• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI OLEH : SURYA KURNIATI ZEBUA NIM : DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW FAKULTAS HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI OLEH : SURYA KURNIATI ZEBUA NIM : DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW FAKULTAS HUKUM"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

SURYA KURNIATI ZEBUA NIM :170200464

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa berkat dan rahmat kepada kita semua. Hanya karena kebaikan Kasih dan Karunia-Nya lah yang menuntun penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skirpsi ini merupakan kewajiban dalam melengkapi syarat-syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum. Untuk itu, penulis mengangkat permasalah dengan judul : “PERLINDUNGAN HAK DAN KEPASTIAN HUKUM ATAS EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA DALAM PERJANJIAN LEASING DI INDONESIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 18/PUU- XVII/2019 (STUDI KASUS : PT INDOMOBIL FINANCE INDONESIA CAB.

NIAS)”

Menyadari akan keteratasan kemampuan dan pengetahuan, penulis merasa bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan guna kesempurnaan dari skripsi ini.

Penulis merasakan banyaknya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H, M.Hum, sebagai Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati S.H, M.Hum, sebagai Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H, M.Hum, sebagai Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

5. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H, M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Keperdataan.

6. Bapak Syamsul Rizal, S.H, M.Hum, sebagai Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan.

7. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., MS., selaku Dosen Pembimbing I, penulis mengucapkan banyak terimakasih karena berkenaan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dalam proses penulisan skripsi ini.

8. Ibu Zulfi Chairi, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, penulis juga mengucapkan banyak terimakasih karena telah banyak meluangkan waktu Ibu dan memberikan pandangan berupa petunjuk yang begitu berharga demi kelanjutan skripsi ini.

9. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan membantu penulis selama masa perkuliahan.

Teruntuk kedua Orang Tua yang terkasih, dengan hati yang tulus penulis mengucapkan terima kasih dengan rasa bangga kepada Papa Ir. Yosafati Zebua dan Mama Nuryanwati Laowo, terimakasih untuk setiap dukungan, nasehat, dorongan dan keringat serta setiap kasih sayang yang diberikan dan terutama untuk setiap harapan dan doa yang selalu menyertai. Kepada kedua Adik penulis, Agung Zebua dan Puji Zebua, mari kita bersama-sama saling membantu untuk meraih kesuksesan demi keberhasilan dan kebahagiaan orang tua kita.

(5)

11. Teman seperjalanan yang menemani dari pembuatan skripsi hingga akhirnya selesai, untuk SZ terimakasih selalu ada dan memberi motivasi untuk tidak menyerah dan saling mendoakan dalam setiap perjalanannya.

12. Kelompok Kecil dalam KMK, untuk Fanny, Tiodora Melisa, Tongam, Kak Shela dan Kak Penita yang telah menjadi keluarga pertama selama dikampus.

Terimakasih untuk setiap tawa, tangis, doa dan dukungannya.

13. Sahabat-sahabat tersayang, Siti, Dewi, Melinda, Sandhika, Vinni, dan Mariani, yang telah menjadi teman seperjuangan dalam melewati masa-masa perkuliahan sebagai mahasiswa, menjadi pendengar setia penulis, selalu ada disaat penulis membutuhkan bantuan dan menjadi motivator dalam setiap kesulitan penulis.

14. Teman-teman yang mengenal saya dan menerima saya apa adanya, teruntuk Carlin, Listra, Alfred, Debora, Noni, Brigita, Nurhafnisyah, Yishma, Boy, Jesica, dan untuk seluruh anggota Sunhell Family, terimakasih sudah menjadi moodbooster disaat penulis sedang jenuh, meski sudah berjauhan dan memiliki kehidupan masing-masing namun selalu ada untuk saling memberi dukungan dan semangat.

15. Kakak dan Abang serta Kawan-kawan dalam Forum Mahasiswa Nias (Forman) yang bersedia datang jika berada dalam suka dan duka serta berjuang sama-sama untuk memajukan kampong halaman kita.

16. Teman satu bimbingan, Delima Clara Dan Sari, yang selalu bersama-sama dan berkabar-kabaran untuk saling memotivasi dalam pengerjaan skripsi.

17. Teman-teman Grup B Stambuk 17 yang telah bersama-sama mengikuti perkuliahan dari semester awal hingga akhirnya berpisah-pisah karena mengikuti departemen pilihan masing-masing, terimakasih sudah mendukung dalam setiap proses pembelajaran dan menciptakan kerja sama yang baik dalam kelas, kiranya kita semua dapat selalu berjuang untuk menyelesaikan perkuliah kita hingga akhir.

(6)

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada seluruh pihak yang mengambil atau memiliki peran masing – masing dalam kehidupan penulis. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak, khususnya bagi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Terimakasih.

Medan, April 2021

Surya Kurniati Zebua 170200464

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5

D. Metode Penelitian ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Keaslian Penulisan ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN LEASING DI INDONESIA ... 22

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ... 22

B. Tinjauan Umum Tentang Leasing ... 35

BAB III KORELASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 18/PUU-XVII/2019 TERHADAP HAK EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA ... 56

A. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Leasing ... 56

B. Jaminan Fidusia dan Eksekusi Jaminan Fidusia ... 60

C. Ketentuan Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Leasing ... 72

D. Korelasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 Terhadap Hak Eksekusi Jaminan Fidusia ... 75

BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN LEASING DAN PENGEKSEKUSIAN JAMINAN FIDUSIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 18/ PUU- XVII/2019 (PT INDOMOBIL FINANCE INDONESIA CAB. NIAS) ... 86

A. Profil Umum PT Indomobil Finance Indonesia Cab.Nias ... 86

(8)

B. Pelaksanaan Perjanjian Leasing Pada PT Indomobil

Finance Indonesia Cab. Nias ... 87

C. Pengeksekusian Jaminan Fidusia Oleh PT Indomobil Finance Indonesia Cab. Nias ... 93

D. Pelaksanaan Pengeksekusian Jaminan Oleh PT Indomobil Finance Indonesia Cab. Nias Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 ... 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

A. Kesimpulan... 104

B. Saran ... 106 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(9)

ABSTRAK Surya Kurniati Zebua

Tan Kamello

Zulfi Chairi

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia menuntut lebih aktifnya kegiatan dibidang pembiayaan, salah satunya perusahaan leasing. Leasing merupakan lembaga pembiayaan yang bergerak dalam penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan atau perorangan. Dalam pokok perjanjiannya, lessor memiliki kekuasaan atas pengeksekusian objek jaminan fidusia sebagai benda tanggungan apabila terjadi wanprestasi. Namun hak eksekusi tersebut menimbulkan penyimpangan hukum, dimana penarikan jaminan fidusia dilakukan secara paksa sehingga mencederai hak-hak lessee.

Berikut permasalahan yang dibahas: Bagaimana pengaturan perjanjian lembaga pembiayaan leasing di Indonesia, Bagaimana korelasi munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 Terhadap hak eksekusi jaminan fidusia dan Bagaimana pelaksanaan perjanjian leasing dan pengeskesusian jaminan fidusia oleh PT Indomobil Finance Indonesia Cab.

Nias Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019.

Metode penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dianalisis menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan data diadakan dengan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Data pokok meliputi data primer dan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Penelitian hukum ini menghasilkan bahwa hak dan kewajiban pihak lessor dan lessee wajib tercantum dalam isi perjanjian yang telah disepakati dan disertakan klausula yang menyatakan kapan lahirnya cidera janji atau kapan dinyatakan salah satu pihak telah melakukan wanprestasi. Sehingga dapat memberi suatu kepastian hukum atas aturan yang menyatakan kapan jaminan fidusia dapat dieksekusi. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019, maka hak-hak dari pihak lessee dapat terlindungi dari tindakan semena-mena yang dilakukan pihak lessor.

Kata Kunci : Perjanjian, Leasing, Jaminan Fidusia, Eksekusi

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

 Dosen Pembimbing I, Staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

 Dosen Pembimbing II, Staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang tingkat pertumbuhan ekonominya terus berkembang dari waktu ke waktu. Banyak potensi-potensi usaha baru yang tumbuh dalam perekonomian Indonesia. Namun untuk mengembangkan potensi usaha tersebut tentulah aspek pendanaan sangat penting. Keadaan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung akan menuntut lebih aktifnya kegiatan dibidang pembiayaan. Adanya kompetisi ketat antara para pelaku usaha dalam penyediaan modal serta terjadinya peningkatan pelayanan jasa akan melahirkan berbagai produk pasar yang memudahkan konsumen.

Pembiayaan dana, selain melalui lembaga perbankkan dapat juga melalui lembaga keuangan non bank. Bank menjadi mediator dalam mempengaruhi jumlah uang beredar yang merupakan sasaran kebijakan moneter, namun bank memiiki beberapa kendala dalam pengurusannya sehingga para perusahaan beralih pada lembaga keuangan non bank yang berorientsi sistem pembiayaan alternatif, yakni lembaga pembiayaan leasing.

Berdasarkan peraturan perundang–undangan yang berlaku di Indonesia, Leasing memiliki istilah sebagai “sewa guna”. Dalam Kepmenkeu No.

1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) disebutkan bahwa sewa guna usaha merupakan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal selama jangka waktu tertentu berdasarkan

(11)

pembayaran secara berkala 1. Pembiayaan yang dilakukan oleh pihak leasing dituangkan dalam perjanjian kredit antara pihak leasing dengan debitur.

Dalam perjanjian ini, masing-masing pihak dalam mengikatkan diri mengkehendaki adanya kepastian hukum sehingga para pihak yang terlibat dalam perjanjian leasing ini tentunya tidak ada yang dirugikan. Maka disinilah fungsi dibuatnya perjanjian oleh para pihak dalam bentuk tertulis (kontrak), dan hal ini telah diatur dalam, Pasal 1233 KUHPerdata yang berbunyi, ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena undang-undang”2. Adapun pihak-pihak leasing yang terikat dalam pengadaan perjanjian yaitu 3 :

1. Lessor merupakan perusahaan pembiayaan yang telah diberi izin untuk melakukan pembiayaan;

2. Lessee sebagai nasabah ataupun pemohon yang mengajukan permohonan leasingnya kepada perusahaan tertentu untuk memenuhi kebutuhan barang modalnya;

3. Supplier bertindak sebagai orang yang mempunyai barang modal yang hendak dipergunakan barang modalnya dalam perjanjian leasing.

Hubungan timbal balik dari para pihak tersebut menyangkut pada pelaksanaan kewajiban dan peralihan suatu hak atau tuntutan kewajiban dari kenikmatan menggunakan fasilitas pembiayaan untuk itu antara lessor dan

1 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No : 1169/KMK.01/1991 Tentang Sewa Guna Usaha (Leasing) Bab I Pasal 1.

2 Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3Sentosa Sembiring, SH., MH, Hukum Dagang, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, h. 11.

(12)

lessee dibuat perjanjian financial lease / kontrak leasing atau suatu perjanjian pembiayaan4.

Pokok perjanjian leasing selalu mencantumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia yang artinya bahwa perjanjian kredit akan menimbulkan adanya perjanjian jaminan fidusia yang membebani benda yang dibiayai dijadikan sebagai jaminan pelunasan atas hutang apabila suatu saat terjadi kredit macet atau wanprestasi. Hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada pihak leasing yang telah memberikan sejumlah uang kepada debitur dan untuk memberikan kepastian hukum atas kembalinya sejumlah uang tersebut jika debitur tidak melaksanakan kewajibannya.

Apabila debitur tidak memenuhi kewajiban atau prestasinya, maka debitur telah melakukan wanprestasi. Adapun wanprestasi dari debitur dapat berupa5:

1. Tidak melakukan prestasi sama sekali;

2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan;

3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Pembebanan benda yang dijadikan sebagai jaminan fidusia haruslah di daftarkan pada kantor pendaftaran fidusia hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UUJF6. Dengan didaftarkannya jaminan fidusia akan memudahkan pihak leasing untuk melakukan eksekusi jaminan fidusia

4 Husnan Suad, Manajemen Keuangan, Teori dan Penerapan. Yogyakarta, BPFE, 1998, h.

62. 5

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 2001, h.45.

6 H.R Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi The bankers Hand Book, Bandung, PT. Citra Aditya Abadi, 2005, h. 287.

(13)

apabila suatu saat nanti terjadi kredit macet atau cidera janji. Akan tetapi fakta yang ditemukan dilapangan, banyak ditemukan perusahaan leasing yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia dan dalam prakteknya penyitaan jaminan oleh pihak leasing dilakukan secara paksa tanpa adanya pemberitahuan kepada debitur terlebih dahulu.

Terkait hak eksekusi atas benda terdapat beberapa pendapat atas implikasi dari Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang – Undang Jaminan Fidusia mengatur bahwa :

(2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Dalam ketentuan ayat 2 yang dimaksud dengan kekuatan eksekutorial adalah eksekusi yang langsung dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut dan ayat 3 menyatakan bahwa pemegang benda jaminan memiliki kekuasaan atas benda tersebut atas kekuasaannya sendiri. Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tersebut mengandung kelemahan yaitu pengaturan tersebut hanya berfokus untuk memberikan kepastian hukum atas hak Penerima Fidusia (pihak perusahaan leasing) dengan jalan dapat melakukan eksekusi Objek Fidusia secara serta merta.

Keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 yang telah disahkan oleh Hakim Konstitusi, menjadi pedoman pengaturan baru terhadap kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UU No. 42 Tahun

(14)

1999 tentang Jaminan Fidusia. Putusan Mahkamah Kontitusi ini tentu menjadi pedoman sebagai pelindungan hak-hak para pihak yang melakukan kesepakatan dalam perjanjian lembaga leasing serta memberi kepastian hukum bagi hukum perjanjian leasing.

Berdasarakan uraian tersebut, maka judul yang akan diangkat oleh penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam bentuk skripsi dengan judul Perlindungan Hak dan Kepastian Hukum Atas Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Leasing di Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUUXVII/2019 (Studi Kasus : PT Indomobil Finance Indonesia Cab. Nias).

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini yang selanjutnya akan dibahas dalam bab-bab berikutnya adalah :

1. Bagaimana pengaturan perjanjian lembaga pembiayaan leasing di Indonesia?

2. Bagaimana korelasi munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 Terhadap hak eksekusi jaminan fidusia?

3. Bagaimana pelaksanaan perjanjian leasing dan pengeskesusian jaminan fidusia oleh PT Indomobil Finance Indonesia Cab. Nias Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 ?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

(15)

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini, selain sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana hukum adalah :

a. Untuk mengetahui tentang sistem pengaturan perjanjian dari lembaga pembiayaan leasing di Indonesia.

b. Untuk mengetahui tentang korelasi dari munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 terhadap hak eksekusi jaminan fidusia.

c. Untuk mengetahui tentang pelaksanaan perjanjian leasing dan pengeskesusian jaminan fidusia oleh PT Indomobil Finance Indonesia Cab. Nias Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.

18/PUU-XVII/2019.

2. Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini tidak dapat dipisahkan dari tujuan penulisan yang telah diuraikan diatas, yaitu : a. Manfaat Teoritis

Untuk memberikan manfaat dibidang pengetahuan baik melalui pengembangan wawasan dan pemikiran untuk mahasiswa dan kalangan akademis serta masyarakat tentang perlindungan hak dan kepastian hukum atas eksekusi jaminan fidusia dalam perjanjian leasing di Indonesia.

(16)

b. Manfaat Praktis.

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi para pihak terkait terhadap perjanjian pembiayaan leasing. Sehingga hak-hak dan kepentingan masyarakat sebagai konsumen tidak merasa dirugikan.

D. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yaitu penelitian hukum normatif-empiris7. Penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, dan sejarah hukum. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini 8. Sedangkan penelitian hukum empiris terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektivitas hukum.Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data primer dengan melakukan wawancara kepada PT. Indomobil Finance Indonesia Cabang Nias 9.

Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang

7 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 28.

8 Soerjono Soekanto & Sri Mamadji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2009, h. 1.

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media, 2010, h.

87.

(17)

menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menanalisis peraturan hukum10. Dengan menggunakan sifat deskriptif ini, maka peraturan hukum dalam penelitian ini dapat dengan tepat digambarkan dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian pada penulisan ini.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada PT Indomobil Finance Indonesia Cabang Nias, dengan pertimbangan bahwa tempat penelitian itu adalah yang menjadi sorotan dalam penulisan skripsi ini sehingga didapat data- data dan bahan tertulis mengenai masalah yang akan diteliti.

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan terdiri dari 2 sumber data antara lain:

a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dilapangan oleh penulis melalui wawancara dengan informan dari PT Indomobil Finance Indonesia Cabang Nias.

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), yang terdiri dari 11 :

1) Bahan hukum primer berupa norma atau kaedah dasar, peraturan perundang-undangan yang sifatnya mengikat seperti Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Undang-Undang Republik Indonesia No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan fidusia, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019 maupun peraturan-peraturan lain berkaitan

10 Soerjono Soekanto, Op. cit., h. 10.

11 ibid

(18)

2) dengan kebijakan hukum perdata dalam perundang-undangan Indonesia.

3) Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat menunjang bahan hukum primer. Terdiri dari literatur hukum serta data yang diperoleh melalui studi lapangan PT. Indomobil Finance Indonesia Cabang Nias.

4) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus bahasa Indonesia, kamus hukum dan Ensiklopedia.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam teknik pengumpulan data yang dibutuhkan untuk skripsi ini, penulis melakukan suatu teknik pengumpulan data meliputi :

a. Studi dokumen (documents study) atau studi kepustakaan (library research) sebagai alat pengumpul data12. Studi dokumen tersebut merupakan penelitian bahan hukum primer, yaitu peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan hukum perjanjian leasing, khususnya mengenai analisis hukum atas perlindungan hak pada perjanjian leasing ditinjau dari segi hukum jaminan.

b. Studi lapangan (field research) melalui wawancara di PT. Indomobil Finance Indonesia Cabang Nias sebagai alat pengumpul data guna mendapat data primer sehingga mampu untuk mendukung dan

12 Soerjono Soekanto, Op. cit., h. 66.

(19)

menguatkan bahan hukum primer yang telah penulis pedomani sebelumnya.

5. Analisis Data

Penelitian dilakukan dengan menganalisis data primer dan sekunder dengan menggunakan logika induktif yaitu pola pikir yang berangkat dari kenyataan yang bersifat khusus kemudian di generalisasikan kepada aturan- aturan atau teori-teori yang bersifat umum. Dengan menggunakan kriterium kebenaran koresponden serta fakta yang digunakan untuk proses induksi dan pengujian kebenaran secara koresponden.

Data diolah dengan metode kualitatif yang bertujuan untuk menginterpretasikan secara kualitatif tentang pendapat atau tanggapan responden dan nara sumber, kemudian mendeskripsikannhya secara lengkap dan mendetail aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang selanjutnya dianalisis untuk mengungkapkan kebenaran dan memahami kebenaran tersebut13.

E. Tinjauan Pustaka 1. Perjanjian

Perjanjian menurut rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” . Rumusan tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya dalam suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih

13 Ronny Hanitijo Soemitro. Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia,1982, h.93.

(20)

orang (pihak) kepada satu orang atau lebih orang lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa daam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

R. Subekti menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya adalah hak dan kewajiban: suatu hak untuk menuntut sesuatu dan di sebelah lain suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut 14. Sedangkan R. Wirjono Projodikoro berpendapat bahwa perjanjian adalah sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji15.

Handri Rahardjo mengatakan bahwa perjanjian dibedakan menjadi Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru.16. Perjanjian pada hakikatnya hubungan hukum antara kedua

14 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993, h. 2.

15 Wirjono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung, PT.Bale, 2000, h. 4.

16 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2009.,h. 42.

(21)

belah pihak yang bersifat pribadi. Arti penting suatu perjanjian adalah sebagai berikut17 :

1) Untuk mengetahui perikatan apa yang dilakukan dan kapan serta dimana perjanjian dilakukan.

2) Untuk mengetahui secara jelas siapa yang saling mengikatkan dirinya tersebut dalam perjanjian yang dimaksud.

3) Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak, apa yang harus, apa boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak.

4) Untuk mengetahui syarat-syarat berlakunya perjanjian tersebut.

5) Untuk mengetahui cara-cara yang dipilih para pihak untuk menyelesaikan perselisihan dan domisili hukum.

6) Untuk mengetahui kapan berakhirnya perjanjian atau hal-hal apa saja yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian tersebut.

7) Sebagai alat untuk memantau para pihak apakah pihak lawan masing-masing telah menunaikan prestasinya atau belum, atau bahkan telah melakukan wanprestasi.

8) Sebagai alat bukti bagi para pihak apabila terjadi perselisihan di kemudian hari, termasuk apabila terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Termasuk apabila ada keberatan dari pihak ketiga yang mengharuskan kedua belah pihak membuktikan hal-hal yang terkait dengan perjanjian tersebut.

17 Hassanudin Rahman, Contract Drafting, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003, h. 6.

(22)

Dari pengertian tersebut, beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/ person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda.

2. Sewa Guna Usaha atau Leasing

Sewa guna usaha atau Leasing adalah suatu kegiatan pembiayaan yang merupakan suatu perbuatan ekonomis. Sedangkan bila ditinjau dari segi hukum dalam undang-undang kita (Burgerlijk Wetboek) dengan berpegang pada ketentuan umum tentang perikatan maka sewa guna usaha itu merupakan suatu perjanjian yaitu perjanjian untuk pembiayaan atau pengadaan barang-barang modal yang diperlukan oleh suatu perusahaan, masing-masing pihak dalam mengingatkan diri tentunya menghendaki adanya kepastian hukum, sehingga para pihak dapat saling meminimalisir terjadinya kerugian18.

Pasal 8 ayat 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 48 Tahun 1991, setiap transaksi sewa guna usaha atau leasing wajib diikat dalam suatu perjanjian yang disebut perjanjian sewa guna usaha (leasing

18 H. Ahmad Muliadi, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta, Akamedia, 2013, h.8.

(23)

agreement). Dengan demikian, sebagai sebuah perjanjian, perjanjian leasing tunduk pada syarat-syarat dalam Pasal 1320 KUHP sebagai aturan umumnya.19.

Berdasarkan SK Menteri Keuangan No.1169/KMK.01/1991 tanggal 21 November 1991, sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan menggunakan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran berkala20. Teknik pembiayaan leasing secara garis besar dapat di bagi dalam dua kategori21 :

1) Finance Lease (Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi) merupakan suatu bentuk cara pembiayaan, lessor yang mendapatkan hak milik atas barang yang disewakan menyerahkan kepada lessee untuk dipakai selama jangka waktu yang sama dengan masa kegunaan barang tersebut. Pada akhir masa leasing, lessee mempunyai hak pilih untuk membeli barang tersebut seharga nilai sisanya atau mengembalikan barang tersebut kembali kepada lessor.

2) Operating Lease (Sewa Guna Usaha Tanpa Hak Opsi) Ciri utama leasing jenis ini adalah lessee hanya berhak menggunkan barang

19 Janus Sidabalok, Hukum Perdagangan (Perdagangan Nasional dan Perdagangan Internasional), Medan, Yayasan Kita Menulis, 2020, h.64.

20 Frianto Pandia, Lembaga Keuangan, Jakarta, Rineka Cipta, 2005, h. 110-111.

21 Ahmad Anwari, Leasing di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1987, h. 31.

(24)

3) modal selama jangka waktu kontrak tanpa hak opsi setelah masa kontrak berakhir. Pihak lessor hanya menyediakan barang modal untuk disewakan kepada lessee dengan harapan setelah kontrak berakhir, lessor memperoleh keuntungan dari penjualan barang modal tersebut.

Dalam prakteknya, sistem kerja dalam leasing ini hanya mengambil manfaat dari barang yang disewa dan dihargai dengan harga sewa dalam tiap bulannya dalam pembayaran berjangka, yang jangka waktunya bisa ditentukan oleh para pihak. Tapi dalam prakteknya jangka waktu dalam leasing ini tidak ada yang kurang dari 1 (satu) tahun karena pada hakekatnya lessee tidak memperoleh banyak manfaat disebabkan nilai sewa (rental) yang masih tinggi.22

3. Jaminan Fidusia

Jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, zekerheid atau cautie yang mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya suatu tagihan. Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda yaitu fiducie, sedangkan dalam bahasa inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, kita jumpai pengertian fidusia adalah “Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak

22Eddy P. Soekadi, Mekanisme Leasing, Jakarta Timur, Ghalia Indonesia, 1987, h. 17.

(25)

kepemilikannya diadakan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda itu”

Pernyataan ini merupakan sebuah konsep yuridis yang berkaitan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan pada masa yang akan datang. Saat ini telah dibuat berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan.

Adapun unsur-unsur perumusan dari perjanjian pokok jaminan fidusia yaitu sebagai berikut 23:

1) Unsur secara kepercayaan dari sudut pemberi fidusia.

2) Unsur kepercayaan dari sudut penerima fidusia;

3) Unsur tetap dalam penguasaan pemilik benda;

4) Kesan ke luar tetap beradanya benda jaminan di tangan pemberi fidusia;

5) Hak mendahului (preferen);

6) Sifat accessoir.

4. Eksekusi Jaminan Fidusia

Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial, penjualan melalui pelelangan umum, atau penjualan di bawah tangan dengan persetujuan kedua belah pihak, namun dalam prakteknya terkadang ketika akan

23 Yayasan Kesejahteraan Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum, Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Jaminan Fidusia, Departemen Hukum dan HAM RI, 2002, h. 2.

(26)

melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia pada salah satu debitur, jaminan tersebut ternyata telah beralih dan dikuasai oleh pihak ketiga tanpa persetujuan dari pihak bank.24

Proses eksekusi lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para pemberi fidusia untuk menguasai benda yang dijaminkan,untuk melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan jaminan fidusia. Pada awalnya, benda yang menjadi obyek fidusia terbatas pada kekayaan benda bergerak yang berwujud dalam bentuk peralatan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, benda yang menjadi obyek fidusia termasuk juga kekayaan benda bergerak yang tak berwujud, maupun benda tak bergerak.

Pelaksanaan pembiayaan antara kreditur dan debitur, kadangkala terjadi wanprestasi atau ingkar janji. Maka, ketika debitur ingkar janji pihak kreditur bisa melakukan eksekusi benda yang sudah dijaminkan melalui jaminan fidusia.

Subekti berpendapat bahwa yang dimaksud dengan eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan hukum, memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan putusan25

Apabila debitur yang ingkar janji, maka kreditur bisa langsung mengeksekusi benda jaminan yang dijaminkan fidusia Di dalam

24 Setia Budi, Permohonan Eksekusi Kepada Pengadilan Negeri Berkaitan Dengan Perjanjian Fidusia Terhadap Jaminan Yang Digelapkan, Jurnal Cendekia Hukum, Vol. 3, No.1, Payakumbuh, STIH Putri Maharaja Payakumbuh, 2013, h. 100.

25 Junaidi Abdullah. Jaminan Fidusia (Tata Cara Dan Pendaftaran Eksekusi) Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol. 4, No. 2, Padang, UIN Imam Bonjol, 2016, h. 217.

(27)

sertifikat jaminan fidusia memuat ketentuan kata-kata " DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".

Dengan kata-kata ini, maka mempunyai kekuatan hukum seperti keputusan pengadilan. Hal ini sesuai dengan UndangUndang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan, apabila debitor atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dilakukan dengan cara :

1) Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia;

2) Penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

3) Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak. Pelaksanaan penjualan di bawah tangan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan26.

Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan di atas maka batal demi hukum. Akan tetapi, pelaksanaan

26 ibid

(28)

eksekusi yang dilakukan kreditur melalui jasa debt collector kadangkala menimbulkan masalah baru antara kreditur dengan debitur. Hal ini dikarenakan cara debt collector dalam mengeksekusi barang jaminan fidusia dengan cara kekerasan dan intimidasi.

F. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hak dan Kepastian Hukum Atas Eksekusi Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Leasing di Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 (Studi Kasus: PT Indomobil Finance Indonesia Cab. Nias)” adalah hasil pemikiran sendiri. Berdasarkan materi yang dibahas dalam penelitian ini belum pernah dijadikan judul maupun dibahas dalam skripsi yang sudah ada lebih dahulu, sehingga judul dan pokok permasalahan serta pembahasan dalam skripsi ini layak untuk diteliti. Apabila nanti ditemukan ada kesamaan dengan penelitian lainnya, skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan sepenuhnya baik dalam hal judul maupun pembahasan.

Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara juga telah dilakukan dan dilewati, maka ini juga dapat mendukung tentang keaslian penulisan.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk lebih memudahkan menguraikan pembahasan masalah skripsi ini, maka penyusunan nya dilakukan secara sistematis. Skripsi ini terbagi dalam 5 (lima) bab, yang gambarannya sebagai berikut:

(29)

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang akan menguraikan mengenai hal-hal berkaitan dengan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan metode penelitian yang digunakan serta sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN LEASING DI INDONESIA Pada bagian ini akan membahas pengertian leasing, perjanjian dalam KUHPerdata dan leasing, unsur-unsur perjanjian, asas-asas perjanjian dan isi perjanjian leasing.

BAB III KORELASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.

18/PUU-XVII/2019 TERHADAP HAK EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA

Pada bab ini akan membahas mengena hak – hak dan kewajiban para pihak dalam leasing, pengertian jaminan fidusia dan eksekusi Jaminan fidusia, ketentuan eksekusi jaminan fidusia dalam leasing dan korelasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU- XVII/2019.

BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN LEASING DAN

PENGEKSEKUSIAN JAMINAN FIDUSIA PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 18/PUU- XVII/2019 (PT INDOMOBIL FINANCE INDONESIA CAB. NIAS)

(30)

Pada bab ini akan membahas mengenai profil umum PT Indomobil Finance Indonesia Cab. Nias, pelaksanaan perjanjian leasing oleh PT Indomobil Finance Indonesia Cab.

Nias, pengeksekusian jaminan fidusia oleh PT Indomobil Finance Indonesia Cab. Nias pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan membahas mengenai kesimpulan dan saran terhadap hasil analisis permasalahan yang dibahas.

(31)

BAB II

PENGATURAN PERJANJIAN LEASING DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan sesuatu27. Hukum perjanjian diatur di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengatakan: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”28.

Pernyataan “sekurang-kurangnya dua orang”, menunjukkan bahwa suatu perjanjian tidak mungkin dibuat sendiri. Dengan demikian setiap tindakan yang dilakukan oleh orang perorangan untuk kepentingan sendiri, tidaklah termasuk kategori perjanjian. Selanjutnya pernyataan “perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji”, mempertegas bahwa perjanjian setidak-tidaknya melibatkan sekurang- kurangnya dua pihak, yaitu debitur pada satu pihak yang berkewajiban dan kreditur pada pihak lain sebagai pihak yang berhak atas prestasi yang dijanjikan debitur.

Perbuatan yang dirumuskan pada Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik

27 Wirdjono Prodjodikiro, Op.cit. h. 20.

28 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(32)

dalam bentuk ucapan, maupun bentuk secara fisik berupa sesuatu yang tertulis dan tidak hanya bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar ilmiah dikenal dengan adanya beberapa perjanjian antara lain 29:

1) Perjanjian konsensuil yaitu perjanjian dimana adanya kata sepakat antara para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan. Seperti : Perjanjian dalam BW;

2) Perjanjian formil berupa perjanjian yang selain mengisyaratkan kata sepakat juga perlu adanya perjanjian dengan formalitas tertentu. Seperti : Perjanjian kawin, Perjanjian PT dan sebagainya;

3) Perjanjian rill yaitu perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan. Seperti : Utang-piutang, pinjam-pakai, penitipan barang.

Beberapa Sarjana Hukum juga memberikan defenisi mengenai perjanjian antara lain, Sri Soedewi Masychon Sofyan mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang atau lebih 30.

Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian maksudnya adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi31. Suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling

29 J. Satrio, Hukum Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1995, h. 51.

30 Sri Soedewi Nasjchoen Sofwan, Hukum Perjanjian, Yogyakata, UGM Press, 1982, h.

2.

31 Syahmin AK , Hukum Kontrak Internasional, Jakarta, Rjagrafindo Persada, 2006, h.1.

(33)

mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Dalam definisi tersebut, secara jelas terdapat konsensus antara para pihak, yaitu persetujuan antara pihak satu dan dan pihak lain.

Defenisi perjanjian menurut Subekti adalah suatu suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya, dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucap atau ditulis32.

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Adapun aturan mengenai syarat sahnya suatu atau sebuah perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dapat dijabarkan sebagai berikut33 :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Syarat ini merupakan syarat mutlak adanya sebuah perjanjian,dimana kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai hal-hal yang menjadi pokok dari perjanjian yang dilakukan/diadakan itu, dan apabila mereka tidak sepakat maka tidak ada perjanjian. Kesepakatan yang dibuat menunjukkan bahwa mereka (orang- orang) yang melakukan perjanjian, sebagai subyek hukum tersebut mempunyai kesepakatan (kebebasan) yang bebas dalam membuat isi perjanjian serta tidak boleh adanya unsur paksaan.

32 R. Subektii, Hukum Perjanjian, Op.cit, h. 1.

33 Ibid, h.339.

(34)

Subyek hukum tidak bebas dalam membuat suatu perjanjian yang disebabkan adanya unsur paksaan (dwang), unsur kekeliruan (dwaling), atau unsur penipuan, kecuali paksaan yang dibenarkan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku, maka perjanjian tersebut dapat dituntut untuk dibatalkan. Ketentuan dari kedua unsur ini diatur dalan Pasal 1323 dan Pasal 1325 KUHPerdata.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan mengandung makna bahwa pihak-pihak yang membuat perjanjian/perikatan tersebut merupakan orang yang sudah memenuhi syarat sebagai pihak yang dianggap cakap oleh/menurut hukum, sehingga perbuatannya bisa dipertanggungjawabkan sesuai hukum pula.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya diterangkan tentang mereka/pihak-pihak yang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sehingga pihak diluar yang tidak cakap tersebut dianggap cakap untuk melakukan perbutan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan- perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pihak yang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum diatur dalam Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

(35)

1) Orang-orang yang belum dewasa bahwa mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin.

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap.

Selain itu orang-orang dewasa yang mempunyai sifat pemboros.

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang diterapkan oleh undang- undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Beberapa peraturan menjelaskan bahwa seorang perempuan dianggap cakap hukum apabila jika ia didampingi atau diberi izin tertulis dari suaminya.

Dengan kata lain wanita yang di anggap dewasa adalah ia yang telah menikah atau melaksanakan perkawinan. Namun demikian semua ketentuan tersebut di atas sudah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1969, serta dengan diundangkannya Undang-Undang Perkawinan No. l Tahun 1974, dimana dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2) diterangkan kedudukan suami dan istri adalah sama/seimbang dan masing- masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

c. Suatu hal tertentu

Maksud dari kata suatu hal tertentu pada persyaratan sahnya suatu perjanjian adalah obyek dari pada perjanjian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditentukan bahwa objek perjanjian tersebut haruslah merupakan barang-barang yang dapat ditentukan nilainya atau dapat diperdagangkan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1333 Kitab

(36)

Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi : "Suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah itu barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

d. Suatu sebab yang halal

Isi dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, norma-norma, kesusilaan, dan ketertiban umum. Misalnya: seseorang mengadakan transaksi jual-beli senjata api tanpa dilindungi oleh surat-surat yang sah dalam hal pemilikan senjata api, maka perjanjian yang dilakukan adalah batal, karena tidak memenuhi syarat mengenai suatu sebab yang halal yaitu prestasi yang dilakukan telah melanggar undangundang tentang pemilikan senjata api.

Menurut Pasal 1335 Kitab Undang-undang Hukum Perdata : "Suatu perjanjian tanpa sebab (causal), atau telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan." Sedangkan Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menegaskan bahwa jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun ada sesuatu sebab lain dari pada yang dinyatakan perjanjiannya namun demikian adalah sah.

3. Unsur-Unsur Perjanjian

Dalam hukum perjanjian, banyak para ahli membedakan perjanjian menjadi perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Yang dinamakan perjanjian bernama adalah perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata mulai

(37)

dari Bab V sampai Bab XVIII34. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata (atau sering disebut perjanjian khusus)35. Tetapi yang terpenting adalah sejauh mana kita dapat menetukan unsur-unsur pokok dari suatu perjanjian, dengan begitu kita bisa mengelompokkan suatu perbuatan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1234 KUHPerdata tentang jenis perikatan.

Dalam membuat ketentuan-ketentuan pada perjanjian/ kontrak, harus ada unsur-unsur yang dapat dijadikan acuan 36. Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam suatu perjanjian adalah sebagai berikut :

a. Unsur esensialia

Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dan merupakan hal pokok dalam suatu perjanjian, sehingga tanpa hal pokok tersebut perjanjian menjadi tidak sah dan tidak mengikat para pihak yang membuatnya. Sebagai contoh, unsur esensialia pada perjanjian jual beli adalah adanya barang dan harga.

Contoh perjanjian pinjam meminjam, adanya barang yang dipinjam dan jumlah/ nilai barang yang dipinjam.

b. Unsur naturalia.

Unsur naturalia adalah ketentuan umum yang tidak bersifat wajib. Artinya, tanpa pencantuman syarat ini pun perjanjian tetap sah dan tidak mengakibatkan suatu perjanjian menjadi tidak mengikat. Contoh hal-hal

34 Ady Wibowo Sunarto. Hukum kontrak Terapeutik di Indonesia, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2009, h.7

35 J. Jopie Gilalo, Asas Keseimbangan Dalam Perjanjian Franchise Menurut Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, Jurnal Hukum De‟rechtstaat ISSN 2442-5303, Vol.1, No. 2, 2015, h.

118.

36 Frans Satriyo Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kontrak, Jakarta, Visimedia, 2008, h. 48.

(38)

umum yang termasuk unsur naturalia antara lain cara pembayaran, waktu dan tempat penyerahan serta biaya pengangkutan dan pemasangan dan instalasi.

Misalnya didalam kontrak jual beli kenderaan ternyata tidak diatur mengenai biaya pengangkutan dan balik nama, maka dalam hal ini akan berlaku kebiasaan jika biaya pengangkutan dan balik nama kenderaan dilakukan oleh pihak penjual.

c. Unsur aksidentalia.

Unsur aksidentalia yaitu berbagai hal khusus (particular) yang dinyatakan dalam perjanjian yang disetujui oleh para pihak. Aksidentalia artinya bisa ada atau diatur, bisa juga tidak ada, bergantung pada keinginan para pihak, merasa perlu untuk memuat atau tidak37. Selain itu aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian yang merupakan ketentuan- ketentuan yang dapat diatur secara khusus oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama- sama oleh para pihak.

4. Asas – Asas Perjanjian

Dalam pelaksanaan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak menurut Mariam Darus Badrulzaman terdapat beberapa akibat perjanjian yang harus dilaksanakan yang juga sekaligus merupakan asas dari perjanjia itu sendiri yaitu 38 :

37 J. Jopie Gilalo, loc. cit.

38 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2001, h. 81.

(39)

a. Perjanjian yang sah adalah undang-undang (pacta sunt servanda).

Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Pasal 1338 menyebutkan : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

b. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak ini dikenal dengan istilah “partij otonomie” atau “freedom of contract” atau “liberty of contract”. Pada

dasarnya asas ini bersifat universal dikarenakan digunakan disemua negara pada umumnya. Adapun latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara awal lahir pada zaman yunani, yang diteruskan oleh kaum epicuristen dan berkembang pesat pada zaman renaisance melalui ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau. Menurut paham individualisme, sistem orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya.

Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam kebebasan berkontrak. Sepakat mereka yang mengikatkan diri adalah asas esensial dari hukum perjanjian, asas ini juga dinamakan asas otonomi “konsensualisme”, yang menentukan adanya perjanjian, asas ini bersifat saling mengikat dan meningkatkan kepercayaan bahwa perjanjian itu akan dipenuhi. Kemauan

(40)

para pihak untuk saling berpartisipasi timbul dari sifat kemauan moral.

Grotius, mencari dasar consensus itu dalam hukum kondrat. Ia mengatakan bahwa “pacta sunt servanda” (janji itu mengikat) dan “promissorum implendorum obligation” (kita harus memenuhi janji).

c. Asas Konsensualisme

Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam Pasal 1338 ditemukan istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginan (will) yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

d. Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)

Adanya kepercayaan antara kedua pihak bahwa akan memenuhi prestasinya. Tanpa adanya kepercayaan, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dimana hal itu mengikat dirinya baik pada perjanjian maupun undang-undang.

e. Asas Kekuatan Mengikat

Dalam perjanjian terkandung satu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral. Demikian sehingga asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.

(41)

f. Asas Persamaan Hukum

Menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mewajibkan kedua belah pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

g. Asas Keseimbangan

Asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditu memikul pila beban untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik. Dengan hal ini maka kedudukan debitur dan kreditur seimbang.

h. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

i. Asas Moral

Asas ini terlihat dalam perikatan, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontrak prestasi dari pihak debitur juga hal in terlihat dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melaksanakan suatu perbuatan dengan sukarela untuk menyelesaikan perbuatan yang juga asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata.

(42)

j. Asas Kepatutan

Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang39. Pasal 1339 menyatakan Persetujuan tidak hanya mengikat apa segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.

5. Prestasi dan Wanprestasi

Prestasi merupakan hal yang harus dilaksanakan dalam suatu perikatan40.Pemenuhan prestasi merupakan hakikat dari suatu perikatan.

Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni41 :

1) Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan 2) Harus mungkin

3) Harus diperbolehkan (halal)

4) Harus ada manfaatnya bagi kreditur

5) Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan.

39 ibid . h. 82.

40 Mariam Darus Badrulzaman, Asas-Asas Hukum Perikatan, Medan, USU Press, 1970, h. 8.

41 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000, h. 20.

(43)

Prestasi dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan kontrak yang bersangkutan42. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata bentuk dari prestasi berupa :

1) Memberikan sesuatu 2) Berbuat sesuatu 3) Tidak berbuat sesuatu

Sedangkan Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang43. Prof. R. Subekti, SH, mengemukakan bahwa “wanprestsi” itu asalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu44:

1) Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.

2) Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang diperjanjikan.

3) Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat

4) Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.

42 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT Intermasa, 1992, h.120.

43 Nindyo Pramoni, Hukum Komersil, Jakarta, Pusat Penerbitan UT, 2003, h.21.

44 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., h.50.

(44)

Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Dimana seorang telah lalai untuk memenuhi kewajiban yang diharuskan oleh Undang-Undang. Jadi wanprestasi merupakan akibat dari pada tidak dipenuhinya perikatan hukum.

Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena45: (1) Kesengajaan, (2) Kelalaian, dan (3) Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian).

Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure (bencana alam) yang umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau selama-lamanya).

B. Tinjauan Umum Tentang Leasing 1. Sejarah Leasing

Pertumbuhan perekonomian Indonesia dimulai pada awal tahun 1990- an. Pertumbuhan tersebut sangat penting dan berarti bagi peningkatan taraf hidup masyarakat. Mulai dekade 1990-an di Indonesia mengalami perkembangan pesat di bidang IPTEK. Salah satu perkembangan ilmu pengetahuan tersebut adalah munculnya pengusaha yang bergerak dalam bidang leasing pada tahun 1973 dan mendapat sambutan dari pemerintah dengan diterbitkannya SK bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia pada tahun 1974.

45 ibid

(45)

Setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama, berdirilah PT Pembangunan Armada Niaga Nasional pada 1875. Kelak, perusahaan tersebut mengganti namanya menjadi PT (Persero) PANN Multi Finance. Pada tanggal 2 Juli 1982 dibentuk Asosiasi Leasing Indonesia (ALI) yang berkedudukan di Jakarta sebagai satu-satunya wadah komunikasi bagi perusahaan leasing di Indonesia46. Kehadiran ALI telah dirasakan manfaatnya oleh seluruh pelaku usaha leasing di Indonesia dan ALI telah berhasil melakukan berbagai aktifitas guna kepentingan para anggotanya, termasuk membantu pengembangan industri usaha leasing di Indonesia bersama pemerintah.

Melalui Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 yang ditindak lanjuti dengan Surat Keterangan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana telah berkali-kali diubah, terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 448/KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut diperincikan bahwa kegiatan lembaga pembiayaan meliputi 47:

1) Sewa Guna Usaha.

2) Modal Ventura.

3) Perdagangan Surat Berharga.

46 Neni Meidawati, Perkembangan Leasing di Indonesia, Jurnal Hukum Perjanjian, Vol.1, No. 3, Bogor, UI Press, 2002, h.49.

47 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori dan Praktek, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000, h. 3.

(46)

4) Anjak Piutang.

5) Usaha Kartu Kredit.

6) Pembiayaan Konsumen.

Berdasarkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan, Lembaga Pembiayaan yang dijalankan oleh suatu Perusahaan Pembiayaan adalah sebagai berikut 48:

1) Sewa Guna Usaha.

2) Anjak Piutang.

3) Usaha Kartu Kredit.

4) Pembiayaan Konsumen.

Pada tahun 1990, industri leasing mulai kembali pada prinsip dasar ekonomi. Mereka lebih mengutamakan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pada tahun 1991, kembali terjadi perubahan besar-besaran pada perusahaan pembiayaan. Seiring dengan kebijakan uang ketat (TMP = tight money policy), suku bunga menjadi naik. Akibatnya, banyak kredit yang sudah disetujui terpaksa ditunda pencairannya. Dari sisi permodalan, TMP membuat perusahaan multifinance menjadi terhambat. Oleh karena itu banyak perusahaan multifinance yang mengabungkan perusahaannya agar lebih mudah memperoleh kredit termasuk dari luar negeri.

Pertumbuhan sektor usaha jasa pembiayaan dan guna menampung aspirasi seluruh anggota maka pada tanggal 20 Juli 2000 telah diambil

48 ibid

(47)

keputusan ALI menjadi Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI).

Keputusan itu sejalan dengan keberadaan usaha para anggota sebagai perusahaan pembiayaan yang dapat melakukan aktivitas usaha : sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring), pembiayaan konsumen (consumer finance), dan kartu kredit (credit card)49 .

Dalam perkembangannya pada tanggal 21 Desember 2000 Asosiasi Factoring Indonesia (AFI) juga bergabung ke dalam APPI. Sesuai dengan tujuan didirikannya APPI bersama pemerintah terus berupaya memberikan andil dan peran lebih berarti dalam peningkatan perekonomian nasional khususnya pada sektor usaha jasa pembiayaan50. Sebagai bentuk nyata dari perhatian pemerintah maka dibentuklah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan dalam rangka meningkatkan peran perusahaan pembiayaan dalam pembangunan nasional dan demi penyempurnaan ketentuan di bidang Perusahaan Pembiayaan.

Masing-masing kegiatan perusahaan pembiayaan walaupun berbeda- beda dan mempunyai karakteristik sendiri-sendiri, tetapi masih banyak terdapat persamaannya. Karena semuanya bertujuan untuk memberi kemudahan finansial perusahaan lain.

2. Pengertian Leasing

Leasing berasal dari bahasa inggris yaitu to lease, yang berarti

“menyewakan”. Jadi leasing merupakan suatu bentuk persamaan dari sewa menyewa. Tetapi kemudian berkembanglah sewa–menyewa dalam bentuk

49 ibid, h.4.

50 ibid

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pendapat demikian juga sesuai dengan pertumbuhan hukum Anglo Amerika menurut sistem common law, di mana pemegang hipotek (mortgagee) dianggap memperoleh hak eigendom atas benda

76 Wawancara dengan Bapak Hasan Amin, tanggal 5 Agustus 2016 di kantor PT. Rahmat Jaya Transport.. Indofood di dalam proses penyelenggaraan pengangkutan dengan PT. Rahmat Jaya

Untuk memberikan kepastian hukum pasal 11 Undang-undang Jaminan Fidusia mewajibkan benda yang dibebani dengan jaminan fidusia didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia

Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan hak istri. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut diatas para pencari keadilan yang selalu

Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan diatas, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan

Direksi salah satu organ PT yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Namun,

1) Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku untuk mediasi yang perkaranya diproses di Pengadilan. 2) Setiap hakim, mediator, dan para pihak wajib mengkuti prosedur medisi yang

Dampak meningkatnya perkara perceraian yang terjadi di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh dan dampak terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dikurangi ataupun