• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Oleh: REGINA S. C. PARDEDE NIM: DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Oleh: REGINA S. C. PARDEDE NIM: DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI SEBELUM DAN SESUDAH

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1 TAHUN 2016 (STUDI DI PENGADILAN NEGERI GUNUNGSITOLI DAN

PENGADILAN NEGERI STABAT) SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas dan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Oleh:

NIM: 150200312 REGINA S. C. PARDEDE

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019

(2)
(3)
(4)

ABSTRAK Regina S. C. Pardede1

Tan Kamello**

Maria Kaban***

Manusia sebagai mahkluk sosial saling membutuhkan satu sama lain dan salah satu hubungan itu disebut dengan hubungan hukum yang di dalamnya tidak terlepas dari adanya konflik atau persengketaan. untuk menyelesaikan persengketaan tersebut maka dikenal suatu cara penyelesaian yang disebut dengan mediasi, dimana dalam penyelesaiannya dibutuhkan pihak ke tiga yang disebut sebagai mediator. Mediasi diatur di dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 yang mana merupakan penyempurnaan dari Peraturan mengenai mediasi sebelumnya yaitu Peraturan Mahkmah Agung No. 1 Tahun 2008 dan prosedur mediasi ini dipergunakan di pengadilan negeri, sehingga timbullah beberapa rumusan masalah yaitu bagaimana prosedur mediasi di Pengadilan Negeri berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016, bagaimana kedudukan mediator dalam penyelesaian sengketa perdata di pengadilan negeri berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2016, dan bagaimana efektivitas mediator dalam penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Pengadilan Negeri Stabat sebelum dan sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016.

Penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif empiris dimana penulis melakukan penelitian berdasarkan bahan-bahan pustaka untuk melihat kesesuaian diantara peraturan perundang-undangan yang ada dengan pelaksanaannya di Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Pengadilan Negeri Stabat sebagai lingkungan peradilan dimana berlakunya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016.

Dari hasil penelitian maka didapatlah hasil mengenai prosedur mediasi di Pengadilan Negeri berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016, bahwa dengan adanya perubahan dalam prosedur mediasi serta kedudukan mediator dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 dan setelah perubahan-perubahan tersebut diberlakukan di Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Pengadilan Negeri Stabat memberikan hasil bahwa efektivitas mediator lebih terwujud atau meningkat sesudah berlakunya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 dibandingkan dengan sebelum berlakunya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016.

Kata Kunci: Mediator, Pengadilan Negeri, Perma No. 1 Tahun 2016

1 Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

***Dosen Pembimbing II, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat hidayah dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini adalah sebagai suatu persyaratan untuk kelak memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Keperdataan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Oleh karena itu, guna memenuhi persyaratan tersebut, penulis menulis skripsi dengan judul “EFEKTIVITAS MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI SEBELUM DAN SESUDAH PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1 TAHUN 2016 (STUDI DI PENGADILAN NEGERI GUNUNGSITOLI DAN PENGADILAN NEGERI STABAT)”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak keterbatasan, untuk itu penulis akan menerima saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan berbagai pihak. Dalam penyelesaian skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universita Sumatera Utara telah menjadi memimpin Universitas Sumatera Utara menjadi salah satu Universitas terbaik di Indonesia.

(6)

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hukum Sumatera Utara atas semua dukungan yang besar terhadap seluruh mahasiswa/i demi kemajuan dan perkembangan pendidikan hukum di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Jelly Leviza SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

6. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M. Hum. Selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Syamsul Rizal. SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

8. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan tenaganya dalam membimbing saya hingga penulisan skripsi ini bisa selesai

9. Dr. Maria Kaban, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya, telah sabar, banyak menuntun dan mengarahkan penulis dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

10. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan membantu penulis selama masa perkuliahan

(7)

11. Terimakasih kepada Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Pengadilan Negeri Stabat yang telah memberikan kesempatan dan waktunya untuk memberikan informasi maupun data yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

12. Teristimewa kepada Papa Tersayang Ir. Henry Hasian Manguhal Pardede dan Mama tercinta Mery Donna Tiur Pasaribu, S.H., M.H., serta kedua adik saya Dwita Putri Yusticia Pardede dan Andreas Calvin Edbert Pardede dan opung tersayang Erika Siregar yang selalu mendoakan dan memberikan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

13. Terimakasih kepada sahabat-sahabat terbaikku Vaish Navi, Olivia Christi, Astri Veronica, Arti Clara, Great Faith, Yohana Sarah, Bintang Elvina yang selalu memberikan semangat baik motivasi dan doa kepada penulis.

14. Terimakasih kepada Gabriella Sinambela, Yefta Christopher, Yosua Nainggolan, Chontyara Pasaribu, Fera Lumbanraja, Sun Manurung, Paulus Aritonang, serta teman-teman terdekat lainnya yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

15. Terimakasih kepada teman-teman seperjuanganku Yan Reinold Sihite, Theresya Sihombing, Indriwati Titania, Shela Violetta, Veby Claudya, Rina Sitorus, Agustina Pasaribu, Theddy serta teman senagkatan yang tidak dapat disebutkan satu-satu oleh penulis yang sudah saling membantu dengan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

karenanya, penulis dengan kerendahan hati mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi perbaikan menuju yang lebih baik dan

(8)

bermanfaat bagi kita semua, terutama para mahasiswa/i dan kalangan praktisi dibidang hukum.

Medan, Februari 2019 Penulis,

Regina S. C. Pardede 150200312

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Jenis Penelitian ... 8

F. Sistematika Penelitian ... 9

G. Keaslian Penulisan ... 10

BABII PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI SEBELUM DAN SESUDAH PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1 TAHUN 2016 ... 12

A. Pengertian Mediasi ... 12

B. Manfaat Mediasi Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa di Pengadilan ... 16

C. Mediasi dalam Pengadilan Negeri ... 23

D. Prosedur Mediasi di Pengadilan Sebelum dan Sesudah Perma No. 1 Tahun 2016 ... 26

BAB III KEDUDUKAN MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN SESUDAH DAN SEBELUM PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1 TAHUN 2016 ... 41

A.Peran dan Fungsi Mediator ... 41

(10)

B. Kedudukan Mediator Sebelum dan Sesudah Peraturan Mahkamah

Agung No. 1 Tahun 2016 ... 49

C. Kekuatan Mengikat Hasil Putusan Perdamaian Para Pihak yang Ditengahi oleh Mediator Mempunyai Kekuatan Eksekutorial ... 53

BAB IV EFEKTIVITAS MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI GUNUNGSITOLI DAN PENGADILAN NEGERI STABAT SEBELUM DAN SESUDAH PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1 TAHUN 2016 ... 59

A. Praktek Prosedur Mediasi oleh Mediator Sebelum dan Sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 di Pengadilan Negeri Gunungsitoli ... 59

B. Prinsip dan Kendala Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Gunungsitoli ... 65

C. Praktek Prosedur Mediasi oleh Mediator Sebelum dan Sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 di Pengadilan Negeri Stabat ... 66

D. Prinsip dan Kendala Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Stabat ... 70

E. Efektivitas Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Pengadilan Negeri Stabat Sebelum dan Sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 ... 72

BAB V KESIMPULAN ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 82 LAMPIRAN

(11)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Manusia adalah mahluk yang memerlukan pemenuhan kebutuhan sehari- hari untuk dapat bertahan hidup. Adapun kebutuhan manusia antara lain adalah kebutuhan primer yaitu kebutuhan yang terutama seperti makanan, pakaian, dan rumah untuk berlindung; kebutuhan sekunder sebagai kebutuhan kedua yaitu kebutuhan untuk bersosialisasi antara sesama manusia, baik untuk sekedar berinteraksi, berbudaya, dan lainnya; serta kebutuhan tersier yaitu kebutuhan yang menjadi pelengkap atau pemuas bagi manusia.

Kebutuhan hidup ini pun akan semakin bertambah kompleks seiring dengan perkembangan peradaban. Kebutuhan hidup ini dapat terpenuhi apabila manusia dapat saling mengadakan hubungan atau interaksi antara satu dengan lainnya.Hubungan atau interaksi ini akan menimbulkan adanya hak dan kewajiban diantara satu sama lain yang harus terpenuhi oleh masing- masing pihak.

Hubungan yang menimbulkan hak dan kewajiban maka disebut sebagai hubungan hukum, dan hubungan hukum adalah hubungan yang terikat dengan hukum yang ada dan berlaku atau juga disebut sebagai hukum positif.

Dalam keseharian pelaksanaan hukum ini sering kali terjadi pergesekan antara orang-orang yang memiliki hubungan hukum tersebut yang mana pergesekan ini yang disebut dengan konflik.

(12)

Dalam konsep pengelolaan konflik, perhatian kita sudah barang tentu tertuju pada pencegahan terjadinya tindak kekerasan dalam setiap konflik.

Pada dasarnya fungsi dari tiap sistem politik dan sistem hukum adalah untuk mengelola konflik-konflik agar tidak berkembang menjadi tindak kekerasan.2

Sistem hukum di Indonesia pada dasarnya telah menyediakan berbagai proses dan kelembagaan penyelesaian sengketa,baik pada tataran negara maupun masyarakat.

Di Indonesia sendiri masih sering sekali ditemukan konflik- konflik yang masih melibatkan kekerasan, maka keadaan ini membuktikan, bahwa sistem politik dan sistem hukum Indonesia belum sepenuhnya mampu menjalankan fungsinya dalam pengelolaan konflik.

3Namun, Berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan dapat menguasai emosi para pihak yang bersengketa melalui pertentangan tertentu yang kadang-kadang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Oleh karena itu akan paling efektif kalau dapat diselesaikan dengan putusan yang final dan mengikat melalui alternatif penyelesaian sengketa perdata. Pranata Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata, pada dasarnya merupakan bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang didasarkan kepada kesepakatan para pihak yang bersengketa.4

2Thomass R. Dye, Understanding Public Policy, (Englewood Cliffs: Prentice Hall Inc, 1978), hlm. 23-24.

3Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2011), hlm. 7.

4Gunawan Wijaya, Alternatif Penyelesaian Senngketa, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 1.

Alternatif penyelesaian sengketa Perdata merupakan pemenuhan terwujudnya isi dari undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pada pasal 2 angka 4 yang berbunyi:

(13)

“peradilan dilakukan melalui dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”

Dimana dalam alternatif penyelesaian sengketa perdata maka tidak perlu mengikuti prosedur pengadilan yang lama dan biasanya menghasilkan keputusan menang kalah, sedangkan dalam alternatif penyelesaian sengketa, lebih sering diambil keputusan menang-menang atau win- win solution sehingga pihak-pihak yang bersengketa dapat mengambil kesepakatan bersama agar tidak ada pihak yang merasa kalah atau dirugikan oleh keputusan tersebut.

Adapun bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa perdata antara lain:

1. Negosiasi

Suatu cara dimana individu berkomunikasi satu sama lain mengatur hubungan mereka dalam bisnis dan kehidupan sehari-harinya.

Didefinisikan sebagai proses yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kita ketika ada pihak lain yang menguasai apa yang kita inginkan.5

2. Mediasi

Suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yang mengatur pertemuan antara 2 pihak – atau lebih – yang bersengketa) utnuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, akan tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela.6

5H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Fikahati Aneska bekerja sama dengan BANI, 2002), hlm. 21.

6Ibid, hlm. 34.

(14)

3. Konsiliasi

Usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama7

4. Arbitrase

Suatu bentuk tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat.8 Pada kesempatan ini, penulis akan membahas secara khusus mengenai mediasi, dimana mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus9

Selain itu seorang mediator menjadi kunci utama dalam terlaksananya perdamaian sehingga seorang mediator haus menjalankan berbagai fungsinya seperti sebagai pendidik yang memahami kehendak para pihak, sebagai

. Dalam lingkup pengadilan maka mediasi merupakan upaya tingkat pertama dalam proses penyelesaian sengketa perdata di pengadilan sebagaimana diperintahkan oleh perma nomor 2 tahun 2003 dan juga diatur dalam perma nomor 1 tahun 2008 yang menyatakan:

“Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini” dalam pengadilan, pihak netral yang dimaksud adalah mediator, dimana netral sendiri mengandung arti tidak berpihak pada pihak manapun, melainkan mediator membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk menemukan titik terang untuk melakukan perdamaian.”

7Wikipedia, Penyelesaian Konflik, http://id.m.wikipedia.org/wiki/penyelesaian_konflik diakses pada 14 februari 2019, pukul 23.59)

8H. Priyatna Abdurrasyid, Op. Cit, hlm. 54.

9Takdir Rahmadi, Op. Cit, hlm. 12.

(15)

penerjemah dalam menyampaikan usulan para pihak, sebagai narasumber utnuk memanfaatkan sumber informasi yang telah digali, dan juga sebagai katalisator.

“fungsi sebagai “katalisator” diperlihatkan dengan kemampuan mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi dialog atau komunikasi di antara para pihak” sehingga tiap-tiap pihak mau memberi diri untuk benar-benar mewujudkan suatu perdamaian melalui mediasi tersebut.

Melihat dari pentingnya peran seorang mediator maka pemerintah mengeluarkan suatu peraturan mengenai prosedur mediasi yang pertama sekali diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 kemudian diperbaharui dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008, dan yang berlaku hingga saat ini yaitu Peraturan Mahkamah Agung No.. 1 Tahun 2016.

Adapun perubahan tersebut tentunya untuk menjadi pedoman untuk mediator sebagai penegak hukumnya dan juga untuk masyarakat.

Penegak hukum dalam prosedur mediasi adalah mediator dan salah satu mediator yang umum adalah hakim pada pengadilan negeri. Dalam bertugas seorang mediator harus berkerja sesuai prosedur yang telah ada. Karena adanya perubahan pada prosedur mediasi melalui Peraturan Mahkamah Agung yang dikeluarkan pemerintqah, maka tentunya mempengaruhi kinerja mediator, untuk itu perlu diteliti apakah perubahan prosedur mediasi dapat mempengaruhi keefektivitasan mediator.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis menulis skripsi dengan judul:z

“Efektivitas Mediator dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Sebelum dan Sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1

(16)

Tahun 2016 (Studi di Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Pengadilan Negeri Stabat)”

B. Rumusan Masalah

Terkait latar belakang yang telah penulis tulis di atas, maka berdasarkan pengamatan di lapangan, penelaahan undang-undang, serta beberapa literatur yang telah penulis baca, maka permasalahan-permasalahan yang hendak dikemukakan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana prosedur mediasi di Pengadilan Sebelum dan Sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016?

2. Bagaimana kedudukan mediator dalam penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Sebelum dan Sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016?

3. Bagaimana efektivitas mediator dalam penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Pengadilan Negeri Stabat sebelum dan sesudah Peraturan Mahkmah Agung No.1 Tahun 2016?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah penulis jabarkan di atas, maka adapun tujuan daripada penulisan skripsi adalah:

1. Untuk mengetahui prosedur mediasi di Pengadilan Sebelum dan Sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016.

2. Untuk mengetahui kedudukan mediator dalam penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Sebelum dan Sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016.

(17)

3. Untuk mengetahui efektivitas mediator dalam penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Pengadilan Negeri Stabat sebelum dan sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Penulisan skripsi ini sangat diharapkan menambah pengetahuan baik di bidang literatur maupun secara spesifik terhadap pengetahuan masyarakat yang membaca mengenai mediasi sebagai salahsatu penyelesaian sengketa perdata di lingkungan pengadilan Negeri, dan secara khusus membantu masyarakat melihat efektifitas mediator dalam penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Pengadilan Negeri Stabat.

Bahan penelitian yang didapat serta hasil penulisan skripsi ini juga diharapkan menimbulkan penggalian yang lebih lagi oleh mahasiswa untuk membandingkan teori-teori yang telah dipelajari selama masa perkuliahan dengan kenyataan yang didapati pada prakteknya di dunia keperdataan.

2. Manfaat Praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat untuk rekan sesama mahasiswa hukum, masyarakat serta para praktisi hukum terutama advokat dan hakim yang berperan sebagai mediator sebagaimana dimaksud oleh Peraturan yang telah ada, untuk menjadi bahan rujukan dalam menyelesaikan persengketaan perdata melalui mediasi.

(18)

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif artinya penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang topik dari tulisan yang penulis angkat dan melihat kesesuaiannya dengan lapangan tempat berlakunya peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam tulisan ini maka peraturan perundang-undangan yang dipakai adalah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan lapangannya adalah Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Pengadilan Negeri Stabat dimana penulis melakukan wawancara dengan mediator hakim di Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Pengadilan Negeri Stabat.

2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, penulis melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Pengadilan Stabat, sebagai instansi yang wajib mematuhi peraturan perundang-undangan terkait dengan topik yang dikaji oleh penulis dalam skripsi ini. Lokasi yang penulis pilih karena tempat tersebut memenuhi karakteristik penulis untuk mendapatkan gambaran mengenai masalah yang penulis bahas dalam skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam melengkapi skripsi ini menggunakan dua metode, yaitu:

(19)

a. Studi Lapangan

Dengan melakukan wawancara dan mengambil data ke lapangan mengenai efektivitas dari peraturan yang dibahas dalam skripsi ini untuk mengetahui penerapan peraturan tersebut di lapangan.

Wawancara dilakukan dengan hakim mediator yang pernah melakukan mediasi utnuk sengketa perdata di Pengadilan Negeri Gunungsitoli yaitu ibu Donna Pasaribu dan di Pengadilan Negeri Stabat yaitu bapak R. Aji Suryo.

b. Studi Kepustakaan

Dengan mempelajari dan meneliti dan mengambil data berupa teori dan pendapat penulis dari berbagai sumber bacaan yang berkaitan dengan topik yang diangkat dalam skripsi ini. Seperti : buku-buku hukum, makalah hukum, majalah hukum, peraturan perundang- undangan, pendapat ahli yang terkemuka di dunia hukum dan bahan lainnya.

F. Keaslian Penulisan

Penulis membuat tulisan ini berdasarkan pemahaman yang penulis dapat dari buku-buku yang penulis telah baca serta berdasarkan beberapa sumber dari internet yang berhubungan dengan judul skripsi penulis. Mengenai judul skripsi juga telah dilakukan uji bersih di Perpustakan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan dinyatakan tidak ada judul skripsi yang sama, sehingga penulis meyakini bahwa tulisan ini murni karya asli penulis.

(20)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini ditujukan untuk mempermudah penjabaran penulisan serta memberikan gambaran yang lebih jelas. Untuk itu, penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II: PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN SEBELUM DAN SESUDAH PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1 TAHUN 2016

Bab ini membahas pengertian mediasi, manfaat mediasi sebagai sarana penyelesaian sengketa perdata. Mediasi dalam pengadilan negeri, dan prosedur mediasi di pengadilan sebelum dan sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016.

BAB III: KEDUDUKAN MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA PERDATA DI PENGADILAN SEBELUM DAN SESUDAH PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1 TAHUN 2016

Bab ini membahas mengenai peran dan fungsi mediator, kedudukan mediator sebelum dan sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016, dan kekuatan mengikat hasil putusan para pihak yang ditengahi oleh mediator.

(21)

BAB IV: EFEKTIVITAS MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA DI PENGADILAN NEGERI GUNUNGSITOLI DAN PENGADILAN NEGERI STABAT SEBELUM DAN SESUDAH PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1 TAHUN 2016

Bab ini membahas praktek prosedur mediasi oleh mediator sebelum dan sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 di Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan di Pengadilan Negeri Stabat, prinsip dan kendala mediator dalam penyelesaian sengketa perdata di Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan di Pengadilan Negeri Stabat, dan efektivitas mediator dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Pengadilan Negeri Stabat sebelum dan sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016.

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas pembahasan dan penjabaran pada bab-bab sebelumnya sebagai hasil analisis penulisan atas permasalahan dalam skripsi ini.

(22)

BAB II

PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI SEBELUM DAN SESUDAH PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1 TAHUN 2016

A. Pengertian Mediasi

Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari kosakata inggris, yaitu mediation yang merupakan suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus.10

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi memberikan arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Pengertian tersebut mengandung tiga unsur penting, yaitu:11

Dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasipada bagian Ketentuan Umum Pasal 1 butir 1, dikatakan bahwa:

1. Mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antar dua pihak atau lebih.

2. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak bersengketa.

3. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan

10Ibid, hlm. 12.

11Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, & Hukum Nasional, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 3.

(23)

“Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dibantu oleh mediator.”

Mediasi juga dapat diartikan sebagai suatu cara penyelesaian sengketa yang atas kesepakatan para pihak yang bersengketa melibatkan pihak ketiga yang netral sebagai mediator dalam rangka mempercepat tercapainya perdamaian.12

1. Gary H. Barnes

Kemudian para ahli juga mengemukakan beberapa definisi mediasi menurut pandangan mereka masing-masing, antara lain:

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak netral, dimana pihak netral melibatkan diri untuk membantu para pihak untuk mengidentifikasikan masalah-masalah yang dipersengketakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut.13

2. Gary Goodpaster

Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah antara pihak yang bersengketa dimana ada pihakk netral yang membantu para pihak untuk memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Pihak netral disebut sebagai mediator, dimana mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa, namun mengusahakan untuk membantu menyelesaikan persoalan para pihak.14

3. J. Folberg dan A. Taylor

“...the processby which the participants, together with the assistance of a neutral persons, systematically isolate dispute in order to develop

12Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan di Indonesia, (Bandung: CV Mandar Maju, 2010), hlm. 42.

13Rachmadi Usmn, Pilihan Penyelesaian Ssengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 hlm. 240.

14Ibid, hlm. 241.

(24)

options, consider alternative, and reach concensual settlement that will accomodate their needs.”15

4. H. Priyatna Abdurrasyid

Mediasi merupakan suatu proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yang mengatur pertemuan antara 2 pihak – atau lebih – yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, akan tetapi tetap efektif dan diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela.16

Dalam penerapannya, terdapat beberapa variasi mediasi, yaitu:

Dari pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia dan beberapa pengertian oleh para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mediasi adalah suatu proses penyelesaian konflik atau sengketa dimana para pihak yang berkonflik atau bersengketa tersebut menyelesaikan persengketaan mereka tersebut dengan adanya bantuan pihak ketiga yaitu seorang mediator yang mana mediator tersebut tidak memiliki wewenang untuk memutuskan melainkan hanya mengarahkan para pihak yang bersengketa untuk mencapai suatu kesepakatan berdasarkan keinginan kedua belah pihak.

17

1. Mediasi sukarela dan mediasi wajib

Penggunaan mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa yang didasarkan pada pilihan sukarela para pihak. Pilihan sukarela atas dasar kesepakatan mereka memang menginginkan penyelesaian dengan cara mediasi. Dengan kata lain, pilihan para pihak untuk menempuh mediasi tidak berdasarkan perintah atau kewajiban undang-undang. Akan tetapi, pada penggunaan mediasi diwajibkan atas dasar perintah ketentuan undang-undang. Akantetapi, perlu diingat bahwa pengertian mediasi wajib

15J. Folberg dan A. Taylor, Mediation : A Comprehensive Guide to Resolving Conflict Without Litigation dalam buku Syahrizal Abbas, Op. Cit. Hlm. 4

16 H. Priyatna Abdurrasyid, Op. Cit, hlm. 34.

17Takdir Rahmadi, Op. Cit, hlm. 32.

(25)

hanya untuk menempuhnya bukan wajib menghasilkan kesepakatan. Para pihak tidak boleh diwajibkan atau dipaksa untuk menghasilkan kesepakatan karena hal itu bertentangan dengan prinsip dasar mediasi, yaitu otonomi para pihak.

2. Mediator yang dipilih atau mediator yang ditunjuk

Pada dasarnya seorang mediator merupakan hasil pilihan dari para pihak sesuai dengan prinsip otonomi para pihak karena salah satu prasyarat agar mediator dapat menjalankan perannya dengan baik sehingga kehadirannya dalam proses mediasi memang diterima dan disetujui oleh para pihak. Penggunaan mediator yang dipilih sangat lazim dalam konteks mediasi sukarela. Akan tetapi penggunaan mediator telah berkembang dari yang semula bersifat sukarela dan kemudian ada yang bersifat diwajibbkan berdasarkan perintah norma hukum, maka dikenal pula mediator yang ditunjuk. Di Indonesia mediator yang ditunjuk dapat ditemukan dalam konteks pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008.

Dalam peraturan ini, ketua majelis hakim diberi wewenang untuk menunjuk mediator.

3. Mediator bukan profesional atau mediator profesional

Profesional di sini adalah merujuk pada seseorang yang memiliki keahlian tertentu, menggunakan keahliannya itu sebagai pekerjaannya, dengan meminta upah atau honor dari orang lain yang memanfaatkan keahliannya. Mediator profesional menjalankan fungsi mediator untuk kepentingan para pihak yang bersengketa. Mediator bukan profesional menjalankan fungsi mediator dengan tidak menerima upah atau honor dari para pihak yang bersengketa.

4. Mediasi evaluatif dan mediasi fasilitatif

Model evaluatif juga disebut dengan model yang terpusat pada opini hakim, hakim pemeriksa yang bertindak sebagai mediator berperan sangat aktif dalam mencari dan mengusulkan penyelesaian-penyelesaian kepadapara pihak sedangkan para pihak bersifat pasiif. Para pihak dalam model ini tetap memiliki hak uuntuk menerima atau menolak usulan- usulan penyelesaian oleh hakim. Sedangkan fasilitatif disebut juga dengan model yang terpusat pada negosiasi dimana peran hakim sebagai pihak ketiga adalah mendorong dialog antara para pihak agar pembicaraan dua arah dapat tetap berlangsung. Dalam model ini para pihak yang berperan aktif mencari dan membahas usulan-usulan penyelesaian, sedangkan hakim bertindak sebagai fasilitator saja.

Kedua model ini kemudian melahirkan model gabungan dimana proses dialog para pihak dibangun untuk mencari usulan-usulan penyelesaian dan membahas usulan-usulan itu, tetapi hakim sebagai mediator juga dpat memberikan penilaian atau pendapat atas usulan-usulan penyelesaian agar penyelesaian yang dicapai tidak menyimpang dari hukum.

(26)

B. Manfaat Mediasi Sebagai Sarana Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan

Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengoordinasikan aktivitas para pihak yang bersengketa sehingga lebih efektif dalam proses tawar-menawar.

Mediasi dibutuhkan karena sarana ini memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mencapai kesepakatan melalui penyelesaian yang tidak banyak mengeluarkan biaya, waktu, tenaga dan pikiran. Mediasi juga memberikan solusi yang cepat dan memuaskan tanpa ada tambahan biaya, atau dana, waktu dan tenaga, juga tidak berdampak pada para pihak pada waktu proses mediasi dilaksanakan. Sifat proses mediasi tertutup untuk umum, hanya dihadiri oleh para pihak memberikan keyakinan bahwa kasus yang dihadapitidak akan berpengaruh kepada reputasi para pihak di masa mendatang.18

Manfaat yang juga dapat dirasakan yaitu karena dalam mediasi sangat diutamakan negosisasi dimana kedua belah pihak yang bersengketa dapat berdiskusi untuk mencapai kesepakatan seberapa besar kerugian yang dialami dan harus diganti oleh para pihak dan dapat menerima bantuan dari mediator agar tetap fokus kepada apa yang diinginkan kedua belah pihak untuk menjadi solusi karena sering kali dalam proses negosiasi para pihak menyampaikan keinginan masing-masing secara emosional.

Adanya komunikasi dua arah dalam mediasi juga mengefektifkan suatu penyelesaian sengketa perdata, dimana komunikasi yang efektif adalah

18H. Achmad Romsan, Alternative Dispute Resolution: Teknik Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan: Negosiasi dan Mediasi, (Malang: Setara Press,2016), hlm. 43.

(27)

komunikasi yang memiliki proses dan tanggung jawab dua arah yang dilanjutkan dengan mengirim dan menerima pesan.19

Kelebihan lainnya dari sistem perdamaian melalui mediasi yaitu dapat menghasilkan penyelesaian atau putusan lahiriah dan batiniah, karena penyelesaian tersebut dapat memenuhi kepuasan substansi (materi) maupun kepuasan psikologis kedua pihak yang bersengketa.20

Berdasrkan dari hal- hal di atas dapat dilihat bahwa medaisi dapat bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa baik dalam mendapatkan solusi, kemudahan dalam biaya, waktu dan tenaga, serta menjaga reputasi pihak yang bersengketa.

Pengaturan dan penggunaan mediasi dalam manfaatnya sarana penyelesaian sengketa dapat dilakukan dalam beberapa konteks persengketaan berikut:

1. Mediasi untuk penyelesaian sengketa lingkungan dan sumber daya alam Dalam undang-undang No. 23 tahun 1997 tidak ditemukan istilah mediasi, tetapi secara konseptual pakatan tentang mediasi dapat ditemukan dalam rumusan pasal 31 yang berbunyi:

“Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenal bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup”

Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang

19Ibid, hlm. 52.

20I Made Sukadana, Mediasi Peradilan: Mediasi Dalam Sistem Peradilan Perdata Indonesia dalam Rangka Mewujudkan Proses Peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), hlm. 165.

(28)

memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu penyelesaian sengketa lingkungan hidup.

Kemudian baru keluar istilah mediator di dalam undang-undang N0. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (LN tahun 2009 No. 140)yaitu pada pasal 85 ayat (3) menyatakan bahwa:

“Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup”.

Mediasi yang dimaksud dalam undang-undang no. 23 tahun 1997 hanya digunakan untuk menyelesaikan dua hal, yaitu masalah ganti rugi dan perncegahan terulangnya dampak negatif dari kegiatan usaha. Jadi secara normatif, penggunaan mediasi untuk kasus-kasus lingkungan di indonesia sangat dipersempit. Politik hukum seperti ini membuat potensi- potensi yang dimiliki oleh mediasi tidak dapat didayagunakan secara optimal.

2. Mediasi untuk penyelesaian sengketa produsen dan konsumen

Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (LN Tahun 1999 No. 22) menggatur penggunaan mediasi sebagaai salah satu di antara beberapa cara penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Tercermin dalam pasal 47 yang mengatakan:

“Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali kerugian yang diderita konsumen” fungsi mediasi dijalankan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)”.

(29)

3. Mediasi untuk penyelesaian sengketa hak-hak asasi manusia

Pendekatan mufakat dan mediasi khususnya sebagai cara penyelesaian sengketa pelanggaran hak asasi manusia dapat dilihat dalam dua pasal, yaitu Pasal 76 dan Pasal 89 ayat (4) a Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (LN Tahun 1999 No. 165) yang mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Pada Pasal 89 berbunyi:

“untuk melaksanakan fungsi komnas HAM dalam mediasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 76, komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan:

a. Perdamaian kedua belah pihak;

b. Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, meediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli;...”

4. Mediasi untuk penyelesaian sengketa hubungan industrial

Diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial (LN Tahun 2004 No. 6) dalam Pasal 1 butir 11 yang berbunyi:

“penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral”.

5. Mediasi untuk sengketa bisnis

Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (LN Tahun 1999 No. 138) yang terdapat pada Pasal 6 ayat (3) yang, antara lain, mengatakan :

”Dalam hal beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih ahli maupun seorang mediator”.

Dengan demikian, penggunaan mediasi bersifat sukarela.

(30)

6. Mediasi untuk sengketa perbankan

Penggunaan mediasi untuk penyelesaian sengketa perbankan tidak didasarkan pada kebijakan Bank Indonesia seperti dituangkan dalam peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006. Penggunaan dalam konteks sengketa perbankan untuk kasus-kasus sengketa seperti dinyatakan dalam Peraturan Bank Indonesia yang bersifat sukarela.

7. Mediasi untuk penyelesaian sengketa klaim asuransi

Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), dan Asosiasi Asuransi Jiwa Sosial Indonesia (AAJSI) melakkan kesepakatan menggunakan mediasi sebagai upaya pertama penyelesaian sengketa klaim asuransi juga tidak didasarkan pada ketentuan undang-undang, tetapi didasarkan pada kebijakan asosiasi- asosiasi asuransi di Indonesia. Penggunaan mediasi dalam sengketa klaim asuransi bersifat sukarela atau kesepakatan para pihak.

8. Mediasi untuk penyelesaian sengketa pertanahan

Dalam ketentuan Pasal 23 Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 memperlihatkan kebijakan pemerintah untuk menggunakan mediasi sebagai salah satu cara untuk penyelesaian sengketa pertanahan. Didukung dengan Petunjuk Teknis yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional No. 05/Juknis/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi.

9. Mediasi penyelesaian sengketa perdata di peradilan umum dan peradilan Agama

PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi telah mewajibkan pihak penggugat dan tergugat dalam perkara perdata untuk terlebih dahulu

(31)

menempuh proses mediasi sebelum pokok perkara diputus oleh hakim di pengadilan tingkat pertama. Penggunaan mediasi untuk penyelesaian sengketa yang telah diajukan ke pengadilan negeri bersifat wajib (mandatory). Kebijakan Mahkamah Agung mewajibkan proses mediasi sebelum perkara diputus setidaknya didasarkan pada dua alasan sebagai konsiderans yaitu:

1) Mahkamah Agung telah menghadapi masalah penumpukan perkara yang berkelanjutan. Keadaan ini telah menyedot sumber daya dan menyebabkan cita-cita mewujudkan peradilan yang cepat dan murah tidak dapat diwujudkan.dengan memberlakukan mediasi diharapkan permasalahan penumpukan perkara dapat dicegah karena dengan tercapainya kesepakatan perdamaian.

2) Pengintegrasian mediasi ke dalam proses peradilan dapat memberikan akses yang luas kepada masyarakat untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan adil menurut para pihak sendiri.

10. Mediasi adat dan masyarakat

Dalam hukum adat tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal cara penyelesaian perkara pidana dan perkara perdata karena dalam hukum adat, kasus-kasus yang menurut hukum negara dikategorikan hukum pidana dapat saja diselesaikan secara musyawarah mufakat atau melalui upaya perdamaian,dalam lingkup masyarakat adat, para fungsionaris adat memainkan fungsi sebagai penengah dalam penyelesaian sengketa antara para anggota masyarakat adat, dimana merekalah yang kemudian memainkan fungsi mediator.

(32)

11. Mediasi sengketa akibat pemberitaan pers

Mediasi yang diperankan oleh dewan pers di luar proses pengadilan dan bersifat sukarela atau pilihan para pihak. Dewan pers dapat menjalankan fungsi mediasi jika pers pemberita dan pihak yang dibeirtakan meminta atau menyetujui Dewan Pers menjalankan fungsi mediasi tersebut. Dapat dilihat dalam Peraturan Dewan Pers No. 1/Peraturan-DP/I/2008 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers yaitu pada Pasal 7 ayat (1) yang mengatakan:

“Dewan Pers mengupayakan penyelesaian melalui musyawarah untuk mufakat yang dituangkan dalam pernyataan perdamaian”

12. Mediasi penyelesaian sengketa informasi publik

Diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (LN Tahun 2008 No. 61) dimana mediasi penggunaanya bersifat pilihan dan sukarela. Proses mediasi berlangsung paling lambat dalam waktu 100 (seratus) hari kerja.

Dari sekian banyak manfaat mediasi di dalam berbagai bidang, hal yang paling dapat dikhususkan yaitu mediasi sangat mengupayakan perdamaian, dimana dalam praktik peradilan sendiri, perdamaian merupakan tujuan utama dalam penyelesaian sengketa. Maka bisa dikatakan bahwa mediasi memiliki manfaat yang sangat banyak dalam menyelesaiakan sengketa perdata.

Perdamaian menjadi penting dimana dalam Pasal 1851 KUHPerdata menentukan bahwa:

“Perdamaian adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan , menjanjikan atau menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan ataupun mencegah

(33)

timbulnya suatu perkara. Persetujuaan ini hanya mempunyai kekuatan hukum, bila dibuat secara tertulis”

Dalam Pasal 1855 KUHPerdata mementukan:

“Setiap perdamaian hanya mengakhiri perselisihan-perselisihan yang termaktub di dalamnya, entah para pihak memuruskan maksud mereka secara khusus atau umum, entah maksud itu dapat disimpulkan sebagai mutlak dari apa yang tertulis itu”

Dari ketentuan mengenai perdamaian yang diatur dalam KUHPerdata di atas, didapati kesamaan asa yaitu asas perdamaian, keadilan, kepastian, sederhana, cepat, biaya ringan, sehingga perdamaian menjadi fungsi pokokpada pengadilan dimana dalam kajian kali ini perdamaian dapat dicapai melalui mediasi sebagai saran penyelesaian sengketa perdata.

Peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan dapat disebut sederhana karena prosesnya yang efisien, dimana tidak perlu ada agenda jawab menjawab disertai dengan pembuktian yang sering kali malah menimbulkan kebencian diantara par pihak. Lalu dikatakan cepat karena waktu yang diperlukan relatif singkat yaitu sebagaimana telah ditentukan. Biaya ringan yaitu karena biaya yang timbul dari proses mediasi relatif kecil karena tidak perlu berkali-kali hadir ke pengadilan.

C. Mediasi dalam Pengadilan Negeri

Tugas pokok pengadilan atau hakim adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan ke pengadilan, dan dalam menjauhkan putusannya, hakim mengusahakan semaksimal mungkin agar putusan yang dijatuhkan dapat menyelesaikan atau mengakhiri persengketaan kedua pihak secara tuntas. Namun dalam kenyataannya, putusan hakim pasti bersifat kalah menang, sehingga pasti akan membebani salah satu pihak.

(34)

Untuk menghindari putusan yang bersifat kalah menang tersebut, maka Hukum Acara Perdata Pasal 130 HIR/154 RBg mewajibkan pada hari sidang pertama yang telah ditetapkan, kemudian sidang yang dihadiri para pihak ini hanya mengenal upaya perdamaian yang wajib dilakukan oleh hakim kepada para pihak. Hakim yang tidak mengusahakan perdamaian pada sidang pertama sesuai hukum acara diancam dengan kebatalan putusan yang dijatuhkan (batal demi hukum).

Mediasi di Indonesia dapat dikatakan masih berusia muda, dan Indonesia banyak mengadopsi sistem mediasi dari beberapa negara yang telah lebih duluan memakai perosedur mediasi. Tonggak sejarah dimulainya program mediasi di tanah air, yang mewajibkan para hakim di pengadilan negeri pada hari sidang pertama memerintahkan para pihak yang berperkara (perdata) utnuk terlebih adhulu menempuh mediasi yaitu dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi yang berlaku spada 11 September 2003. Adapun mediasi sendiri lahir sebagai upaya untuk menghadapi masalah yang ada di pengadilan Indonesia yaitu bagaimana menerapkankan sistem penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diinginkan oleh UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa dan sesuai dengan tugas pokok pengadilan yang bersifat memeriksa dan memutus/adjudikatif.melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan, maka

(35)

prosedur mediasi dimasukkan dalam proses peradilan formal kecuali yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi:

“Semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui Mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini.”

Pernyataan diatas diperjelas pada Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi:

“Sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Sengketa yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya meliputi antara lain:

1. Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Niaga

2. Sengketa yang diselesaikan melalui prosedur Pengadilan Hubungan Industrial

3. Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha 4. Keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 5. Permohonan pembatalan putusan arbitrase

6. Keberatan atas putusan Komisi Informasi 7. Penyelesaian perselisihan partai politik

8. Sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana; dan 9. Sengketa lain yang pemeriksaannya di persidangan ditentukan tenggang

waktu penyelesaiannya dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Sengketa yang pemeriksaannya dilakukan tanpa hadirnya penggugat atau tergugat yang telah dipanggil secara patut.

c. Gugatan balik (rekonvensi) dan masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara (intervensi).

d. Sengketa mengenai pencegahan, penolakan, pembatalan dan pengesahan perkawinan.

e. Sengketa yang diajukan ke Pengadilan setelah diupayakan penyelesaian di luar pengadilan melalui Mediasi dengan bantuan Mediator bersertifikat yang terdaftar di Pengadilan setempat tetapi dinyatakan tidak berhasil berdasarkan pernyataan yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator bersertifikat.”

Mediasi dalam pengadilan memiliki beberapa keunggulan yaitu:21 a. Proses acara yang jelas

b. Memutus menurut hukum sehingga putusannya benar atau salah

21Ibid,hlm. 185.

(36)

c. Putusan yang dijatuhkan bersifat condemnatoir yang merupakan keharusan untuk dilaksanakan

d. Berkepastian hukum, sesuai semboyan fiat justicia ruat coelum

Keunggulan khas mediasi yaitu praktiknya di pengadilan dimana prosedur mediasi dapat dijalankan secara informal yaitu mediator yang membantu membangun komunikasi kedua pihak yang sedang berperkara, karena pendekatan mediator adalah dari hati ke hati, dimana dengan pendekatan dari hati ke hati ini secara psikologis para pihak merasa dihargai merasa kebutuhannya terakomodasikan oleh pihak lain, karena pada hakekatnya persengketaan merupakan ekspresi dari perasaan dan keinginan satu pihak untuk memasuki kepentingan pihak lain.22

D. Prosedur Mediasi di Pengadilan Sebelum dan Sesudah Perma No. 1 Tahun 2016

Prosedur mediasi di Pengadilan diatur secara khusus agar dapat memaksimalkan dan memperkuat fungsi lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa dn sesuai dengan tugas pokok pengadilan yaitu memutus (ajudikatif). Landasan Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur mengenai prosedur mediasi yaitu Pasal 130 HIR/154 RBg, dan tidak menjalankan mediasi sebagaimana prosedur yang telah dimuat dalam Peraturan Mahkamah Agung yang memuat prosedur mediasi akan berakibat batalnya suatu putusan.

Prosedur Mediasi di Pengadilan diatur dalam Peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, dan peraturan ini telah diamandemen agar sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat . Prosedur mediasi

22Ibid, hlm. 177.

(37)

sekarang diatur di dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016, yang sebelum diamandemen prosedur mediasi ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2008.

1. Prosedur Mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Dalam prosedur mediasi yang diatur oleh Perma No. 1 Tahun 2008 terdapat beberapa hal yang akan diubah dalam Perma No. 1 Tahun 2016, hal-hal yang akan diubah tersebut antara lain:

A. Ruang lingkup Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 yaitu:

1) Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku untuk mediasi yang perkaranya diproses di Pengadilan.

2) Setiap hakim, mediator, dan para pihak wajib mengkuti prosedur medisi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung ini.

3) Tidak menempuh prosedur mediasi merupakan pelanggaran.

4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator dalam perkara tersebut.

B. Tahap Pramediasi

Tahap Pramediasi yaitu sidang pertama dimana hakim yang mengadili perkara tersebut mewajibkan para pihak yang berperkara untuk menempuh mediasi terlebih dahulu, menjelaskan prosedur mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung ini dan mendorong mereka untuk berperan langsung dan aktif dalam proses mediasi. Selanjutnya hakim sidang menunda proses persidangan perkara tersebut untuk memberi kesempatan

(38)

kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi (Pasal 7 ayat 5 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008)

Pada sidang pertama tersebut, para pihak dan/atau kuasa hukum mereka wajib berunding untuk memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan (Pasal 11 ayat 1 perma No. 1 tahun 2008). Para pihak wajib melaporkan kepada ketua majelis hakim siapa mediator yang terpilih sehingga ketua majelis hakim dapat segera memberitahukan kepada mediator terpilih untuk menjalankan tugasnya. Ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, bahwa para pihak waji mengikuti proses mediasi ini dengan iktikad baik,, dan salah satu pihak dapat mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik (Pasal 12 ayat 1 dan 2 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008)

C. Tahap Mediasi

Dalam tahapan ini, para pihak wajib menyerahkan resume perkara kepada mediator dan para pihak dalam waktu paling lama lima hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator (Pasal 13 ayat 2 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008). Setelah itu mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi, dimana atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat diantara para pihak (Pasal 16 ayat 1 PeraturanMahkamah Agung No.1 tahun 2008) dimana biaya yang terjadi

(39)

karena menggunakan jasa ahli ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan (Pasal 16 ayat 3 PeraturanMahkamah Agung No.1 tahun 2008) atau tidak perlu memakai jasa ahli apabila memang para pihak menolak untuk membayar ahli tersebut.

Setelah melakukan proses mediasi, maka akan timbul hasil dimana mediasi tersebut menghasilkan perdamaian atau tidak menghasilkan kesepakatan.Jika proses mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Berdasarkan pengajuan para pihak kesepakatan ini juga dapat dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Namun jika para pihak tidak mengajukan penguatan kesepakatan perdamaian tersebut, maka kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan/atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. (Pasal 17 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008).

Namun jika proses Mediasi dengan masa kerja 40 hari telah berlalu dan tidak dapat mencapai kesepakatan, maka mediator menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan diberitahukan kepada hakim agar hakim dapat melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. Apabila diantara para pihak ada yang menyampaikan keinginan berdamai kepada hkim pemeriksa perkara yang bersengketa, maka upaya perdamaian dapat berlangsung kembali dengan jangka waktu 14 hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan

(40)

keinginan berdamai. (Pasal 18 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008).

D. Perdamaian Pascamediasi

Upaya perdamaian ini dapat terjadi apabilapara pihak menyepakati untuk menempuh perdamaian dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali sepanjang perkara belum diputus. Para pihak dapat menyampaikan kehendaknya secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili, lalu Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang akan menyampaikan ke Ketua Pengadilan Tingkat Bandi atau Ketua Mahkamah Agung tergantung dimana perkara tersebut sedang diproses.

Jika para pihak menghendaki mediaor, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan menunjuk seorang hakim untuk menjadi mediator dimana mediator tersebut tidak boleh berasal dari majelis hakim yang memeriksa pada Pengadilan Tingkat Pertama, terkecuali tidak ada hakim lain pada Pengadilan Tingkat Pertama tersebut. (Pasal 22 ayat 1-4 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008).

Apabila mediasi ini menghasilkan kesepakatan perdamaian, maka kesepakatan dapat dikuatkan menjadi akta perdamaian dan kesepakatan perdamaian tersebut dikirimkan ke pengadilan tingkat banding atau ke Mahkamah Agung. (pasal 22 ayat 6 Peraturan Mahkamah Agung No.

1Tahun 2008).

Menurut M. Yahya Harahap ada beberapa kendala dalam pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 ini dimana

(41)

permasalahannya tidak dijelaskan secara rinci sehingga menimbulkan debat, antara lain:23

a. Bagaimana jika para pihak tidak menaati perintah

Proses mediasi di Pengadilan didasarkan pada sukarela dari kedua pihak yang bersengketa, namun jika pada saat hari yang dijadwalkan untuk pelaksanaan mediasi tiba, dan salah satu pihak tidak menaati perintah panggilan dengan tidak datang, maka tidak ada ancaman hukuman yang dapat ditimpakan kepada pihak yang tidak hadir dan tidak ada tindakan yang dapat dilakukan mediator secara jelass dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008.

Jika para pihak tidak menaati perintah panggilan untuk hadir secara terus-menerus, maka hakim mediator hanya menunggu sampai batas jangka waktu yang ditentukan yaitu 40 hari setelah ditentukannya hakim mediator (cari pasalnya) dan memberitahukan kepada hakim yyang memeriksa perkara bahwa proses penyelesaian melalui mediasi dianggap gagal.

b. Bagaimana jika salah satu pihak tidak bersedia hadir

Apabila pada sidang pertama penggugat tidak hadir tanpa alasan yang sah (default without reason), maka menurut pasal 124 HIR hakim dapat menjatuhkan putusan yang berisi diktum, menggugurkan gugatan penggugat dan menurut pasal 125, hakim dapat juga menjatuhkan putusan verstek. Namun pasal-pasal itu juga memberi kewenangan pula kepada hakim untuk memundurkan persidangan,

23Mahkamah Agung,Naskah Akademis Mediasi, (Jakarta: MA-RI,2007), hlm. 64.

(42)

yang dibarengi dengan tindakan memanggil sekali pihak yang tidak hadir.24

Permasalahan ini juga tidak ada diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008, diamana bila hakim menunda persidangan untuk tetap terlaksananya prosedur mediasi yang ditentukan, maka alan menyingkirkan ketentuan Pasal 124 HIR dan Pasal 125 HIR yang menyatakan bahwa hakim berwenang untuk menggugurkan gugatan maupun menjatuhkan putusan verstek. Dimana HIR dalam hierarkis perundang-undangan lebih tinggi daripada Peraturan Mahkamah Agung karena setara dengan undang-undang, dengan demikian lebih tinggi derajatnya dari Peraturan Mahkamah Agung, oleh karena itu apabila terjadi pertentangan antara keduanya, HIR harus diunggulkan.25

c. Tidak ada kerjasama dengan panitera

Demi menjaga kerahasiaan dalam proses mediasi, pada pelaksanaannya tidak ada kerjasama internal yang terjadi antara hakim mediatordan panitera. Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tidak ada diatur secara jelas keterlibatan panitera untuk menyukseskan proses mediasi. Padahal panitera adalah seseorang yang memahami dan mengetahui kasus yang ditanganinya sebelum masuk ke proses mediasi, sehingga banyak informasi penting yang dapat diberikan seorang panitera kepada hakim mediator untuk

24Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015), hlm. 53.

25Ibid, hlm. 65.

(43)

membangun kerjasama eksternal dengan pengacara dan/atau para pihak.

2. Prosedur Mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 Melihat banyaknya hal yang dianggap masih kurang dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008, maka melalui pembaharuan ini maka disusunlah beberapa aturan tambahan yang diharapkan lebih memadai kebutuhan baik Para Pihak yang bersengketa maupun Mediator di dalam Pengadilan. Pada bab sebelumnya telah dijabarkan hal-hal yang akan diubah oleh Perma No. 1Tahun 2016, hal yang diubah secara tahapan tidak terlalu signifikan, sebab pada dasarnya sistematis prosedurnya tetap sama yaitu adanya tahapan pramediasi, mediasi dan pasca mediasi, namun kajian per babnya terdapat perubahan yang dapat dikaji oleh penulis, yaitu:

a. BAB I – KETENTUAN UMUM

Bab I membahas mengenai perubahan baik penambahan dan penyusunan pengertian yang ada dalam Ketentuan Umum dalam Peraturan Mahkamah Agung mengenai Prosedur Mediasi ini.

b. BAB II – PEDOMAN MEDIASI PENGADILAN

Pada BAB II ini yang dibahas adalah mengenai ruang lingkup mediasi, dimana Perma ini dapat berlaku pada lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, serta Peradilan di luar itu sepanjang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan. Kemudian ada ketentuan bahwa Para Pihak dan/atau kuasa huum wajib mengikuti prosedur meduasi dalam penyelesaian sengketa, dimana bila tidak melaksanakannya, makadianggap telah melakukan pelanggaran

(44)

ketentuan Perma ini. Lalu juga dibahas mengenai jenis- jenis perkara wajib menempuh mediasi, sifat proses mediasi, kewajiban menghadiri mediasi dan iktikad baik menempuh mediasi.

Dalam Pedoman Mediasi Pengadilan, terdapat hal yang dibahas secaraspesifik yaitu Asas Iktikad Baik. Asas iktikad baik sebenarnya sudah dipakai sejak lama dalam hukum, dan penyelesaian sengketa juga dibahas di dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 yaitu pada Bab 2 Bagian Kelima tentang Iktikad Baik Menempuh Mediasi.

Iktikad baik dianggap merupakan prinsip utama dalam hukum, karena seseorang dalam perbuatan dengan itikad baik, dalam pandangan hukum positif, dikatakan telah bekerja dengan kesalahann yang tidak dapat dilihat, sehingga bebas dari kesalahan.26

Dapat dipahami bahwa seseorang yang melakukan sesuatu dengan iktikad baik, sekalipun terjadi kesalahan, akan dianggap terbebas dari kesalahan tersebut. Maka bila ditarik ke dalam proses Mediasi, maka bila ternyata tidak dicapai kesepakatan, namun setidaknya ada iktikad baik yang menandakan adanya keinginan mengupayakan untuk para pihak mencapai suatu jalan keluar daripada permasalahan yang ada.

Asas itikad baik pada para pihak dapat dinilai dari ketentuan yang ada dalam Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan bahwa Mediator dapat menyatakan salah satu pihak atau Para Pihak dan/atau kuasa hukumnya dinyatakan tidak beritikad baik apabila:

26Anita D. A. Kolopaking,Asas Itikad Baik dalam Penyelesaian Sengketa Kontrak Melalui Arbitase (Bandung: PT. Alumni, 2013), hlm 89.

(45)

1) Tidak hadir setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;

2) Menghadiri pertemuan Mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2(dua) kali berturut-turut tanpa alasan sah;

3) Ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;

4) Menghadiri pertemuan Mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak meanggapi Resume Perkara pihak lain; dan/atau

5) Tidak menandatangani konsep Kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan sah.

Selanjutnya juga dibahas secara rinci mengenai kejelasan biaya yang timbul selama proses mediasi, baik biaya jasa mediator, biaya pemanggilan para pihak. Kemudian adanya ketentuan mengenai tempat penyelenggaraan mediasi, serta tata kelola mediasi di Pengadilan yang juga perlu disoroti, dimana adanya upaya untuk mendukung pelaksanaan mediasi di Pengadilan melalui tata kelola yang diatur pada Pasal 12 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 yang meliputi:

a. Perencanaan kebijakan, pengkajian dan penelitian Mediasi di Pengadilan;

b. Pembinaan, pemantauan dan pengawasan pelaksanaan Medaisi di Pengadilan;

c. Pemberian akreditasi dan evaluasi lembaga sertifikasi Mediasi terakreditasi;

(46)

d. Penyebarluasan informasi Mediasi;dan

e. Pengembangan kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang Mediasi.

c. BAB III – MEDIATOR

Pada Bab ini dibahas secara khusus mengenai sertifikasi Mediator, tahapan tugas, dan pola perilaku Mediator. Untuk pembahasan Mediator akan dibahas pada Bab selanjutnya yaitu pada sub bab mengenai Kedudukan Mediator Sebelum dan Sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016.

d. BAB IV – TAHAPAN PRAMEDIASI

Pada tahapan pramediasi dalam Perma ini, terdapat beberapa bagian, yaitu:

1. Bagian kesatu – Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara

Dalam bagian ini diatur ketentuan tentang kewajiban Hakim mulai dari pemberitauan akan keharusan Para Pihak untuk menempuh Mediasi, kehadiran langsung dari para pihak, kewajiban menjelaskan prosedur mediasi, hingga formulir yang berisi penjeleasan mediasi.

2. Bagian kedua – Kewajiban Kuasa Hukum

Bagian ini mengatur ketentuan mengenai kuasa hukum, dimana kuasa hukum bertindak mewakili Para Pihak dalam proses mediasi, serta ketentuan bahwa dalam hal Para Pihak berhalangan hadir berdasarkan alasan yang sah maka kuasa hukum berdasarkan surat kuasa khusus dapat mewakili Para Pihak.

(47)

3. Bagian Ketiga – Hak Para Pihak Memilih Mediator

Bagian ini menjelaskan bahwa adanya kebebasan para pihak memilih mediator baik yang terdaftar di pengadilan ataupun mediator yang berasal dari luar pengadilan, hanya saja apabila mediator berasal dari luar pengadilan maka para pihak harus menanggung biaya jasa mediator tersebut dengan adanya kesepakatan bersama.

4. Bagian Keempat – Batas Waktu Pemilihan Mediator

Bagian ini menjelaskan bahwa adanya batas waktu pemilihan mediator yaitu pada sidang pertama dan paling lama 2 hari sejak sidang pertama.

5. Bagian Kelima – Pemanggilan Para Pihak

Pemanggilan para pihak pada Perma ini menjelaskan bahwa para pihak di dalam mediasi akan mendapat panggilan untuk mediasi oleh paniter atau juru sita yang ditunjuk serta hanya mendapatkan kesempatan untuk dipanggil sebanyak 2 kali, dimana apabila pihak tidak hadir dalam mediasi maka pihak yang tidak hadir akan dinyatakan sebagi pihak yang tidak beriktikad baik berdasrkan laporan mediator

6. Bagian Keenam – Akibat Hukum Pihak Tidak Beriktikad Baik

Bagian ini mempertegas bahwa dalam prosedur mediasi yang diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016, Iktikad

(48)

Baik merupakan salah satu hal yang paling penting dalam mediasi.

Akibat hukumnya antara lain:

• Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara.

• Kewajiban pembayaran Biaya Mediasi.

• Laporan oleh Medaitor bahwa penggugat tidak beriktikad baik kepada Hakim Pemeriksa Perkara.

• Hakim Pemeriksa Perkara mengeluarkan putusan yang merupakan putusan akhir yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima disertai penghukuman pembayaran biaya mediasi dan biaya perkara.

• Biaya mediasi dapat diambil dari panjar biaya perkara atau pembayaran tersendiri oleh penggugat.

e. BAB V – TAHAPAN PROSES MEDIASI

1. Bagian Kesatu – Penyerahan Resume Perkara dan Jangka Waktu Proses Mediasi

Dimana diatur bahwa dalam waktu paling lama 5 (lima) hari terhitung sejak penetapan para pihak menyerahkan resuume perkara kepada pihak lain dan mediator. Proses mediasi berlangsung selama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penetapan perintah melakukan mediasi, dan dapat diperpanjang 30 (tiga puluh) hari sejak berakhir jangka waktu yang sebelumnya, yang dapat diajukan kepada Hakim Pemeriksaan Perkara disertai dengan alsannya.

2. Bagian Kedua – Ruang Lingkup Materi Pertemuan Mediasi

(49)

Dimana materi perundingan tidak terbatas pada positadan petitum gugatan, dan kesepakatannya akan dimasukkan ke dalam gugatan sebelumnya.

3. Bagian Ketiga – Keterlibatan Ahli dan Tokoh Masyarakat

Dalam hal ini terbuka kesempatan untuk mediator melibatkan ahli dan tokoh masyarakat berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa.

4. Bagian Keempat – Mediasi Mencapai Kesepakatan

Dalam hal mencapai kesepakatan, para pihak dibantu mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis dalam kesepakatan perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak dan mediator, dan berdasarkan permintaan para pihak dapat dikuatkan menjadi akta perdamaian, dan mediator wajib melaporkan secara tertulis keberhasilan mediasi kepada hakim pemeriksa perkara dengan melampirkan kesepakatan perdamaian

5. Bagian Kelima – Kesepakatan Perdamaian Sebagian Pasal 1 butir (9) mengatakan bahwa:

“Kesepakatan perdamaian sebagian adalah kesepakatan antara pihak penggugat dengan sebagian atau seluruh pihak penggugat dengan sebagian atau seluruh pihak tergugat dan kesepakatan para pihak terhadap sebagian dari seluruh objek perkara dan/atau permasalahan hukum yang disengketakan dalam proses mediasi.”

6. Bagiian Keenam – Mediasi Tidak Berhasil atau Tidak Dapat Dilaksanakan

Apabila tidak dapat dicapai kesepakatan melalui mediasi, maka mediator wajib menyampaikan secara tertulis kepada Hakim PemeriksaPerkara.

Gambar

TABEL I. KEBERHASILAN MEDIASI DI PN GUNUNGSITOLI  SEBELUM PERMA NO. 1 TAHUN 2016
TABEL II. KEBERHAHSILAN MEDIASI DI PN GUNUNGSITOLI  SESUDAH PERMA NO. 1 TAHUN 2016
TABEL IV. KEBERHASILAN MEDIASI DI PN STABAT SESUDAH  PERMA NO. 1 TAHUN 2016

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dijelaskan bahwa benda (yang ada diwilayah Negara RI atau diluar Negara RI) yang dibebani dengan jaminan

pada Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan, pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 2)

Pendapat demikian juga sesuai dengan pertumbuhan hukum Anglo Amerika menurut sistem common law, di mana pemegang hipotek (mortgagee) dianggap memperoleh hak eigendom atas benda

Perusahaan Sewa Guna Usaha (leasing) kegiatan utamanya adalah bergerak di bidang pembiayaan untuk memenuhi keperluan barang-barang modal oleh debitur. Pemenuhan pembiayaan

76 Wawancara dengan Bapak Hasan Amin, tanggal 5 Agustus 2016 di kantor PT. Rahmat Jaya Transport.. Indofood di dalam proses penyelenggaraan pengangkutan dengan PT. Rahmat Jaya

Direksi salah satu organ PT yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Namun,

Dampak meningkatnya perkara perceraian yang terjadi di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh dan dampak terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dikurangi ataupun

Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan hak istri. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut diatas para pencari keadilan yang selalu