• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI OLEH CHANDRA PRATAMA SITORUS DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI OLEH CHANDRA PRATAMA SITORUS DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI PADA PASAR TRADISIONAL PARLUASAN PEMATANG SIANTAR)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH

CHANDRA PRATAMA SITORUS 140200364

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)

ABSTRAK Chandra Pratama Sitorus Prof. Dr. Hasim Purba, SH., M.Hum

Zulfi Chairi, SH., M.Hum

Pakaian bekas memiliki banyak kandungan bakteri dan jamur yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Kandungan bakteri dan jamur yang terdapat dalam pakaian impor bekas ini dapat menjadi penyebab munculnya berbagai macam penyakit seperti penyakit kulit, diare, dan penyakit saluran kelamin, oleh karena itu dilakukan larangan impor pakaian bekas oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang dipertegas dengan diberlakukannya Permendag RI Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, dimana Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Nomor 8 Tahun 1999 merupakan pedoman dasar dalam melindungi konsumen. Perdagangan pakaian impor bekas ini telah melanggar hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UUPK, yaitu hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkomsumsi barang dan/atau jasa. Penelitian ini mengkaji dan membahas tentang perlindungan hukum yang diberikan pemerintah terhadap konsumen yang mengkonsumsi pakaian bekas, tanggung jawab yang diberikan pelaku usaha terhadap produk yang diperdagangkan.

Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Sedangkan cara pengumpulan datanya menggunakan studi kepustakaan, studi lapangan. Metode Analisa bahan menggunakan deskriptif analitis.

Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang beredar dipasaran. Berdasarkan Pasal 8 dan Pasal 27 UUPK Produsen penjual pakaian bekas dapat dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen.

Kata Kunci : Perdagangan, Pakaian Bekas, Perlindungan Konsumen.

Mahasiwa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

 Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

 Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

(4)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nyalah penulis diberikan kesehatan, kekuatan, dan kemudahan, sehingga mampu dan berhasil menyelesaikan skripsi ini.

Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah tulus dan ikhlas dalam memberikan bantuan untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis akan mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., sebagai Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., sebagai Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., sebagai Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

6. Prof. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing I penulis yang telah sabar membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini.

7. Ibu Zulfi Chairi, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing II penulis yang telah banyak memberikan wawasan dalam diskusi-diskusi yang dilakukan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Ibu Maria Kaban, S.H., M.Hum., selaku Dosen Penasehat Akademik.

9. Seluruh Dosen dan Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Seluruh Staff Tata Usaha dan Staff Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Instansi terkait, dalam hal ini Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yaitu Bapak Abdul Kodir Siregar, S.E., sebagai Ketua pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Pematang Siantar yang telah banyak membantu dalam riset dan wawancara, kemudaian kepada Ibu Thalita Br. Butar-buta sebagai Pedagang Pakaian Bekas di Pasar Tradisional Perluasan Pematang Siantar.

12. Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta James Sitorus dan Heddiana Br.

Pangaribuan serta adik – adik yang penulis banggakan Aditiya Pranata Sitorus, Viona Pratiwi Br. Sitorus, Chelsea Nadya Br. Sitorus yang selalu mendoakan dan memberi semangat hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

(6)

13. keluarga besar penulis Oppung Parulian / Br. Marpaung, beserta keluarga yang selalu mendoakan serta memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

14. Sahabat - sahabat seperjuangan Daniel Edenata Girsang, Yohanes Lambok Torang Tambunan, Haposan Sitio, Saul Arapenta Purba, Johan Silalahi yang selalu memberikan semangatnya dan meluangkan waktu menemani penulis mengerjakan skripsinya.

15. Keluarga seperjuangan yang tergabung dalam kost kuil Mikael Purba, Wiliam Vincent Purba, Nalsal Damanik, Gabriel Damanik yang selalu selalu ada saat penulis mengalami kesulitan serta selalu memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

16. Wanita terhebat yang telah sabar menemani dan hidup bersama penulis dimasa yang akan datang.

Penulis sangat menerima kritik dan saran dengan penuh kerendahan hati untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap dengan segala keterbatasannya, kelak skripsi ini dapat menjadi sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi semua pihak, khususnya para mahasiswa dan kalangan praktisi.

Medan, Maret 2018 Penulis,

Chandra Pratama Sitorus 140200364

(7)

Abstrak ... i

Kata Pengantar... ii

Daftar isi ... v

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 6

D. Metode Penelitan ... 7

E. Keaslian Penulisan ... 12

F. Sitematika Penulisan ... 13

BAB II Tinjauan Umum Tentang Perdagangan A. Pengertian Perdagangan... 16

B. Asas dan Tujuan Perdagangan ... 20

C. Ketentuan Mengenai Perdagangan Pakaian Bekas ... 24

(8)

B. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 33 C. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen dan Sejarah

Hukum Perlindungan Konsumen ... 42 D. Asas dan Tujuan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen ... 47

BAB IV Tinjauan Yuridis Terhadap Penjualan Pakaian Bekas Ditinjau Dari UU No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Serta Hubungannya Dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Pasar Tradisional Parluasan Pematang Siantar) A. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Menurut

Undang-Undang Perlindungan Konsumen atas Kerugian yang Ditimbulkan dari pemakaian Pakaian

Bekas ... 51 B. Peran Pemerintah Daerah Kota Pematang Siantar

Terhadap Konsumen yang Menggunakan Pakaian

Bekas ... 58 C. Pertanggungjawaban Produsen atau Pelaku Usaha

Terhadap Kerugian yang ditimbulkan dari Pemakaian

Pakaian Bekas ... 67

(9)

Daftar Pustaka ... 82 Lampiran

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi, baik produk luar negeri maupun produksi dalam negeri.1

Sejalan dengan perkembangan globalisasi dan perdagangan, manusia tidak dapat terhindar dari kebutuhan-kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Adapun kebutuhan-kebutuhan tersebut yaitu:2

1. Kebutuhan Primer, merupakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk dipenuhi agar manusia bisa hidup. Apabila manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan ini, sebagai makhluk hidup dia akan mengalami kesulitan dalam mempertahankan hidupnya. Contoh kebutuhan primer adalah makanan, pakaian, dan perumahan.

2. Kebutuhan Sekunder, merupakan kebutuhan setelah kebutuhan primer sudah dipenuhi. Contoh kebutuhan ini adalah meja,

1 Adrian Sutendi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm. 1

2 Maksum Habibi dan Ahmad Widodo, Ekonomi, Piranti Darma Kalokatama, Jakarta, 2008, hlm. 5

(11)

3. kursi, motor, kipas angin, dan kulkas. Bila kebutuhan sekunder terpenuhi kebutuhan manusia akan terasa nyaman.

4. Kebutuhan Tersier, kebutuhan ini disebut kebutuhan mewah atau kebutuhan ekstra, batas antara kebutuhan mewah untuk masing-masing orang akan berbeda-beda. Tinggi rendahnya pendapatan dan kebutuhan seseorang di dalam masyarakat sangat menentukan tingkat kebutuhan ini. Contoh mobil mewah, perhiasan emas, kapal pesiar, dan helikopter pribadi.

Pakaian merupakan kebutuhan primer bagi setiap manusia, sehingga kebutuhan akan pakaian akan terus meningkat seiring dengan perkembangan populasi manusia di dunia. Industri pakaian jadi terus berkembang diikuti oleh berkembangnya perdagangan internasional untuk produk pakaian tersebut.1 Di Indonesia sendiri industri pakaian jadi juga sangat berkembang, di tengah perkembangan itu sendiri menimbulkan permasalahan, seperti adanya penjualan pakaian bekas impor. Penjualan pakaian bekas impor sudah sangat jelas merugikan negara, selain mengurangi pendapatan negara dari bea dan cukai, impor pakaian bekas ini juga mengganggu pasar domestik. namun masyarakat tetap meminati pakaian bekas oleh banyaknya alasan masyarakat untuk membeli pakaian bekas ini. Salah satu alasan masyarakat mengkonsumsi

1 Jurnal Laporan Analisis Kebijakan Impor Pakaian Bekas Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan

Perdagangan (BP2KP), Kementrian Perdagangan, Jakarta, 2015, hlm. 6

(12)

pakaian bekas ini yaitu untuk mendapat penampilan yang berbeda dengan yang lain, karena kebanyakan pakaian bekas mempunyai merek ternama di luar negeri dan model pakaian yang tidak pasaran. Di sisi lain pakaian bekas ini tidak terlalu mahal sehingga dapat menghemat pengeluaran.

Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap akibat yang ditimbulkan dari pakaian bekas yang dikonsumsi menjadikan penjualan pakaian bekas semakin besar di Indonesia. Di dalam Pakaian Bekas mengandung bakteri dan jamur yang berbahaya untuk kesehatan manusia seperti bakteri E.coli dapat menimbulkan gangguan pencernaan (diare), bakteri S. aureus dapat menyebabkan bisul, jerawat, dan infeksi luka pada kulit manusia, serta jamur seperti Aspergillus spp. dan Candida spp yang dapat menyebabkan gatal-gatal, alergi bahkan infeksi pada saluran kelamin.2

Pada saat ini masyarakat dapat dengan mudah memperoleh atau membeli pakaian bekas karena banyaknya dipasarkan pada pasar tradisional atau pasar induk, toko baju maupun penjualan secara online melalui website, banyak website yang terang-terangan menyatakan memperjual-belikan Pakaian Bekas Impor. seperti halnya penjualan pakaian bekas pada pasar tradisional parluasan di kota Pematang Siantar, Beberapa masyarakat menjadikan usaha penjualan Pakaian Bekas sebagai

2 Ibid, hlm. 25

(13)

penghasilan utama dan beranggapan bahwa usaha tersebut merupakan usaha yang menjanjikan dan memberikan keuntungan yang besar.

Pengaturan impor pakaian bekas ini diatur oleh pemerintah dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan. Seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.

Dinyatakan dalam Pasal 47 ayat (1) setiap impotir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru.3 Kementrian Perdagangan juga telah mengatur impor barang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M- DAG/PER/7/2015 Tentang Ketentuan Umum Di Bidang Impor. Dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa, Pakaian Bekas dilarang untuk diimpor ke dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.4

Dari segi perlindungan konsumen sendiri, dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.5 Serta dalam Pasal 8 ayat (2) dinyatakan pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas,

3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Pasal 47 ayat (1)

4 Peraturan Menteri Perdagangan No. 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas, Pasal 2

5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 19 ayat (1)

(14)

dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.6

Konsumen perlu dilindungi, karena konsumen dianggap memiliki suatu “kedudukan” yang tidak seimbang dengan para pelaku usaha. Sering kali konsumen tidak berdaya menghadapi posisi yang lebih kuat dari pada pelaku usaha. Walaupun demikian, suatu hal yang tidak dapat dikesampingkan adalah banyaknya konsumen yang kurang peduli akan hak-haknya.

Dengan uraian diatas, maka dipilihlah skripsi dengan judul:

“Tinjauan Yuridis Terhadap Penjualan Pakaian Bekas Ditinjau Dari UU No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Serta Hubungannya Dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Pasar Tradisional Parluasan Pematang Siantar)”

B. Perumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini antara lain, sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen yang mengkonsumsi pakaian bekas impor?

2. Bagaimana Peran Pemerintah Daerah terhadap konsumen yang mengkonsumsi pakaian bekas impor?

6 Ibid. Pasal 8 ayat (2)

(15)

3. Bagaimana Pertanggungjawaban Produsen atau Pelaku Usaha terhadap kerugian yang ditimbulkan dari pemakaian pakaian bekas impor?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan utama dalam pembahasan skripsi penulis yang berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Penjualan Pakaian Bekas Ditinjau Dari UU No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Serta Hubungannya Dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Pasar Parluasan Pematang Siantar) adalah sebagai pemenuhan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selain itu, penulisan pembahasan skripsi ini juga bertujuan, antara lain:

1. Mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen yang mengkonsumsi pakaian bekas

2. Untuk mengetahui bagaiaman peran Pemerintah Daerah terhadap konsumen yang mengkonsumsi pakaian bekas

3. Mengetahui Pertanggungjawaban Produsen atau Pelaku Usaha terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh pemakaian pakaian bekas

(16)

Adapun manfaat yang ingin dicapai dan diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

Melalui penulisan skripsi ini penulis dapat menambah pengetahuan serta pengalaman dan merupakan suatu kesempatan untuk mengimplementasikan teori-teori yang selama ini diperoleh di bangku kuliah. Khususnya menyangkut tentang perdagangan dan perlindungan konsumen terhadap penjual dan konsumen pakaian bekas.

b. Manfaat Praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan hukum positif dan dapat memberika sumbangsih pemikiran untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan dapat dipergunakan untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan mengenai perdagangan dan perlindungan kosumen dan diharapkan dapat memberi manfaat bagi masyarakat secara umum.

D. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini dengan tujuan agar dapat lebih terarah dan dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah,

(17)

maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunaan metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif tersebut mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.7 Pada pendekatan yang bersifat yuridis normatif ini, hukum diidentifikasi sebagai norma peraturan atau undang-undang yang mengikat dan memiliki konsekuensi hukum yang sangat jelas. Melalui pendekatan yuridis normatif ini diharapkan agar dapat memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yaitu, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen, yang dapat diterapkan dalam mengkaji permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini. Pendekatan yuridis empiris dimaksudkan untuk melakukan penelitian terhadap aspek hukum penjualan pakaian bekas melalui wawancara terhadap pedagang, konsumen, serta pemerintah yang berwenang.

7 Zainaludin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hlm. 105

(18)

2. Sifat Penelitian

Sifat yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Artinya, menganalisis dan menggambarkan penelitian secara objektif dan mendetail untuk mendapatkan hasil yang akurat. Penenlitian deskriptif ialah berusaha menggambarkan kegiatan penelitian yang dilakukan pada objek tertentu secara jelas dan sistematis, juga melakukan eksplorasi menggambarkan dengan tujuan untuk dapat menerangkan dan memprediksi terhadap suatu gejala yang berlaku atas dasar data yang diperoleh di lapangan.8

3. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari wawancara dengan responden. Data tersebut digunakan sebagai bukti realita yang terjadi di lapangan. Sumber data pada penelitian ini didapatkan melalui data sekunder dan data primer, yaitu meliputi :

a. Penelitian data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan, meliputi:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, Undang-Undang

8 Sukardi, Metode Penelitian Pendidikan : Kompetensi dan Praktiknya, Cet- 3, Bumi Aksara, Jakarta, 2005, hlm. 14

(19)

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan Konsumen, Peraturan Menteri Republik Indonesia Nomor 51/M- DAG/PER/7/2015 Tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer terdiri dari buku-buku, laporan, jurnal/artikel ilmiah, serta berbagai hasil penemuan ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan primer dan bahan sekunder yang terdiri dari kamus hukum dan kamus-kamus lainnya yang menyangkut penelitian.

b. Data primer yaitu data yang dibuat oleh peneliti untuk maksud khusus menyelesaikan permasalahan yang sedang ditanganinya.

Data dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau tempat objek penelitian dilakukan, melalui wawancara dengan pedagang pakaian bekas di pasar tradisional parluasan pematang siantar.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal usaha untuk mengumpulkan data yang dipergunakan mengenai skripsi ini, maka penulis menggunakan dua cara yaitu :

(20)

a. Penelitian Kepustakaan (library research)

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder atau data tidak langsung dari sumbernya yaitu dengan membaca dan meneliti literatur, dokumen, buku-buku, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, serta hasil penelitian yang ada hubungannya dengan skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan (field research)

Pengumpulan data yang dilakukan untuk memperoleh data berkaitan dengan penerapan proses pelaksanaan perdagangan pakaian bekas dengan studi pada objek penelitian dalam hal ini Pasar Tradisional Parluasan Pematang Siantar.

5. Analisis Data

Analisis data adalah pengelolaan data yang diperoleh baik dari penelitian pustaka maupun penelitian lapangan. Terhadap data primer yang didapat dari lapangan terlebih dahulu diteliti kelengkapan dan kejelasannya untuk diklasifikasi serta dilakukan penyusunan secara sistematis serta konsisten untuk memudahkan melakukan analisis. Data primer ini pun terlebih dahulu di korelasi untuk menyelesaikan data yang paling relefan dengan perumusan permasalahan yang ada dalam

(21)

penelitian ini. Data sekunder yang didapat dari kepustakaan dipilih serta dihimpun secara sistematis, sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dari hasil data penelitian pustaka maupun lapangan ini dilakukan pembahasan secara deskriptif analitis.

Deskriptif adalah pemaparan hasil penelitian dengan tujuan agar diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh namun tetap sistematis terutama mengenai fakta yang berhubungan dengan permaslahan yang akan diteliti. Analisis artinya gambaran yang diperoleh tersebut dilakukan analisis dengan cermat sehingga dapat diketahui tentang tujuan dari penelitian ini sendiri yaitu membuktikan permasalahan sebagaiamana telah dirumuskan dalam perumusan permasalahan tersebut.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran perpustakaan dan hasil-hasil pembahasan skripsi yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan ternyata belum pernah dilakukan pembahasan terhadap skripsi yang berjudul : Tinjauan Yuridis Terhadap Penjualan Pakaian Bekas Ditinjau Dari UU No. 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Serta Hubungannya Dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Pasar Tradisional Parluasan Pematang Siantar)

Skripsi dengan judul di atas adalah judul yang belum pernah dibahas oleh pihak manapun dan ini adalah murni hasil penelitian dan

(22)

pemikiran dalam rangka melengkapi tugas guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pemahaman dan pengerjaan terhadap materi skripsi ini dan agar membuat sitematika secara teratur dalam bagian-bagian yang semuanya saling berhubungan satu sama lain, maka penulis membaginya ke dalam beberapa bab dan diantara bab-bab terdiri pula atas sub bab.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan membahas mengenai Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERDAGANGAN Dalam bab ini akan membahas mengenai perdagangan secara umum yang meliputi Pengertian Perdagangan, Asas dan Tujuan Perdagangan, Perdagangan Pakaian Bekas.

(23)

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN Dalam bab ini akan membahas mengenai konsumen yaitu : Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha, Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha, Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen dan Sejarah Hukum Perlindungan Kosumen, Asas dan Tujuan Perlindungan Kosumen.

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

PERDAGANGAN PAKAIAN BEKAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 2014

TENTANG PERDAGANGAN SERTA

HUBUNGANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dalam bab ini akan membahas mengenai Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Menurut Undang- Undang Perlindungan Konsumen Atas Kerugian Yang Ditimbulkan Dari Pemakaian Pakaian Bekas, Peran Pemerintah Daerah Kota Pematang Siantar Terhadap Konsumen Yang Menggunakan Pakaian Bekas, Pertanggungjawaban Produsen Atau Pelaku Usaha

(24)

Terhadap Kerugian Yang Ditimbulkan Dari Pemakaian Pakaian Bekas.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini merupakan penutup dari keseluruhan materi skripsi yang berisikan Kesimpulan dan Saran.

(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERDAGANGAN

A. Pengertian Perdagangan.

Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mengatur definisi perdagangan yang berada di dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: Perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi Barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas Barang dan/atau Jasa untuk memperoleh imbalan atau kompensasi.

1. Perdagangan

Perdagangan atau perniagaan pada umumnya, ialah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang yaitu di tempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan.9 Aktivitas perniagaan tersebut diperjelas oleh Pasal 3 KUHD (lama), yaitu perbuatan pembelian barang-barang untuk dijual kembali. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 KUHD (lama) tersebut, HMN. Purwosutjipto mencatat bahwa:10

a. Perbuatan perniagaan hanya menyangkut perbuatan pembelian saja, sedangkan perbuatan penjualan tidak

9 Danang Sunyono, dan Wika Harisa Putri, Hukum Bisnis, Pustaka Yustisia, 2016, hlm. 36

10 Mulhadi, Hukum Perusahaan, USU Press, Medan, 2015, hlm. 2

(26)

termasuk didalamnya, karena, penjualan adalah tujuan pembelian; dan

b. Pengertian barang di sini hanya berarti barang bergerak saja, tidak termasuk di dalamnya barang tetap (tidak bergerak).

2. Hukum Dagang

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah dagang diartikan sebagai suatu usaha yang berkenaan dengan urusan menjual dan membeli serta bertujuan untuk mendapatkan suatu keuntungan.11 Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, tidak ada definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud dengan Hukum Dagang. Kitab Undang- Undang Hukum Dagang dibagi dalam 2 (dua) buku, yaitu buku pertama tentang dagang pada umumnya dan buku kedua tentang hak-hak dan kewajiban yang terbit dari pelayaran. Mungkin pembentuk Undang- Undang beranggapan rumusan atau definisi hukum dagang diserahkan kepada pendapat atau doktrin dari para sarjana. Untuk memahami makna hukum dagang, berikut dikutip berbagai pengertian hukum dagang yang dikemukakan oleh para ahli hukum yaitu sebagai berikut:12

a. Achmad Ichsan mengemukakan:

11 M. B. ALI – T. DELI, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penabur Ilmu, Bandung, 2000, hlm. 145

12 Sentosa sembiring, Hukum Dagang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm. 8

(27)

“Hukum dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal perdagangan, yaitu soal-soal yang timbul karena tingkah laku manusia dalam perdagangan.”

b. R. Soekardono mengemukakan :

“Hukum dagang adalah bagian dari hukum perdata pada umumnya, yakni yang mengatur masalah perjanjian dan perikatan-perikatan yang diatur dalam buku III Burgerlijke Wetboek (BW). Dengan kata lain, hukum dagang adalah himpunan peraturan-peraturan yang mengatur seseorang dengan orang lain dalam kegiatan perusahaan yang terutama terdapat dalam kodifikasi KUHD dan KUHPdt. Hukum dagang dapat pula dirumuskan adalah serangkaian kaidah yang mengatur tentang dunia usaha atau bisnis dan dalam lalu lintas perdagangan.”

c. Fockema Andrea mengemukakan:

“Hukum dagang (Handelsrecht) adalah keseluruhan dari aturan hukum mengenai perusahaan dalam lalu lintas perdagangan, sejauh mana diatur dalam KUHD dan beberapa undang-undang tambahan. Di Belanda, hukum dagang dan hukum perdata dijadikan dalam satu buku, yaitu Buku II dalam BW baru belanda.”

d. H.M.N. Purwosucipto mengemukakan:

“Hukum Dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari lapangan perusahaan.”

e. Sri Redjeki Hartono mengemukakan:

“Hukum dagang dalam pemahaman konvensional merupakan bagian dari bidang hukum perdata atau dengan perkataan lain selain disebut bahwa hukum perdata dalam pengertian luas, termasuk hukum dagang. Maka asas-asas hukum dagang merupakan bagian asas-asas hukum perdata pada umumnya.”

f. J. van Kan dan J. H. Beekhuis, mengemukakan:

“Hukum perniagaan adalah hukum mengenai perniagaan ialah rumpunan kaidah yang mengatur secara memaksa perbuatan- perbuatan orang dalam perniagaan. Perniagaan secara yuridis berarti, membeli dan menjual dan mengadakan berbagai perjanjian, yang mempermudah dan memperkembangkan jual beli. Dengan demikian, hukum perniagaan adalah tidak lain dari sebagian dari hukum perikatan, dan bahkan untuk sebagian besar dari hukum perjanjian.”

(28)

g. M. H. Tirtaamidjaja mengemukakan:

“Hukum perniagaan adalah hukum yang mengatur tingkah laku orang-orang yang turut melakukan perniagaan. Sedangkan perniagaan adalah pemberian perantaraan antara produsen dan konsumen; membeli dan menjual dan membuat perjanjian yang memudahkan dan memajukan pembelian dan penjualan itu.

Sekalipun sumber utama hukum perniagaan adalah KUHD. Akan tetapi tidak bisa dilepaskan dari KUHPdt.”

h. KRMT. Titodiningrat mengemukakan:

“Hukum dagang merupakan bagian dari hukum perdata yang mempunyai aturan-aturan mengenai hubungan berdasarkan atas perusahaan. Peraturan-peraturan mengenai perusahaan tidak hanya dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) melainkan juga berupa undang-undang di luarnya.

KUHD dapat disebut sebagai perluasan dari KUHPdt.”

i. Ridwan Khairandy (dkk.) mengemukakan:

“Sebagai akibat adanya kodifikasi hukum perdata dalam KUHPdt dan hukum dagang dalam KUHD, maka di negara-negara yang menganut hukum sipil (Kontinental) termasuk Indonesia dianut paham bahwa hukum dagang merupakan bagian hukum perdata.”

Dari berbagai pengertian hukum dagang sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli hukum di atas tampak bahwa, ada satu benang merah yang dapat dijadikan sebagai titik awal untuk melihat apa makna hukum dagang. Benang merah yang dimaksud adalah pada hakikatnya hukum dagang sebagai suatu norma yang digunakan dalam menjalankan suatu kegiatan dunia usaha. Dengan kata lain, hukum

(29)

dagang adalah serangkaian norma yang timbul khusus dalam dunia usaha atau kegiatan perusahaan.13

B. Asas dan Tujuan Perdagangan

Asas perdagangan diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan, beserta penjelasanya. Kebijakan perdagangan disusun berdasarkan asas :

1. Kepentingan nasional

Yang dimaksud dengan “asas kepentingan nasional” adalah setiap kebijakan perdagangan harus mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di atas kepentingan lainnya.

2. Kepastian hukum

Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan pengendalian di bidang perdagangan.

3. Adil dan sehat

Yang dimaksud dengan “asas adil dan sehat” adalah adanya kesetaraan kesempatan dan kedudukan dalam kegiatan usaha antara produsen, pedagang, dan pelaku usaha lainnya untuk mewujudkan iklim

13 Zulfi Chairi dan Aflah, Hukum Dagang dan Perkembangannya di Indonesia, 2016, hlm. 8

(30)

usaha yang kondusif sehingga menjamin adanya kepastian dan kesempatan berusaha yang sama.

4. Keamanan berusaha

Yang dimaksud dengan “asas keamanan berusaha” adalah adanya jaminan keamanan bagi seluruh pelaku usaha di setiap tahapan kegiatan perdagangan, mulai dari persiapan melakukan kegiatan perdagangan hingga pelaksanaan kegiatan perdagangan.

5. Akuntabel dan transparan

Yang dimaksud dengan “asas akuntabel dan transparan” adalah pelaksanaan kegiatan perdagangan harus dapat dipertanggungjawabkan dan terbuka kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

6. Kemandirian

Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah setiap kegiatan perdagangan dilakukan tanpa banyak bergantung pada pihak lain.

7. Kemitraan

Yang dimaksud dengan “asas kemitraan” adalah adanya kerja sama dalam keterkaitan usaha di bidang perdagangan, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan

(31)

koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah dengan usaha besar dan antara pemerintah dan swasta.

8. Kemanfaatan

Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah seluruh pengaturan kebijakan dan pengendalian perdagangan harus bermanfaat bagi kepentingan nasional, khususnya dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum.

9. Kesederhanaan

Yang dimaksud dengan “asas kesederhanaan” adalah memberikan kemudahan pelayanan kepada pelaku usaha serta kemudahan dalam memberikan informasi yang benar kepada masyarakat.

10. Kebersamaan

Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah penyelenggaraan perdagangan yang dilakukan secara bersama oleh pemerintah, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat.

11. Berwawasan lingkungan

Yang dimaksud dengan “asas berwawasan lingkungan” adalah kebijakan perdagangan yang dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.

(32)

Tujuan hukum itu sendiri bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dan untuk mencapai keadilan dalam masyarakat. Pada dasarnya hukum dagang juga mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan hukum. Disamping kedua tujuan itu masih ada lagi tujuan-tujuan lain yang hendak diciptakan oleh hukum, misalnya tata tertib, aman, suasana damai, sejahtera, bahagia dan lain-lain. maka hukum dagang dapat juga dikatakan bertujuan menjamin adanya kepastian dalam hubungan privat khusus mengenai perniagaan, perseroan, wesel, promes dan cek, asuransi, perniagaan laut dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu, kepailitan, dan keoktariatan.

Selain dari tujuan diatas, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang juga diatur tujuan dari perdagangan. Hal ini diatur di dalam Pasal 3 KUHD yang berbunyi Pengaturan Kegiatan Perdagangan bertujuan:

a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional

b. Meningkatkan penggunaan dan perdagangan produk dalam negeri c. Meningkatkan kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan

pekerjaan

d. Menjamin kelancaran distribusi dan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting

e. Meningkatkan fasilitas, sarana, dan prasarana perdagangan

(33)

f. Meningkatkan kemitraan antara usaha besar dan koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah, serta pemerintah dan swasta

g. Meningkatkan daya saing produk dan usaha nasional

h. Meningkatkan citra produk dalam negri, akses pasar, dan ekspor nasioanal

i. Meningkatkan perdagangan produk berbasis ekonomi kreatif j. Meningkatkan perlindungan konsumen

k. Meningkatkan penggunaan SNI

l. Meningkatkan perlindungan sumber daya alam, dan

m. Meningkatkan pengawasan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

C. Ketentuan Mengenai Perdagangan Pakian Bekas

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015. Menteri Perdagangan telah melarang perdagangan pakaian impor bekas dengan alasan berbahaya untuk kesehatan karena pada pakaian bekas ditemukan beberapa jenis bakteri yang berbahaya dan perdagangan tersebut mematikan industri dalam negeri.

Kementerian Perdagangan telah melakukan uji sampel 25 pakaian bekas yang ada di Pasar Senen. Hasil uji tersebut menemukan adanya beberapa jenis mikroorganisme yakni bakteri staphylococcus

(34)

aures, bakteri Escherichia coli (e-coli), dan jamur kapang.14 Hal ini sejalan dengan point (a) Permendag Nomor 51/M-DAG/7/2015 yang berbunyi “pakaian bekas import berpotensi membahayakan kesehatan manusia sehingga tidak aman untuk dimanfaatkan dan digunakan oleh masyarakat”, namun pada kenyataannya masyarakat tetap meminati produk pakaian bekas yang di perdagangkan, hal ini dapat dilihat dari bebasnya perdagangan pakaian bekas di pasar tradisional parluasan pematang siantar.

Point (b) selanjutnya menegaskan “bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melindungi kepentingan konsumen, perlu melarang impor pakaian bekas”. kemudian larangan impor pakaian bekas dipertegas melalui Pasal 2 yang menyatakan “Pakaian Bekas dilarang untuk diimpor ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Larangan ini sulit untuk di tegakkan, oleh banyaknya fakto-faktor yang mendukung masuknya pakaian bekas ke Indonesia. Seperti faktor geografis, luasnya kepulauan nusantara yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil, yang diapit oleh dua benua besar, yaitu Asia dan Australia dan yang sangat berdekatan dengan negara-negara tetangga yang sudah terlebih dahulu mengalami kemajuan, baik dibidang perekonomian maupun industri. Banyaknya pintu masuk dan keluar yang harus diamankan, membuka kesempatan

14 Jurnal analisis impor pakaian bekas, Op. Cit, hlm. 24

(35)

atau peluang bagi pengusaha untuk melakukan penyeludupan pakaian bekas.

Upaya pemerintah dalam melindungi Warga Negara Indonesia tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 yang berisi Pemerintah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam Pasal 3 Permendag Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015.

Menyatakan “Pakaian Bekas yang tiba di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada atau setelah tanggal Peraturan Menteri ini berlaku wajib dimusnahkan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan”. Pasal ini merupakan cerminan dari upaya perlindungan yang di berikan oleh pemerintah terhadap Warga Negara Indonesia yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Idonesia. Serta pemusnahan terhadap pakaian bekas yang masuk secara ilegal ini bertujuan memajukan kesejahteraan umum. Pemusnahan pakaian bekas di harapkan dapat meningkatkan industri pakaian baru dalam negeri sehingga dapat menumbuhkan tingkat perekonomian serta kesejahteraan masyarakat.

(36)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN

A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha 1. Pengertian Konsumen

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris – Amerika), atau consument/ konsument (Belanda).

Pengertiannya sendiri itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”. Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.15

Az. Nasution membagi batasan tentang Konsumen yaiu:16

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen-antara, adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa lain untuk digunakan dengan tujuan

15 AZ. Nasution, Pengantar Hukum Konsumen, Daya Widya, Jakarta, 2001, hlm. 3

16 Ibid, hlm. 13

(37)

membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

c. Konsumen-akhir, adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah-tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non-komersil).

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (2) Undang- Undang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut :

1) Setiap orang

Setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa merupakan subjek yang disebut sebagai konsumen.

2) Pemakai

Pasal 1 ayat (2) UUPK menegaskan bahwa, penggunaan kata “pemakai” diartiakan, konsumen adalah konsumen

(38)

akhir (ultimate consumer). Hal ini disebabkan karena pengertian pemakai lebih luas, yaitu semua orang mengkonsumsi barang dan/atau jasa untuk diri sendiri.

3) Barang dan/atau jasa

Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

4) Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran, sehingga masyarakat tidak kesulitan untuk mengkonsumsinya.

5) Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain.

Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain, bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan.

6) Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

(39)

Maksudnya adalah konsumen tidak memperdagangkan barang/jasa yang telah diperolehnya. Namun untuk dikonsumsi sendiri.

2. Pengertian Pelaku Usaha

Pelaku usaha dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.17

Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam Undang- Undang Perlindungan Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah:

pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen,

17 Az Nasution, Op. Cit, hlm. 17

(40)

dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu;

importir suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importer tidak dapat ditentukan.18

Di Amerika Serikat, pengertian pelaku usaha bersumber pada Product Liability Directive (selanjutnya disebut directive) sebagai pedoman bagi Negara Masyarakat Uni Eropa dalam menyusun ketentuan Hukum Perlindungan Konsumen. Directive 85/374/EEC ini diperkenalkan pada tahun 1985 mengenai Pertanggungjawaban produk cacat dengan tujuan menciptakan kewajiban yang ketat untuk produk yang cacat. Luasnya pengertian pelaku usaha tersebut memudahkan konsumen yang akan menuntut ganti kerugian. Karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya Undang- Undang Perlindungan Konsumen tersebut berisikan rincian sebagaimana dalam Directive (pedoman bagi negara Masyarakat Uni Eropa), sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia

18 Abdul Halim Barkatullah, Hak-hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2010 , hlm. 37

(41)

akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk.

Dalam Pasal 3 Directive ditentukan bahwa:19

a. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;

b. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam Masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti Directive ini, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen;

c. Dalam hal produsen atau suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak begitu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukkan identitas

19 Ibid. hlm 39

(42)

importir sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sekalipun nama produsen dicantumkan.

B. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Sebagai pemakai barang dan/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Konsumen harus memahami hak-hak pokok yang dapat dijadikan landasan sebagai upaya untuk mewujudkan hak-hak yang dimiliki konsumen tersebut.

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih hak-haknya yang bersifat abstrak.

Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.20

Melalui Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan 9 (Sembilan) hak konsumen:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

20 Celina tri siwi kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Gravika, Jakarta, 2008, hlm. 30

(43)

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai denga perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9. Hak-hak yang diatur dalam ketetuan peraturan perundang-undangan lainnya;

Dari Sembilan butir hak konsumen yang diberikan diatas, terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak

(44)

memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa dalam penggunaannya akan nyaman, aman maupun tidak membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.

Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union – IOCU) menambahkan empat hak dasar konsumen yang harus dilindungi, yaitu:21

a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup b. Hak untuk memperoleh ganti rugi

c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen

d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat

Masyarakat ekonomi Eropa juga telah menetapkan hak-hak dan dasar konsumen yang perlu mendapat perlindungan yaitu:22

21 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, RajaGravidno Persada, 2004, hlm.39

22 Ibid, hlm. 39

(45)

1) Hak perlindungan kesehatan dan keamanan 2) Hak perlindungan kepentingan ekonomi 3) Hak mendapat ganti rugi

4) Hak atas penerangan 5) Hak untuk didengar

Betapa pentingnya hak-hak konsumen, sehingga melahirkan pemikiran yang berpendapat bahwa hak-hak konsumen merupakan

“generasi keempat hak asasi manusia”, yang merupakan kata kunci dalam konsepsi hak asasi manusia dalam perkembangan di masa-masa yang akan datang.23

Selain memperoleh hak tersebut konsumen juga mempunyai beberapa kewajiban. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 5, dinyatakan bahwa kewajiban konsumen sebagai berikut:

a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan barang/jasa. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri. Oleh karena itu, konsumen perlu membaca dan meneliti label, etiket, kandungan barang dan jasa, serta tata cara penggunaannya.

b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/jasa.

Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi.

23Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit, hlm. 33

(46)

Dengan itikad yang baik, kebutuhan konsumen terhadap barang dan jasa yang diinginkannya bisa terpenuhi dengan penuh kepuasan.

c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen perlu membayar barang dan jasa yang telah dibeli, tentunya dengan nilai tukar yang disepakati.

d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Ketika dirasa ada keluhan terhadap barang/jasa yang telah didapat, konsumen perlu secepatnya menyelesaikan masalah tersebut dengan pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah sebisa mungkin dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik penyelesaian, cara hukum bisa dilakukan asalkan memerhatikan norma dan prosedur yang berlaku.

Kewajiban-kewajiban tersebut sangat berguna bagi konsumen agar selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dan hubungan dagang. Dengan cara seperti itu, setidaknya konsumen dapat terlindungi dari kemungkinan-kemungkinan masalah yang bakal menimpanya. Untuk itulah, perhatian terhadap kewajiban sama pentingnya dengan perhatian terhadap hak-haknya sebagai konsumen.24

24 Happy Susanto, Hak-hak Konsumen jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, hlm. 27

(47)

Hak pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 6 sebagai berikut:

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

Hak Pelaku Usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktik yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah dari pada barang yang

(48)

serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.

Menyangkut hak pelaku usaha yang tersebut pada huruf b, c, dan d, sesungguhnya merupakan hak-hak yang lebih banyak berhubungan dengan pihak aparat pemerintah dan/atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/Pengadilan dalam tugasnya melakukan penyelesaian sengketa. Melalui hak-hak tersebut diharapkan perlindungan konsumen tidak mengabaikan kepentingan pelaku usaha.25

Kewajiban yang dimiliki oleh Pelaku Usaha diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 7, yaitu:

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

25 Abdul halim barkatullah, Op. Cit , hlm. 40

(49)

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau pengganti atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam undang-undang perlindungan konsumen, pelaku usaha dan konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha dan melakukan transaksi penjualan atau pembelian barang.

Kewajiban ini merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Dalam UUPK tampak bahwa iktikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahap dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan kewajiban pelaku usaha untuk beriktikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjual, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang/atau jasa. Hal ini tentu

(50)

saja disebabkan karena kemungkinan terjadi bagi kosumen dimulai sejak barang di rancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.26

Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen.

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.27

Dalam Penjelasan Pasal 7 dalam Huruf c. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.

Huruf e. yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah

26 Ibid. hlm. 42

27 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, hlm. 44

(51)

barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.28

C. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen dan Sejarah Hukum Perlinsungan Konsumen

1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.29 Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa, Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

Pengertian tentang perlindungan konsumen pada Pasal 1 ayat (1) tersebut, menunjukkan bahwa lemahnya posisi konsumen. Sehingga konsumen harus mendapat perlindungan hukum, karena salah satu sifat dan tujuan dari hukum itu adalah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Az. Nasution menyatakan Hukum Perlindungan Konsumen merupakan bagian dari Hukum Konsumen yang memuat asas-asas atau

28 M. Sadar, MOH. Taufik Makrao, Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Akademia, Jakarta, 2012, hlm. 33

29 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Prenadamedia Group, Jakarta, 2013, hlm. 21

(52)

kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Sedangkan Hukum Konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.30 Maka dapat dikatakan bahwa hukum konsumen memiliki cakupan yang lebih luas. Hukum perlindungan konsumen hanya dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat tidak seimbang.31

2. Sejara Hukum Perlindungan Konsumen

Perkembangan hukum perlindungan konsumen ditandai dengan munculnya gerakan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani memetakan ada tiga fase atau gelombang gerakan perlindungan konsumen.

Gelombang pertama terjadi pada tahun 1819. Pada tahun ini, di New York terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali di dunia. Baru pada tahun 1898, di tingkat nasional AS terbentuk Liga Konsumen Nasional (The National Concumer’s League). Organisasi ini semakin

30 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006, hlm. 11

31 Az Nasution, Konsumen dan Hukum, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 66

(53)

tumbuh pesat dan pada tahun 1903, telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliputi 20 negara.

Dalam perjalanan waktu, ada banyak hambatan yang dihadapi oleh organisasi ini. Meski demikian, pada tahun 1906, lahirlah undang- undang tentang perlidungan konsumen yang mempengaruhi perkembangan berikutnya, yaitu The Meat Inspection Act dan The Food and Drugs Act (pada tahun 1937, UU ini diamandemen menjadi The Food and Drugs Act karena adanya tragedy Elexir Sulfanilamide, sejenis obatan dari bahan sulfa yang menewaskan 93 konsumen di AS).

Hukum konsumen kemudian berkembang lagi pada tahun 1914, yang ditandai sebagai gelombang kedua. Pada tahun ini, terbentuk komisi yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen, yaitu FTC (Federal Trade Comission).

Ketika itu keberadaan program pendidikan konsumen mulai disarankan perlu sekali untuk menumbuhkan kesadaran kritis bagi para konsumen maka pada dekade 1930-an, mulai gencar dilakukan penulisan buku-buku tentang konsumen dan perlindungan konsumen, yang juga dilengkapi dengan riset-riset yang mendukungnya.

Gelombang ketiga terjadi pada dekade 1960-an, yang melahirkan era hukum perlindungan konsumen dengan lahirnya suatu cabang hukum baru, yaitu “hukum konsumen” (consumers law). Hal ini ditandai dengan pidato Presiden AS ketika itu, John F. Kennedy, di

(54)

depan Kongres AS pada tanggal 15 Maret 1962 tentang “A special Message for the Protection of Consumer Interest” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Consumer Right). Dengan pandangan tersebut, hukum konsumen secara resmi telah menjadi suatu cabang hukum baru.32

Jika melihat kemajuan perkembangan gerakan konsumen di Amerika Serikat, tentu Indonesia masih harus “belajar” banyak.

Sebagaimana pernah disinyalir oleh ketua International Organization of Consumers Unions (IOCU, sekarang CI) Erna Witoelar, perlindungan konsumen di Indonesia masih tertinggal. Ketertinggalan itu tidak hanya dibandingkan dengan negara-negara maju, bahkan bila dibandingkan dengan negara-negara sekitar indoneisa, seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura.33

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Yakni dengan berdirinya suatu lembaga swadaya masyarakat yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). YLKI muncul dari sekelompok kecil anggota masyarakat yang diketuai oleh Lasmidjah Hardi, yang semula justru bertujuan mempromosikan hasil produksi Indonesia. Ajang promosi yang diberi nama Pekan Swakarya ini menimbulkan ide bagi mereka untuk

32 Happy susanto, Op. Cit, hlm. 6

33 Shidarta, Op. Cit, hlm. 48

(55)

mendirikan wadah bagi gerakan perlindungan konsumen di Indonesia.

Ide ini dituangan dalam anggaran dasar yayasan di hadapan Notaris G.H.S. Loemban Tobing, S.H. dengan akta Nomor 26, 11 Mei 1973.

Yayasan ini sejak semula tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen (pelaku usaha) apalagi dengan pemerintah. Hal ini dibuktikan benar oleh YLKI, yakni dengan menyelenggarakan pekan promosi Swakarya II dan III yang benar-benar dimanfaatkan oleh kalangan produsen dalam negeri. Dalam suasana kerja sama ini kemudian lahir motto yang dicetuskan oleh Ny. Kartina Sujono Prawirabisma bahwa YLKI bertujuan melindungi konsumen, menjaga martabat produsen dan membantu pemerintah.

Jika dibandingkan dengan perjalanan gerakan konsumen di luar negeri khususnya di Amerika Serikat, YLKI cukup beruntung karena tidak hanya memulainya dari nol sama sekali. Pengalaman menangani kasus-kasus yang merugikan konsumen di negara-negara yang lebih maju dapat dijadikan studi yang bermanfaat sehingga Indonesia tidak perlu lagi harus mengulang kesalahan yang serupa. Demikian pula dengan kasus- kasus kegagalan advokasi konsumen.34

Di samping itu, dukungan media massa nasional baik cetak maupun elektronik yang secara rutin menyediakan kolom khusus untuk

34 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, hlm. 15

Referensi

Dokumen terkait

Adapun permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap konsumen pada usaha asuransi jiwa, apakah bentuk-bentuk

Lembaga perbankan dan lembaga jaminan sangat berpengaruh dalam rangka mendorong pembagunan ekonomi Indonesia, karena bank memiliki peran yang salah satunya yaitu

c. Dokumen-dokumen yang dianggap berharga. Sebelum timbulnya suatu resiko tersebut, masyarakat selalu berusaha mencari langkah-langkah untuk menghindari resiko. Salah satu

Direksi salah satu organ PT yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Namun,

Perlindungan konsumen merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah- kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang

Antara Para Penggugat dan Tergugat juga tidak mencantumkan syarat batal maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata “ Hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan,

M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I penulis yang telah banyak membantu penulis

Sebagai salah satu perusahaan penerbangan swasta terbesar di Indonesia, PT. Lion Air berkewajiban untuk menyelenggarakan kegiatan pengangkutan udara yang tertib, aman, nyaman