditahun 2013 terhadap pertengkaran tersebut sudah diusahakan damai namun tidak berhasil, dan berujung kepada peristiwa perceraian.
Dengan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan studi putusan dalam skripsi ini yang berjudul “Tinjauan Yuridis Dikabulkannya Gugatan Perceraian Atas Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan Di Kantor Catatan Sipil (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn)”.
B. Permasalahan
Permasalahan merupakan acuan untuk melakukan penelitian dan juga menentukan bahasan selanjutnya sehingga sasaran dapat tercapai. Setelah mengetahui latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yaitu :
1. Bagaimana prosedur perceraian menurut hukum perkawinan di Indonesia?
2. Bagaimana analisis hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn?
3. Bagaimana akibat hukum setelah putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn?
C. Tujuan Penulisan
Adapun beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini, adalah :
1. Untuk mengetahui prosedur perceraian menurut hukum perkawinan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn yang telah mengabulkan gugatan perceraian atas perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil.
3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn.
D. Manfaat Penulisan
Selain tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk :
1. Manfaat Teoretis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum perdata, khususnya dalam bidang hukum keluarga mengenai dikabulkannya gugatan perceraian atas perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil.
2. Manfaat Praktek
Secara praktek diharapkan agar tulisan ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang dapat memperluas pengetahuan masyarakat dan dapat digunakan
oleh alat-alat penegak hukum sebagai bahan rujukan dalam menangani perkara perceraian.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari satu hal atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.12
1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian
Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini antara lain :
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis normatif. Yuridis normatif adalah penelitian dengan cara pengambilan bahan maupun data dari kepustakaan di mana penelitian ini mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum dalam masyarakat. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the books), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim
melalui proses pengadilan (law is decided by the judge through judicial process).13
b. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif analitis.
Penelitian deskriptif ialah suatu bentuk penelitian yang ditunjukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun
12Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , (Jakarta: UI Press, 2006), Hal.
43.
13 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Grafitti Press, 2006), Hal. 118.
fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena yang satu dengan fenomena yang lainnya.14
2. Sumber Data
Selain itu skripsi ini juga menganalisis putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn.
Sumber data penelitian ini berasal dari data sekunder. Data sekunder didapatkan dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian yang meliputi :
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai adalah : 1) R.B.G (Rechtsreglement voor de Buitengewesten);
2) H.I.R (Herziene Indonesische Reglement);
3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman;
5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Jo. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
6) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;
8) Putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn;
b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.
c. Bahan hukum tersier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus Bahasa Indonesia.
14 Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), Hal. 21.
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data a. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan. Dilakukan dengan mempelajari berbagai sumber bacaan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini yaitu dari buku-buku hukum, makalah hukum, artikel hukum, pendapat para sarjana dan bahan-bahan lainnya.
b. Alat Pengumpulan Data
Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen. Studi dokumen dilakukan dengan mengumpulkan data dari dokumen-dokumen yang mendukung terhadap penelitian ini berupa literatur, peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel yang memiliki kaitan dengan permasalahan. Kemudian menjadi masukan dalam melengkapi analisis dalam permasalahan ini.
4. Analisis Data
Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap permasalahan yang akan dibahas. Analisis data dilakukan dengan :
a. Mengumpulkan bahan hukum yang relevan dengan permasalahan;
b. Memilih kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan penelitian;
c. Menjelaskan hubungan hukum antara berbagai konsep, pasal yang ada;
d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif kualitatif.
Data yang berhasil dikumpulkan yakni data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar
sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mepertautkan bahan hukum yang ada. Mengolah dan mengintepretasikan data guna mendapat kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.15
F. Keaslian Penulisan
Dari penelitian yang dilakukan pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara belum ada penulisan yang menyangkut mengenai “Tinjauan Yuridis Dikabulkannya Gugatan Perceraian Atas Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan Di Kantor Catatan Sipil (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn)”. Judul tersebut didasarkan oleh ide, gagasan, pemikiran, referensi, buku-buku dan pihak-pihak lain. Judul tersebut belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya dan merupakan kasus dari Putusan Pengadilan Negeri Medan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, terdapat beberapa skripsi yang membahas masalah perceraian, yakni :
1. Ayu Atikah Suheri, 130200280, Analisis Hukum Mengenai Alasan Bercerai Karena Suatu Perselisihan Dan Pertengkaran Yang Menyebabkan Tidak Ada Harapan Untuk Hidup Rukun Lagi Di dalam Suatu Rumah Tangga Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Medan No.2084/Pdt.G/2015/PA.Mdn. Rumusan masalah :
a. Apakah perselisihan dan pertengkaran dapat dijadikan alasan bercerai?
15 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), Hal. 54.
b. Bagaimana dasar pertimbangan hakim mengabulkan permohonan perceraian?
2. Muhamad Reno Faizin Lazuardi, 140200430, Perceraian Dalam Perkawinan Campuran (Studi Putusan Pengadilan Agama No.0345/Pdt.G/2012/PAJS).
Rumusan masalah :
a. Bagaimanakah kasus posisi putusan Pengadilan Agama No.0345/Pdt.G/2012/PAJS?
b. Bagaimana putusnya perkawinan atas verstek?
c. Bagaimana analisis dan pertimbangan hukum hakim atas putusan Pengadilan Agama No.0345/Pdt.G/2012/PAJS?
Dengan demikian, maka keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan bab, di mana masing-masing bab diuraikan masalahnya secara tersendiri, namun masih dalam konteks yang berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Secara sistematis materi pembahasan keseluruhannya terbagi atas 5 (lima) bab yang terperinci sebagai berikut :
Bab I merupakan pendahuluan, dalam bab ini menggambarkan hal-hal yang bersifat umum sebagai langkah awal dari tulisan ini. Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II membahas prosedur perceraian menurut hukum perkawinan di Indonesia, dalam bab ini diuraikan mengenai hukum perkawinan di Indonesia dan perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Bab III membahas pertimbangan hukum hakim dalam perkara perceraian atas perkawinan yang tidak didaftarkan di kantor catatan sipil (studi putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn), dalam bab ini dibahas mengenai kasus posisi, pertimbangan hukum hakim, dan analisis hukum terhadap pertimbangan hukum hakim pada putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn.
Bab IV membahas akibat hukum yang timbul dari putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn, dalam bab ini dibahas mengenai analisis terhadap putusan Pengadilan Negeri Medan No.257/Pdt.G/2018/Pn.Mdn, dan akibat hukumnya terhadap para pihak.
Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran, dalam bab ini memuat suatu kesimpulan dari permasalahan yang telah diuraikan. Kemudian dilanjutkan dengan memberikan beberapa saran yang diharapkan akan berguna dalam praktek.
BAB II
PROSEDUR PERCERAIAN
MENURUT HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Hukum Perkawinan Di Indonesia
Perkawinan dalam kehidupan manusia bukan hanya sekedar menyangkut masalah kebutuhan biologis sebagai wujud hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi juga mengandung aspek sosial, agama dan hukum sehingga perlu untuk dilihat dari banyak aspek terutama dari aspek agama dan hukum. Ditinjau dari sudut hukum, perkawinan adalah merupakan sebuah perbuatan hukum yakni seorang laki-laki mengikatkan diri dengan seorang perempuan untuk hidup bersama karena itu harus diperhatikan yang ditentukan dalam berbagai ketentuan hukum yang berlaku.
Di Indonesia sejak tanggal 2 Januari 1974 telah disahkannya UUP sebagai hukum positif di Indonesia yang berlaku hingga sekarang. Selain UUP, hukum perkawinan di Indonesia juga diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya di antaranya dalam PP No. 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI).
Sejak berlakunya UUP mengakibatkan ketentuan hukum perkawinan yang lahir sebelum UUP dianggap tidak berlaku lagi, sesuai dengan rumusan Pasal 66 UUP yaitu :
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata (Burgelijk Wet-boek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiaers : 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemeng de Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.”
Ide unifikasi hukum di bidang hukum perkawinan merupakan maksud tersendiri dari para pembentuk UUP bahwa bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia, mutlak adanya UUP sebagai hukum nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia.16 Selain itu untuk menjamin kepastian hukum, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum UUP berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.17
Hazairin menyebutkan UUP merupakan unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Unifikasi itu bertujuan hendak memperlengkapi segala apa yang tidak diatur hukumnya dalam agama atau kepercayaan karena dalam hal tersebut negara berhak mengaturnya sendiri sesuai dengan zaman.18 Kepastian hukum ini memang diperlukan untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, maka untuk itu diperlukan norma hukum atau peraturan sebagai pedoman dalam bertindak dan dapat memprediksikan apa yang akan terjadi bila melakukan perbuatan tertentu. Oleh karena itu unifikasi hukum perkawinan menjadi sesuatu yang penting dan dapat berfungsi sebagai penjaga, pengatur dan menghasilkan ketertiban dalam masyarakat.19
Ditinjau dari perkembangan hukum perkawinan di Indonesia, orientasi hukum dalam rangka pembaharuan dan pembangunan hukum nasional adalah tidak mengenal pergolongan rakyat dan diterapkannya unifikasi hukum bagi warga negara Indonesia, adanya pandangan hukum yang mempertimbangkan
16 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Penjelasan umum angka 1.
17 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Penjelasan umum angka 5.
18 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.cit., Hal. 39.
19 Waidin, Perspektif Hukum dan Keadilan Terhadap Kasus Buah Randu di Kabupaten Batang, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10, No. 1, Januari 2010, Hal. 23.
masuknya hukum agama dalam hukum nasional yang dibingkai dalam konsep unifikasi hukum, sehingga terdapat unifikasi akan tetapi juga mewadahi adanya pluralisme di sektor hukum (sahnya perkawinan), artinya hukum agama mendapatkan legitimasi sebagai hukum positif di Indonesia, dan berlakunya hukum agama harus ditafsirkan masih dalam koridor unifikasi hukum. Dalam hukum nasional khususnya dalam UUP masih terlihat nuansa hukum yang bersumberkan pada nilai-nilai dan pengertian hukum (begrip) atau konsep dari hukum agama, hukum adat dan KUH Perdata. Hanya dalam hal ini harus diperhatikan bahwa nuansa yang diperkenalkan (introdusir) kepada warganegara harus dipahami dalam suasana unifikasi hukum.20
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan instituisi yang sangat penting dalam masyarakat.
Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki- laki dengan seorang wanita.21 Oleh sebab itulah, beberapa ahli memandang dan memberikan arti yang sangat penting terhadap institusi yang bernama perkawinan.
Asser, Scholten, Pitlo, Petit, Melis, dan Wiarda,22
20 Tri lisiani Prihatinah, Tinjauan Filosofis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8, No. 2, Mei 2008, Hal. 41.
21 Salim H,S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), Hal. 61.
22 Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya: Airlangga University Press, 2000), Hal. 18.
memberikan definisi, bahwa perkawinan ialah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk bersama atau bersekutu yang kekal. Esensi dari yang dikemukakan para pakar tersebut adalah bahwa perkawinan sebagai lembaga hukum, baik karena apa yang ada di dalamnya, maupun karena apa yang terdapat di dalamnya.
Sedangkan menurut beberapa ahli lainnya seperti menurut Soetojo Prawirohamidjo menyatakan bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita yang dikukuhkan secara formal dengan undang- undang (yuridis) dan kebanyakan religius. Pendapat lain disampaikan Subekti yang mengatakan, bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. 23
Sebelum keluarnya UUP, tidak ditemukan pengertian perkawinan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 26 KUH Perdata, dikatakan bahwa undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata saja.
Ratio pasal ini menunjukkan bahwa KUH Perdata memandang perkawinan bukan suatu perbuatan yang religius yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan bersifat materi atau kebendaan (zakelijk). Tujuan perkawinan hanya memfokuskan hubungan suami istri dengan nilai-nilai kebendaaan dan serba duniawi. Hubungan suami istri lebih baik mengagungkan sifat sosiologi dari pada religi. Religi tidak mendapat tempat dalam hubungan perdata pada soal-soal perkawinan. Hal ini didasarkan pada filosofi bahwa KUH Perdata menganut paham serba materi saja dengan mengagungkan individual-liberalistis.24
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga Ketentuan KUH Perdata sangat berbeda dengan UUP yang memberikan rumusan pengertian perkawinan dalam Pasal 1 UUP yaitu :
23 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Kencana, 2008), Hal. 100.
24 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.cit., Hal. 41.
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Berdasarkan pengertian Pasal 1 UUP tersebut, terdapat 5 (lima) unsur dalam pengertian perkawinan, yaitu:
1) Ikatan lahir batin.
Unsur pertama ini menunjukkan bahwa suatu perkawinan tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, akan tetapi kedua- duanya secara sinergis dan terpadu erat. Ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Sedangkan ikatan batin merupakan hubungan nonformal, suatu ikatan yang tidak tampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang mengikatkan dirinya. Ikatan batin ini merupakan dasar ikatan lahir, sehingga dijadikan pondasi yang utuh dalam membentuk dan membina keluarga yang kekal dan bahagia.25
2) Antara seorang pria dengan seorang wanita.
Unsur kedua ini menunjukkan bahwa tidak terbuka pintu hukum bagi sesama wanita atau sesama lelaki atau yang memiliki dua jenis kelamin untuk melangsungkan perkawinan. Identitas jenis kelamin harus jelas secara fisik dan biologis. Dalam realitas hukum, ditemukan adanya praktik perkawinan yang dilangsungkan antara jenis kelamin sejenis yaitu wanita dengan wanita.26
3) Sebagai suami-istri.
25 Titik Triwulan Tutik, Op.cit., Hal. 104.
26 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.cit., Hal. 42.
Unsur ketiga ini menunjukkan bahwa adanya persekutuan antara pihak- pihak yang melakukan perkawinan yakni seorang pria dengan seorang wanita dipandang sebagai suami istri jika telah melakukan kesepakatan, kecakapan, telah mendapat izin dari pihak lain dan menyangkut syarat-syarat formalitas pelangsungan perkawinan telah dipenuhi.27
Unsur keempat ini menunjukkan untuk apa dilangsungkannya perkawinan jika tidak memiliki tujuan. Keluarga bahagia dan kekal adalah cita-cita bagi kedua calon suami istri. Perkawinan yang bahagia harus pula diukur dengan potensi individu dan kolektif suami istri, sehingga ukurannya sangat relatif, tetapi yang paling umum bahagia adalah jika rumah tangga yang dijalani dari awal sampai akhir sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan serta pendidikan anak-anak, tidak mengalami keretakan atau kegoncangan yang mengarah kepada bubarnya perkawinan. Perkawinan bersifat kekal, artinya diharapkan bahwa perkawinan harus berlangsung seumur hidup kecuali salah satu meninggal dunia. Kekal mengisyaratkan bahwa bersikap hati-hati pada saat memilih calon suami atau istri, karena suami atau istri bukan seperti benda yang dipakai untuk kepentingan sesaat.
4) Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
28
Unsur kelima ini menunjukkan bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan. Keberadaan unsur Ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu 5) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
27 Titik triwulan tutik, Op.cit., Hal. 105.
28 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.cit., Hal. 44.
pertanggungjawaban kepada Tuhan Sang Pencipta. Dengan adanya unsur Ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah urusan manusia semata-mata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perkawinan mengandung paham teokratis.29
2. Syarat-Syarat Perkawinan
Unsur ini juga sejalan dengan amanat falsafah hidup bangsa Indonesia dalam sila pertama pada Pancasila.
Untuk dapat melakukan perkawinan secara sah, harus dipenuhi apa yang dinamakan dengan syarat sah suatu perkawinan. Syarat- sah suatu perkawinan ini ditentukan dalam UUP, sebagai ius constitutum telah merumuskan norma hukum mengenai perkawinan yang sah pada Pasal 2 UUP, yang menyebutkan perkawinan adalah sah apabila :
1) Dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
UUP telah menempatkan kedudukan agama sebagai dasar pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, untuk sahnya suatu perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan kepercayaannya. Dalam penjelasan Pasal 2 UUP disebutkan bahwa :
“Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Maka, yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) serta penjelasannya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agama dan maksud
29 Ibid, Hal.46.
hukum agama termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku.30 Sehubungan dengan adanya ketentuan tersebut, maka bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan perkawinan yang telah diatur dalam hukum perkawinan Islam. Demikian juga bagi mereka yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, maupun Buddha, hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya perkawinan.31 Dengan demikian perkawinan yang sah menurut agama maka sah menurut peraturan perundang-undangan. Tidak ada dikhotomi antara hukum agama dan hukum negara. Untuk itu menentuan keabsahan suatu perkawinan menjadi domain aturan yang digariskan masing-masing agama dan aliran kepercayaan yang dianut calon mempelai.32
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagi warga negara yang melangsungkan perkawinan menurut tata cara agama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan oleh Pegawai dari Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, bagi warga negara yang bukan pemeluk agama Islam, pencatatan perkawinan dilakukan pada kantor dinas kependudukan dan catatan sipil.33
30Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, (Jakarta:
Kencana, 2004), Hal. 125
31 Soemiyati, Hukum Perdata Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Yogyakarta: Leberty, 2002), Hal. 63.
32 Marwin, Pencatatan Perkawinan dan Syarat Sahnya Perkawinan dalam Tatanan Konstitusi , Jurnal Asas, Vol. 6, No. 2, Januari 2014, Hal. 105.
33 P.N.H.Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Di Indonesia, (Jakarta: DJambatan, 2005), Hal. 58.
Tata cara pendaftaran perkawinan lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Berikut rangkuman tata cara pendaftaran perkawinan :34
g) Menghadirkan 2 (dua) orang saksi yang mengalami dan mengikuti prosesi pemberkatan perkawinan pihak yang melangsungkan perkawinan. Khusus a) Pihak yang melakukan perkawinan dalam jangka waktu 60 (enam puluh)
hari setelah melangsungkan upacara pemberkatan perkawinannya baik di lembaga keagamaan ataupun di tempat tinggalnya, harus datang ke dinas kependudukan dan pencatatan sipil untuk mendaftarkan perkawinannya.
Surat bukti perkawinan agama, maksudnya adalah surat bukti yang menerangkan bahwa pihak yang bersangkutan telah melangsungkan perkawinan yang sah secara keagamaan dan kepercayaannya. Surat bukti ini biasa juga disebut dengan istilah pemberkatan perkawinan;
b) Akta kelahiran, maksudnya adalah akta otentik yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah akta kelahiran dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;
c) Surat keterangan dari lurah, maksudnya adalah surat keterangan pengantar dari pejabat kelurahan yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan telah melangsungkan perkawinan;
d) Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku dan Kartu Keluarga (KK) dari pihak-pihak bersangkutan yang telah dilegalisir oleh pihak Kelurahan;
e) Pas foto berdampingan antara pihak yang bersangkutan dengan ukuran 4 x 6 dan 2 x 3 sebanyak 5 (lima) lembar;
f) Menghadirkan orang tua pihak-pihak yang bersangkutan;
34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 34.
permasalahan ini, diharuskan orang yang cakap hukum dan tidak cacat hukum (albekwaam), minimal berusia 21 tahun.
Dalam perkembangan hukum perkawinan di Indonesia, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUP tersebut telah dikaji Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) dalam Putusan No. 46/PUU-VIII/2010. Sahnya suatu perkawinan menurut MK hanya didasarkan pada syarat yang ditentukan oleh ketentuan masing-masing agama dan kepercayaannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUP.
Syarat sah suatu perkawinan hakekatnya disandarkan pada ketentuan agama, sedangkan pencatatan perkawinan hanya merupakan syarat administratif yang tidak menentukan sahnya perkawinan. Pandangan MK tersebut selaras dengan pendapat Bagir Manan yang menyebutkan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP, yakni perkawinan menurut masing-masing agama (syarat-syarat agama) merupakan syarat tunggal sahnya perkawinan. Sedangkan, pencatatan perkawinan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) UUP, tidak menunjukkan kualifikasi sederajat yang bermakna sahnya perkawinan menurut agama adalah sama dengan pencatatan perkawinan, sehingga yang satu dapat menganulir yang lain.35
Pandangan tentang pencatatan perkawinan sebagai kewajiban administratif juga disampaikan oleh Ahmad Tholabi Kharlie, yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan di Indonesia hanya merupakan peraturan administratif saja, tidak termasuk sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan. Namun, pencatatan perkawinan yang hanya berstatus administratif ini justru memberikan ambiguitas dalam pemahaman dan penerapannya, karena melahirkan konsekuensi
35 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesian dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), Hal. 157.
yuridis bahwa setiap perkawinan yang dilakukan menurut agama yang bersangkutan dapat dianggap sah meskipun tidak dicatatkan.36
Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 ini sekaligus menjadi pemutus adanya silang pendapat yang terjadi di tengah masyarakat, tentang fungsi atau kedudukan pencatatan perkawinan terhadap status keabsahan perkawinan. Majelis hakim MK menafsirkan Pasal 2 ayat (2) UUP sebagai suatu kewajiban administratif yang tidak mengikat terhadap keabsahan perkawinan, dimana setiap warga negara yang melakukan tindakan hukum yang akan menimbulkan akibat hukum, wajib untuk mencatatkan dalam daftar yang telah disediakan oleh negara untuk itu. Negara memiliki kewenangan untuk mengatur tata kehidupan para warganya, termasuk menentukan kewajiban untuk mencatatkan setiap perkawinan demi tujuan memberikan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
37
Selain syarat sahnya perkawinan, dalam UUP terdapat syarat-syarat perkawinan sebagai hukum nasional diatur dalam ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 UUP terdiri dari syarat substantif dan syarat ajektif. Syarat substantif adalah syarat-syarat yang menyangkut diri pribadi calon suami dan calon istri. Persyaratan substantif tersebut adalah sebagai berikut :38
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan (kata sepakat) calon suami-istri (Pasal 6 ayat (1) UUP);
2) Umur dari calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri berumur 16 tahun. Jika belum berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orangtua.
36 Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), Hal. 190.
37 D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca
Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2012), Hal. 224.
38 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op. cit., Hal.48.
Kalau orangtua sudah meninggal diperoleh dari wali, dan jika tak ada wali diperoleh izin pengadilan setempat (Pasal 7 ayat (1) UUP);
3) Calon istri tidak terikat pada pertalian perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9 UUP);
4) Adanya waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya apabila akan melangsungkan perkawinannya yang kedua (Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUP);
5) Calon suami-istri memiliki agama yang sama (Pasal 8 UUP).
Sedangkan syarat ajektif adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Persyaratan ajektif adalah sebagai berikut : 39
1) Kedua calon suami istri atau kedua orangtua atau wakilnya memberitahukan kepada pegawai pencatat perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan secara lisan atau tertulis (Pasal 4 PP No.9 Tahun 1975);
2) Pemberitahuan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 3 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975);
3) Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan meneliti semua dokumen- dokumen yang berkaitan dengan identitas calon suami-istri (Pasal 6 dan Pasal 7 PP No.9 Tahun 1975);
4) Pengumuman tentang waktu dilangsungkan perkawinan pada Kantor Pencatatan Perkawinan untuk diketahui umum. Lazimnya ditempel pada papan pengumuman dikantor tersebut agar mudah dibaca masyarakat (Pasal 8 dan Pasal 9 PP No.9 Tahun 1975);
39 Ibid, Hal.49.
5) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman (Pasal 10 ayat (1) PP No.9 Tahun 1975);
6) Perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri 2 (dua) orang saksi (Pasal 10 ayat (3) PP No.9 Tahun 1975);
7) Akta perkawinan ditandatangani oleh kedua calon suami-istri, diikuti saksi dan pegawai pencatat. Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua). Helai pertama disimpan oleh pencatat, dan helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah kantor pencatat perkawinan tersebut. Kepada suami-istri diberikan akta perkawinan (Pasal 11 dan Pasal 12 PP No.9 Tahun 1975).
3. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Perkawinan menciptakan hubungan hukum suami dan istri antara seorang pria dan seorang wanita, yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing maupun bersama dalam keluarga. Dengan kata lain, perkawinan menimbulkan peranan dan tanggung jawab suami dan istri dalam keluarga.40
Untuk menegakkan rumah tangga yang bahagia, sejahtera dan kekal yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat, suami dan istri memikul kewajiban yang luhur. Dalam mencapai itu, suami dan istri berkewajiban saling mencintai, menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Kewajiban-kewajiban ini dicantumkan di dalam Pasal 30 dan Pasal 33 UUP.
Ketentuan Pasal 30 dan Pasal 33 UUP tersebut merupakan ciri dari kehidupan Hak dan kewajiban antara suami istri tersebut diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UUP.
40 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2006), Hal. 337.
keluarga modern, di mana suami-istri secara bersama-sama wajib memikul tanggung jawabnya.41
Selanjutnya, ketentuan dalam Pasal 31 UUP menentukan, bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum serta suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Walaupun hak dan kedudukan suami-istri seimbang namun mereka mempunyai peranan dan tanggung jawab yang berbeda dalam keluarga. Menurut Pasal 31 UUP suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga sebagai pendamping suami dan istri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Dalam kedudukan sebagai kepala rumah tangga, suami merupakan pemimpin dan sekaligus pembimbing terhadap istri, anak-anak dan kerumahtanggaan lainnya. Istri sebagai ibu rumah berkewajiban menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
42
Agar dapat hidup dengan tenang, suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami-istri bersama. Hal ini ditentukan di dalam Pasal 32 UUP. Kediaman tetap dalam keluarga modern tidak berarti adanya bangunan rumah tangga yang tetap dikuasai dan/atau dimiliki bangunannya, tetapi tempat kediaman yang tetap dalam arti tidak dalam waktu yang singkat berpindah-pindah, sehingga alamat tempat kediaman menjadi tidak menentu dan tidak dapat diketahui domisilinya, akibatnya menyulitkan dalam perhubungan hukum. Begitu pula walaupun penguasaan dan pemilikan tempat
41 Hilman Hadikusuma, Hukum kekerabatan Adat, (Jakarta: Fajar Agung, 1987), Hal.
104.
42 Rachmadi Usman, Op. cit., Hal. 338.
kediaman itu dikuasai oleh istri, namun alamatnya atas nama suami dalam kedudukannya sebagai kepala rumah tangga. Penyediaan tempat kediaman ini menjadi kewajiban suami yang didasarkan pada kesanggupannya dengan memerhatikan kepentingan dan pendapat istrinya. Dengan demikian, penentuan tempat kediaman bukan semata-mata di tangan suami, harus dimusyawarahkan secara bersama-sama oleh suami-istri.43
Sebagai kepala keluarga, suami tidak mendapatkan hak-hak suami melebihi dari istri atau istri-istri. Ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) UUP menentukan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa suami yang berkewajiban untuk menanggung biaya keperluan hidup berumah tangga tersebut, kecuali istri rela atau ikhlas untuk itu.
Saat ini kewajiban seperti itu tidak harus mutlak dibebankan kepada suami, kalau perlu bisa dibantu oleh istrinya, namun jangan mewajibkan istri untuk bekerja.
44
Selain itu, dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2) UUP menerangkan bahwa istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Dengan demikian selaku ibu rumah tangga, seorang istri berkewajiban untuk menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Soal pembelanjaan rumah tangga sehari-hari menjadi kewajiban istri untuk mengatur dan menyelenggarakannya.45
43 Hilman Hadikusuma, Op. cit., Hal. 106.
44 Rachmadi Usman, Op. cit., Hal. 339.
45 Ibid, Hal. 340.
Selanjutnya, ketentuan hak suami-istri yang dicantumkan di dalam Pasal 34 ayat (3) UUP menyebutkan bahwa kelalaian dalam melaksanakan kewajiban masing-masing, suami atau istri dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
4. Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya
Masalah putusnya perkawinan, UUP mengaturnya dalam Bab VIII Pasal 38 sampai Pasal 41. Ketentuan Pasal 38 UUP menyebutkan suatu perkawinan dapat putus karena tiga hal, yaitu kematian salah satu pihak, perceraian dan atas keputusan pengadilan.
Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya hubungan perkawinan dikarenakan kematian salah seorang dari suami istri. Secara hukum dengan adanya kematian tersebut maka putuslah hubungan perkawinan mereka.
Makna dari kematian bukanlah kematian perdata, akan tetapi kematian daripada pribadi orangnya, bahkan yang dimaksud oleh undang-undang kematian salah satu pihak, apakah si suami ataukah si istri.46 Putusnya perkawinan dengan matinya salah satu suami istri menimbulkan hak saling mewaris antara suami istri atas harta peninggalan yang mati menurut hukum waris, kecuali matinya salah satu pihak itu karena dibunuh oleh salah satu yang lain suami istri. Akibat lainnya yang ditimbulkan dari kematian adalah suami atau istri yang masih hidup diperbolehkan untuk menikah lagi, asal memenuhi syarat-syarat perkawinan.47
Selanjutnya, putusnya perkawinan menurut UUP juga dapat terjadi karena perceraian. Terkait dengan perceraian, juga ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak serta harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri tidak akan dapat rukun kembali sebagai suami istri.
48
46 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., Hal. 135.
47 Rachmadi Usman, Op. cit., Hal. 399.
48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 39.
Akibat hukum yang ditimbulkan dari putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 41 UUP, akibat-akibatnya adalah sebagai berikut :
a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Selain dari kematian para pihak dan perceraian, putusnya perkawinan juga terjadi dikarenakan adanya keputusan pengadilan. Keputusan pengadilan sebagai salah satu cara putusnya perkawinan adalah berbeda dengan keputusan pengadilan dalam rangka perceraian. Maksud dari keputusan pengadilan dalam UUP tersebut dalam rangka pembatalan perkawinan yang diatur dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 UUP. Akibat hukum yang ditimbulkan dari putusnya perkawinan karena keputusan pengadilan adalah perkawinan yang awalnya telah ada dianggap tidak pernah ada atau tidak sah lagi.49
B. Perceraian Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Dengan berlakunya UUP, bangsa Indonesia telah memiliki hukum perkawinan, termasuk hukum perceraian yang berlaku secara nasional
49 H.Rusdi Malik, Memahami Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), Hal. 99.
berdasarkan Pancasila dan tetap berpijak pada semboyan “bhineka tunggal ika”, yang bermakna walaupun pada pokoknya bangsa Indonesia sudah mempunyai hukum perkawinan, termasuk hukum perceraian yang berlandaskan kesatuan, namun kebhinekaannya tetap masih berlaku.50
Jadi, istilah “perceraian” secara yuridis berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti berlaki-bini (suami istri). Istilah perceraian menurut UUP sebagai aturan hukum Positif tentang perceraian menunjukan adanya tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutus hubungan perkawinan di antara mereka.
Istilah “perceraian” terdapat dalam Pasal 38 UUP yang memuat ketentuan fakultatif bahwa :
“Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan”.
51
1. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
Jika merujuk kepada UUP, maka perceraian menurut Pasal 38 UUP adalah salah satu bentuk putusnya perkawinan. Terkait pengertian perceraian menurut UUP tidak secara kongkret dijelaskan apa yang menjadi pengertian dari perceraian. Namun, pengertian perceraian dapat diketahui dari penjelasan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pengertian dari kata “cerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan jenis kata kerja yang memiliki arti pisah atau putus hubungan sebagai suami istri. Kemudian, pengertian dari kata
“perceraian” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan jenis kata benda yang mengandung arti perpisahan, perihal bercerai (antara suami-istri) atau
50 Muhammad Syaifuddin, Op. cit., Hal. 12.
51 Ibid, Hal. 16.
perpecahan. Adapun pengertian dari kata “bercerai” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan jenis kata kerja yang memiliki arti tidak bercampur atau berhenti berlaki-bini.52
“Penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.”
Selain itu, pengertian perceraian juga dapat diketahui dari pendapat- pendapat para ahli hukum (menurut doktrin hukum). Salah satunya yaitu, pengertian perceraian menurut Subekti adalah :
53
Pengertian perceraian juga dapat dijelaskan dari beberapa perspektif hukum berikut :54
a. Perceraian menurut hukum Islam yang telah dipositifkan dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UUP yang telah dijabarkan dalam PP No. 9 Tahun 1975, mencakup antara lain sebagai berikut :
1) Perceraian dalam pengertian cerai talak yang diuraikan dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 18 PP No.9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang diajukan permohonan cerainya oleh dan atas inisitif suami kepada Pengadilan Agama;
2) Perceraian dalam pengertian cerai gugat yang diuraikan dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 PP No.9 Tahun 1975, yaitu perceraian yang diajukan gugatan cerainya olehdan atas inisiatif istri kepada Pengadilan Agama, yang dianggap terjadi dan berlaku beserta segala akibat hukumnya
52 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), Hal. 185.
53 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Internusa,1985), Hal. 42.
54 Muhammad Syaifuddin, Op. cit., Hal. 19-20.