• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI OLEH : EVALIANA MATONDANG NIM : DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI OLEH : EVALIANA MATONDANG NIM : DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW UNIVERSITAS SUMATERA UTARA"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENGAJUKAN DISPENSASI NIKAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (STUDI PENETAPAN NOMOR

95/Pdt.P/2017/PA.Mdn).

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH :

EVALIANA MATONDANG NIM : 150200004

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM

MEDAN 2019

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Evaliana Matondang NIM : 150200004

Departemen : Hukum Keperdataan

Judul Skrpsi : Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dibawah Umur Yang Mengajukan Dispensasi Nikah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Studi Penetapan Nomor 95/Pdt.P/2017/PA.Mdn).

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan jiplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah jiplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekannan dari pihak manapun.

Medan, Januari 2019

Evaliana Matondang NIM : 150200004

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini berjudul

“Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dibawah Umur Yang Mengajukan Dispensasi Nikah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Studi Penetapan Nomor 95/Pdt.P/2017/PA.Mdn).”

Salah satu hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah batas usia untuk menikah yang tercantum didalam pasal 7 ayat (1) yaitu Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Namun terdapat pengecualian untuk pasal tersebut pada pasal 7 ayat (2), yaitu para pihak boleh mengajukan dispensasi nikah kepada pengadilan, yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak wanita. Dalam hal ini ketentuan pada pasal 7 ayat (2) bertentangan pada pasal 26 ayat (1) butir c UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang isinya mengenai kewajiban dan tanggungjawab orangtua yang harus mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, yang disebut anak pada UU Perlindungan anak ialah seseorang dibawah 18 tahun.

Semoga skripsi ini dapat memberi masukan bagi pemerintah dan menambah wawasan pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini

(5)

masih memiliki kekurangan oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang. Selama masa perkuliahan dan penulisan skripsi ini penulis sangat bersyukur atas motivasi, dukungan, bimbingan, dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Puspa Melati. S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumalcra Utara.

4. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Rosnidar Sembiring. S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas waktu, saran, dan bimbingan yang ibu berikan selama ini hingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Dr. ldha Aprilyana Sembiring, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas waktu, saran, bimbingan, dan perhatian yang ibu berikan selama ini hingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak sekali ilmu yang sangat berharga kepada saya selama menjadi mahasiswa dan Pegawai di Fakultas Hukum Universitas

(6)

Sumatera Utara yang turut mendukung segala urusan perkuliahan dan administrasi penulis selama mengikuti perkuliahan.

8. Orangtua saya tercinta, yang bernama Alwi Umri Matondang dan Ibu saya Jamilah. Terima kasih sudah memberikan saya semangat, perhatian, bimbingan, doa, serta dukungan berupa materi sehingga saya dapat menyelesaikan perkuliahan ini dan menggapai cita-cita saya.

9. Keluarga besar saya, terima kasih selalu memberikan doa, semangat, dan dukungan berupa materi kepada saya untuk menyelesaikan perkuliahan ini dan menggapai cita-cita saya.

10. Gamadiksi USU, yang selalu memberikan informasi seputar perkuliahan dan beasiswa, serta kiat-kiat dalam mempertahankan IP dengan baik.

11. Seluruh teman-teman stambuk 2015 terutama Grup A yang selalu memberikan dukungan dan membantu satu sama lain dalam menyelesaikan tugas pekuliahan dan pengerjaan skripsi ini

12. Terkhusus untuk teman seperjuangan di Grup CCB, yaitu Wulan Irwanty, Putri Ayutia Damanik, Shirley Chong, Fitria Longgom Siagian, dan Mutiara Hayati Batubara. Yang sudah terbentuk dari awal perkuliahan, yang selalu bersama disaat suka maupun duka, membantu, memberi nasihat, memberikan semangat dan doa kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini, dan selama proses perkuliahan.

13. Pihak Pengadilan Agama yang telah membantu dalam usaha memperoleh data serta wawancara yang saya butuhkan untuk penyelesaian skripsi.

(7)

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan jika ada kesalahan dan kekurangan penulis mohon maaf atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2019

Hormat Penulis

Evaliana Matondang

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...v

ABSTRAK ...viii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ...1

B. Rumusan Masalah...9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ...10

D. Keaslian Penulisan ...11

E. Metode Penulisan ...12

F. Sistematika Penulisan ...14

BAB II FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR ...16

A. Pengertian Anak ...16

B. Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Dibawah Umur ...19

C. Dampak Perkawinan Dibawah Umur ...25

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENGAJUKAN DISPENSASI NIKAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK ...32

A. Pengaturan Dispensasi Nikah Terhadap Anak Dibawah Umur Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ...32

1. Pengertian Perkawinan ...32

2. Asas-Asas Dalam Perkawinan ...35

(9)

3. Syarat Sahnya Perkawinan ...38

1) Syarat Materiil ...39

2) Syarat Formiil ...42

4. Tujuan Perkawinan ...43

5. Pengaturan Dispensasi Nikah Terhadap Anak Dibawah Umur ...46

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dibawah Umur Yang Melakukan Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang ...35

Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak ...49

1. Pengertian Perlindungan Anak ...49

2. Hak Dan Kewajiban Anak ...51

3. Kewajiban dan Tanggung Jawab Orangtua dan Keluarga Terhadap Anak ...53

4. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dibawah Umur Yang Melakukan Perkawinan ...54

BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN DISPENSASI NIKAH PADA PENETAPAN NOMOR 95/Pdt.P/2017/PA.Mdn...61

A. Kasus Posisi ...61

B. Pertimbangan Hukum ...63

C. Analisis Hasil Penetapan ...68

BAB V PENUTUP ...70

A. Kesimpulan...70

B. Saran ...71

DAFTAR PUSTAKA ...73

(10)

LAMPIRAN

1. Surat Keterangan Telah Melakukan Wawancara/Riset 2. Hasil Wawancara

(11)

ABSTRAK Evaliana Matondang *) Rosnidar Sembiring **) Idha Aprilyana Sembiring ***)

Salah satu hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah batas usia untuk menikah yang tercantum didalam pasal 7 ayat (1) yaitu Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Namun terdapat pengecualian untuk pasal tersebut pada pasal 7 ayat (2), yaitu para pihak boleh mengajukan dispensasi nikah kepada pengadilan, yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak wanita. Dalam hal ini ketentuan pada pasal 7 ayat (2) bertentangan pada pasal 26 ayat (1) butir c UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang isinya mengenai kewajiban dan tanggungjawab orangtua yang harus mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, yang disebut anak pada UU Perlindungan Anak ini ialah seseorang dibawah 18 tahun. Maka dalam hal ini adanya ketidaksesuaian antara kedua UU tersebut. Ketentuan batas minimum serta dispensasi nikah yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah membuka celah terjadinya perkawinan pada usia anak. Maka dari hal inilah diangkat permasalahan pada skripsi ini yaitu apa faktor penyebab perkawinan anak dibawah umur dan bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dibawah umur yang mengajukan dispensasi nikah menurut UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak, serta bagaimana pertimbangan hukum oleh hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan.

Metode penelitian yang digunakan adalah normatif-empiris yang bersifat deskriptif. Menggambarkan suatu perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan dispensasi nikah dengan cara mengumpulkan data di lapangan dan data dari sumber-sumber yang terkait lalu menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder.

Hasil penelitian terhadap anak dibawah umur yang mengajukan dispensasi nikah ini pun di latabelakangi berbagai macam faktor. Salah satu contoh, analisa terhadap pertimbangan hakim dalam perkara nomor 95/Pdt.P/2017/PA.Mdn yaitu dipengaruhi oleh kekhawatiran orangtua terhadap anaknya yang sudah sangat akrab antara pihak pria dan pihak wanita, sehingga orangtua merasa harus menikahkan keduanya. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kata Kunci: Anak Dibawah Umur, Dispensasi Nikah, Perlindungan Hukum,

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dasar hukum perkawinan di Indonesia diatur didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang telah dipakai kurang lebih selama 44 tahun, yang diundangkan pada tanggal 2 januari 1974, yang kemudian berlaku secara efektif pada tanggal 1 oktober 1975, melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinanialah batas usia untuk menikah yang tercantum didalam pasal 7 ayat (1) yang berbunyi :

“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.1

Ketentuan dalam pasal ini memperbolehkan adanya perkawinan jika sudah mencapai usia yang telah ditentukan oleh UU Perkawinan tersebut, dan ditambah lagi adanya dispensasi dari Pengadilan sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan yang berbunyi :

“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria dan pihak wanita”.2

1Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1, TLN 3019)

2Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1, TLN 3019)

(13)

2

Artinya apabila pihak pria belum mencapai usia 19 tahun dan wanita belum mencapai usia 16 tahun maka para pihak boleh mengajukan dispensasi nikah kepada pengadilan, yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak wanita.

Beda halnya dengan ketentuan didalam UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mana didalam pasal 26 ayat (1) menjelaskan tentang kewajiban dan tanggung jawab orangtua yang salah satunya mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Didalam pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak menjelaskan bahwa :

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan”.3

Dalam hal ini, ditemukan adanya ketidaksesuaian diantara UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak dalam hal menentukan batas usiaanak. Ketentuan batas minimum serta dispensasi nikahyang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah membuka celah terjadinya perkawinan pada usia anak.

Batasan usia ini kemudian menjadi persoalan dan isu serius di masyarakat ketika upaya perlindungan anak mulai disosialisasikan. Memang, terdapat perbedaan kurun waktu yang panjang dari usia penyusunan dan pembuatan Undang-Undang Perkawinan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Semangat yang dikampanyekannya pun berbeda, UU Perkawinan dimaksudkan

3Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia 297, TLN 5606)

(14)

untuk mengendalikan ledakan penduduk, sedangkan UU Perlindungan Anak dimaksudkan untuk menjamin kehidupan anak-anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berprestasi.Sebagaimana diketahui, upaya perlindungan anak didasarkan pada prinsip-prinsip konvensi hak anak-anak yang meliputi non diskriminasi, kepentingan yang terbaik untuk anak, hak anak untuk hidup, dan penghargaan terhadap pendapat anak.4

Hal ini dimaksudkan agar anak-anak menjadi manusia yang memiliki masa depan bagi dirinya sendiri sesuai dengan konsiderans dalam UU Perlidungan Anak poin (b,c) “b. bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c, bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia”. Dalam pengaplikasian kedua UU ini kita dapat menganalisis pada asas hukum lex posterior derogate legi priori dan lex specialis derogate legi generali. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui sebagai suatu aturan yang berlaku.Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules dalam penerapan hukum.Dalam hal ini, asas ini menjadi penting bagi penegak hukum apakah suatu peristiwa akan diterapkan aturan yang “ini” atau yang “itu”. Diperlukannya

4Inna Noor Inayati. ”Perkawinan Anak Dibawah Umur Dalam Perspektif Hukum, HAM, Dan Kesehatan”. Jurnal Bidan “Midwife Journal”Vol. 1, No. 1, Januari 2015. Hal 50

(15)

4

harmonisasi antar berbagai sistem hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia agar tentangan legislasiyang timbul akibat disparitas ketentuan hukum dalam persoalan perkawinan anak dibawah umur dapat dijembatani dengan transnasionalisasi hukum dengan menggunakan instrumen HAM yang bisa dijadikan referensi batas usia minimum untuk menikah dalam kajian secara sosiologis hukum. Dalam hal ini perbedaan kurun waktu yang panjang dari penyusunan dan pembuatan Undang-Undang Perkawinan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dapat dijadikan suatu analisa yang disesuaikan dengan perkembangan terkini terutama pada pasal-pasal yang dapat menjadi celah hukum bagi terjadinya perkawinan anak dibawah umur.5

Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik Tahun 2017, angka prevalensi perkawinan anak sudah menunjukkan angka yang tinggi pada tahun 2015, yakni tersebar di 21 Provinsi dari 34 Provinsi di Indonesia. Hal ini berarti angka perkawinan anak berdasarkan sebaran provinsi di seluruh Indonesia sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan, yakni dengan jumlah persentase 61%

(enam puluh satu persen).Sedangkan di tahun 2017, terdapat kenaikan jumlah provinsi yangmenunjukkan angka perkawinananak yang bertambah dari tahun 2015 yakni Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Riau yang kinitergolong provinsi yang menunjukkan angka cukup tinggi (diatas 25%). Angka persentaseperkawinan anak masing-masing kedua provinsi tersebut yakni 34,41%

dan 25,87%. Selama 2017, pengentasan angka perkawinan anak di Indonesia tidak mengalami kemajuan bahkan justru mengalami kegagalan dibandingkan tahun 2015 dengan angka yang ditunjukkan terusbertambah. Peningkatan angka

5Ibid. Hal 50-51

(16)

perkawinan anak di Indonesia akan semakin bertambah danmembahayakan nasib anak perempuan di seluruh Indonesia selama Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinanmengenai batas usia kawin anak perempuan 16 tahun masih eksis.

Terlebih lagi, Pemohon korbanperkawinan anak yang kini sedang meminta Mahkamah Konstitusi menguji pasal tersebut tidakdiberikan kepastian kapan kelanjutan jadwal sidang pengujian undang-undang tersebut berlangsunghingga kini.6

Pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun karena diusia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat hingga mampu untuk menopang kehidupan keluargadan melindungi baik secara psikis emosional, ekonomi, dan sosial.7

Pelaksanaan perkawinan dibawah umur banyak terjadi disebabkan anak- anak tidak melanjutkan pendidikannya maka akan terjadi perkawinan dibawah umur dan merupakan kebiasaan yang terjadi di masyarakat. Selain itu ada rasa takut dan khawatir pada diri orang tua, anaknya akan terjerumus ke jurang maksiat atau melakukan tindakan yang melanggar adat.8

6http://www.koalisiperempuan.or.id/wp-content/uploads/2017/12/Lampiran-I-rilis- perkawinan-anak-18-des-17-2.pdf. Diakses pada tanggal 27 november 2018

7Gita Maria Puspita Br Sitinjak. “Peninjaun Kembali Tentang Batas Usia Kawin Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2018, hal. 5

8Nurhidayat Akbar. “Faktor Penyebab Perkawinan Dibawah Umur Dilihat Dari Hukum Islam Dan Hukum Adat”, Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, 2013, Hal 32

(17)

6

Dilansir dari halaman Sindonews.com, melalui Putusan Nomor 22 PUU- XV/2017yang diumumkan pada tanggal 13 desember 2018 Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.MK menyatakan frasa usia 16 tahun dalam Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan lain MK terkait dengan perlindungan hak-hak anak, khususnya anak perempuan, seperti penjelasan angka 4 huruf d UU 1/1974 secara eksplisit menganut prinsip bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih di bawah umur.Artinya perkawinan anak merupakan sesuatu yang dilarang.Mahkamah Kostitusi memerintahkan pembentuk undang-undang untuk melakukan perubahan terhadap UU No tahun 1974 Tentang Perkawinan paling lambat tiga tahun, khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan.9Diharapkan agar putusan MK ini dapat terealisasi dengan cepat dan benar, mengingat betapa banyaknya kasus-kasus perkawinan dibawah umur yang meningkat setiap tahun.

Kasus-kasus perkawinan anak dibawah umur dapat dijadikan sebagai contoh terbukanya peluang penyalahgunaan hukum.Realita tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa keberadaan payung hukum tersebut baik disadari atau tidak, telah disalahgunakan menjadi penguat faktor-faktor internal

9https://nasional.sindonews.com/read/1362521/13/mk-kabulkan-uji-materi-aturan-batas- usia-perkawinan-perempuan-1544693818Diakses pada tanggal 9 januari 2019 pukul 12:11 Wib

(18)

perkawinan anak di bawah umur.Dalam persidangan dispensasi perkawinan alasan-alasan dengan dalih faktor internal, terutama faktor pergaulan, menjadi alasan yang banyak menjadikan legalitas dispensasi perkawinan dibawah umur.Berdasarkan penetapan-penetapan dispensasi perkawinan yang diketahui, keseluruhannya mendapatkan legalitas yang disebabkan adanya kekhawatiran terhadap pergaulan bebas yang terjadi antara kedua calon mempelai.10

Salah satu contoh pada Penetapan Pengadilan Agama tentang Dispensasi Nikah yaitu Penetapan Nomor 95/Pdt.P/2017/PA.Mdn yang diajukan oleh MSN, yakni orangtua dari calon mempelai laki-laki. Menerangkan bahwa yang menjadi duduk perkara diajukannya permohonan dispensasi nikah tersebut ialah anak kandung nya berinisial RAN telah berpacaran dengan MR yang sudah terjalin selama 6 bulan dan terlihat sangat dekat serta akrab dan keduanya telah meninggalkan bangku sekolah sejak 5 bulan lalu, sehingga MSN sebagai pemohon sangat khawatir jika hubungan keduanya akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan baik yang ditinjau dari hukum atau kehidupan masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, padaPenetapan Dispensasi Nomor 95/Pdt.P/2017/PA.Mdn terlihat jelas alasan pengajuan permohonan dispensasi nikah tersebut yaitu tentang kekhawatiran orangtua yang bertujuan untuk menghindarkan anaknya dari sebuah pergaulan bebas dan suatu perbuatan zina.

Disisi lain, kekhawatiran itu mungkin akan menjadi celah semakin banyaknya perkawinan pada usia anak, meskipun calon mempelai tidak terlibat

10Novita Kusumaningrum. “Perkawinan Dibawah Umur Dan Akibatnya (Studi Putusan Perceraian pada Pasangan Dibawah Umur di Pengadilan Agama Surakarta dan Pengadilan Agama Karanganyer)”, Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2015, Hal 4-5

(19)

8

dalam pergaulan bebas.Dalam hal ini orangtua berperan sangat penting dalam menentukan masa depan anak-anaknya, sudah seharusnya orangtua dengan tegas mengingatkan anak-anak nya agar tidak ikut kedalam suatu pergaulan yang bebas dengan di bekali ilmu agama, serta mencegah perkawinan pada usia anak dibawah 18 tahun seperti yang diatur didalam pasal 26 ayat (1) butir c Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Usia remaja merupakan usia kelabilan pada emosinya yang terkadang berakibat kepada keputusan untuk menikah dengan tergesa-gesa tanpa melalui pertimbangan yang matang. Remaja, selalu berkhayal tentang sesuatu yang enak- enak dan menyenangkan serta terkadang tidak realistis.Bayangan tersebut biasanya berkaitan dengan kebutuhan seksual. Khayalan yang berlebihan akan menjadikan mereka tidak berpikir panjang bahwa kenyataannya pernikahan bukanlah sekedar pelampiasan dan pemenuhan kebutuhan seksual, tetapi lebih dari itu persoalan yang dihadapi begitu kompleks menyangkut persoalan internal dan eksternal keluarga, sehingga pernikahan membutuhkan persiapan fisik dan mental seseorang.11

Urgensi permasalahan mengenai perkawinan dibawah umur yang menjadi problematika didalam hukum serta di masyarakat ini pun terkait dalam 3hal :

Pertama, adanya ketidaksesuaian diantara Pasal 7 ayat (2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan Pasal 26 ayat (1) butir c Undang-Undang No 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-

11Ibid. Hal 8

(20)

Undang No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dalam hal orangtua memberikan izin terhadap anak yang masih dibawah umur untuk menikah.

Kedua, pertimbangan hakim untuk menetapkan suatu permohonan dispensasi kawin yang diajukan kepadanya, yang dilihat dari sudut pandang secara yuridis maupun sosiologis serta alasan-alasan pemohon yang dirasa masuk diakal untuk diberikannya dispensasi nikah tersebut.

Ketiga, memperhatikan dampak yang akan timbul dikemudian hari bagi anak yang melakukan perkawinan, yang telah melanggar hak anak seperti hak atas pendidikan, kesehatan, tumbuh kembang, dan bebas dari kekerasan seksual.

Alasan-alasan inilah yang menarik penulis untuk mengkaji dan menyusun sebuah skripsi dengan judul Perlindungan HukumTerhadap Anak Dibawah UmurYang Mengajukan Dispensasi Nikah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 TentangPerkawinan Dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Studi Penetapan Nomor95/Pdt.P/2017/PA.Mdn).

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu :

1. Apa faktor penyebab terjadinya perkawinan anak dibawah umur?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dibawah umur yang mengajukan dispensasi nikah ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak ?

(21)

10

3. Bagaimana pertimbangan hukum oleh hakim dalam mengabulkan permohonan disepensasi perkawinan pada penetapan nomor 95/Pdt.P/2017/PA.Mdn ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penulisan penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui faktor-faktor penyebabterjadinya perkawinan anak dibawah umur

2. Mengetahui perlindungan hukum terhadap perkawinan anak dibawah umur menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak

3. Mengetahui pertimbangan hukum oleh hakim dalam mengabulkan permohonan disepensasi perkawinan pada penetapan nomor 95/Pdt.P/2017/PA.Mdn

2. Manfaat Penelitian

Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat bermanfaat untuk :

1. Masyarakat agar menyadarifaktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan anak dibawah umur sehingga masyarakat bisa mengetahui dibalik perkawinan dibawah umur tersebut terdapat dampak yang harus ditanggung oleh anak secara fisik, mental maupun sosialnya.

2. Lembaga legislatif untuk meninjau kembali ketentuan batas usia minimum dan dispensasi perkawinan sehingga terciptanya perlindungan hukum

(22)

terhadap seseorang yang melakukan perkawinan sesuai dengan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

3. Hakim dalam menetapkan dan mempertimbangkan permohonan dispensasi kawin yang diajukan, yang dilihat dari sudut pandang secara yuridis maupun sosiologis serta alasan-alasan pemohon yang dirasa logis untuk diberikannya dispensasi kawin.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan penelusuran pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa tidak ada ditemukan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dibawah Umur Yang Mengajukan Dispensasi Nikah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Studi Penetapan Nomor 95/Pdt.P/2017/PA.Mdn)” . Penulisan skripsi ini dimulai dengancara mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan judul skripsi ini baik melalui literatur dan sumber-sumber data yang diperoleh dari perpustakaan maupun internet. Terdapat beberapa sumber yang berkaitan, yaitu :

1. Peninjauan Kembali Tentang Batas Usia Kawin Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, skripsi yang disusun oleh Gita Maria Puspita Br. Sitinjak.

(23)

12

2. Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Dibawah Umur Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Jurnal yang disusun oleh Mulia Sixtrianti.

3. Analisis Perkawinan Anak Dibawah Umur (Tinjauan Dari Segi Hukum Islam dan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974) oleh Livi Agustri Milala.

E. Metodologi

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.12Dan metode yuridis empiris yaitu penelitian hukum dengan cara meneliti data primer yang ada di lapangan. Penelitian inidimulai dengan cara mengumpulkan data yang bersifat sekunder.Seperti, literatur, jurnal, artikel, dan berbagai sumber data lainnya.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan bersifat deskriptif, yaitu salah satu jenis penelitian yang tujuannya untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai setting sosial atau dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu

12Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm 13-14

(24)

fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah yang diteliti.13 Serta menggambarkan suatu perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan dispensasi nikah tersebut dengan cara menghubungkan antara peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukumnya dengan gejala yang akan diteliti.

3. Metode Penelitian

Analisis data penelitian ini adalah metode kualitatif normatif yaitu metode analisis yang dilakukan dengan pendekatan normatif/doktrinal. Penyajian data dilakukan bersamaan dengan analisa data berdasarkan kerangka teori dan pemahaman yang berkembang pada saat menafsirkan data.14Yang dikaji melalui metode kualitatif ini ialah penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.

4. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan tekhnik penelitian kepustakaan (Library Research) dan sumber data sekunder yaitu :

a. Bahan Hukum Primer, berupa Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan Perkawinan dan Perlindungan Anak

b. Bahan Hukum Sekunder, berupa rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, karya ilmiah dari kalangan hukum, dan lain-lain

c. Bahan Hukum Tersier, berupa kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan lain lain

13https://googleweblight.com/i?u=https://id.m.wikipedia.org/wiki/Penelitia_deskriptif&hl

=id-IDdiakses pada tanggal 20 agustus 2018

14Inna Noor Inayati. Op.cit Hal 48

(25)

14

Penelitian ini juga didukung oleh data yang bersumber dari hasil wawancara pada instansi tertentu.

5. Tekhnik Pengumpulan Data

Datasekunder yang didapatkan dengan cara pengumpulan data untuk penelitian ini ialah dengan menggunakan metode tinjauan kepustakaan, dengan cara membaca, memahami, mengutip, menganalisis semua peraturan perundang- undangan, jurnal, beserta sumber data yang terkait. Dan studi lapangan dengan mengadakan wawancara dengan Hakim di Pengadilan Agama Medan.

6. Analisis Data

Analisis penelitian ini menggunakan metode pengolahan kualitatif berupa uraian-uraian mengenai ketentuan didalam suatu peraturan yang terkait, untuk tujuan penyelesaian penelitian ini.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari : Latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, metodologi dan sistematika penulisan.

Bab kedua, menggambarkan mengenaifaktor-faktor penyebab terjadiperkawinan anak dibawah umur, yang meliputi pengertian anak, faktor penyebab terjadinya perkawinan dibawah umur, serta dampak yang akan terjadi terhadap perkawinan dibawah umur.

(26)

Bab ketiga, membahas mengenai perlindungan hukum terhadap anak dibawah umur yang mengajukan dispensasi nikah ditinjauundang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, dengan sub bab pertama tentangpengaturan dispensasi perkawinan anak dibawah umur menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang berisi pengertian perkawinan, asas-asas dalam Perkawinan, syarat materiil dan formil Perkawinan, tujuan perkawinanserta pengaturan dispensasi perkawinan terhadap anak dibawah umur. Dan sub bab kedua tentang perlindungan hukum terhadap anak dibawah umur yang mengajukan dispensasi nikah menurut undang-undang perlindungan anak yang meliputi pengertian perlindungan anak, hak dan kewajiban anak,kewajiban dan tanggung jawab orangtua dan keluarga terhadap anak,sertaperlindungan hukum terhadap anak dibawah umur yang melakukan perkawinan.

Bab keempat, membahas mengenai pertimbangan hukum oleh hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi perkawinan pada penetapan 95/Pdt.P/2017/PA.Mdn, yang berisi tentang kasus posisi pada penetapandispensasi nikah, pertimbangan hukum oleh hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah, serta analisis hasil penetapan .

Bab kelima, berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.Dan yang terakhir adalah daftar pustaka.

(27)

BAB II

FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR

A. Pengertian Anak

Dilihat dari Kamus Umum Bahasa Indonesia mengenai pengertian anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa.15

Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Secara internasional definisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of The Child tahun 1989.

Aturan standar minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nations Standard Minimum Rules for the Adminitration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights tahun 1948.

Secara nasional definisi anak menurut perundang-undangan, diantaranya menjelaskan anak adalah seorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau belum menikah, ada yang mengatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.16

Menurut Ter Haar, seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum adat memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu sudah dewasa yang

15W.J.S. Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka : Amirko, 1984.

Hal 25

16Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia. PT.Refika Aditama, Bandung, 2009. Hal.

33-34

(28)

harus memenuhi 3 unsur yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah orangtua dan rumah mertua, dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri.

Menurut Mahadi, mencantumkan status perkawinan sebagai satu tanda kedewasaan tidaklah tepat, karena status perkawinan seseorang belum tentu menjadikan seseorang itu dewasa. Faktor penting yang menentukan seseorang menjadi dewasa apabila seseorang telah berdiri sendiri, bertindak dalam segala hal dan telah menjadi tuan rumah sendiri walaupun orang tersebut belum kawin.

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Soepomo, untuk menentukan anak sudah dewasa atau belum dilihat dari apakah anak sudah dapat berdiri sendiri atau disebut dengan luat gawe.17Menurut Nicholas McBala dalam buku Juvenile Justice System mengatakan anak yaitu periode diantara kelahiran dan permulaan kedewasaan.18

Menurut Bismar Siregar dalam bukunya mengatakan bahwa, dalam masyarakat yang sudah mempunyai hukum tertulis diterapkan batasan umur yaitu 16 tahun atau 18 tahun ataupun usia tertentu yang menurut perhitungan pada usia itulah si anak bukan lagi termasuk atau tergolong anak tetapi sudah dewasa.19

Didalam Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan dalam pasal 98 ayat (1) yaitu

“Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan”. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, pasal 1 ayat (2) menentukan

17Ibid. hal 34

18Ibid. hal 36

19Bismar Siregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai aspek Hukum Nasional, Rajawali : Jakarta, 1986. Hal 105

(29)

18

bahwa, “anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah menikah”.20

Dilihat dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, didalam pasal 1 ayat (1) berbunyi “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih didalam kandungan”.21

Anak menurut KUHPerdata, pasal 330 yang berbunyi : “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidaklebih dahulu telah kawin”.22Dan menurut KUHPidana, didalam pasal 45

“anak adalah anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam belas) tahun”.23

Terdapat berbagai penggolongan batasan usia untuk dapat dikatakan anak, yang dikemukakan oleh para ahli dan oleh Undang-Undang, dan batasan usia tersebut perlu kiranya untuk menyepakatinya secara jelas agar tidak terjadi permasalahan yang akan timbul dikemudian hari. Karena menurut penulis, tidak ada kesepakatan yang jelas mengenai batasan umur seperti diatas, hanya dilihat dari konteks perbuatannya.

20Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga, PT RajaGrafindo Persada: Depok, 2016, Hal 127-128

21Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia 297, TLN 5606)

22Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT.Pradnya Paramita:Jakarta, 2002. Hal 90

23R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia:Bogor. Hal 61

(30)

B. Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Dibawah Umur

Perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki laki dan seorang wanita di mana umur keduanya masih di bawah batas minimum yang diatur oleh Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun I974 dan kedua calon mempelai tersebut belum siap secara lahir maupun batin. Serta kedua calon mempelai tersebut belum mempunyai mental yang matang dan juga ada kemungkinan belum siap dalam hal materi.24

Di Indonesia pernikahan dini berkisar l2-20% yang dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan pada pasangan usia muda usia rata rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara Nasional pernikahan dini dengan usia pengantin di bawah usia 16 tahun sebanyak 26,95%. Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki laki pada usia itu kondisi psikis danfisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara psikis emosional, ekonomi dan sosial. 25

Hasil penelitian yang menjadi dokumen laporan Plan International bertajuk 'Getting the Evidence: Asia Child Marriage Initiative' ini dilakukan Plan dan lembaga penelitian berbasis di Inggris, Coram International di Indonesia,

24Teti Sriharyati, Faktor-Faktor Penyebab Perkawinan DIbawah Umur Didesa Blandongan Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial, UNY, 2012. Hal 23

25Ibid. Hal 23-24

(31)

20

Banglades dan Pakistan.Hasil penelitian menyimpulkan, penyebab utama pernikahan anak yaitu :

1. Rendahnya akses pendidikan, 2. Kesempatan di bidang ekonomi,

3. Serta kualitas layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi, terutama untuk anak perempuan.

4. Tingkat kemiskinan juga turut menentukan situasi pernikahan anak.

Di beberapa wilayah survei, masih ada pembenaran tindak kekerasan seksual yang dilakukan laki-laki.Di kalangan laki-laki di Banglades misalnya, ada anggapan mereka harus menikahi perempuan yang jauh lebih muda. Dengan demikian, mereka bisa mengatur sang istri, dan mereka yakin dengan begitu hasrat seksual mereka juga terpenuhi. Sebaliknya, jika anak perempuan tidak segera menikah, maka dia akan menjadi gunjingan atau dianggap tidak laku. Selain Indonesia, ada 2 negara yang disurvei. Hasilnya, perkawinan usia anak paling parah terjadi di Banglades, di mana 73% anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Sebanyak 27% anak perempuan berusia 12 sampai 14 tahun sudah menikah. Sedangkan laki-laki di usia yang sama, yang menikah hanya 2,8%.

Pakistan adalah yang terendah, di mana hanya 34,8% saja anak perempuan usia di bawah 18 tahun yang menikah, dengan 15,2% menikah di bawah usia 15 tahun.

Direktur Regional Plan International Asia Mark Pierce mengatakan,pernikahan usiaanak terus terjadi karena kuatnya diskriminasi gender, ketergantungan ekonomi anak perempuan, serta kuatnya tradisi.26

26https://www.liputan6.com/news/read/2363627/ini-penyebab-maraknya-pernikahan-dini diakses pada tanggal 13 september 2018

(32)

Secara umum, alasan-alasan untuk melakukan perkawinan dibawah umur selalu tidak terlepas dari alasan ekonomi orangtua yang tidak dapat membiayai hidup serta pendidikan si anak, pergaulan bebas yang menyebabkan anak tersebut hamil diluar perkawinan, adat setempat atau kebiasaan yang mempengaruhi pola pikir si anak seperti perempuan yang tidak cepat menikah akan menjadi bahan pergunjingan atau dianggap tidak laku, serta alasan lainnya ialah suatu perkawinan merupakan ibadah sehingga terhindar dari perzinahan. Dari berbagai alasan-alasan tersebut hendaknya memikirkan dampak-dampak yang akan timbul pada anak dikemudian hari, bila perkawinan dibawah umur tersebut tetap dilakukan. Faktor yang menyebabkan perkawinan dibawah umur secara umum antara lain yaitu :27

a) Faktor kehendak orangtua b) Faktor kemauan sendiri c) Faktor adat dan budaya d) Faktor ekonomi

e) Faktor agama

f) Faktor pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu pisau bedah yang cukup ampuh dan kuat dalam merubah suatu sistem adat dan kebudayaan yang sudah mengakar dimasyarakat. Hal ini terkait dengan banyaknya perkawinan dibawah umur yang terjadi di masyarakat.

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan dibawah umur setelah menganggap dirinya sudah dewasa dan sudah dapat bertanggung jawab, setelah berpacaran beberapa lama selama usia pelajar di bangku SMP baru tamat

27Nurhidayat Akbar, Op.Cit. Hal 34

(33)

22

SMA atau belum tamat SMA telah memohon kepada orang tuanya untuk dinikahkan dan ada beberapa penyebab terjadinya perkawinan dibawah umur terutama sekali, yaitu :28

1. Merasa dirinya telah mampu untuk bertanggung jawab

Banyak pasangan remaja pubertas yang menganggap dirinya mampu dan telah siap menikah padahal belum ada pekerjaan tetap.Orang tua mengizinkan sehingga terjadilah pernikahan yang pada dasarnya belum siap.

2. Pergaulan Bebas

Sudah menjadi rahasia umum bahwa para remaja sekarang ini telah banyak terjerumus, pergaulan bebas hal ini terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan bahkan sudah terjadi pula di desa-desa atau Kampung. Sehingga orang tua cepat-cepat menikahkan anaknya agar tidak terjadi hamil diluar nikah, baru kenal sudah berani melakukan hubungan intim.

3. Menutup malu

Penyebab terjadinya pernikahan usia dini yang sangat riskan adalah ketika hamil sebelum nikah, merupakan suatu aib besar bila anak remajanya sudah hamil pada hal belum menikah, disinilah dilematis sebagai orang tua, dengan sangat berat hati orang tuanya menikahkan anaknya demi untuk menutup malu, akan tetapi adajuga orang tua yang bergembira dengan kejadian tersebut dengan mengadakan pesta besar-besaran untuk anaknya yang telah hamil diluar nikah.

28Ridwan Piliang, Perilaku Perkawinan Dalam Membangun Rumah Tangga Bahagia, Perdana Publishing :Medan. 2012. Hal 192-194

(34)

4. Dijodohkan

Dizaman serba canggih dan diera komputeriasi dan telah mendunianya (Global) masih ada perkawinan ala Siti Nurbaya yaitu dijodohkan oleh orang tua, sementara si anak yang masih remaja belum mau untuk berumah tangga, demi untuk mematuhi pemintaan orang tua si remaja menerimanya padahal belum siap untuk berumah tangga.

5. Ibadah.

Perkawinan atau Pernikahan adalah sunnah rasul artinya adalah Ibadah, bila perkawinan suatu anak adam dilandasi dengan iman dan taqwa serta ikhlas melaksanakannya maka ia menjadi dan bernilai ibadah akan tetapi bila hanya sekedar cinta belaka, atau dikarenakan nafsu bisa menjadi tidak bernilai ibadah sehingga dalam hukum munakahat ada beberapa hukum pernikahan yaitu Wajib, Sunnat, Mubah dan Haram, perkawinan dibawah umur termasuk kedalam katagori yang mana.

Faktor lain yang menyebabkan pernikahan dibawah umur antara lain:

1. Norma-norma Agama (Khususnya Islam) Islam tidak mengharamkan pernikahan dibawah umur dan tidak menentang juga tidak dikriminalkan terhadap pernikahan dibawah umur

2. Kebiasaan atau tradisi yang telah membudaya ditengah-tengah masyarakat bahkan adat istiadat apabila putri nya kawin mendapatjodoh cepat itu menjadi kemuliaan dan kehormatan.

3. Pernikahan dikerenakan keterpurukan ekonomi dana beban hidup masyarakat. Sebagian masyarakat merelakan anaknya untuk dipersunting

(35)

24

dikala masih usia dini disebabkan keterpurukan ekonomi dan beban hidup semangkin tinggi (Lihat Pernikahan Dini Syeh Puji.)

4. Kecenderungan pergaulan bebas sebagaimana yang telah diterangkan pada bab terdahulu, bila pergaulan bebas telah merasuk kedalam suatu keluarga atau anak sudah payah untuk membendungnya agar tidak tergelincir dari prostitusi.

Selain faktor-faktor diatas terdapat pula faktor pemicu perkawinan dibawah umur yakni media massa, di era modern sekarang ini terdapat banyak konten-konten negatif yang dapat dengan mudah diakses oleh anak-anak seperti video porno, dan gambar-gambar tidak senonoh melalui internet. Yang salah satunya menjadi pemicu timbulnya hasrat ingin melakukan hubungan seks karena kecanduan melihat video pornografi. Gencarnya ekspose seks dimedia massa sekarang ini menjadi salah satu penyebab tingginya pergaulan bebas yang menyebabkan banyaknya anak perempuan dibawah umur yang hamil diluar perkawinan (Marriage By Accident).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Agama Medan kelas I-A pada tanggal 11 desember 2018, beliau menyatakan ada banyak faktor- faktor penyebab terjadinya perkawinan dibawah umur, tetapi khusus di Kota Medan paling banyak penyebab perkawinan dibawah umur karena dua hal yaitu:

Yang Pertama, disebabkan karena pihak wanita telah hamil diluar perkawinan, sehingga mengakibatkan para pihak harus segera menikah dan mengajukan dispensasi kepada pengadilan. Dan biasanya jika permohonan dispensasi diajukan dengan fakta bahwasannya pihak wanita sudah hamil, maka hakim akan mengabulkan permohonan dispensasi tersebut. Yang Kedua, disebabkan oleh

(36)

kekhawatiran orangtua,membiarkan anaknya yang berlainan jenis sangat akrab dan dekat sekali tanpa ikatan perkawinan akan mengarah kepada perzinahan.

Orangtua tidak dapat lagi melarang, karena si anak tidak dapat dipisahkan lagi.

Maka orangtua sangat khawatir jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan pada anaknya, dan meminta dispensasi ke pengadilan untuk dapat menikahkan keduanya dikarenakan usia si anak yang belum cukup umur.Jika melihat faktor penyebab perkawinan dibawah umur didaerah lain seperti di Aceh, penyebab perkawinan dibawah umur biasanya disebabkan oleh faktor adat istiadat setempat, contohnya kawin gantung.Yaitu suatu adat perkawinan yang menikahkan gadis belia yang belum cukup umur dengan laki-laki pilihan orangtuanya atau dijodohkan, karena tabu jika mencari jodohnya sendiri.Selain daripada itu, karena faktor kemiskinan atau ekonomi, pergaulan yang terlalu bebas dan kurangnya rasa pencegahan dari orangtua.29

C. Dampak Perkawinan Dibawah Umur

Setiap perbuatan pasti akan melahirkan sebuah dampak, atau konsekuensi yang harus ditanggung. Seperti halnya dengan suatu perkawinan, yang bertujuan untuk membangun suatu keluarga yang kekal, bahagia, serta sebagai wadah untuk melangsungkan keturunan. Dan untuk mewujudkan tujuan tersebut, orang yang ingin melangsungkan perkawinan haruslah menyadari status, hak dan kewajibannya masing-masing dalam rumah tangga, jika yang melakukan perkawinan tersebut adalah seorang anak yang usianya masih tergolong sangat

29Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan, pada tanggal 11 desember 2018, pukul 16:00 WIB

(37)

26

muda, sebelum mereka melakukan perkawinan maka mereka harus tau dulu dampak yang akan terjadi dikemudian hari.

Perkawinan dibawah umur mempunyai 2 (dua) dampak, yakni :30

1. Dampak Positif

a. Supaya terhindar dari pergaulan bebas atau tidak terjerumus ke lembah perzinahan. Pernikahan bertujuan membangun keluarga yang sakinah.

mawaddah. dan warahmah. Pernikahan dilakukan berdasarkan cinta dan kasih sayang terhadap pasangannya agar pernikahan itu untuk melegalkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan secara agama ataupun negara.

b. Meringankan beban hidup salah satu pihak dari keluarga atau kedua belah pihak, artinya dengan terjadinya pernikahan usia muda maka anak mereka hidup dan kehidupannya tidak akan terlantar karena dengan pernikahan tersebut beban keluarga akan sedikit berkurang sebab bisa jadi anak perempuan merupakan tanggungjawab pihak laki- laki.

c. Belajar bertanggung jawab terhadap keluarga, suatu pernikahan pada dasarnya yaitu untuk menyatukan dua insan yang berbeda baik secara fisik maupun psikologis. Oleh karena itu. dalam kehidupannya suami- istri harus mempunyai konsekuensi serta komitmen agar pernikahan tersebut dapat dipertahankan.

30 Akhiruddin, Dampak Pernikahan Usia Muda, Jurnal Mahkamah, Vol 1 Nomor 1, juni 2016. Hal 216-217

(38)

2. Dampak Negatif

Tak selamanya perkawinan berdampak positif, tetapi juga memiliki dampak negatif , yaitu :31

a. Dampak biologis yaitu pasangan muda yang masih berusia belasan tahun atau pernikahan usia muda biasanya rentan terhadap resiko kehamilan terhadap perempuan karena organ perempuan masih terlalu muda dan belum siap terhadap apa yang masuk dalam tubuhnya sebab alat-alat reproduksi anak masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan.

b. Dampak psikologis yaitu pernikahan itu untuk mempersatukan dua orang yang berbeda, sehingga memerlukan penyesuaian akan tetapi anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks. Sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada pernikahan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya.

Selain itu, ikatan pernikahan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan di bawah umur maupun hak bermain, dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak tersebut.

c. Dampak sosiologis yaitu pernikahan diusia muda dapat mengurangi harmonisasi dalam keluarga, hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara berpikir yang belum matang. Serta

31Ibid. Hal 217

(39)

28

pernikahan usia muda karena ketidakmampuan suami dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehingga menimbulkan penyimpangan- penyimpangan dalam lingkungan masyarakat. Adanya masalah yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangga pernikahan usia muda karena terkadang mengedepankan ego masing-masing.Tingkat kemandirian pasangan masih rendah bahkan masih rawan serta belum stabil dan lambat laun menimbulkan banyak masalah seperti perselisihan atau percekcokan dengan berakhir perceraian.

d. Dampak kependudukan yaitu saat ini menikah di usia muda rupanya masih saja pilihan alternatif para pemuda-pemudi, sehingga menimbulkan dampak kepadatan penduduk dan jumlah penduduk di suatu daerah yang semakin bertambah karena salah satu pemicu pernikahan di usia muda atau pasangan usia subur (PUS). Secara umum meningkatnya perkembangan penduduk walaupun telah berhasil menekan laju perkembangan penduduk dengan program keluarga berencananya (KB).

e. Dampak terhadap hukum, terjadinya pelanggaran terhadap undang-undang yang telah ditetapkan di negara Republik Indonesia ini seperti:32

1. Undang-Undang Nomor 1 tahun I974 tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur l6 tahun. Pasal 6 ayat (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

32Zulfiani, Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Anak Dibawah Umur Menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol. 12, No.2 Juli-Desember 2017. Hal 219

(40)

2. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung Jawab untuk mengasuh, memelihara. mendidik dan melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Terlepas dari pro-kontra pernikahan dini disadari ataupun tidak, dapat memberi dampak yang negatif, seperti :33

a. Pendidikan anak terputus, pernikahan dini menyebabkan anak putus sekolah hal ini berdampak pada rendahnya tingkat pengetahuan dan akses informasi pada anak.

b. Kemiskinan, dua orang anak yang menikah dini cenderung belum memiliki penghasilan yang cukup atau bahkan belum bekerja. Hal inilah yang menyebabkan pernikahan dini rentan dengan kemiskinan.

c. Kekerasan dalam rumah tangga, dominasi pasangan akibat kondisi psikis yang masih labil menyebabkan emosi sehingga bisa berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga

d. Kesehatan psikologi anak, ibu yang mengandung di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan, kurang sosialisasi dan juga mengalami krisis percaya diri

e. Anak yang dilahirkan, saat anak yang masih bertumbuh mengalami proses kehamilan, terjadi persaingan nutrisi dengan janin yang dikandungnya.

33Mubasyaroh, Analisis Faktor Penyebab Pernikahan Dini Dan Dampaknya Bagi Pelakunya, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 7, No.2, Desember 2016 Hal.

407-409

(41)

30

Sehingga berat badan ibu hamil seringkali sulit naik, dapat disertai dengan anemia karena defisiensi nutrisi, serta berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. Didapatkan bahwa sekitar 14% bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17 tahun adalah prematur. Anak berisiko mengalami perlakuan salah dan atau penelantaran. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari pernikahan usia dini beresiko mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan cenderung menjadi orangtua pula di usia dini.

f. Kesehatan Reproduksi, kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak.

Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Hal ini disebabkan organ reproduksi anak belum berkembang dengan baik dan panggul juga belum siap untuk melahirkan. Data dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di usia dini disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina.

Selain itu, juga meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV.

Bila dianalisis dampak negatif pernikahan dini lebih banyak dari pada dampak positifnya untuk itu perlu adanya komitmen dari pemerintah dalam

(42)

menekan angka pernikahan dini di Indonesia.Pernikahan dini bisa menurunkan Sumber Daya Manusia Indonesia karena terputusnya mereka untuk memperoleh pendidikan.Alhasil, kemiskinan semakin banyak dan beban negara juga semakin menumpuk.Oleh karena itu usaha yang tepat adalah pemerintah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun dengan syarat pemberian bantuan dan biaya gratis bagi siswa kurang mampu.

(43)

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENGAJUKAN DISPENSASI NIKAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

JO UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

A. Pengaturan Dispensasi Nikah Terhadap Anak Dibawah Umur Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang sakral yang dalam istilah agama disebut dengan Mitsaqan Galizha yaitu suatu perjanjian yang sangat kokoh dan luhur yang ditandai dengan pelaksanan ijab dan qaul antara wali nikah dengan mempelai pria dengan tujuan membentuk suatu rumah tangga yang bahagia sejahtera dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.34

Perkawinan merupakan suatu peristiwa dalam kehidupan seseorang yang mempengaruhi status hukum orang yang bersangkutan.Menurut R. Subekti mengatakan perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.Scholtenmendefinisikan perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh negara.35

Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan perihal perkawinan diatur dalam Buku I KUH Perdata.Satu pasal pun tidak ada yang menjelaskan tentang kata perkawinan itu kecuali menyebutkan

34Ridwan Piliang, Op.Cit. Hal 5

35I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perorangan dan Kebendaan, Jakarta : FH Utama Jakarta, 2010. hal 59

(44)

bahwa undang-undang memandang perihal perkawinan hanya dalam hubungan- hubungan perdata (pasal 26 KUH Perdata).36

Setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikeluarkan mengenai perkawinan dijelaskan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Terdapat beberapa unsur dari perkawinan menurut ketentuan UU Perkawinan, yaitu :

1. Ikatan lahir batin

Ikatan lahir artinya, para pihak yang bersangkutan karena perkawinan itu secara formal merupakan suami isteri, baik bagi mereka dalam hubungannya satu sama lain, maupun bagi mereka dalam hubungannya dengan masyarakat luas.

2. Antara seorang pria dengan seorang wanita

Antara seorang pria dengan seorang wanita artinya dalam satu masa ikatan lahir batin itu hanya terjadi seorang pria dengan seorang wanita.Seorang pria maksudnya seorang yang berjenis kelamin pria, sedangkan seorang wanita maksudnya seorang yang berjenis kelamin wanita.Jenis kelamin ini merupakan kodrat, bukan bentukkan manusia. Selain itu pada unsur ini juga dapat disoroti awalan “se” pada kata orang, yang menunjukkan

“satu”, sehingga masing-masing pasangan (suami/isteri) hanyalah dibenarkan satu orang saja, maka dari ini dapat disimpulkan Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 menganut asas perkawinan monogami. Hal

36Ibid. Hal 59

(45)

34

ini dipertegas lagi oleh ketentuan Pasal 3 ayat l Undang-Undang tersebut yang menyatakan pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Namun jika diperhatikan ketentuan Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pemahaman atas asas monogami berubah menjadi berasas poligami (walau dalam bentuk pengecualian, yang terlihat dengan syarat dikehendaki oleh kedua belah pihak). Bagi pasal 3 ayat 2 itu adalah

“pengadilan”, dapat memberi izin seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan begitu pemahaman asas monogami pada perkawinan menurut KUHPerdata beda dengan pemahaman asas monogami pada perkawinan menurut Undang-Undang Nomor l Tahun 1974. Bedanya terletak pada monogami tanpa kecuali pada KUHPerdata sedangkan monogami dengan kecuali pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 (UUP).37

3. Kekal dan Bahagia

Unsur ketiga menunjukkan untuk apa dilangsungkan perkawinan jika tidak memiliki tujuan. Keluarga bahagia dan kekal adalah cita-cita bagi kedua calon suami istri.Kata “bahagia” adalah abstrak dan merupakan puncak tertinggi yang ingin dicapai oleh kedua belah pihak. Dari awal harus sudah ada kemauan yang kuat untuk hidup bahagia bukan untuk hidup susah.

Bahagia dalam arti materil dan immateril menjadi suatu kepuasaan dalam keluarga. Bahagia juga dapat dilihat dari aspek ekonomi, sosial, dan

37Ibid. Hal 61-62

(46)

kultur. Tidak akan dikatakan bahagia suatu keluarga jika tidak ditopangkondisi ekonomi yang memadai.

4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Unsur Ketuhanan yang melandasi suatuperkawinan semakin jelas bahwa perkawinan bukanlah urusan duniawi sajamelainkan urusan religius.Pada ketentuan UU No.1 Tahun 1974 terlihat bahwa perkawinan tidak hanya dipandang berdasarkan persoalan materi melainkan merujuk paham religius.38

2. Asas-Asas Dalam Perkawinan

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditentukan asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Prinsip atau asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang Perkawinan adalah sebagai berikut.39

1. Asas Perkawinan Kekal

Setiap perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.Artinya, perkawinan hendaknya seumur hidup.Hanya dengan perkawinan kekal saja dapat membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera.Dalam kaitan ini, Islam mengharamkan perkawinan untuk jangka waktu tertentu, misalnya untuk 2 (dua) atau 3 (tiga) bulan saja.Perkawinan yang seperti ini dalam hukum Islam dinamakan nikah mut’ah.

2. Asas Perkawinan Menurut Hukum Agama atau Kepercayaan Agamanya

38Gita Maria Puspita Br Sitinjak, Op.Cit. Hal 16-18

39Rosnidar Sembiring, Op.Cit. Hal 51-54

Referensi

Dokumen terkait

“keadilan”, karena tujuan dari asas ini sendiri adalah tidak lain untuk menghadirkan keadaan yang seadil-adilnya bagi para pihak dalam perjanjian

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dijelaskan bahwa benda (yang ada diwilayah Negara RI atau diluar Negara RI) yang dibebani dengan jaminan

pada Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan, pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 2)

Pendapat demikian juga sesuai dengan pertumbuhan hukum Anglo Amerika menurut sistem common law, di mana pemegang hipotek (mortgagee) dianggap memperoleh hak eigendom atas benda

Perusahaan Sewa Guna Usaha (leasing) kegiatan utamanya adalah bergerak di bidang pembiayaan untuk memenuhi keperluan barang-barang modal oleh debitur. Pemenuhan pembiayaan

76 Wawancara dengan Bapak Hasan Amin, tanggal 5 Agustus 2016 di kantor PT. Rahmat Jaya Transport.. Indofood di dalam proses penyelenggaraan pengangkutan dengan PT. Rahmat Jaya

1) Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku untuk mediasi yang perkaranya diproses di Pengadilan. 2) Setiap hakim, mediator, dan para pihak wajib mengkuti prosedur medisi yang

Dampak meningkatnya perkara perceraian yang terjadi di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh dan dampak terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dikurangi ataupun