• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Oleh RIKY RIANTO GINTING MANIK NIM: DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Oleh RIKY RIANTO GINTING MANIK NIM: DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

DARI UNDANG- UNDANG NO. 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FUDISIA (Studi Pada PT. FIF Group Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RIKY RIANTO GINTING MANIK NIM: 140200265

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

Tan Kamello**

Rabiatul Syahriah ***

Banyak kejadian ketika leasing hendak melakukan recovery asset, yang bersangkutan berdalih bahwa unit kendaraan tersebut sudah dipindah tangankan atau masyarakat umum banyak mengenalnya dengan istilah over kredit. Proses pengambilalihan kredit oleh pihak ketiga tersebut terjadi dengan tanpa sepengetahuan pihak leasing, dan keberadaan pihak ketiga tersebut sangat sulit ditelusuri kiarena lokasi alamat yang sangat jauh dan berada di sebuah desa terpencil. Ini adalah contoh kecil dari sekian banyak kasus yang terjadi yang tentu saja sangat merugikan pihak lessor. Dalam menyelesaikan masalah bad debt ini, hukum memiliki peranan yang sangat penting. Jelas tertera dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia bahwa : “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pengaturan tentang leasing menurut Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999, bagaimanakah pelaksanaan jual beli mobil secara kredit melalui leasing pada PT. FIF Group, bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban leasing terhadap konsumen atas adanya over kredit pada PT. FIF Group.

Penelitian ini bersifat deskriptif dan menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris. Data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dan studi lapangan dengan wawancara.

Langkah mengatasi maraknya pihak leasing yang melakukan penarikan secara ilegal terhadap objek kendaraan, Kementerian Keuangan telah menerbitkan peraturan yang melarang perusahaan leasing untuk menarik secara paksa kendaraan dari nasabah yang menunggak pembayaran kredit kendaraan. Jaminan fudisia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, fidusia adalah suatu proses mengalihkan hak milik atas suatu benda dengan dasar kepercayaan, tapi benda tersebut masih dalam penguasaan pihak yang mengalihkan. Fidusia umumnya dimasukkan dalam perjanjian kredit kendaraan bermotor.

Kita sebagai debitur membayar biaya jaminan fidusia tersebut. Perlindungan hukum preventif yang seharusnya memberikan perlindungan hukum bagi para pihak, tetapi kenyataannya malah memberikan tindakan kesewenang-wenangan dari salah satu pihak (kreditur) dan memberikan tidak adanya perlindungan hukum bagi pihak lain (debitur). Baik perlindungan hukum dari Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 maupun perjanjian-perjanjian yang di buat oleh para pihak(keditur/lembaga pembiayaan dan debitur/konsumen).

Kata kunci: Leasing, Perbuatan Melawan Hukum, Kredit

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

(4)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang telah melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu, yang diberi judul “Pertanggungjawaban Leasing Terhadap Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Mobil Atas Adanya Over Kredit Ditinjau Dari Undang- Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fudisia (Studi Pada PT. FIF Group Medan)”.

Tujuan dari penulisan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk bisa menempuh ujian sarjana pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Di dalam pengerjaan skripsi ini telah melibatkan banyak pihak yang sangat membantu dalam banyak hal. Oleh sebab itu, disini penulis sampaikan rasa terima kasih sedalam- dalamnya kepadaS:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum Selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Syamsul Rizal, S.H., M.Hum Selaku Sekretaris Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

ini tepat waktu

8. Terima kasih kepada ibu Rabiatul Syahriah., SH.,M.Hum Selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu dan membimbing saya hingga terselesaikannya skripsi ini tepat waktu

9. Terima kasih kepada kedua orang tua saya Joni Ginting dan ibu Terape Br. Sembiring yang selalu memberi dukungan dan semangat kepada saya baik secara moral maupun secara materi.

10. Terima kasih kepada rekan- rekan mahasiswa yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kata kesempurnaan, namun penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terkhusus bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Medan, Juni 2020

Hormat Penulis

(6)

Kata Pengantar...ii

Daftar Isi...iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Tinjauan Kepustakaan ... 12

G. Metode Penelitian ... 17

H. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II PENGATURAN TENTANG LEASING MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 A. Sejarah Leasing di Indonesia ... 22

B. Definisi Tentang Leasing ... 26

C. Bentuk- Bentuk Leasing Yang Ada di Indonesia ... 28

D. Pengaturan Leasing di Indonesia ... 30

E. Pengaturan Leasing Ditinjau Dari KUH Perdata ... 33

BAB III JUAL BELI MOBIL SECARA KREDIT MELALUI LEASING PADA PT. FIF GROUP A. Mekanisme Pelaksanaan Jual Beli Mobil Secara Kredit Melalui Leasing ... 37

B. Syarat- syarat Jual Beli Mobil Secara Kredit ... 44

C. Masalah yang Terjadi dalam Pelaksanaan Jual Beli Secara Kredit ... 49

(7)

D. Terjadinya Over Kredit dalam Jual Beli Mobil Secara Kredit Melalui Leasing ... 54 E. Pandangan KUH Perdata Terhadap Over Kredit ... 57 BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN LEASING TERHADAP

KONSUMEN ATAS ADANYA OVER KREDIT PADA PT.

FIF GROUP

A. Mekanisme Pelaksanaan Over Kredit Pada PT. FIF Group ... 59 B. Bentuk Pertanggungjawaban Leasing Ditinjau dari Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fudisia Pada PT. FIF Group ... 62 C. Pertanggungjawaban Over Kredit dalam Perspektif KUH

Perdata ... 65 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...72 B. Saran...74 Daftar Pustaka...76 Lampiran

(8)

A. Latar Belakang

Perkembangan zaman semakin pesat, setiap orang dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi tidak semua orang memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Fakta inilah yang menyebabkan terjadinya transaksi hutang piutang. Prinsip utama dalam pelaksanaan perjanjian utang piutang adalah kemampuan untuk membayar utang beserta dengan bunganya. Sehingga jika dalam keadaan terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidup, orang akan berhutang kepada orang lain dan yang bersangkutan berjanji akan melunasi pada waktu yang telah disepakati.1

Perkembangan dalam suatu masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Sejalan dengan meningkatnya kegiatan pembangunan nasional, peran serta pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan akan semakin ditingkatkan pula.

Keadaan tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan menuntut lebih aktifnya kegiatan di bidang pembiayaan.2

Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang berpenghasilan rendah hal ini tentu merupakan suatu problem tersendiri. Kondisi inilah yang antara lain menyebabkan tumbuh dan berkembangnya lembaga pembiayaan konsumen sebagai salah satu sumber pembiayaan alternatif untuk memenuhi kebutuhan konsumen atas barang-barang komsumtif yang dibutuhkannya. Melalui

1 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994, hal. 105

2 Amin Widjaja Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis dalam Leasing, Jakarta:

Rineka Cipta, 1994, hal. 1

(9)

pembiayaan konsumen, masyarakat yang tadinya kesulitan untuk membeli barang secara tunai, akan dapat teratasi dengan mudah dan cepat. 3

Pembiayaan konsumen merupakan salah bentuk lembaga keuangan bukan bank, yang ditujukan untuk tujuan produksi, atau konsumsi barang dan jasa.

Kegiatan lembaga pembiayaan ini dilakukan dalam bentuk penyediaan barang dan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, tabungan, dan surat sanggup membayar.

Berdasarkan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan tersebut, lembaga pembiayaan mempunyai peran penting sebagai salah satu lembaga sumber pembiayaan alternatif yang potensial untuk menunjang pertumbuhan perekonomian nasional.4

Semakin maraknya kebutuhan akan dana segar untuk menunjang kemajuan dunia usaha di Indonesia, membuat sistem pembiayaan dengan leasing semakin berkembang dengan pesat. Mulailah perusahaan-perusahaan leasing tumbuh subur di Indonesia. Pada dasarnya perkembangan leasing dalam sejarah di Indonesia tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga fase.5

Fase pertama yang merupakan fase pengenalan dari bisnis leasing di Indonesia terjadi antara tahun 1974 sampai dengan tahun 1983. Fase pertama ini dimulai dengan keluarnya beberapa peraturan tahun 1974 yang khusus mengatur tentang pranata hukum leasing tersebut. Dalam fase ini, leasing belum begitu dikenal masyarakat, dan perkembangannya pun tidak begitu pesat.

3 Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 95

4 Ibid, hal. 4

5 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 2

(10)

Konsekuensinya, jumlah perusahaan leasing waktu itu belum seberapa banyak dan jumlah transaksinyapun masih relatif kecil.

Fase kedua yang merupakan fase pengembangan ini terjadi kira-kira antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1990. Dalam fase kedua ini, bisnis leasing cukup pesat perkembangannya berbarengan dengan pesatnya pertumbuhan bisnis di Indonesia. Hal ini terlihat misalnya pada indikator peran dan kontribusi leasing terhadap investasi nasional secara keseluruhan. Pada fase kedua ini, beberapa segi operasionalisasi leasing telah berubah, misalnya dalam hal metode perhitungan penyusutan aset untuk kepentingan perpajakan. Hal ini terjadi akibat dari berlakunya Undang-Undang Pajak tahun 1984. Sementara sistem pelaporan pajak dalam periode kedua ini masih memakai overating method seperti pada fase sebelumnya, tetapi dengan beberapa distorsi.

Fase ketiga, yang merupakan fase konsolidasi dari perkembangan leasing di Indonesia, ini terjadi sejak tahun 1991 sampai sekarang. Pada periode ini izin- izin pendirian perusahaan leasing yang sebelumnya diperketat, kemudian dibuka kembali. Perusahaan multifinance juga banyak didirikan pada periode ini. Salah satu perubahan yang terjadi dalam fase konsolidasi ini adalah diubahnya sistem perpajakan, dari semula dengan overating method berubah menjadi financial method. Perubahan sistem perhitungan perpajakan ini mulai berlaku sejak 19

Januari 1991, berdasarkan ketentuan dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Usaha (leasing).

Keperluan akan dana sebagai alat untuk melakukan kegiatan ekonomi sangat diperlukan dan kebutuhan akan dana sebagai modal tersebut terus meningkat. Seperti diketahui tidak semua orang dalam masyarakat mempunyai

(11)

dana/modal untuk melakukan kegiatan usaha. Biasanya dalam masyarakat ada sebagian yang mempunyai kelebihan dana tetapi kurang mampu atau kurang berani untuk melakukan/membuka usaha, sedangkan disisi lain ada sebagian masyarakat yang memiliki kemampuan untuk berusaha tetapi tidak mempunyai dana.

Keadaan tersebut di atas kemudian menimbulkan hubungan antara pihak yang memiliki dana tetapi kurang mampu untuk melakukan/membuka usaha dengan pihak yang memiliki kemampuan untuk berusaha tetapi kurang atau bahkan tidak memiliki dana, mengadakan kesepakatan dalam mengelola kemampuan masing-masing pihak, dan kesepakatan tersebut merupakan awal dari lahirnya perjanjian utang piutang atau perjanjian antara debitur dan kreditur.

Setelah lahirnya perjanjian utang piutang atau perjanjian antara debitur dengan kreditur, maka tentunya akan lahir hak dan kewajiban dari kedua belah pihak, yaitu kreditur mempunyai kewajiban untuk menyerahkan dana yang dijanjikannya kepada debitur dengan hak untuk menerima kembali dana yang dipinjamkan tersebut dari debitur pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, dan di lain pihak debitur mempunyai hak untuk menerima dana yang dijanjikan oleh kreditur serta mempunyai kewajiban untuk memenuhi pengembalian dana sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

Perjanjian jual beli ini merupakan perbuatan hukum yang masuk dalam hukum privat. Hukum privat yang mengatur hubungan antara perseorangan atau mengatur perseorangan atau mengatur kepentingan perseorangan. Perjanjian jual beli ini dapat terbentuk secara lisan maupun tertulis. Realitanya, secara kepastian hukum, perjanjian tertulis dianggap lebih memberikan kepastian hukum, tidak

(12)

menjadikan perjanjian jual beli secara lisan itu tidak sah.6 Selain itu juga terdapat hukum publik yaitu mengatur hubungan negara dan perseorangan atau kepentingan umum.7 Hukum publik ini bersifat memaksa, sedangkan peraturan hukum perdata pada umumnya bersifat melengkapi meskipun ada juga yang bersifat memaksa.

Leasing sebagai suatu badan usaha memiliki produk-produk usaha yang

ditujukan untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya selain dengan cara tunai. Pengertian lembaga keuangan bukan bank, dapat dilihat dalam Pasal 1 angka (4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Lembaga Keuangan bukan bank, adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana, dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi perusahaan- perusahaan.

Peranan perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah menghubungkan kepentingan dari beberapa pihak yang berbeda. Adapun kepentingan yang berbeda dari para pihak sebagai berikut; Pihak pertama adalah lessor, yaitu perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing) sebagai pemilik modal, yang akan memberikan pinjaman modal alat atau suatu barang dengan cara leasing kepada pihak yang membutuhkan. Lessor merupakan perusahaan pembiayaan yang bersifat multifinance yang dapat bergerak khusus di bidang leasing. Pihak kedua adalah Lessee, yaitu pihak yang bertindak sebagai pemakai peralatan atau barang yang akan di leasing oleh lessor. Pihak ketiga adalah kreditur atau lender, yakni pihak

6 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2007, hal. 130

7 Moeljatno, Asas- asas Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, hal. 2

(13)

yang disebut dengan debt holders atau loan participants dalam suatu transaksi leasing. Kreditur atau lender pada umumnya terdiri dari bank, insurance company trust, dan yayasan. Pihak keempat adalah supplier, yaitu penjual atau pemilik barang yang disewakan, dapat terdiri dari perusahaan dalam negeri atau yang mempunyai kantor pusat di luar negeri. 8

Perusahaan Sewa Guna Usaha (leasing) kegiatan utamanya adalah bergerak di bidang pembiayaan untuk memenuhi keperluan barang-barang modal oleh debitur. Pemenuhan pembiayaan yang dibutuhkan oleh seorang debitur terhadap barang-barang modal yang diperlukan seperti kendaraan bermotor dengan cara menyewa atau membeli secara kredit. Pihak leasing akan memenuhi dan membiayai keinginan debitur atas barang-barang modal sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak.

Dalam praktek pelaksanaan pembiayaan leasing ini, walaupun secara aktual pembeli telah sangat terbantu dengan adanya perusahaan pembiayaan, namun sering kali pihak pembeli tidak menunjukkan itikad baik dengan melunasi biaya angsuran yang timbul dari pembelian barangnya. Hal ini terlihat dari banyaknya bad debt yang terjadi. Adanya bad debt ini menyebabkan kerugian bagi perusahaan pembiayaan karena membuat modal tidak kembali. Seperti salah satu dari sekian banyak kasus yang terjadi di PT. FIF Group, dimana salah satu nasabahnya telah mengadakan suatu perjanjian pembiayaan dengan PT. FIF Grup Kota Medan untuk satu unit mobil.

Ketika hendak dilakukan recovery asset, yang bersangkutan berdalih bahwa unit kendaraan tersebut sudah dipindah tangankan atau masyarakat umum

8 Dahara Djoko Prakoso, Leasing dan Permasalahan, Semarang: Effhar, 1996, hal. 4

(14)

banyak mengenalnya dengan istilah over kredit. Yang mana proses pengambil alihan kredit oleh pihak ketiga tersebut terjadi dengan tanpa sepengetahuan pihak leasing, dan keberadaan pihak ketiga tersebut sangat sulit ditelusuri karena lokasi alamat yang sangat jauh dan berada di sebuah desa terpencil. Ini adalah contoh kecil dari sekian banyak kasus yang terjadi yang tentu saja sangat merugikan pihak lessor. Dalam menyelesaikan masalah bad debt ini, hukum memiliki peranan yang sangat penting. Jelas tertera dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia bahwa : “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka dirasa perlu untuk membahas dan menggali lebih dalam tentang pelaksanaan over kredit dalam perjanjian jual beli mobil dengan sistem kredit. Adapun tulisan ini dituangkan dalam bentuk tulisan skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Leasing Terhadap Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli Mobil atas Adanya Over Kredit Ditinjau Dari Undang- Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Studi Pada PT. FIF Group Medan)”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang dan penegasan judul di atas, maka rumusan masalah yang dikemukakan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan tentang leasing menurut Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999?

2. Bagaimanakah pelaksanaan jual beli mobil secara kredit melalui leasing pada PT. FIF Group?

(15)

3. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban leasing terhadap konsumen atas adanya over kredit pada PT. FIF Group?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang leasing menurut Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan jual beli mobil secara kredit melalui leasing pada PT. FIF Group.

3. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban leasing terhadap konsumen atas adanya over kredit pada PT. FIF Group.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum keperdataan, yang terkhusus berkaitan dengan pertanggungjawaban leasing dalam perjanjian jual beli mobil terhadap terjadinya over kredit ditinjau dari Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

2. Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, maupun pihak lainnya dalam penulisan-penulisan ilmiah lainnya yang berhubungan. Selain itu juga diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan kepada masyarakat berkaitan dengan perjanjian kredit mobil dan terjadinya over kredit, serta dapat dijadikan sebagai

(16)

rujukan bagi pelaksanaan perjanjian kredit mobil dan terjadinya over kredit yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan beberapa Universitas yang ada di Indonesia baik secara fisik maupun online, tidak didapati bahwa judul skripsi Pertanggungjawaban Leasing Terhadap Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli Mobil atas Adanya Over Kredit Ditinjau Dari Undang- Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Studi Pada PT. FIF Group Medan). Namun ada beberapa judul penelitian yang berkaitan dengan over kredit, antara lain:

Mariana (2015) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian Analisa Mengenai Pemberian Fasilitas Kredit Modal Kerja Oleh Bank Melalui Mekanisme “Take Over ” (Kajian Mengenai Prosedur dan Jaminan Pada Bank Swasta di Medan). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Mekanisme peralihan kredit (take over ) pada bank swasta nasional dalam pemberian fasilitas modal kerja bagi pengusaha kecil maupun menengah.

2. Bank swasta nasional melakukan analisis terhadap kegiatan usaha pengusaha kecil dan menengah yang layak untuk ditake over .

3. Solusi terhadap penurunan kinerja usaha pengusaha kecil maupun menengah terkait pinjaman kreditnya kepada bank.

Hendro Prawoto (2006) Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang dengan judul penelitian Tinjauan Hukum Terhadap Proses Alih Debitur yang Dilakukan di Bawah Tangan Pada Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah

(17)

(KPR) di PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Cabang Semarang. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Proses alih debitur di PT. Bank Tabungan Negara dan syarat pelaksanaan alih debitur.

2. Akibat hukum alih debitur yang dilakukan di bawah tangan pada perjanjian kredit perumahan (KPR-BTN)

3. Hambatan- hambatan dan upaya yang ditempuh pihak bank untuk mengatasinya dalam terjadinya alih debitur.

Anjali Bestari (2017) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian Tinjauan Yuridis Terhadap Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Hal Take Over Kredit Jual Beli Antar Bank. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan.

2. Pandangan hukum terhadap pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan dalam membebankan hak tanggungan oleh orang yang belum merupakan pemilik sah objek hak tanggungan tersebut.

3. Pengikatan jaminan tanah/bangunan dalam hal take over kreditjual beli antar bank.

Tri Nurhidayat (2017) Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Ponorogo dengan judul penelitian Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Motor Secara Kredit dengan Pengalihan Pembayaran (Studi Kasus di Desa Panekan Kecamatan Pangetan Kabupaten Magetan). Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah:

(18)

1. Mekanisme pelaksanaan jual beli motor secara kredit menutut undang- undang.

2. Terjadinya pengalihan pembayaran dalam perjanjian jual beli motor secara kredit.

3. Pandangan hukum Islam terhadap terjadinya pengalihan pembayaran jual beli motor secara kredit.

Adapun perbedaan penelitian di atas dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Objek kredit yang dibahas adalah berbeda, dimana objek kredit di atas antara lain adalah kredit motor dan juga kredit rumah, sedangkan objek penelitian ini adalah mobil.

2. Sistem kredit di atas dalam penelitian di atas berbeda dengan penelitian ini, dimana dalam penelitian ini lebih menekankan pada terjadinya over kredit.

3. Lokasi penelitian, pada penelitian di atas dilakukan di tempat yang berbeda- beda, penelitian ini sendiri dilakukan pada PT. FIF Group Medan yang beralamat di Jalan Kapten Muslim, Medan.

Penelitian yang dilakukan saat ini berjudul Pertanggungjawaban Leasing Terhadap Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli Mobil atas Adanya Over Kredit Ditinjau Dari Undang- Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Studi Pada PT. FIF Group Medan), dengan permasalahan pengaturan tentang leasing menurut Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999, pelaksanaan jual beli mobil secara kredit melalui leasing pada PT. FIF Group dan bentuk

(19)

pertanggungjawaban leasing terhadap konsumen atas adanya over kredit pada PT. FIF Group Medan.

Skripsi ini belum ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli. Maka dari itu, keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun secara akademik.

F. Tinjauan Kepustakaan

Adapun judul yang dikemukakan adalah “Pertanggungjawaban Leasing Terhadap Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli Mobil atas Adanya Over Kredit Ditinjau Dari Undang- Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (Studi Pada PT. FIF Group Medan).” Dalam tinjauan dicoba untuk mengemukakan beberapa ketentuan dan batasan yang menjadi sorotan dalam mengadakan studi kepustakaan. Hal ini akan berguna untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi agar tetap berada di dalam topik yang diangkat dari permasalahan di atas. Adapun yang menjadi pengertian secara etimologis daripada judul skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Leasing

Sejarah perkembangan usaha leasing di Indonesia mulai timbul sejak tahun 1974, dengan adanya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Bahwa leasing merupakan suatu bentuk usaha di bidang pembiayaan yang relatif masih muda usianya. Mengenai definisi leasing, sampai saat ini belum ada satu definisipun yang diterima oleh semua pihak. Ini disebabkan pada kenyataannya, bahwa leasing itu muncul dalam berbagai bentuk, dimana leasing merupakan nama

(20)

kumpulan dari semua bentuk perjanjian leasing maka untuk mendefinisikan leasing itu sendiri para ahli menemui kesulitan.9

Di Indonesia sendiri lembaga leasing sudah ada sekitar dua puluh tahun terakhir ini. Undang-undang yang secara resmi mengatur belum ada, karena itu masih mengikuti peraturan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dan merupakan lembaga keuangan yang mengatur keuangan secara keseluruhan. Penggunaan lembaga leasing sebagai lembaga pembiayaan yang relatif masih belum lama, ternyata dalam dunia usaha nampaknya cukup menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Tetapi dalam prakteknya penggunaan jasa leasing sering terjadi permasalahan yang antara lessor dan lesse, sehingga mengakibatkan barang modal tersebut diambil kembali oleh lessor tanpa ada tuntutan melalui peradilan perdata. Sedangkan sesuai dengan Pasal 1238 KUH-Perdata pihak lessor seharusnya memberikan somasi atas kelalaian lesse dan memberikan surat pernyatan bahwa lesse telah lalai (wanprestasi), kecuali perjanjian leasing yang bersangkutan menyatakan lain.

2. Kredit

Menurut Mohammad Djumhana, dalam perkembangan perbankan modern, pengertian kredit tidak terbatas pada peminjam atau nasabah semata atau kredit secara tradisional, melainkan lebih luas lagi serta adanya flesibilitas kredit yang diberikannya. Hal ini terlihat dari pengertian cakupan kredit yang terdapat pada lampiran Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank, dimana kredit tidak terbatas hanya pada pemberian fasilitas kredit yang lazim dibukukan dalam pos kredit pada aktiva dalam neraca bank, namun termasuk pula pembelian surat

9 Komar Andasasmita, Leasing, Bandung: Ikatan Notaris Indonesia, 1983 hal.34

(21)

berharga yang disertai note purchase agreement atau perjanjian kredit, pembelian surat berharga lain yang diterbitkan nasabah, pengambilan tagihan dalam rangka anjak piutang dan pemberian jaminan bank yang di antaranya meliputi akseptasi, endosemen, dan awal surat- surat berharga.10

Dalam hal pemberian kredit, terdapat unsur- unsur kredit. Menurut Rimsky K. Juddisseno, unsur- unsur tersebut adalah:

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari yang memberi kredit kepada penerima kredit bahwa di masa yang akan datang penerima kredit akan sanggup mengembalikan segala sesuatu yang telah diterima sebagai pinjaman.

b. Waktu, adalah masa yang menjadi jarak antara pemberian kredit dan pengembaliannya.

c. Tingkat Risiko, adalah kemungkinan yang terjadi akibat adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dan pengembaliannya.

Dalam keadaan ini kredit yang diberikan memerlukan jaminan. Jaminan yang dimaksud disini antara lain berupa aset dari nasabah debitur yang dijadikan jaminan kepada pihak pemberi kredit.

d. Perjanjian/ prestasi, adalah objek yang akan dijadikan sebagai sesuatu yang dipinjamkan. 11

Pada dasarnya pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur berpedomaan kepada dua prinsip, yaitu:

1) Prinsip kepercayaan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pemberian kredit kepada nasabah debitur selalu didasarkan kepada kepercayaan.

10 Mohammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000 hal. 368

11 Rimsky K. Judisseno, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2005), hal. 166

(22)

Kreditur mempunyai kepercayaan bahwa kredit yang diberikannya bermanfaat bagi nasabah debitur sesuai dengan peruntukannya, dan terutama sekali bank percaya nasabah debitur mampu melunasi utang kredit beserta bunga dalam jangka waktu yang telah ditentukan.

2) Prinsip kehati- hatian (prudential principle). Telah dijelaskan di atas bahwa dalam kredit terdapat unsur tingkat risiko. Untuk mengurangi tingkat risiko maka perlu dilakukan pencegahan dengan menggunakan prinsip kehati- hatian dalam pelaksaan kredit. Prinsip ini antara lain diwujudkan dalam bentuk penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik terhadap semua persyaratan yang terkait dengan pemberian kredit. 12

3. Perjanjian

Tampilan yang klasik, istilah perjanjian sebagai terjemahan dari agreement dalam bahasa Inggris, atau over eenkomst dalam bahasa Belanda. Di samping itu, ada juga istilah yang sepadan dengan istilah perjanjian yaitu istilah transaksi.

Hukum yang mengatur tentang perjanjian disebut dengan hukum perjanjian atau hukum kontrak. 13

Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu “peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.” Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan

12 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer (Bandung: Citra Aditya Bakti 1996), hal. 21

13 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008 hal. 9

(23)

perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja.

Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi).14

Pengimplementasian perjanjian biasanya diartikan sebagai perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tertulis (paper-based) bahkan bila perlu dihadapkan dalam bentuk otentik dimana cara pembuatannya harus dilakukan di hadapan notaris. Permasalahan yang timbul dalam transaksi ini adalah dalam hal dimana transaksi dilakukan tanpa menghadapkan para pihak yang melakukan perjanjian.

4. Jual Beli

Jual Beli adalah seluruh kegiatan usaha dagang yang dilakukan orang- orang dan badan- badan yaitu dalam pembelian dan penjualan atau pertukaran barang dan jasa yang bertujuan untuk memperolah keuntungan. Tujuan perdagangan antara lain:

a. Memenuhi kebutuhan manusia;

b. Memperoleh penghasilan;

c. Mengusahakan pemerataan hasil;

d. Meningkatkan kemakmuran masyarakat;

e. Mendorong kegiatan ekonomi;

f. Mendorong kemajuan di bidang tertentu. 15

Agar jual beli itu berlangsung secara sah, transaksi harus dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan. Sebagai kriteria sahnya suatu transaksi jual beli, yaitu: suka sama suka, dan ucapan penerimaan oleh pihak lain.

Lebih lanjut, syarat transaksi jual beli yang dimaksud dalam hal ini adalah:

14 Subekti, Hukum Perjanjian Cetakan XII, Jakarta: PT. Intermasa, 1990 hal. 83

15 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008 hal. 9

(24)

1) Barang yang diperjualbelikan adalah barang halal;

2) Barang yang diperjualbelikan adalah sesuatu yang bermanfaat.

Alasannya adalah bahwa bahwa yang hendak dicapai dari pelaksanaan jual beli adalah untuk memperoleh kegunaan dari objek transaksi;

3) Barang yang diperjualbelikan adalah milik penjual dan bukan merupakan hasil dari tindak kejahatan;

4) Barang yang hendak diperjualbeilkan harus bersifat konkret dan dapat ditakar atau diukur sehingga memudahkan dalam menilai harga barang tersebut. 16

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.

Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana (ilmiah) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. 17 Penulisan skripsi ini, menggunakan metodologi penulisan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Untuk memperoleh suatu pembahasan sesuai dengan apa yang terdapat di dalam tujuan penyusunan bahan analisis, maka dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif dan yuridis empiris, digunakan untuk

16 Rimsky K. Judisseno, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2005 hal. 166

17Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 1990 hal. 1

(25)

memberikan pemahaman bahwa hukum bukan semata- mata sebagai perangkat perundang-undangan yang bersifat normatif belaka, melainkan hukum harus dilihat sebagai perilaku masyarakat yang menggejala dalam kehidupan masyarakat. Berbagai temuan di lapangan yang bersifat individual atau kelompok akan dijadikan bahan utama dalam mengungkapkan permasalahan yang diteliti dengan berpegang pada ketentuan yang berlaku.18

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah analisis deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan serta menganalisa suatu peraturan hukum.19

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan skripsi, karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh data yang selanjutnya bisa dipergunakan untuk menganalisa sesuai yang diharapkan berkaitan dengan hal tersebut, maka penelitian ini menggunakan pengumpulan data sebagai berikut:

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden, bukan dari bahan kepustakaan.20 Dalam skripsi ini dilakukan wawancara terhadap staf atau pegawai PT. FIF Group Medan, yaitu dengan bertanya langsung kepada staf marketing mobil. Sistem wawancara yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah wawancara bebas terpimpin, artinya terlebih dahulu dipersiapkan daftar

18Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Pers, 2010 hal. 45

19Ibid, hal. 6

20Anshari Siregar, Tampil, Metode Penelitian Hukum, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2005 hal. 7

(26)

pertanyaan sebagai pedoman tetapi masih dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara dilakukan.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan kepustakaan, bukan dari responden langsung.21 Data sekunder terdiri dari:

1) Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas, bahan hukum primer ini

terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, 22 dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan antara lain:

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fudisia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

2) Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, jurnal hukum, kamus hukum, komentar-komentar dan putusan pegadilan , bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi:

(a) Buku-buku yang membahas tentang perjanjian jual beli kredit;

(b) Buku-buku yang membahas tentang pembiayaan;

(c) Buku-buku yang membahas tentang leasing, sistem kredit dan over kredit;

(d) Hasil wawancara tentang pelaksanaan over kredit mobil di PT. FIF Gorup.

21Ibid, hal. 74

22 Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005 hal. 141

(27)

4. Teknik Analisa Data

Data diperoleh baik dari studi lapangan maupun studi dokumen merupakan data yang dianalisis secara kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.23

Dalam melakukan penelitian ini, digunakan analisis data secara kualitatif.

Analisis data Kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.24

Metode penelitian ini menggunakan teknik analisis mendalam (in-depth analysis), yaitu mengkaji masalah secara kasus perkasus karena metodologi

kualitatif yakin sifat suatu masalah satu akan berbeda dengan sifat dari masalah lainnya. Tujuan dari metodologi ini bukan suatu generalisasi tetapi pemahaman secara mendalam terhadap suatu masalah.

H. Sistematika Penulisan

Bab I: PENDAHULUAN, yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka dan metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II: PENGATURAN TENTANG LEASING MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999. Bab ini berisikan Sejarah Leasing di

23 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2006 hal. 87

24 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982 hal. 93

(28)

Indonesia, Definisi Tentang Leasing, Bentuk- Bentuk Leasing yang Ada di Indonesia, Pengaturan Leasing di Indonesia dan Pengaturan Leasing Ditinjau Dari KUH Perdata.

Bab III: JUAL BELI MOBIL SECARA KREDIT MELALUI LEASING PADA PT. FIF GROUP. Bab ini berisikan Mekanisme Pelaksanaan Jual Beli Mobil Secara Kredit Melalui Leasing, Syarat- syarat Jual Beli Mobil Secara Kredit, Masalah yang Terjadi dalam Pelaksanaan Jual Beli Secara Kredit, Terjadinya Over Kredit dalam Jual Beli Mobil Secara Kredit Melalui Leasing dan Pandangan KUH Perdata Terhadap Over Kredit .

Bab IV: PERTANGGUNGJAWABAN LEASING TERHADAP KONSUMEN ATAS ADANYA OVER KREDIT PADA PT. FIF GROUP. Bab ini berisikan Prinsip Pertanggungjawaban Leasing Terhadap Konsumen, Mekanisme Pelaksanaan Over Kredit Pada PT. FIF Group, Bentuk Pertanggungjawaban Leasing Ditinjau dari Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fudisia Pada PT. FIF Group dan Pertanggungjawaban Over Kredit dalam Perspektif KUH Perdata.

Bab V: PENUTUP. Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang merupakan penutup dari penulisan skripsi ini. Dalam hal ini ditarik kesimpulan dari pembahasan- pembahasan sebelumnya dan dilengkapi dengan saran-saran.

(29)

NOMOR 42 TAHUN 1999 A. Sejarah Leasing di Indonesia

Sejarah perkembangan usaha leasing di Indonesia mulai timbul sejak tahun 1974, dengan adanya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Bahwa leasing merupakan suatu bentuk usaha di bidang pembiayaan yang relatif masih muda usianya.49

Lembaga pembiayaan merupakan salah satu sumber pembiayaan jangka waktu menengah dan panjang, termasuk leasing yang telah memperkenalkan metode baru untuk memperoleh dan mendapatkan barang modal, yaitu dengan jalan membayar angsuran tiap bulan atau tiap triwulan kepada perusahaan leasing , dengan demikian perusahaaan-perusahaan dapat menggunakan barang modal tanpa harus memilikinya. Bila perusahaan ingin membeli barang modal tersebut, maka hanya harga sisa yang telah disepakati bersama saja yang dilunasi, sedangkan harga barang modal yang digunakan perusahaan ditanggung oleh pihak leasing . Pihak perusahaan mempunyai hak opsi dimana dapat memilih apakah akan membeli atau memperpanjang pinjaman atau mengakhiri pinjaman leasing tersebut.

Sejarah leasing dimulai dari pantai Barat Laut Mediterania, sekitar 1400 SM, penduduk oleh bangsa Phoenician berkembang. Selain mengembangkan objek yang lebih baik yang mendahului orang Yunani, mereka terlibat dalam

49 Soekadi, Eddy P, Mekanisme Leasing, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986 hal. 15

(30)

leasing. Kapal-kapal carteran disewakan pada tuan-tuan tanah yang lebih terbaik dalam menjalankan usahanya sendiri dari pada memiliki kapal-kapal tersebut.

Sebuah tindakan yang akhirnya dipelajari pengusaha baru-baru ini.50

Di lembah Mesopotamia leasing digunakan untuk mengembangkan tanah terbengkalai. Leasing perumahan yang diukir di batu (serta beberapa saat ini) dan tahun 551 SM di Kerajaan Babilon melarang penyewaan kembali dan mewajibkan penyewa menanam pohon-pohon dan menjaga keteraturan rumah.

Bangsa Amerika menemukan teknik leasing -nya lewat perkembangan leasing persentasi Leasing, persentase yang pertama dicatat adalah dari sebuah tukang cukur di grand terminal building sekitar tahun 1905-1906. Leasing Persentasi berkembang dari depresi, sejak sewa disesuaikan dengan kondisi ekonomi yang berubah. Tuan tanah yang mempunyai rumah kosong melihat Leasing Persentase sebagai sebuah metode untuk mencari pekerja-pekerja baru.

Konsep ini menyebar sampai leasing mineral, dimana leasing diikat pada persentase hasilnya. Leasing jenis ini menyingkirkan risiko dalam spekulasi sumber mineral.51

Pada tahun 5000 SM leasing juga dilakukan oleh orang-orang Sumeria.

Dokumen-dokumen yang ditemukan dari kebudayaan Sumaria menunjukkan bahwa transaksi leasing meliputi leasing peralatan, pengunaan tanah dan binatang peliharaan.52 Dalam perkembangan berikutnya banyak yang sistem hukumnya mencantumkan leasing sebagai salah satu metode pembiayaan.

Perkembangan usaha industri pertanian, manufaktur dan transportasi membawa

50 Veithzal Rivai, Adria Permata Vaithzal, Ferryn. Idroes, Bank and Financial Institution Management, Jakarata:PT.Raja GrafindoPersada, 2007, hal. 203

51 Ibid.

52 Eddy P. Soekandi, Mekanisme Leasing, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal. 18

(31)

banyak jenis peralatan yang memungkinkan untuk dibiayai dengan cara leasing . Kegiataan leasing tertingal jauh popular dibanding bank, atau lembaga keuangan lainya. Transaksi leasing modern telah lama dipraktikkan di Inggris, namun baru pada tahun 1870-1880 kegiatannya dianggap modern.

Dalam periode itulah, kegiatan leasing berkembang dan berbeda dengan kegiatan lease tanah terdahulu. Dalam arti lessee dibebani kewajiban mengembangkan tanah tersebut dan menambah bangunan yang dianggap perlu dan dengan cara itu mempertinggi nilai objek leasing . Leasing modern ini juga membedakan diri dalam bentuknya kepada lessee jaminan bahwa ia akan membayar sewa dengan segera dan juga memenuhi janji membangun jika waktunya tiba.

Di Amerika Serikat pada sekitar tahun 1877 The Bell Telephone Company telah memberikan layanan penyewaan telepon kepada langgananya melalui pembayaran cicilan. Pada tahun 1952 Perusahaan leasing di San Fransisco mendatangi perusahaan penghasil barang untuk menawarkan jasa penjualan secara leasing. Persistiwa ini mendorong serta pangkal tolak atas kemunculan Perusahaan leasing di negara-negara lain seperti Inggris, Jerman dan Jepang.

Perkembangan leasing berikutnya terjadi pada tahun 60-an hingga awal 1970.

Pada tahun yang sama di Philadelphia juga dirintis transaksi leasing untuk gerbong kereta api yang dilakukan oleh Railoroat Compeni Trut dan diikuti oleh The Norh Central Wagon Company England.53

Perkembangan berikutnya sulit dimonitor, namun trasaksi leasing semakin berkembang terus dalam komoditinya, maupun jenis trasaksi leasing

53 Veithzal Rivai, Adria Permata Vaithzal, Ferryn. Idroes, Op.Cit., hal. 1204

(32)

yang bervariasi. Setelah Perang Dunia II leasing mengalami perkembagan yang pesat di Amerika Serikat, dengan ruang geraknya menjadi lebih luas. Semula, terbatas pada beberapa bidang usaha saja, meluas ke bidang-bidang yang lain seperti perhotelan, perindustrian pertanian, pengangkutan, kapal terbang, dan alat- alat kebutuhan rumah tangga. Pada tahun 1952, seorang usahawan terkenal Henry Schenfeld mendirikan sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang leasing di Amerika Serikat. Dengan modal awal ketika itu sebesar US$ 20.000, ia mengembangkan usahanya dan merupakan salah satu perusahaan leasing yang paling terkemuka di Amerika Serikat. Dalam perkembanganya kemudian, usaha leasing terus berkembang tidak saja di Amerika Serikat, tetapi juga di Eropa seperti Prancis, Jerman Barat, Norwegia, dan Belanda. Selain di Inggris serta beberapa negara Asia (Jepang, Taiwan, Hongkong) dan Australia. Negara-negara di Benua Asia cukup pesat terjadi perkembang bisnis leasing , antara lain Jepang, Hongkong, Korea Selatan Singapura serta Malaysia.54

Sementara itu, di Indonesia usaha leasing mulai diperkenalkan pertama kali pada tahun 1974, dan pada awal kemunculan leasing belum menunjukkan perkembangan yang berarti, disaat Indonesia sedang giat-giatnya membangun terutama di sektor pertanian. Kemunculan lembaga leasing ini merupakan suatu alternatif yang cukup menarik bagi pengusaha karena pada saat itu sulit didapatkan dana rupiah untuk jangka waktu menengah dan panjang, sedang melalaui leasing dapat memperoleh dana untuk membiayai pembelian barang modal dengan jangka pengembalian dengan pengembalian antara tiga hingga lima tahun atau bahkan lebih.

54 Ibid.

(33)

Disamping itu, para pengusaha juga memperoleh keuntungan dari adanya peraturan yang berlaku dimana untuk kepentingan pajak transaksi leasing diperhitungkan sebagai operating lease sehingga lease rental dianggap sebagai biaya yang bisa mengurangi pendapatan kena pajak.55

B. Definisi Tentang Leasing

Leasing adalah merupakan suatu “kata atau peristilahan” baru dari bahasa asing yang masuk kedalam bahasa Indonesia, yang sampai sekarang masih dipakai kata leasing dalam bahasa Indonesia karena tidak atau belum ada yang dirasa cocok untuk mengantikan istilah itu. Istilah leasing ini sangat menarik, oleh karena itu ia bertahan dalam nama tersebut tanpa diterjemahkan dalam bahasa setempat, baik di Amerika yang merupakan asal usul adanya lembaga leasing ini, maupun lembaga yang telah mengenal lembaga leasing ini.

Secara umum leasing artinya adalah equipment funding, yaitu pembiayaan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Mengenai definisi Leasing itu sendiri ada banyak pendapat. Menurut The Equipment Leasing Association di London memberika defenisi sebagai berikut:

“Leasing adalah perjanjian antara lessor dengan lesee untuk penyewan suatu jenis barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak pemilihan atas barang modal tersebut ada pada lesssor sedang lessee hanya mengunakan barang modal tersebut berdasarkan uang sewa yang telah ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu.” 56

Sedangkan Frank Tiara Supit memberikan pengertian Leasing sebagai berikut:

55 Ibid.

56 Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hal. 95

(34)

“Compeni financing in the providing capital goods with user masing periodical payments. User would have option to buy the capital goods or to prolong the leasing period on the basis of the remining value.” 57

Dapat diartikan bahwa leasing itu adalah pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyedian barang-barang modal dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barang-barang modal tersebut, dan dapat membeli atau memperpanjang jangka waktu berdasarkan nilai sisa. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, maka pada prinsipnya pengertian leasing itu adalah sama dan harus terdiri dari unsur-unsur pengertian sebagai berikut:

1. Pembiayaan perusahaan

2. Penyedian barang-barang modal 3. Jangka waktu tertentu

4. Pembayaran secara berkala 5. Adanya hak pilih (optie)

6. Adanya nilai sisa yang disepakati.

Dari segi pandangan hukum kegiatan leasing memiliki 4 ciri, yaitu:

a. Perjanajian pihak lessor dengan pihak lessee.

b. Berdasarkan perjanjian leasing, lessor mengalihkan hak pengunaan barang kepada pihak lessee.

c. Lessee membayar kepada pihak lessor uang sewa atas pengunaan barang atau asset.

d. Lessee mengembalikan barang atau asset tersebut kepada Lessor pada akhir periode yang ditetapkan lebih dahulu dan jangka waktunya kurang dari umur ekonomis barang tersebut.

57 Ibid, hal. 99

(35)

C. Bentuk- Bentuk Leasing Yang Ada di Indonesia

Secara umum jenis-jenis Leasing ini bisa dibedakan menjadi dua kelompok utama. Hal yang sangat penting yang perlu diperhatikan dari kedua jenis ini adalah mengenai hak kepemilikan secara hukum, cara pencatatan didalam akuntansi serta mengenai besarnya rental. Dua jenis tersebut adalah:

1. Finance Lease

Perusahaan pada jenis ini berlaku sebagai suatu lembaga keuangan. Lessee yang akan membutuhkan suatu barang modal menentukan sendiri jenis serta spesifikasi dari barang yang dibutuhkan. Lessee juga mengadakan negosiasi langsung dengan supplier mengenai harga, syarat-syarat perawatan serta lain-lain hal yang berhubungan dengan pengoperasian barang tersebut. Sedang lessor hanya berkepentingan mengenai pemilikan barang tersebut secara hukum.

Lessor akan mengeluarkan dananya untuk membayar barang tersebut kepada supplier dan kemudian barang tersebut diserahkan kepada lessee. Sebagai imbalan atas jasa pengunanaan barang tersebut lessee akan membayar secara berkala kepada lessor sejumlah uang yang berupa rental untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati bersama.

Jumlah rental ini secara keseluruhan akan meliputi harga barang yang dibayar oleh lessor ditambah faktor bunga serta keuntungan pihak lessor. Kini jelas pada finance lease ini lessor hanya merupakan pemilik barang secara hukum, sedang Lessee merupakan pihak yang menikmati keuntungan ekonomis atas barang tersebut.

Pada akhir masa lease, lessee mempunyai hak pilih untuk membeli barang tersebut seharga nilai sisanya, mengembalikan barang tersebut kepada lessor atau

(36)

juga mengadakan perjanjian leasing lagi untuk tahap yang kedua atas barang yang sama. Besarnya rental serta masa lease yang kedua ini jauh berbeda dengan yang terdapat pada perjanjian lease pada tahap pertama.

2. Operating Lease

Pada operting lease, lessor membeli barang dan kemudian menyewakan kepada lessee untuk jangka waktu tertentu. Dan dalam praktek lessee membayar rental yang besarnya secara kaseluruhan tidak meliputi harga barang serta biaya yang telah dikeluarkan oleh lessor.

Di dalam menentukan besarnya sewa, lessor tidak memperhitungkan biaya-biaya tersebut karena setelah masa lease berakhir diharapkan barang tersebut masih cukup tinggi. Disini secara jelas tidak ditentukan adanya nilai sisa serta hak opsi bagi lessee. Setelah masa lease berakhir lessor merundingkan kemungkinan dilakukan kontrak lessee yang baru. Dari adanya beberapa kontrak lessee ini lessor mengharapkan keuntunganya. Di samping hal tersebut, lessor juga mengaharapkan juga adanya keuntungan dari hasil penjualan barang tersebut setelah masa lease berakhir. Pada operating lease ini biasanya lessor bertanggung jawab mengenai perawatan barang tersebut. Barang-baramg yang sering digunakan dalam operating lease ini terutama barang-barang yang mempunyai nilai tinggi seperti alat-alat berat, traktor, mesin-mesin dan sebagainya.

Adapun jenis perjanjian sewa guna barang yakni berdasarkan atas status barang modal, maka perjanjian sewa guna usaha dapat dibedakan menjadi sewa guna usaha langsung (direct finance lease), penjualan dan penyewaan kembali (sales and leaseback). Direct finance lease adalah kesepakatan antara perusahaan sewa guna usaha yang menyewakan untuk membiayai barang yang membutuhkan

(37)

penyewa guna usaha. Dalam trasaksi ini, penyewa guna usaha terlebih dahulu memilih modal yang dibutuhkan termasuk merundingkan harga beli, jaminan purna jual dan kondisi-kondisi lain. Jadi dalam hal ini dapat dikatakan perusahaan leasing hanya membelikan barang modal atas nama penyewa guna usaha untuk selanjutnya disewaguna usahakan.

Sales and leaseback adalah kesempatan antara perusahaan guna usaha (yang menyewakan) untuk membiayai barang modal yang telah dibeli atau sebelumnya dimiliki oleh penyewa guna usaha. Transaksi ini banyak dilakukan untuk barang modal eks impor dimana seringkali kondisi perusahaan sewa guna usaha tidak memungkinkan mengimpor secara langsung, dalam hal ini penyewa guna usaha melakukan impor barang modal yang dibutuhkan dan setelah tiba harga beli dan biaya-biaya lain termasuk bea masuk dapat dibiayai oleh perusahaan sewa guna usaha. Transaksi sales and leaseback juga dapat dilakukan terhadap barang modal non impor dengan mekanisme usaha yang sama, bahkan bila dipandang layak, barang modal yang masih dan akan tetap digunakan penyewa guna usaha dapat juga disewagunausahakan. Transaksi yang terakhir ini seringkali dilakukan untuk tujuan kebutuhan modal kerja atau mengurangi jumlah investasi yang terlalu besar terhadap aktiva tetap.

D. Pengaturan Leasing di Indonesia

Leasing atau sewa guna usaha sebagai suatu jenis kegiatan, dapat dikatakan masih muda umurnya di Indonesia. Leasing di Indonesia secara formal dikenalkan pada tahun 1974, yakni dengan dikeluarkanya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor Kep 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/Sk/1974 dan

(38)

Nomor 30/Kpb/1/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing . Surat keputusan bersama Menteri-Menteri Perdagangan, Keuangan, dan Perindustriaan pada tahun 1974 mendefinisikan usaha leasing sebagai suatu kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan (penyewa) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan untuk membeli barang modal yang bersangkutan. Pembayaran imbalan jasa atas pengunaan barang modal tersebut dilakukan dengan mengunakan dana yang berasal dari pendapatan barang modal yang bersangkutan. 58

Setelah Pekdes 20/1988 tentang Paket Kebijakan Pasar Modal, jumlah perusahaan leasing dan transaksi leasing makin bertambah meningkat, jika dibandingkan dengan kredit perbankan, pembiayaan investasi melalui leasing lebih memberikan kemudahan-kemudahan karena pengusaha tidak perlu menyediakan collateral (agunan). Asset yang diperoleh melalui leasing merupakan jaminan bagi lessor mengingat status kepemilikan barang modal objek leasing berada pada lessor, sampai perjanjian.59

Pada tanggal 20 Desember 1988 (Pakdes 20,1988) ini diperkenalkan istilah lembaga pembiayaan yakni badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana dan modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat (leasing , ventura capital, factoring, credit card, dan consumer finance).

Ketentuan mengenai leasing dimana kegiatan leasing secara resmi diperbolehkan di Indonesia setelah keluar surat keputusan bersama menteri

58 Faried Wijaya, Lembaga-Lembaga Keuangan dan Bank Perkembangan , Teori, dan Kebijaknan, Yogyakarta: BFE, 1991 Edisi ke-2, hal.384

59 Frianto Pandia, Lembaga Keuangan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005) hal. 110

(39)

Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Nomor Kep.112/

MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/Sk/21/74 dan Nomor 30/Kpb/I/74 tanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing di Indonesia. Sejak saat itu khususnya tahun 1980 jumlah perusahaan guna usaha dari tahun ketahun untuk membiayai penyediaan barang-barang modal dunia usaha semakin meningkat.

Keputusan tersebut menjelaskan bahwa leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan (penyewa) tertentu dalam jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran berkala, disertai hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk memilih barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama. Ada lagi defenisi leasing menurut keputusan Menkeu No.

1169/KMK.10/1991 Tanggal 21 November 1991 tentang Kegiatan Sewa Usaha (Leasing).

Setelah keputusan Menkeu tersebut diimplementasikan, aktifitas Leasing berkembang dengan pesat di Indonesia. Hal ini terjadi karena kebutuhan masyarakat yang cukup besar akan barang-barang modal, umumnya masyarakat tidak memiliki dana yang cukup untuk membeli barang-barang modal sehingga keberadaan perusahaan leasing sangat membantu perkembangan usaha mereka.

Pengertian sewa guna usaha secara umum adalah perjanjian antara lessor (perusahaan leasing ) dengan lessee (nasabah) dimana pihak lessor menyediakan barang dengan hak pengguna oleh lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu. Pengertian lessor adalah perusahaan yang melakukan

(40)

kegiatan usaha leasing dengan menyediakan berbagai macam barang modal, sedangkan lessee adalah nasabah yang menginginkan barang modal tersebut.

E. Pengaturan Leasing Ditinjau Dari KUH Perdata

Saat ini leasing telah menjadi alternatif pembiayaan barang modal yang sangat dibutuhkan oleh pengusaha di Indonesia. Pada dasarnya leasing hampir sama dengan bank, yaitu sebagai sumber pembiayaan bagi kebutuhan akan barang-barang modal. Lembaga pembiayaan didefenisikan sebagai badan usaha yang melakukan kegiataan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan cara tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.

Kegiataan usaha lembaga pembiayaan antara lain meliputi bidang usaha sewa guna usaha, modal ventura, perdagangan surat berharga, anjak piutang, usaha kartu kredit, dan pembiayaan kartu kredit konsumen. Sedangkan lembaga keungan bukan bank (LKBB) adalah yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat berharga dan menyalurkan kepada masyarakat guna membiayai perusahaanperusahaan.

Kegiatan leasing dikhususkan untuk membiayai barang-baramg modal yang dibutuhkan oleh penyewa guna usaha baik berbentuk perusahaan (badan hukum) atau perorangan. Dengan demikian, berbeda dengan sektor perbankan dan LKBB, perusahaan leasing hanya diperkenankan membiayai barang-barang modal saja sehingga dapat dikatakan bahwa industri leasing merupakan mitra bagi sektor perbangkan dan LKBB. 60

Dibandingkan dengan sumber pembiayaan yang lain, salah satu ciri khas industri leasing adalah jangka waktu pembayaranya yaitu jangka menengah

60 Fared Wijaya M, Op.Cit, hal. 385

(41)

panjang karena pembiayaan barang modal tidak menguntungkan bagi penyewa guna usaha apabila harus dilunasi dalam waktu singkat. Namun jangka waktu pembiayaan merupakan salah satu kendala bagi perusahaan leasing karena dapat dikatakan sampai saat ini dari sumber-sumber dana dalam negeri kecuali penerbitan obligasi, belum dapat diperoleh dana jangka panjang. Sumber-sumber dana luar negeri sampai saat ini masih banyak diandalkan karena relatif berjangka waktu lebih panjang, perusahaan leasing harus melepas pembiayaan jangka panjang dengan dana jangka pendek yang diperolehnya.

Wewenang untuk memberikan usaha leasing dikeluarkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan Surat Keputusan Nomor 649/MK/IV/5/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing tanggal 6 Mei 1974 yang mengatur mengenai ketentuan tata cara perizinan dan kegiatan leasing di Indonesia.61

Dasar hukum perjanjian leasing di Indonesia ini antara lain:

1. Umum

a. Asas konkordansi hukum berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 atas Hukum Perdata yang berlaku bagi penduduk Eropa.

b. Pasal 1338 KUH Perdata asas kebebasan berkontrak serta asas-asas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum pada Bab I Buku III KUH Perdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk memilih isi perjanjian mereka sepanjang itu tidak bertentangan dengan Undang-undang, kepentingan/kebijakan umum (Public Policy) dan kesusilaan.

c. Pasal 1548 sampai 1580 KUH Perdata (Buku III Bab VII). Yang berisikan tentang ketentuan-ketentuan tentang sewa-menyewa sepanjang tidak adanya penyimpangan oleh para pihak. Pasal-pasal ini membahas hak dan kewajiban Lessor dan Lessee.

2. Khusus

a. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.

kep,-122/MK/IC/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974. No. 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing .

61 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan diatas, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan

Direksi salah satu organ PT yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Namun,

1) Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku untuk mediasi yang perkaranya diproses di Pengadilan. 2) Setiap hakim, mediator, dan para pihak wajib mengkuti prosedur medisi yang

Dampak meningkatnya perkara perceraian yang terjadi di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh dan dampak terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dikurangi ataupun

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dijelaskan bahwa benda (yang ada diwilayah Negara RI atau diluar Negara RI) yang dibebani dengan jaminan

pada Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan, pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 2)

Pendapat demikian juga sesuai dengan pertumbuhan hukum Anglo Amerika menurut sistem common law, di mana pemegang hipotek (mortgagee) dianggap memperoleh hak eigendom atas benda

76 Wawancara dengan Bapak Hasan Amin, tanggal 5 Agustus 2016 di kantor PT. Rahmat Jaya Transport.. Indofood di dalam proses penyelenggaraan pengangkutan dengan PT. Rahmat Jaya