• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Oleh : HASIBA ZAHRA P NIM : DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Oleh : HASIBA ZAHRA P NIM : DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK AKIBAT TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NO. 1 TAHUN 1974

(Studi Kasus Putusan No. 543/Pdt.G/2014/PN.Mdn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

HASIBA ZAHRA P NIM : 140200357

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

(2)
(3)

ABSTRAK Hasiba Zahra P *

Hasim Purba **

Yefrizawati ***

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, di mana pemeliharaan anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Perkawinan lantas luntur karena tidak terdapat lagi kesepakatan atau kerukunan antara suami dan istri, perkawinan demikian itu lebih baik diputuskan. Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.

Perceraian mempunyai akibat hukum terhadap kedudukan dan perlindungan hak-hak anak. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana kewajiban orang tua atas hak-hak anak setelah terjadinya perceraian, bagaimana perlindungan hukum terhadap anak jika terjadi perceraian orang tua, dan dasar dari pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 543/Pdt.G/2014/PN.Mdn tentang putusnya perkawinan akibat perceraian.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dan yuridis empiris, sifat penelitian ini adalah deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research) . Analisa data dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.

Kewajiban orang tua terhadap anak akibat perceraian yang pada pokoknya mengutamakan kepentingan anak yaitu hak-hak anak yang menyangkut pendidikan dan biaya hidupnya, serta tidak terlepas dari kasih sayang kedua orang tuanya. Ketika perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi dan berakhir pada perceraian, maka anak tetap memiliki hak untuk mendapatkan pemeliharaan dari kedua orang tuanya walaupun pengadilan menjatuhkan hak asuh kepada salah satu pihak, keduanya tetap bertanggung jawab dalam hal pemeliharaan dan pendidikan anak mereka. Pertimbangan hakim dalam perkara perceraian sesuai dengan putusan Nomor:

543/Pdt.G/2014/PN.Mdn adalah antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi percekcokan atau pertengkaran dan telah 6 (enam) tahun tidak ada komunikasi lagi antara keduanya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sesuai dengan putusan, hak asuh anak jatuh kepadanya Tergugat.

Penggugat dalam hal ini meminta kepada Tergugat agar tidak melakukan pelarangan terhadap Penggugat untuk bertemu dengan anaknya.

Kata Kunci : Perkawinan, Perceraian, Perlindungan Anak.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya yang tiada henti dan telah memberikan penulis kekuatan dan kemampuan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Putusan No.

543/Pdt.G/2014/PN.Mdn)”.

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini ialah sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini, penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, dengan hati terbuka penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi untuk kesempurnaan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Prof. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktu Beliau kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi dalam proses pengerjaan skripsi ini.

8. Ibu Dr. Yefrizawati, S.H. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu Beliau kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi dalam proses pengerjaan skripsi ini.

9. Ibu Maria, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik penulis.

10. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis dalam menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Kepada pihak Pengadilan Negeri Medan yang telah memberikan kesempatan pada penulis dalam melakukan riset untuk menyelesaikan skripsi ini.

12. Kepada Frasetyo Pamungkas, yang selalu membantu, memberikan dukungan, doa dan semangat yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

13. Kepada sahabat-sahabat terbaik penulis, yaitu Channy Khairani, Khairunnisa

Amanda dan Ibo Samondo Sitorus yang telah membantu penulis dalam segala

(6)

hal dan selalu memberikan doa, dukungan serta motivasi kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

14. Kepada sahabat-sahabat terbaik penulis sekaligus teman seperjuangan penulis selama perkuliahan, Maya Hajrianti Saragih, Dina Handayani, Jeannyfer Ono Luo Dachi, Meutia Jasmine, Afifah Mutiara, dan Irsalina Rizki Nasution yang telah membantu penulis dalam segala hal dan selalu memberikan dukungan serta motivasi kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

15. Kepada Teman Kelompok Klinis Dina Handayani, Maya Hajrianti, Ilham Akbar Harahap, Frasetyo Pamungkas, Bram Alfredo, Raditya Rama, Rahmad Sabriansyah.

16. Kepada Teman-teman Grup D, teman stambuk 2014 dan teman Departemen Keperdataan BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang memberikan saran dan dukungan selama proses penyelesaian skripsi ini.

17. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu- persatu.

Khusus keluarga saya, saya ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua

saya tercinta dan teristimewa Ayahanda Irwan Pulungan, sebagai sosok ayah yang

selalu memberi nasehat, motivasi, serta semangat dan dukungan selama proses

penulisan skripsi ini. Serta Ibu saya tercinta Suryati, adalah seorang ibu yang sangat

kuat serta penuh kasih sayang dan tak henti-hentinya Penulis mengucapkan

terimakasih atas dorongan semangat, spiritual, material dan doa yang telah

diberikan selama ini. Juga saya ucapkan terimakasih kepada adik saya Atikah Sarah

(7)

Pulungan yang telah memberikan doa dan semangat kepada saya dalam mengerjakan skripsi ini.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf dan atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Agustus 2018 Hormat Penulis

Hasiba Zahra P

NIM : 140200357

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Keaslian Penulisan ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN... 17

A. Perkawinan ... 17

1. Pengertian Perkawinan ... 17

2. Asas-Asas Perkawinan ... 19

3. Tujuan Perkawinan ... 23

4. Syarat Sah Perkawinan ... 25

5. Akibat Perkawinan ... 37

(9)

B. Perceraian ... 42

1. Putusnya Perkawinan ... 42

2. Pengertian Perceraian ... 46

3. Alasan-Alasan Perceraian ... 48

4. Tata Cara Perceraian ... 50

5. Akibat Perceraian ... 55

BAB III : KEDUDUKAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ... 61

A. Pengertian Anak ... 61

B. Kedudukan dan Hak Anak Setelah Perceraian ... 64

C. Dampak yang Ditimbulkan Setelah Perceraian Terhadap Anak ... 71

BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK AKIBAT PERCERAIAN STUDI PADA PUTUSAN NO. 543/PDT.G/2014/PN.MDN ... 74

A. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Setelah Perceraian ... 74

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Perceraian ... 77

C. Putusan Pengadilan ... 79

1. Kasus Posisi ... 79

2. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 543/Pdt.G/2014/PN.Mdn ... 85

3. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan Pengadilan

Negeri Nomor 543/Pdt.G/2014/PN.Mdn ... 87

(10)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berbunyi :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Dari perkawinan akan timbul hubungan hukum antara suami istri dan kemudian dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dan anak-anak mereka. Dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan, dan menimbulkan hubungan hukum antara mereka dengan harta kekayaan tersebut. 1

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa, untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

1 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta, Karya

Gemilang, 2001), hal. 1.

(12)

Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, di mana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagiaan suami isteri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental (ke-orangtua-an). 2

Di dalam perkawinan tercipta suatu hubungan hukum antara suami- istri, kemudian jika dalam perkawinan dilahirkan anak, maka tercipta hubungan hukum dengan keluarga masing-masing suami-istri. Terciptanya hubungan hukum tersebut membawa serta timbulnya tanggung jawab satu terhadap yang lain sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. 3

Keinginan untuk membentuk keluarga yang kekal itu adalah idealisme tiap keluarga. Namun kenyataan bahwa soal perkawinan di Indonesia pada umumnya bukan hanya masalah suami dan isteri saja, melainkan juga masalahnya para sanak keluarga, yang turut serta merasakan pula baiknya perkawinan yang berlangsung terus. Idealisme perkawinan lantas luntur, ada saja penyebabnya. Mungkin tidak terdapat lagi kesepakatan atau kerukunan antara suami dan isteri, malah mungkin terjadi perselihan yang berkepanjangan, walaupun telah diusahakan penyelesaiannya, atau mungkin telah terjadi pertengkaran yang terus menerus atau pertentangan yang tidak mungkin didamaikan kembali.

2 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung, Mandar Maju, 2007), hal 21.

3 Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya

Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Isteri, Harta Benda Perkawinan), (Jakarta,

Rizkita, 2009), hal.54.

(13)

Perkawinan yang buruk keadaannya itu tidak baik dibiarkan berlarut- larut, sehingga demi kepentingan kedua belah pihak, perkawinan demikian itu lebih baik diputuskan. 4 Dengan lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974 yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 yakni sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (selanjutnya disebut PP No. 9 Tahun 1975) sebagai peraturan pelaksanaannya, maka perceraian tidak dapat bisa lagi dilakukan dengan semaunya seperti banyak terjadi pada masa sebelumnya, melainkan harus dengan prosedur tertentu dan hanya boleh dilakukan kalau ada alasan-alasan yang dapat dibenarkan. 5 Menurut Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, atas keputusan pengadilan.

Menurut ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. 6 Menurut Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975, alasan-alasan perceraian adalah:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya ;

4 Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit, hal. 39.

5 Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta, Media Sarana Press, 1986), hal. 50.

6 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta, Rineka Cipta, 2005), hal.

116.

(14)

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain ;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri ;

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Hukum secara prinsip memperbolehkan perceraian, namun mempersukar prosesnya, karena tujuan perkawinan itu adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974). Keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal didasarkan atas ajaran agama yang diyakini oleh suami dan istri, sehingga perkawinan tidak hanya mengandung unsur lahiriah atau jasmaniah, tetapi juga unsur batiniah atau rohaniah. 7

Dengan alasan-alasan perceraian tersebut di atas, maka suami atau istri dapat mengajukan cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam Undang-Undang Perkawinan dan PP No. 9 Tahun 1975 adalah gugatan yang diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 40 Undang-Undang Perkawinan jo. Pasal 20 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975). Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, jika alamat orang yang digugat (Tergugat) tidak jelas atau tidak diketahui. Bilamana tergugat berada di luar negeri, maka gugatan diajukan di tempat kediaman penggugat.

7 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan dalam Islam: Suatu Analisis

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, PT. Bumi

Aksara, 2004), hal.33.

(15)

Pengadilan akan menyampaikan gugatan itu kepada tergugat melalui Perwakilan RI di luar negeri itu. Gugatan cerai harus disertakan sebagai bukti : akte perkawinan, akte kelahiran anak, saksi dari keluarga penggugat atau orang-orang yang dekat dengan suami atau isteri. 8

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Pasal 41 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ialah :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak;

bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannya;

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan memikul biaya tersebut;

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Memperhatikan substansi Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa perceraian mempunyai akibat hukum terhadap anak, dan mantan suami/istri. Selain itu, perceraian juga mempunyai akibat- akibat hukum yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 adalah mengakui dan melindungi hak-hak anak dan hak-hak mantan suami/istri sebagai hak-hak asasi manusia (HAM). 9

Akibat hukum perceraian terhadap anak ini tentu saja hanya berlaku terhadap suami dan istri yang mempunyai anak dalam perkawinan mereka, tetapi tidak berlaku terhadap suami dan istri yang tidak mempunyai anak dalam

8 Komariah, Hukum Perdata, (Malang, UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2008), hal. 42.

9 Azhary, Negara Hukum Indonesia (Analisis Yuridis tentang Unsur-Unsurnya),

(Jakarta, UI Press, 1995), hal. 46.

(16)

perkawinan mereka. 10 Maka dapat dipahami bahwa Pasal 41 huruf a Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah wujud normatif dari upaya negara untuk melindungi hak-hak anak setelah terjadinya perceraian kedua orang tuanya, berlandaskan fungsi negara hukum mengaku dan melindungi HAM. 11

Menurut Soemiyati, jika terjadi perceraian di mana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu, atau nenek seterusnya ke atas. Akan tetapi, mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya adalah menjadi tanggung jawab ayahnya. 12 Menurut Undang-Undang Perkawinan, bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya pada dasarnya terbagi kepada 2 bagian yaitu pemeliharaan dan pendidikan. Kewajiban ini berlaku terus sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri walaupun perkawinan antara kedua orang tua itu telah putus. Sebagai landasan hukum tentang kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anak tersebut di dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 45 ayat (1) dan (2) dijelaskan tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak :

(1). Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2). Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Kehadiran anak dalam suatu pernikahan merupakan hal yang diimpikan oleh setiap pasangan, bagi mereka anak merupakan karunia Tuhan yang luar biasa, dia wajib dijaga dan dirawat dengan sebaik-baiknya. Persoalan akan

10 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, (Jakarta, Sinar Grafika, 2014), hal. 371.

11 Ibid., hal. 373.

12 Ibid., hal. 371.

(17)

muncul di kala pernikahan yang telah terjalin putus dengan berbagai alasan yang pada akhirnya dibenarkan oleh pengadilan dengan membacakan putusan cerai. Pada saat putusnya perkawinan karena bercerainya kedua suami istri mau tidak mau anak menjadi korban. 13

Perceraian akan membawa kehampaan dan kelayuan pada jiwa pihak- pihak yang bersangkutan. Terutama membawa pengaruh yang sangat menggoncangkan pada pertumbuhan kejiwaan anak-anak mereka. Efek perceraian merupakan kemalangan yang sangat menggoncangkan pada pertumbuhan kejiwaan anak-anak mereka. Efek perceraian merupakan kemalangan yang paling pahit bagi anak-anak dan hal itu juga akan membawa sebagai pertarungan dalam sentuhan pergaulan dari lingkungannya.

Pada kenyataannya beberapa putusan pengadilan, perceraian itu selalu terjadi pada keluarga yang sudah mempunyai anak. Terutama dalam kehidupan perkembangan masyarakat moderen, seperti pada kota-kota besar, di mana kedudukan rumah tangga sudah terpisah dari kehidupan kelompok keluarga.

Rumah tangga itu sudah benar-benar terpisah dalam suatu perwujutan kehidupan antara suami isteri dan anak-anak di mana anak-anak itu sudah sejak lahirnya tergantung dan hanya mengenal lingkungan ayah dan ibu tempat mencurahkan kasih sayang, maka perceraian itu merupakan goncangan yang sangat hebat dan tiba-tiba mempengaruhi emosi anak-anak tersebut. Hal ini disebabkan dalam kehidupan masyarakat, anak itu sejak lahir hanya kenal kepada kedua orang tuanya saja. 14

13 Wahyu Ernaningsih dan Putu Samawati, Hukum Perkawinan Indonesia, (Palembang, PT. Rambang Palembang, 2008), hal. 129.

14 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan, CV. Zahir Trading,

1975), hal. 157.

(18)

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut di atas, maka penulis mengambil pokok pembahasan dan topik penulisan skripsi yang berjudul

“Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Putusan Nomor 543/Pdt.G/2014/PN.Mdn).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kewajiban orang tua atas hak-hak anak setelah terjadinya perceraian ?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak jika terjadi perceraian orang tua ?

3. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 543/Pdt.G/2014/PN.Mdn ?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini berusaha memaparkan permasalahan berkaitan dengan tinjauan yuridis perlindungan hukum terhadap anak akibat terjadinya perceraian menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (Studi kasus Putusan Nomor 543/Pdt.G/2014/PN.Mdn). Maka, adapun tujuan penulisan ini dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami kewajiban orang tua atas hak-hak anak

setelah terjadinya perceraian.

(19)

2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak jika terjadi perceraian.

3. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor 543/Pdt.G/2014/PN.Mdn.

D. Manfaat Penulisan

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini antara lain : 1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran, ilmu pengetahuan, serta pemahaman dalam mengembangkan kajian ilmu hukum perdata khususnya hukum keluarga yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak akibat terjadinya perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, masukan, dan juga referensi bagi mahasiswa dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam pengembangan pusat sumber belajar yakni perpustakaan, dalam pemanfaatan repository sebagai media untuk memperlancar penulisan skripsi.

b. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain

yang akan mengangkat tema yang sama namun dengan sudut pandang

yang berbeda.

(20)

E. Metode penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif dimaksudkan untuk melakukan pengkajian terhadap hukum perdata yang bertitik tolak dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan diteliti dilapangan untuk memperoleh faktor pendukung. Penelitian yuridis normatif ini merupakan penelitian dengan berdasarkan norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengikat serta mempunyai konsekuensi hukum yang jelas. 15 Melalui pendekatan yuridis normatif ini diharapkan dapat mengetahui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang dapat diterapkan dalam mengkaji permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian yang didasarkan atas fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dan observasi. 16

Dalam penulisannya, penelitian ini bersifat penelitian deskriptif karena dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan atau fenomena yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Adapun penelitian deskriptif yaitu penelitian yang tata kerjanya memberikan data seteliti mungkin tentang

15 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta, Sinar Grafika, 1996), hal. 14.

16 Soemitro, dkk, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta, Ghalia

Indonesia, 2007), hal. 10.

(21)

segala hal yang berhubungan dengan aktivitas manusia, karya manusia, keadaan dan gejala-gejala lainnya. 17

2. Sumber Data a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, obeservasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti. Dalam hal ini berupa data hasil wawancara dengan Bapak Jamaluddin, S.H., M.H sebagai Hakim Utama Muda Pengadilan Negeri Medan, Ibu Novalia Roma sebagai orang tua yang telah bercerai, Sofa Raisah Ulfa Harahap sebagai anak yang orang tuanya telah bercerai, dan Fatimah Rahmah sebagai anak yang orang tuanya telah bercerai.

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh secara tidak langsung dari objek yang diteliti antara lain, buku-buku literatur, tulisan para ahli, artikel hukum di internet, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan lainnya.

Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat dan terdiri dari peraturan perundang-undangan atau sebagai perangkat hukum, yang terdiri dari : Undang-Undang

17 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, UI Press, 1986), hal.

10.

(22)

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Putusan Pengadilan Negeri Nomor 543/Pdt.G/2014/PN.Mdn.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, jurnal, serta hasil riset yang berkaitan dengan Hukum Perkawinan dan Hukum Perceraian khususnya yang membahas tentang perlindungan hukum terhadap anak serta akibatnya terhadap anak akibat perceraian untuk melengkapi data-data yang telah ada.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan sebagai pelengkap dari kedua bahan hukum sebelumnya atau biasa disebut bahan referensi (bahan acuan, bahan rujukan). Berupa : kamus hukum, ensiklopedia, dan lainnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal untuk mengumpulkan data yang diperlukan mengenai skripsi ini, maka penulis menggunakan dua cara, yaitu:

1. Penelitian Kepustakaan (library research)

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan

(23)

merupakan metode penelitian dengan cara membaca atau mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan maupun sumber kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan objek penelitian ini, yaitu tinjauan yuridis perlindungan hukum terhadap anak akibat terjadinya perceraian.

2. Penelitian Lapangan (field research)

Pengumpulan data yang dilakukan dengan studi pada objek penelitian dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Medan, Jalan Bunga Cempaka Setiabudi, Jalan Eka Warni Johor, dan Jalan Padi Raya.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori, dan uraian dasar sehingga akan ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan oleh data. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu metode yang menggambarkan secara lengkap kualitas dan karakteristik dari data-data yang sudah terkumpul dan sudah dilakukan pengolahan kemudian dibuat kesimpulan.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan

khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara mengenai keaslian

penulisan skripsi “Tinjaun Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap Anak

(24)

Akibat Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Putusan Nomor 543/Pdt.G/2014/PN.Mdn)” belum pernah dilakukan.

Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan di Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum FH USU antara lain :

1. Asri Handayani (060200080)

- Tinjauan Yuridis Tentang Pemeliharaan Anak Setelah Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dengan Inpres No. 1 Tahun 1991 (Studi Putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kisaran).

- Rumusan Masalah:

a) Bagaimanakah prinsip hukum tentang kewajiban orang tua atas pemeliharaan anak setelah perceraian?

b) Bagaimanakah hak dan kedudukan anak setelah perceraian?

c) Bagaimanakah perbandingan putusan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri tentang pemeliharaan anak dalam perkara perceraian?

2. Yuliana Siregar (110200550)

- Tinjauan Yuridis Terhadap Sengeketa Pemeliharaan Anak Dibawah Umur Sebagai Akibat Perceraian Menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan PA No. 23/Pdt.G/2013/PA.BIK).

- Rumusan Masalah:

(25)

a) Bagaimanakah tanggung jawab orang tua terhadap anak dibawah umur setelah perceraian?

b) Bagaimanakah penyelesaian sengketa pemeliharaan anak dibawah umur setelah perceraian?

c) Bagaimanakah pertimbangan Hakim terhadap Putusan Pengadilan Agama Nomor 23/Pdt.G/2013/PA.BIK?

3. Randy Say Jovita Rambe (130200070)

- Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anak dan Harta Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi pada Pengadilan Agama Medan).

- Rumusan Masalah:

a) Siapakah yang memiliki hak pemeliharaan terhadap seorang anak akibat putusnya perkawinan karena perceraian?

b) Bagaimanakah pembagian harta bersama di dalam UUPK Nomor 1 Tahun 1974?

c) Bagaimanakah peranan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan persoalan yang timbul sebagai akibat putusnya perkawinan karena perceraian?

Walaupun penulisan skripsi ini memiliki sedikit kesamaan dengan

beberapa skripsi yang telah disebutkan di atas, tetapi substansi yang dibahas

dalam ketiga penulisan di atas tersebut adalah berbeda pembahasannya

dengan pembahasan dalam penulisan ini. Permasalahan dan pembahasan yang

diangkat dalam penulisan ini merupakan hasil pemikiran sendiri dan juga

karena referensi dari buku-buku serta peraturan perundang-undangan yang

(26)

berkaitan dengan perkawinan dan perceraian. Oleh karena itu penulisan ini adalah asli adanya, artinya secara akademis, penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya karena belum ada yang membuat penulisan yang sama dengan judul ini.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dikemukakan secara sistematis dan saling berkaitan satu sama lainnya yang terdiri atas beberapa bab dan masing- masing bab terdiri dari beberapa sub dengan tujuan untuk memudahkan pembaca memahami skripsi ini.

Bab pertama merupakan pendahuluan yang akan mengawali rangkaian pembahasan skripsi ini. Pada pendahuluan ini terdapat sub-bab yang terdiri dari latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab kedua membahas tentang tinjauan umum mengenai perkawinan dan perceraian, yang terdiri dari beberapa sub-bab antara lain, pengertian perkawinan, asas-asas perkawinan, tujuan perkawinan, syarat perkawinan, akibat dari suatu perkawinan, putusnya perkawinan, pengertian perceraian, alasan-alasan perceraian, dan akibat perceraian

Bab ketiga membahas tentang kedudukan anak akibat perceraian,

yang terdiri dari beberapa sub-bab antara lain, pengertian anak, kedudukan

dan hak anak setelah perceraian, dan dampak yang ditimbulkan terhadap anak

setelah perceraian.

(27)

Bab keempat membahas mengenai permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu membahas tentang bagaimana perlindungan hukum terhadap anak akibat perceraian studi pada putusan nomor 543/Pdt.G/2014/PN. Mdn, yang membahas tentang apa yang menjadi kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian, perlindungan hukum terhadap anak akibat perceraian, apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam putusan nomor 543/Pdt.G/2014/PN.

Mdn, dan bagaimana analisis pertimbangan hukum hakim dalam putusan nomor 543/Pdt.G/2014/PN. Mdn.

Bab kelima merupakan penutup, pada bab kelima ini terdiri dari

kesimpulan terhadap penulisan skripsi dan saran-saran sehubungan dengan

tinjauan yuridis perlindungan hukum terhadap anak akibat terjadinya

perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus

Putusan Nomor 543/Pdt.G/2014/PN.Mdn).

(28)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. 18 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan memberikan definisi bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa: 19

a. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.

b. Ikatan lahir batin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal , dan sejahtera.

c. Dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan adalah persetujuan kekeluargaan yang menghendaki adanya asas kebebasan kata sepakat antara calon suami istri. Hal ini menunjukkan bahwa adanya sifat tidak bisa dipaksakan, bahwa

18 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta, Sinar Grafika, 2002), hal. 61.

19 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 11.

(29)

persetujuan perkawinan harus lahir oleh karena adanya persamaan kehendak. 20 Dalam “ikatan lahir batin” dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya “ikatan lahir” atau “ikatan batin” saja, tapi harus kedua-duanya. Suatu ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat di mana adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri, dengan kata lain dapat disebut sebagai hubungan formil. Hubungan formil ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat.

Sebaliknya, suatu ikatan batin adalah merupakan hubungan yang tidak formil, yaitu suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walau tidak nyata tapi ikatan itu harus ada, karena tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir akan menjadi rapuh. Hal ini dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dalam tahap permulaan untuk mengadakan perkawinan. Ikatan batin ini diawali oleh adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama.

Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. 21

Perkawinan merumuskan bahwa ikatan suami istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci.

Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami istri.

Hidup bersama suami istri dalam perkawinan tidak semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual terhadap pasangan suami istri tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rumah tangga yang rukun, aman

20 F.X. Suhardana, Hukum Perdata I, (Jakarta, Percetakan Gloria, 2001), hal. 91.

21 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta, Balai Aksara, 1976),

hal. 14.

(30)

dan harmonis antara suami istri. Perkawinan salah satu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. 22 Oleh karena itu yang dimaksud perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila. 23

2. Asas-Asas Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menentukan prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Prinsip atau asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut.

1. Asas perkawinan kekal

Setiap perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Artinya, perkawinan hendaknya seumur hidup.

Hanya dengan perkawinan kekal saja dapat membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Tujuan pokok perkawinan ialah menciptakan ikatan sosial yang benar dan juga dalam hubungan darah. Untuk mencapai tujuan itu, salah satu bentuk perkawinan yang absah adalah

22 Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga: Harta-Harta Benda dalam Perkawinan, (Jakarta, Raja Grafindo, 2016), hal. 43.

23 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta, Sinar Grafika, 2002),

hal. 5.

(31)

akad yang permanen. Dengan akad permanen itu, kedua pihak bisa mencapai harapan bersama menuju kehidupan yang normal. Prinsip perkawinan kekal ini dapat dijumpai dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Asas perkawinan menurut hukum agama atau kepercayaan agamanya Perkawinan hanya sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Artinya, perkawinan akan dianggap sah bilamana perkawinan itu dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaan agama yang dianut oleh calon mempelai.

3. Asas perkawinan terdaftar

Tiap-tiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu akan dianggap mempunyai kekuatan hukum bilamana dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dicatat tidak mempunyai kekuatan hukum menurut Undang-Undang Perkawinan.

Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 24

4. Asas perkawinan monogami

Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami, hal ini tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita

24 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di

Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), hal. 265.

(32)

hanya boleh mempunyai seorang suami. 25 Namun dengan suatu pengecualian bahwa seorang suami dapat beristri lebih dari satu orang sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. 26

5. Asas tidak mengenal perkawinan poliandri

Undang-Undang Perkawinan melalui Pasal 3 ayat (1) tidak membolehkan adanya perkawinan poliandri, di mana seorang wanita hanya memiliki seorang suami pada waktu yang bersamaan. Hikmah utama perkawinan poliandri dilarang, untuk menjaga kemurnian keturunan, jangan sampai bercampur aduk dan kepastian hukum seorang anak. Karena anak sejak dilahirkan bahkan dalam keadaan tertentu walaupun masih dalam kandungan telah berkedudukan sebagai pembawa hak, sehingga perlu mendapat perlindungan dan kepastian hukum.

6. Perkawinan didasarkan pada kesukarelaan atau kebebasan berkehendak Untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, setiap perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita. Perkawinan merupakan salah satu hak asasi manusia, oleh karena itu suatu perkawinan harus didasarkan pada kerelaan masing-masing pihak untuk menjadi suami

25 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata, (Jakarta, PT.

Pradnya Paramita, 2004), hal. 117.

26 Ibid., hal. 115.

(33)

istri, untuk saling menerima dan saling melengkapi satu sama lainnya, tanpa ada suatu paksaan dari pihak manapun juga. Perkawinan yang tanpa didasari oleh persetujuan kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan dapat dijadikan alasan membatalkan perkawinan. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menentukan, bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

7. Keseimbangan hak dan kedudukan suami istri

Hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan rumah tangga maupun masyarakat seimbang. Suami istri dapat melakukan perbuatan hukum dalam kerangka hubungan hukum tertentu. Suami berkedudukan sebagai kepala rumah tangga dan istri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Dalam memutuskan segala sesuatu, maka dirundingkan secara bersama-sama antara suami istri. Prinsip ini lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 31 Undang-Undang Perkawinan.

8. Asas mempersukar perceraian

Sejalan dengan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera maka Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan bila ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan setelah hakim tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Prinsip ini secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan. 27

27 Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 267.

(34)

3. Tujuan Perkawinan

Perkawinan adalah sesuatu yang sakral, sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia termasuk kehidupan agama, dan dianggap bahwa perkawinan itu adalah bagian dari ibadah. Tujuan sebuah perkawinan bagi orang beragama harus merupakan suatu alat untuk menghindarkan diri dari perbuatan buruk dan menjauhkan diri dari dosa.

Dalam konteks inilah pasangan yang baik dan cocok memegang peranan yang penting. Dua orang beriman melalui perkawinan membentuk sebuah keluarga, dari hubungan mereka akan memberikan keuntungan dalam memperkuat rasa saling mencintai dan menyayangi yang ada dalam diri mereka, karena itulah tujuan perkawinan harus dicari dalam konteks spiritual. 28

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak tidak diperkenankan.

Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terpaksa. 29

28 Mohd. Idris Ramulyo, Op. Cit, hal. 1.

29 Riduan Syahrani, Op. Cit, hal. 62.

(35)

Selanjutnya, dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tanggga) yang bahagia dan kekal itu berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan masing-masing.

Karena inilah, maka dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan:

“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Tujuan perkawinan menurut hukum agama juga berbeda antara agama yang satu dengan yang lain. Menurut hukum Islam tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. 30 Selain itu pula ada pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat. 31 Tujuan perkawinan menurut agama Katolik adalah membangun kesejahteraan suami istri, mereka bersama-sama mau mewujudkan apa yang mereka cita-citakan atau impikan, yaitu berbahagia lahir dan batin. Dasar dan dorongan mewujudkan kebahagiaan adalah api

30 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta, Balai Aksara, 1976), hal. 15.

31 Hilman Hadikusuma, Op. Cit, hal. 24.

(36)

cinta yang tumbuh mekar dalam hati masing-masing pasangan. Tujuan perkawinan menurut agama Kristen (Protestan) dipandang sebagai kesetiakawanan bertiga antara suami istri di hadapan Allah. Perkawinan itu suci, seorang pria dan seorang wanita membentuk rumah tangga karena dipersatukan oleh Allah. Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. 32 Berdasarkan uraian di atas maka tujuan perkawinan dapat dijabarkan sebagai berikut: 33

1. Melaksanakan ikatan perkawinan antara pria dan wanita yang sudah dewasa guna membentuk kehidupan rumah tangga.

2. Mengatur kehidupan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan sesuai dengan ajaran dan firman Tuhan Yang Maha Esa.

3. Memperoleh keturunan untuk melanjutkan kehidupan kemanusiaan dan selanjutnya memelihara pembinaan terhadap anak-anak untuk masa depan.

4. Memberikan ketetapan tentang hak kewajiban suami dan istri dalam membina kehidupan keluarga.

5. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur, tentram dan damai.

4. Syarat Sah Perkawinan

Pada dasarnya tidak semua pasangan laki-laki dan wanita dapat melangsungkan perkawinan. Namun, yang dapat melangsungkan perkawinan adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah

32 Pormadi, “Makna Perkawinan Dalam Berbagai Agama”, diakses dari https://www.google.co.id/amp/s/pormadi.wordpress.com/2008/05/10/makna-perkawinan- dalam-berbagai-agama/amp/, pada tanggal 15 Mei 2018, pukul 11.48 WIB.

33 Soedharyo Soimin, Op. Cit, hal. 7.

(37)

ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan. 34 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dari bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut, bahwa perkawinan mutlak harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu kalau tidak, maka perkawinan itu tidak sah. 35

Ada dua macam syarat perkawinan, yaitu syarat materiil dan syarat formal. Syarat materiil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak- pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga “syarat-syarat subjektif”. Adapun syarat-syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang disebut juga “syarat-syarat objektif”. Persyaratan perkawinan diatur di dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan, yang meliputi persyaratan materiil maupun persyaratan formal. Perlu diingat selain harus memenuhi persyaratan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan, bagi mereka yang hendak melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi persyaratan perkawinan yang diatur atau ditentukan di dalam hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing-masing, termasuk ketentuan dalam perundang-undangan lain yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu.

34 Salim HS, Loc. Cit.

35 K. Wantjik Saleh, Op. Cit, hal 15.

(38)

a. Persyaratan materiil berkenaan dengan calon mempelai yang hendak melangsungkan perkawinan, meliputi: 36

1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, oleh karena itu perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Persyaratan ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menentukan perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

Dengan demikian dengan ketentuan ini, yaitu adanya persetujuan kedua calon mempelai dalam suatu perkawinan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan paksa.

Pernyataan atas persetujuan calon mempelai ini dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat, tetapi dapat juga berupa diam bagi wanita dalam arti selama tidak ada penolakan tegas. Sudah sepantasnya bila sebelum perkawinan dilangsungkan, petugas pencatat perkawinan menanyakan terlebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan saksi perkawinan, bila ternyata tidak disetujui oleh calon mempelai, maka perkawinan tersebut tidak dapat dilangsungkan. Bagi calon mempelai yang

36 Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 272.

(39)

menderita tunawicara atau tuna rungu, persetujuannya dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat lain yang dapat dimengerti.

2. Adanya izin kedua orangtua atau wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2, 3, 4, 5 dan 6 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dinyatakan, bahwa:

“Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”.

Bila salah seorang dari kedua orang tua itu meninggal dunia menurut Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan, izin untuk melangsungkan perkawinan itu cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Menurut ketentuan dalam Pasal 6 ayat (4) Undang- Undang Perkawinan, maka izin dapat diperoleh dari:

1) Wali;

2) Orang yang memelihara atau;

3) Keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan yang lurus di atas (kakek atau nenek) selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

Jika terdapat perbedaan pendapat di antara orang-orang yang

disebut di atas yang berhak memberi izin atau persetujuan

perkawinan atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak

(40)

menyatakan pendapatnya, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Perkawinan, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin atau persetujuan setelah lebih dulu mendengar orang-orang tersebut yang berhak memberikan izin atau persetujuan untuk melangsungkan perkawinan, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 37

3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan hanya dibenarkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. 38 Penyimpangan terhadap batas umur diizinkannya melangsungkan perkawinan hanya dimungkinkan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Ketentuan batas-batas umur untuk melangsungkan perkawinan ini

37 Ibid., hal. 274.

38 Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia,

(Bandung, Alumni, 1982), hal. 110.

(41)

dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami istri dan keturunannya serta mencegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur.

4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darah atau keluarga yang tidak boleh kawin (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Ketentuan yang mengatur tentang larangan untuk malangsungkan perkawinan di antara orang-orang yang mempunyai hubungan tali persaudaraan terdapat dalam Pasal 8 (a) sampai (f) Undang-Undang Perkawinan, yang menyebutkan bahwa:

“Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau bapak tiri;

d) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan.

e) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri dari seorang;

f) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang

Perkawinan, maka melarang dilangsungkan perkawinan antara

seorang pria dengan seorang wanita yang terkena larangan atau

halangan perkawinan. Larangan atau halangan perkawinan antara

seorang pria dengan seorang wanita tersebut dapat disebabkan oleh:

(42)

1) Karena pertalian darah:

a. Perkawinan antara keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas, yaitu anak, ayah, ibu, kakek, nenek, dan seterusnya;

b. Perkawinan antara keluarga sedarah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

2) Karena pertalian kerabat semenda:

a. Perkawinan antara keluarga semenda, yakni mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau bapak tiri;

b. Perkawinan antara seorang suami dengan saudara istri, bibi, atau kemenakan istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.

3) Karena pertalian susuan, yakni perkawinan antara orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi atau paman susuan;

4) Karena pertalian yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Dengan demikian, apabila salah satu dari larangan tidak ada, berarti syarat tersebut dipenuhi dan perkawinan dapat dilangsungkan. 39

39 Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 278.

(43)

5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan menyatakan:

“seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang ini.”

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan, sesudah berlakunya Undang-Undang Perkawinan poligami sepanjang hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya dan itu pun harus ada izin dari pengadilan setelah terdapat alasan yang dapat dibenarkan dan memenuhi syarat-syarat untuk beristri lebih dari seorang. Sehubungan dengan perkawinan poligami ini, Angka 4 huruf c Penjelasan Umum atas Undang- Undang Perkawinan antara lain menyatakan:

“Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.”

Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan

dihubungkan dengan Penjelasan Umum atas Undang-Undang

Perkawinan di atas, dapat disimpulkan bahwa perkawinan poligami

tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, sebab pelaksanaan

perkawinan poligami diawasi oleh undang-undang. Walaupun telah

(44)

memenuhi alasan dan syarat-syarat perkawinan poligami, namun hukum perkawinan dari calon suaminya tidak mengizinkannya berpoligami, maka perkawinan poligami tidak dapat dilakukan oleh suaminya. 40

6. Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Dalam Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan ditentukan bahwa apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Dengan demikian, seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita bekas istrinya yang dicerainya untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu memperbolehkan. Selain itu, ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali sehingga suami maupun istri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

Hukum Islam memperbolehkan saja seorang pria untuk kawin lagi dengan wanita bekas istrinya yang telah dicerainya untuk kedua kalinya. Bahkan sesudah bercerai yang ketiga kalinya,

40 Ibid., hal. 279.

(45)

seorang pria bekas suaminya masih diperkenankan untuk menikahi wanita bekas istrinya yang telah dicerai untuk ketiga kalinya, dengan syarat asalkan wanita bekas istrinya yang telah dicerai untuk ketiga kalinya tersebut telah menikah dengan pria lain, kemudian perkawinannya tersebut putus dan telah habis masa iddah nya. Dengan demikian, bila telah dipenuhi syarat tersebut maka bekas suaminya dapat menikahinya kembali wanita bekas istri yang telah dicerainya untuk ketiga kali. Syarat demikian ini dimaksudkan agar membuat jera bekas suaminya untuk kawin cerai berulang kali.

7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

Seorang janda dapat menikah kembali apabila dirinya tidak sedang dalam jangka waktu tunggu atau masa iddah. Guna waktu tunggu atau masa iddah ini untuk mengetahui dan menghindari kesimpangsiuran garis keturunan. Sehubungan dengan itu dalam Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan ditetapkan, bahwa:

1) Bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1), akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Sebagai tindak lanjut ketentuan dalam Pasal 39 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menetapkan waktu tunggu, yang

pengaturannya bersesuaian dengan hukum Islam sebagai berikut:

(46)

1) Waktu tunggu bagi seorang janda adalah:

a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;

b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi:

i. Yang masih datang bulan atau haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari;

ii. Bagi yang tidak datang bulan atau haid ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari.

c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan sampai dengan melahirkan.

2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, ia dapat melangsungkan perkawinan setiap saat setelah perceraian itu;

3) Bagi perkawinan yang putus:

a) Karena perceraian, tenggang waktu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

b) Karena kematian, tenggang waktu dihitung sejak kematian

suami.

(47)

b. Persyaratan formil, yakni syarat-syarat yang merupakan formalitas yang berkaitan dengan upacara nikah. 41 Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 direalisasikan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan.

Pemberitahuan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5);

2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat atau belum. Hasil penelitiannya ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7);

3. Apabila semua syarat telah dipenuhi, Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:

a) Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin.

41 Komariah, Op. Cit, hal. 44.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dijelaskan bahwa benda (yang ada diwilayah Negara RI atau diluar Negara RI) yang dibebani dengan jaminan

pada Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan, pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 2)

Pendapat demikian juga sesuai dengan pertumbuhan hukum Anglo Amerika menurut sistem common law, di mana pemegang hipotek (mortgagee) dianggap memperoleh hak eigendom atas benda

Perusahaan Sewa Guna Usaha (leasing) kegiatan utamanya adalah bergerak di bidang pembiayaan untuk memenuhi keperluan barang-barang modal oleh debitur. Pemenuhan pembiayaan

76 Wawancara dengan Bapak Hasan Amin, tanggal 5 Agustus 2016 di kantor PT. Rahmat Jaya Transport.. Indofood di dalam proses penyelenggaraan pengangkutan dengan PT. Rahmat Jaya

1) Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku untuk mediasi yang perkaranya diproses di Pengadilan. 2) Setiap hakim, mediator, dan para pihak wajib mengkuti prosedur medisi yang

Dampak meningkatnya perkara perceraian yang terjadi di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh dan dampak terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dikurangi ataupun

Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan hak istri. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut diatas para pencari keadilan yang selalu