• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI OLEH : NOVITA SARTIKA ELISABETH NIM : DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI OLEH : NOVITA SARTIKA ELISABETH NIM : DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW UNIVERSITAS SUMATERA UTARA"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

TBK. KANTOR PUSAT JAKARTA)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara OLEH :

NOVITA SARTIKA ELISABETH NIM : 140200344

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM

MEDAN 2018

(2)
(3)

Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, kasih dan penyertaan-Nya bagi penulis dari awal menjalani masa perkuliahan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir, yang juga merupakan syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selama 7 (tujuh) Semester penulis menjalani masa perkuliahan, banyak ilmu dan pengalaman berharga yang telah penulis dapatkan yang tentunya telah memberi pola pikir dan cara pandang baru bagi penulis yang harapannya akan membantu penulis untuk lebih dekat dalam mencapai impian serta cita-cita yang penulis miliki.

Tidak dapat dipungkiri juga bahwa dalam masa perkuliahan juga pasti terdapat kendala dan rintangan yang penulis hadapi, namun Puji Syukur kepada Yang Maha Kuasa atas berkat dan tuntunan-Nya kendala dan rintangan tersebut kini telah berhasil dilewati. Semoga gelar Sarjana Hukum yang penulis dapatkan ini dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya, terutama bagi bangsa dan negara serta masyarakat luas.

Dalam penulisan skripsi ini, yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Penerbitan Comfort Letter Antara Bank dan Kantor Akuntan Publik (Studi Pada PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk. Kantor Pusat Jakarta)”, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan baik dikarenakan masih terbatasnya pengetahuan yang penulis miliki maupun karena hal-hal lainnya. Oleh karena itu, penulis terbuka terhadap saran-saran yang membangun di masa yang mendatang.

(4)

dari masa perkuliahan sampai pada selesainya penulisan skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Dr. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing II. Terima kasih penulis ucapkan atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan sampai penyelesaian skripsi ini;

7. Ibu Liza Erwina S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik selama masa perkuliahan;

8. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.A selaku Dosen Pembimbing I, terima kasih penulis ucapkan karena telah banyak meluangkan waktu dan memberikan bimbingan serta nasihat dalam proses penyusunan hingga

(5)

memberi ilmu pengetahuan yang berharga selama masa perkuliahan;

10. Seluruh Staf Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Teristimewa kepada kedua orangtua penulis, Bapak Baharaja Napitupulu, S.H., MKn. dan Ibu Fretty Anna Sitinjak S.Tr.Keb. yang telah memberikan dukungan, ide, bimbingan serta kasih sayang yang tak terhingga kepada penulis sejak kecil hingga menyandang gelar Sarjana Hukum sekarang ini, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan setulusnya. Semoga ilmu pengetahuan yang telah penulis dapatkan dapat berbuah kesuksesan yang menjadi kebahagiaan dan kebanggaan bagi kita semua.

12. Kepada Adik penulis Frans Joshua Napitupulu, semoga sukses dalam menggapai seluruh cita-citanya dandapat menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan Negara serta masyarakat luas sehingga membawa kebahagiaan bagi keluarga. Juga kepada Keluarga Besar penulis, terimakasih atas seluruh doa-doa dan dukungan yang telah memberi semangat bagi penulis.

13. Kepada pihak PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk yang telah bersedia memberi data yang sangat membantu dalam penulisan skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih atas bantuannya.

14. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan selama masa perkuliahan;

Grup C Fakultas Hukum USU 2014 khususnya Chelin Claudia, Claudia Grace, Meilan Trisnawaty, Sumita Kaur, Widya Christie, dan seluruh

(6)

15. Kepada seluruh teman-teman seangkatan dan seluruh Bapak/ Ibu Guru di SMA Negeri 1 Medan sebagai tempat penulis memperoleh ilmu semasa di bangku persekolahan, penulis ucapkan terima kasih.

16. Kepada seluruh teman-teman dan sahabat lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih.

17. Seluruh pihak yang memberikan dukungan dan inspirasi secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis sampai pada selesainya pendidikan penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2018

Novita Sartika Elisabeth

(7)

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI……….……… v

ABSTRAK……… vii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….…………. 1

B. Permasalahan……… 6

C. Tujuan Penelitian……….………. 7

D. Manfaat Penelitian……… 7

E. Metode Penelitian………. 8

F. Keaslian Penelitian……….………... 12

G. Sistematika Penulisan……….…….. 13

BAB II : TINJAUAN UMUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian secara Umum 1. Pengertian Umum dan Unsur-Unsur Perjanjian ……….…….…... 15

2. Asas-asas dalam Perjanjian ………...………... 20

3. Syarat Sahnya Perjanjian ………. 26

B. Pengertian Perjanjian Kerjasama 1. Pengertian Umum Perjanjian Kerjasama………... 32

2. Perjanjian Kerjasama dalam Kaitannya dengan Penerbitan Comfort Letter………..………... 35

3. Perjanjian Kerjasama sebagai Bentuk Nota Kesepahaman………40

(8)

A. Penggunaan Comfort Letter dalam Kegiatan Perbankan………. 49 B. Perkembangan Comfort Letter di Indonesia……….58 C. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Penerbitan Comfort Letter………59

BAB IV : TINJAUAN YURIDIS PENERBITAN COMFORT LETTER ANTARA BANK DENGAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK

A. Kedudukan dan Tanggung Jawab Hukum Para Pihak dalam Hubungan Kontraktual Penerbitan Comfort Letter……….………... 68 B. Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dan Asas Keseimbangan Para Pihak

dalam Perjanjian Kerjasama Penerbitan Comfort Letter………...73 C. Kelemahan dalam Klausula Perjanjian Penerbitan Comfort Letter dan

Penyelesaian Sengketa Para Pihak ………..……..84 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………. 100 B. Saran………..101 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN :

1. Surat Izin Riset 2. Perjanjian Kerjasama 3. Wawancara

(9)

Edy Ikhsan**) Syamsul Rizal***)

Dalam rangka penawaran penjualan saham (Initial Public Offering/IPO) oleh suatu Perseroan Terbatas yang berstatus terbuka (Tbk) atau juga melakukan penjualan Obligasi dan Right Issue melalui transaksi pasar modal, salah satu persyaratan yang gariskan oleh Badan Pengawasn Pasar Modal (Bapepam-LK) adalah kewajiban untuk melengkapi Comfort Letter sesuai Surat Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-41/PM/1006 Peraturan Nomor VIII.G.15 Comfort Letter ini merupakan suatu bentuk surat yang dibuat oleh Akuntan Publik sebagai bentuk pernyataan yang menegaskan telah dilakukannya pemeriksaan laporan keuangan suatu Perseroan Terbatas dan menyatakan ada atau tidaknya fakta material yang terjadi setelah tanggal laporan keuangan terakhir sampai dengan menjelang tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran yang dapat mengakibatkan perubahan signifikan atau membahayakan posisi keuangan atau hasil usaha sebagaimana disajikan dalam laporan keuangan yang dilampirkan sebagai bagian dokumen Pernyataan Pendaftaran dan dimuat dalam Prospektus.

Meskipun Comfort Letter ini hanya dimuat dalam bentuk surat pernyataan yang bersifat internal dari Akuntan Publik yang ditujukan kepada Bapepam-LK sebagai lampiran dalam prospektus Perseroan, tetapi secara praktek para Investor telah menjadikan opini yang tertuang di dalam Comfort Letter menjadi dasar pertimbangan utama dalam menentukan investasi yang dilakukan dalam pembelian saham tersebut, sehingga apabila opini tersebut tidak sesuai dengan fakta yang ada, maka para Investor akan mengalami kekeliruan dalam menempatkan investasinya.

Dalam penerbitan Comfort Letter yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik atas permintaan pihak perbankan untuk keperluan penawaran penjualan saham (Initial Public Offering/IPO) tersebut kesepakatan kedua belah pihak dituangkan didalam suatu bentuk perjanjian yang memuat hak-hak dan kewajiban bersama.

Didalam perjanjian penerbitan Comfort Letter tersebut pada umumnya tidak memuat keseimbangan para pihak dimana kedudukan Akuntan Publik cenderung lebih dominan dibanding pihak perbankan dan lebih terkesan membatasi hak-hak pihak perbankan selaku pihak yang membutuhkan Comfort Letter tersebut. Jika terjadi permasalahan dalam penerbitan Comfot Letter tersebut, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kerugian kepada pihak perbankan, hak untuk menuntut hanya dapat dilakukan sebatas mengganti rugi biaya atau upah yang disepakati sebelumnya, sedangkan atas kerugian-kerugian yang lain diderita oleh pihak perbankan telah di kesampingkan berdasarkan klausula klausula yang tertuang didalam perjanjian penerbitan Comfort Letter tersebut, dan penyelesaian sengketa atas penerbitan Comfort Letter ini pada umumnya dilakukan melalui Lembaga Arbitrase.

Kata Kunci : Perjanjian Kerjasama, Comfort Letter, Akuntan Publik, Bank

1 **) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II

(10)

A. Latar Belakang

Perkembangan dunia usaha di berbagai sektor saat ini sangat tergantung dan tidak terlepas dan kepada salah satu faktor utama yang sangat esensial, yaitu adanya dukungan kekuatan struktur permodalan yang cukup dan memadai, sebagai bagian paling fundamental dalam setiap kegiatan usaha.

Pemenuhan kecukupan modal dalam dunia usaha ini baik dalam bentuk usaha perorangan ataupun badan usaha yang berbentuk badan hukum, pada prinsipnya telah disediakan oleh para pemilik usaha sejak awal berdirinya usaha tersebut yang dikenal dengan istilah modal disetor (paid up capital), dan tentunya jumlahnya terbatas sesuai dengan kemampuan finansial dari masing-masing para pesero atau pemegang saham perusahaan itu sendiri.

Dalam kebutuhan finansial perusahaan, khususnya dalam rangka memenuhi kebutuhan rencana ekspansi dan diversifikasi kegiatan usaha seperti halnya peningkatan hasil produksi, melakukan modernisasi alat alat produksi, serta keperluan lainnya, dibutuhkan dana yang sangat besar yang tidak mungkin hanya dengan mengandalkan ketersediaan modal disetor saja (paid up capital) yang jumlahnya pasti terbatas atau sebaliknya menunggu adanya dana dari para pemegang saham perusahaan tersebut.

Kebutuhan sumber dana untuk memperkuat struktur permodalan dalam mendukung rencana ekspansi usaha tersebut secara umum tersedia dan dapat diperoleh melalui lembaga keuangan yang bergerak disektor perbankan.

Bank merupakan suatu lembaga finansial, yang dibangun berdasarkan

(11)

kepercayaan masyarakat (Agent Of Trust) yang memiliki peranan sangat penting dalam rangka pembangunan perekonomian nasional sebagaimana fungsinya sebagai lembaga perantara (Intermediary) yang menjembatani kepentingan masyarakat yang memiliki kelebihan dana (Surplus of Fund) dengan masyarakat yang membutuhkan dana (Lack Of Fund).

Sebagai bentuk badan usaha yang kegiatan usahanya bergerak di bidang keuangan dan mempunyai kedudukan dalam kegiatan pembangunan Negara (Agent of Development), Bank2 memiliki peranan penting untuk memobilisasi dana masyarakat sebagai sumber pembiayaan pembangunan di berbagai sektor dalam skala nasional. Boleh dikatakan bahwa dana-dana yang di distribusikan oleh industri perbankan melalui pemberian berbagai bentuk fasilitas kredit kepada para pebisnis atau pengusaha bukanlah semata-mata hanya berupa modal inti dari bank itu sendiri, melainkan dana pihak ketiga yang ditempatkan pada bank tersebut dalam bentuk Tabungan, Deposito Berjangka maupun Rekening Giro.

Sama halnya dengan bentuk usaha yang dibiayainya, industri perbankan juga memiliki rencana-rencana ekspansif untuk menumbuh-kembangkan bisnis yang digelutinya, seperti halnya rencana perluasan kantor cabang diberbagai tempat guna mendukung kegiatan operasional, rencana pertumbuhan portofolio perkreditan, rencana investasi bidang teknologi informasi (IT), yang keseluruhannya tertuang di dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) yang dirumuskan setiap tahunnya dan dilaporkan kepada pihak pengambil kebijakan (decision maker) maupun kepada

2 Pasal 1 ayat 2 Undang -undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk- bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

(12)

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter di Indonesia serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas perbankan yang seluruhnya rencana tersebut membutuhkan dana yang sangat besar.

Sekilas tentang profil PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk3, yang mana merupakan salah satu Bank Umum Swasta Nasional di Indonesia yang pada awalnya didirikan oleh Dapenbun (Dana Pensiunan Perkebunan) pada tahun 1989 dimana konsentrasi perkreditannya lebih difokuskan disektor pembiayaan perkebunan kelapa sawit hingga 60 % sampai 75 % dari portofolio kredit yang ada.

Sejak tahun 2003, PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk menjadi perusahaan publik berdasarkan surat persetujuan Bapepam-LK No.S-1565/PM/2003 tanggal 30 Juni 2013 sekaligus meningkatkan statusnya menjadi Bank Umum Swasta Nasional Devisa (BUSND) dan perubahan nama menjadi PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk yang tercatat di bursa efek Indonesia sejak tahun 2006.

Barulah sejak Tahun 2011, PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk ini diakuisisi oleh PT. Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI) Tbk. dengan komposisi kepemilikan saham sebesar 89 %, sehingga menjadikan PT.Bank BRI (Bank Rakyat Indonesia) sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan kemudian mengganti namanya kembali menjadi PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk atau yang umum dikenal sebagai PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk yang beroperasi sebagaimana layaknya Bank umum lainnya, namun tidak meninggalkan konsentrasi utamanya disektor perkebunan sawit. Bank ini akhirnya berkembang pesat dan memiliki kantor-kantor cabang di Ibukota Indonesia termasuk daerah Kabupaten/Kota, dan meskipun merupakan entitas

3 http://www.briagro.co.id/id/aboutus/history diakses 29 November 2017 pukul 17: 21 WIB

(13)

terpisah dengan perusahaan Induknya tetapi didalam kegiatan operasionalnya antara PT.Bank BRI dengan PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk. saling bahu membahu dalam pembiayaan kredit di berbagai segmen usaha khususnya kredit besar.

Untuk memenuhi kebutuhan struktur permodalannya (working capital) dalam rangka mewujudkan rencana ekspansinya sesuai Rencana Bisnis Bank (RBB) yang digariskan oleh direksi setiap tahunnya, serta untuk meningkatkan modal disetor (paid up capital), PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk tidak semata-mata menggantungkan kebutuhannya melalui dana penyertaan dari PT.Bank BRI sebagai perusahaan induk, atau menggunakan sumber dana yang diperoleh dari pihak ketiga yang ditempatkan dalam bentuk tabungan, deposito maupun giro.

Untuk mendapatkan sumber dana tersebut, PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk sebagai badan usaha berbadan hukum yang merupakan entitas yang mandiri dan terpisah dari induknya, serta sebagai badan usaha yang sudah go public4 dan berstatus terbuka (Tbk) mendapatkan sumber dana melalui penawaran penjualan saham perseroan (Initial Public Offering/IPO), atau melakukan penjualan obligasi, Right Issue melalui transaksi pasar modal.

Namun demikian, untuk menempuh pelaksanaan (Initial Public Offering/IPO) di pasar modal bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan persyaratan persyaratan yang digariskan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM-LK) baik persyaratan yang bersifat umum misalnya kondisi keadaan perseroan yang harus sehat, serta persyaratan khusus yaitu melengkapi Comfort Letter.

Comfort Letter ini pada hakikatnya hanya berbentuk surat pernyataan dari

4 Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary Edisi Kedua, (Solo: Tri Rama, 1986) , hal 1524. Go-public adalah menawarkan saham atau obligasi untuk di jual kepada umum untuk pertama kalinya.

(14)

Kantor Akuntan Publik (KAP) ditujukan kepada BAPEPAM –LK yang menyatakan Opininya atas pemeriksaan auditing terhadap perusahaan yang dimaksud, dalam hal ini adalah PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Purwanto, Sungkoro,dan Surja.

Comfort Letter ini menjadi sesuatu yang baru di dunia usaha dan di dunia perbankan itu sendiri, yang mempunyai dampak resiko yang sangat besar, dimana Comfort Letter ini mampu menggiring opini publik untuk menjatuhkan pilihannya dalam berinvestasi pada saham perseroan tertentu yang dianggapnya baik melalui penerbitan Comfort Letter ini.

Tetapi yang uniknya, meskipun Comfort Letter ini sebagai persyaratan mutlak dalam melaksanakan (Initial Public Offering/IPO) dan mampu menggiring opini para investor, apabila terjadi kesalahan dalam opini yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) sehingga mengakibatkan kerugian kepada para investor, perbuatan Kantor Akuntan Publik (KAP) tersebut tidak dapat dituntut karena belum ada ketentuan Undang-Undang yang tegas mengaturnya, dan sebagai alasannya adalah setiap orang boleh saja percaya dan boleh tidak percaya terhadap isi Comfort Letter tersebut, atau dengan kata lain tidak ada suatu keharusan untuk mempercayainya, sehingga resiko kesalahan menjatuhkan pilihan terhadap saham perseroan yang underlisting adalah resiko investor itu sendiri.

Disamping itu antara PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk sebagai pihak yang membutuhkan Comfort Letter dan Kantor Akuntan Publik (KAP) Purwanto, Sungkoro,dan Surja selaku penerbit Comfort Letter, terikat dalam suatu Perjanjian Kerjasama Penerbitan Comfort Letter, dan berdasarkan tinjauan terhadap bentuk Perjanjian Kerjasama dalam penerbitan Comfort Letter tersebut ternyata tidak

(15)

mencerminkan adanya Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom Of Contract) dan Asas Keseimbangan para pihak didalamnya, yang disebabkan adanya bentuk penyalahgunaan keadaan baik dikarenakan kedudukan yang tidak seimbang maupun ketidak seimbangan di dalam subtansi isi perjanjian.

Terhadap bentuk bentuk perjanjian sedemikian dapat dimohonkan untuk dibatalkan (vernietigbaar) melalui Pengadilan berdasarkan doktrin Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van Omstadigheiden/Undue Influence) maupun doktrin Ketidakadilan Substansi (Substantive Unconsiciobility) dimana doktrin ini telah dapat diterima di dalam sistem peradilan di Indonesia yang ditujukan untuk membatalkan bentuk perjanjian atau kontrak yang tidak seimbang sebagai bentuk cacat kehendak (Wilsgebreken) yang ke-4 (keempat) selain cacat kehendak kehendak yang diatur didalam KUHPerdata.

Berdasarkan hal tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian permasalahan ini dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Penerbitan Comfort Letter Antara Bank dengan Kantor Akuntan Publik (Studi pada PT. Bank BRI-Agroniaga TbkTbk. Kantor Pusat Jakarta).”

B. Permasalahan

1. Apakah yang dimaksud dengan Comfort Letter?

2. Bagaimanakah penggunaan Comfort Letter dalam kegiatan perbankan?

3. Apakah Perjanjian Comfort Letter yang dilakukan antara PT. Bank BRI- Agroniaga Tbkdengan Kantor Akuntan Publik telah mencerminkan asas kebebasan berkontrak dan asas keseimbangan para pihak?

(16)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dilakukannya penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat dalam mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Universitas Sumatera Utara. Adapun tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Comfort Letter.

2. Untuk mengetahui tujuan penggunaan Comfort Letter dalam kegiatan perbankan.

3. Untuk mengetahui apakah perjanjian Comfort Letter antara pihak Bank dan Akuntan Publik telah mencerminkan asas kebebasan berkontrak dan keseimbangan para pihak.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian ilmiah haruslah kiranya dapat memberi kontribusi dan manfaat bagi masyarakat luas khususnya para akademisi. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Secara teoritis, penelitian ilmiah ini diharapkan dapat mampu memberi sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum perjanjian serta menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi kalangan akademisi maupun masyarakat luas.

2. Secara praktis, pernelitian hukum ini bermanfaat :

a. Penelitian hukum ini kiranya dapat memberi masukan kepada pemerintah dan lembaga-lembaga negara berwenang dalam membuat sebuah peraturan khususnya yang berkaitan dengan perjanjian penerbitan Comfort Letter dikarenakan belum adanya peraturan hukum yang spesifik

(17)

dan memadai dalam mengatur penggunaan Comfort Letter secara lebih lengkap dan menyeluruh.

b. Penelitian hukum ini kiranya dapat memberi masukan bagi praktisi hukum agar mampu mengetahui kedudukan para pihak dalam perjanjian kerjasama khususnya yang berkaitan dengan penerbitan dan pelaksanaan perjanjian Comfort Letter dalam hal mencari keadilan dan kepastian hukum.

E. Metode Penelitian

Di dalam metodologi penelitian hukum dibahas metode-metode yang merupakan pendekatan praktis dalam setiap pendekatan ilmiah. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan bagi setiap peneliti mengetahui suatu peristiwa atau keadaan yang diinginkannya.5 Tujuannya adalah untuk menemukan teori yang relevan untuk digunakan dalam memecahkan permasalahan yang ada. Metodologi berasal dari bahasa Yunani “metodos” dan "logos," kata metodos terdiri dari dua suku kata yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara.6 Jadi secara ringkas metode penelitian dapat didefenisikan sebagai langkah-langkah, tahap-tahap atau prosedur yang dilakukan dalam mencari pemecahan terhadap permasalahan yang dikemukakan.

1. Jenis dan Sifat Penelitian a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder yang

5 Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek,(Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006), hal 1

6 https://id.wikipedia.org/wiki/Metodologi diakses pada tanggal 23 Oktober pukul 12:30 WIB

(18)

dimulai dengan analisis terhadap permasalahan hukum baik yang berasal dari literatur maupun peraturan perundang-undangan7, dan juga menggunakan data primer yang diperoleh dari lapangan. Kemudian dilakukan analisis terhadap hubungan antara hukum yang satu dengan yang lainnya, menjelaskan bagian bagian yang sulit untuk dipahami dari suatu aturan hukum, bahkan mungkin juga mencakup prediksi perkembangan aturan hukum tertentu pada masa mendatang.

b. Sifat Penelitian

Karena penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma-norma hukum8 Maka sifat dari penelitian hukum normatif ini adalah pengkajian terhadap asas-asas, norma-norma dan kaidah-kaidah dalam hukum positif yang dikaitkan dengan penggunaannya dalam pembuatan sebuah perjanjian khususnya perjanjian kerjasama dalam hal penerbitan Comfort Letter, yang saat ini belum banyak dibahas walaupun penggunaannya sudah meluas di Indonesia sehingga dapat memberi masukan yang membangun dalam perkembangan hukum khusunya dalam bidang hukum perjanjian di masa yang akan mendatang. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini berupa data sekunder yakni bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan, peraturan perundang undangan, buku- buku, jurnal jurnal hukum, artikel, doktrin-doktrin, ensiklopedia dan sebagainya, serta data primer berupa Perjanjian Kerjasama antara Pihak PT.BRI-Agroniaga Tbk dan Akuntan Publik Purwanto dan wawacara yang

7 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hal 37-38

8 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang: Ghalia Indonesia,1996), hal.13.

(19)

diuraikan dalam penulisan yang sistematis. Oleh karena itu, penelitian hukum normatif ini juga bersifat preskriptif-analitis.

2. Jenis dan Sumber Data

Pengumpulan data merupakan salah satu tahapan dalam proses penelitian yang sifatnya mutlak untuk dilakukan karena data merupakan sumber yang akan diteliti. Pengumpulan data difokuskan pada pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam penelitian tidak terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam pembahasannya.

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini adalah berupa data primer dan data sekunder yang diuraikan sebagai berikut :

1. Data Primer

Data Primer yakni merupakan data yang diperoleh langsung dari lapangan yang dapat berupa hasil observasi, data-data tertulis yang diperoleh dari pihak pertama yang berhubungan langsung dengan permasalahan yang dikaji maupun dari hasil wawancara dengan narasumber. Data-data ini menjadi pedoman dalam mengkaji dan menemukan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif ini yaitu :

a. Bahan Hukum Primer :

Dalam penelitian ini diantaranya Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, Surat Keputusan Ketua Bapepam

(20)

No.Kep-41/PM/1006 peraturan Nomor VIII.G.15 Tentang Pedoman Penyusunan Comfort Letter, Keputusan Bapepam Nomor: KEP-64/BL/2007 dan Perjanjian Kerjasama antara PT.BRI-Agroniaga Tbk dengan Akuntan Publik Purwanto serta peraturan lainnya yang terkait. Bahan hukum primer tersebut merupakan bahan- bahan hukum yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang 9,

b. Bahan Hukum Sekunder,10

Bahan bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami dari bahan hukum primer, misalnya buku buku yang berkaitan dengan permasalahan, hasil-hasil penelitian tulisan, atau pendapat pakar pakar hukum. Di dalam penelitian ini, buku-buku hukum yang dipergunakan diantaranya buku tentang perjanjian, tentang perikatan, tentang teori dan filsafat hukum dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak serta buku-buku yang berkaitan dengan perbankan.

c. Bahan Hukum Tersier.

Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia dan lain sebagainya.

3. Alat Pengumpul Data

Sebagai bentuk penelitian yang bersifat normatif, didalam penelitian tentang Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Terhadap Penerbitan Comfort Letter Antara PT. Bank BRI-Agroniaga Tbk. Dengan Kantor Akuntan Publik (KAP), alat pengumpul data dilakukan melalui studi kepustakaan (library research) yakni

9 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty ,1991) hal. 19.

10 Ibid.

(21)

upaya untuk memperoleh data dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang undangan, artikel, jurnal dan sumber tertulis lainnya yang relevan dengan penelitian.

4. Analisis Data

Proses analisis data merupakan suatu langkah yang paling menentukan dari suatu penelitian, karena analisa data berfungsi untuk menyimpulkan hasil penelitian. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.11 Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.12 Data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan yang mengandung kebenaran obyektif.

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan pada Arsip Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Cabang Fakultas Hukum USU/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU bahwa penulisan skripsi tentang;

“Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Kerjasama Penerbitan Comfort Letter antara Bank dan Akuntan Publik (Studi pada PT. Bank BRI-Agroniaga

11 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung : Alfabeta, 2010), hal 244.

12 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung : Remaja Rosadakarya, 2010), hal. 3

(22)

Kantor Pusat Jakarta)” belum pernah dilakukan dan tidak ada judul yang sama sehingga keasliannya dapat dipertanggung- jawabkan baik secara akademis maupun secara moral.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yang saling berkaitan satu sama lain yaitu :

BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya berisi uraian yaitu Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, Sistematika Penulisan.

BAB II : Merupakan bab yang membahas mengenai Perjanjian yang terdiri atas 2 sub bab yakni sub bab pertama yang menguraikan tentang Perjanjian secara umum yakni Pengertian Perjanjian, Unsur-Unsur dalam Perjanjian, Asas- Asas dalam Hukum Perjanjian, Syarat-Syarat Sah Suatu Perjanjian, Penafsiran Perjanjian, Akibat Perjanjian, Jenis Perjanjian, serta Cara Berakhirnya Suatu Perjanjian.

Sedangkan sub bab kedua menguraikan tentang Perjanjian Kerjasama .

BAB III : Merupakan bab yang membahas mengenai Tinjauan Umum Comfort Letter dalam Kegiatan Perbankan yang terdiri atas Pengertian Comfort Letter, Penggunaan Comfort Letter dalam Kegiatan Perbankan, Perkembangan Comfort Letter di Indonesia serta Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam

(23)

Penerbitan Comfort Letter.

BAB IV : Merupakan bab yang membahas secara komprehensif terkait dengan permasalahan yang telah dikemukakan yang meliputi Kedudukan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Kerjasama, Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dan Keseimbangan Para Pihak dalam Penerbitan Comfort Letter, Tanggung Jawab Hukum Pihak Penerbit Comfort Letter, serta Penyelesaian Sengketa dalam Penerbitan Comfort Letter.

BAB V : Merupakan bab yang menguraikan mengenai Kesimpulan dan Saran. Dalam bab ini penulis mengemukakan kesimpulan berdasarkan uraian- uraian bab terdahulu.

Selanjutnya penulis memberi saran yang kiranya bermanfaat dan dapat dipergunakan bagi kalangan akademis maupun praktisi untuk dapat melakukan kajian lebih dalam lagi dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum perjanjian.

(24)

A. Pengertian Perjanjian

1. Pengertian Umum dan Unsur Unsur Perjanjian

Dalam perkembangan dunia hukum khususnya dalam hal bisnis, perjanjian memiliki peranan yang sangat esensial. Perjanjian merupakan hubungan hukum antara para pihak yang merupakan dasar awal terlaksananya pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak di masa yang mendatang. Para ahli hukum telah memberikan defenisi yang beragam-ragam terhadap perjanjian. Namun, dikarenakan begitu banyaknya defenisi yang dimuat dalam berbagai literatur dan yang diberikan para ahli, istilah perjanjian dan perikatan masih seringkali dicampur- adukkan dan bahkan dianggap memiliki arti yang sama. Dalam bahasa Belanda perjanjian dikenal dengan istilah overenskomst, sedangkan perikatan disebut verbintenis. Pada umumnya, perjanjian dianggap memiliki bentuk yang lebih konkret daripada perikatan yang sifatnya hanyalah abstrak. Perjanjian dan perikatan memiliki hubungan erat satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan, karena perjanjian merupakan salah satu sumber dari perikatan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1233 KUHPerdata bahwa sumber perikatan terbagi menjadi 2 (dua) yakni :

1. Perikatan yang bersumber dari perjanjian, 2. Perikatan yang bersumber dari undang-undang

Perikatan yang bersumber dari undang-undang tersebut tercantum dalam pasal 1352 KUHPerdata yang dibagi menjadi 2 yakni13 :

13 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, cet 3, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007) , hal 17

(25)

1. Perikatan semata-mata karena undang-undang yang terdiri dari :

a. Perikatan yang menimbulkan kewajiban bagi penghuni pekarangan yang berdampingan (Pasal 625 KUHPerdata)\

b. Perikatan yang menimbulkan kewajiban mendidik dan memelihara anak (Pasal 104 KUHPerdata)

2. Perikatan karena undang-undang tetapi lewat perrbuatan manusia yang terdiri dari :

a. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad, tort) vide pasal 1365 KUHPerdata

b. Perbuatan Menurut Hukum (Rechtmatige daad), terdiri dari :

i. Perwakilan sukarela (Zaakwaarneming), vide Pasal 1354 KUHPerdata

ii. Pembayaran tidak terutang (Pasal 1359 ayat (1) KUHPerdata.

iii. Perikatan wajar (Naturlijke Verbintennissen), vide Pasal 1359 ayat (2) KUHPerdata

Sebagaimana diketahui, Buku Ke-III KUHPerdata merupakan bagian yang mengatur tentang Perikatan. Akan tetapi, defenisi perikatan itu sendiri tidak ada tercantum di dalam KUHPerdata, khususnya pada buku ke-III. Disisi lain justru pengertian perjanjian lah yang tercantum dalam Buku Ke-III tersebut. Defenisi perjanjian dapat kita temui dalam Pasal 13131 KUHPerdata yang mana perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.14 Kesimpang siuran dan ketidak jelasan defenisi perjanjian/perikatan ini seringkali menciptakan kekaburan yang membingungkan.

Kejelasan perbedaan dan batas antara perikatan dan perjanjian ini tentunya diperlukan dalam upaya mencari kepastian hukum. Oleh sebab itu, para ahli memberikan beberapa defenisi terhadap perjanjian dan perikatan. Seperti halnya Subekti yang memberi defenisi terhadap perikatan dan perjanjian. Perikatan diartikan sebagai “hubungan hukum antara 2 orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang

14 Pasal 1313 KUHPerdata

(26)

lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”15 Sedangkan defenisi dari Perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”

Sedangkan menurut Salim H. S, perjanjian merupakan hubungan hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan. Perlu diketahui bahwa subjek hukum yang satu berhak atas prestasi begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.16

Pendapat mengenai perjanjian juga diungkapkan oleh Wirjono Prodjodikoro, yang menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.17

Beberapa ahli lain beranggapan bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut terlalu luas cakupannya dan belum lengkap. Oleh sebab itu untuk melengkapi definisi dan makna dari Pasal 1313 KUHPerdata tersebut, perlu diadakan perbaikan yakni :

1. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.;

2. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPerdata;

3. Sehingga perumusannya menjadi, “perjanjian adalah perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” 18

15. Subekti, Hukum Perjanjian, cet 19 (Jakarta: Intermasa, 2002), hal 1

16. Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia Buku Kesatu (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal 17

17 R. Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Mandar Maju, 2004) hal. 4

18 Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan dalam Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Poroposionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana, 2010) , hal 16

(27)

Oleh karena terlalu luasnya defenisi dari perjanjian tersebut, Abdulkadir Muhammad juga memberikan pendapat bahwa “rumusan pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata masih memiliki beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi”, antara lain:19

a. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal tersebut dapat diketahui dari rumusan kata kerja ”mengikatkan diri“, sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara dua pihak.

Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.

b. Dalam pengertian ”suatu perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming) dan tindakan melawan hukum (onrectitmatigedaad) tidak mengandung suatu konsensus. Perbuatan yang dimaksud diatas adalah perbuatan yang timbul dari penjanjian saja, seharusnya dipakai istilah “persetujuan”.

c. Pengertian penjanjian terlalu luas.

Pengertian Perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dengan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki buku ke-III KUHPerdata sebenarnya hanyalah meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat kepribadian (personal).

d. Tanpa menyebut tujuan

Dalam rumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

Sri Soedewi Masjschoen Sofwan juga turut menyatakan bahwa Pasal 1313 KUHPerdata sebagai perjanjian. Namun pengertian tersebut sangat kurang lengkap dan terlalu luas. Kurang lengkap karena hanya mengenai perjanjian sepihak saja, sedangkan terlalu luas karena mencakup pula perbuatan yang termasuk dalam lapangan hukum keluarga.20

Beberapa sarjana lain juga memberikan pengertian mengenai perjanjian seperti Tirtodinigrat yang menyatakan perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum

19 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1992) hal 75

20 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perutangan Bagian B Seksi Hukum Perdata, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1980) hal. 1

(28)

berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat- akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-undang.21

Pendapat lain ditambahkan oleh J. Satrio yang mengemukakan bahwa pengertian perjanjian akan lebih baik apabila diartikan sebagai suatu perbuatan hukum antara satu orang mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.22

Dari sekian banyak pendapat sarjana tersebut dapat dipahami bahwa pengertian perjanjian itu sendiri secara umum adalah hubungan hukum berdasarkan kesepakatan dari dua pihak atau lebih untuk saling mengikatkan diri dalam memenuhi suatu prestasi dikemudian hari. Hubungan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah segala macam hubungan yang terjadi dalam pergaulan masyarakat yang diatur oleh ketentuan hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum jika hubungan tersebut dilanggar.23

Dalam perjanjian juga tentunya terkandung unsur-unsur.Unsur ini juga memiliki peranan penting dalam pembentukan sebuah perjanjian. Unsur-unsur yang ada dan terkandung didalam perjanjian itu sendiri tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu sebagai :

1. Unsur Essensialia

Unsur ini merupakan unsur yang mutlak dan harus selalu ada dalam setiap perjanjian. Unsur essensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut untuk membedakan secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya. Unsur essensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam

21 Tirtodiningrat, Ikhtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, (Jakarta: Pembangunan, 1986), hal.

83

22 J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992) , hal. 322

23 Asis Safioedin, Beberapa Hal Tentang Burgelijk Wetboek, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 97

(29)

memberikan rumusan, defenisi atau pengertian dari sebuah perjanjian.24 Tanpa adanya unsur ini perjanjian tidak dapat dilaksanakan para pihak.

2. Unsur Naturalia

Unsur naturalia adalah bagian dari suatu perjanjian yang menurut sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak.25 Apabila para pihak tidak mengatur hal-hal dalam sebuah perjanjian maka ketentuan perundang- undangan yang akan mengaturnya. Namun para pihak masih dimungkinkan untuk menyimpangi ketentuan tersebut. Contohnya, Pasal 1476 KUHPerdata yang menentukan bahwa biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli jika tidak diperjanjikan sebaliknya.

3. Unsur Accidentalia

Unsur ini merupakan unsur yang terdapat dalam perjanjian yang tidak diatur dalam undang-undang, tetapi dapat ditambahkan di dalam perjanjian itu berdasarkan kesepakatan para pihak. Unsur ini merupakan cerminan hukum perjanjian yang bersifat terbuka. Contohnya, penambahan fasilitas tertentu dalam perjanjian jual beli atau dapat juga dala hal mengatur waktu dan tempat dimana barang yang diperjual belikan tersebut diserahkan. Unsur ini bersifat sebagai pelengkap saja.

2. Asas-asas dan Syarat Sahnya Perjanjian

Eksistensi asas dalam setiap sistem hukum adalah hal yang sangat penting dan berpengaruh dalam menentukan kokoh atau tidaknya sistem hukum tersebut. Asas berfungsi sebagai landasan atau dasar dalam pembentukan suatu sistem hukum yang

24 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (II), Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 84

25 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 67

(30)

memberi arah serta tujuan apa yang ingin dicapai melalui pembentukan hukum tersebut. Asas dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah beginsel.

Di dalam bidang hukum perjanjian sendiri, terdapat banyak asas yang dijadikan sebagai landasan dalam pembuatan sebuah perjanjian. Namun hanya akan dibahas beberapa asas saja yang paling erat keterkaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yakni :

a) Asas Kebebasan Berkontrak ( Freedom of Contract)

Asas ini merupakan asas yang dijunjung tinggi dalam proses pembuatan kontrak di negara-negara Common Law. Dalam sistem hukum Civil Law sendiri asas ini juga dikenal dan dapat ditemukan dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas ini menyiratkan bahwa dalam membangun suatu hubungan hukum yang mana dalam hal ini adalah perjanjian, para pihak harus diberikan kebebasan yang luas namun terbatas tentang apa yang hendak diperjanjikan, apa bentuk dari perjanjian tersebut, dan dengan siapa pihak tersebut akan membuat perjanjian. Asas ini merupakan perwujudan dari sifat hukum perjanjian yang terbuka dan bersifat sebagai hukum pelengkap (aanvulend recht).

Sebagaimana sifat dari hukum pelengkap, para pihak dimungkinkan untuk menyimpang dari peraturan yang sudah mengatur tentang perjanjian dengan membuat ketentuan sendiri mengenai apa yang akan mereka tuangkan didalam perjanjian selama tidak bertentangan dengan undang-undang dan norma hukum yang berlaku. Hal ini juga merupakan salah satu perwujudan dari asas dalam ilmu hukum ‘Lex specialis derogate lex generalis’. Namun, disamping perannya sebagai hukum pelengkap, hukum perjanjian juga memiliki sifat yang memaksa (dwingend recht). Hal ini dikarenakan, apabila ada hal-hal yang tidak diatur oleh para pihak

(31)

tersebut didalam perjanjiannya maka para pihak akan secara otomatis tunduk kepada peraturan hukum yang telah mengatur dalam konteks ini merupakan Buku ke-III KUHPerdata tentang Perikatan.

Menurut Sutan Remi Sjahdeni,26 asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya;

d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).

Meskipun asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang terpenting dalam suatu perjanjian sebagaimana yang dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dalam pelaksanaannya asas ini tidak dapat berdiri sendiri karena berkaitan dan saling melengkapi dengan asas-asas hukum perjanjian yang lainnya dan dalam pemahamannya menjadi suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dan harus dibingkai dengan ketentuan pasal pasal lainnya yakni27 ;

a. Pasal 1320 BW, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak);

b. Pasal 1335 BW, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa, atau dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu atau yang terlarang, dengan konsekuensi kontrak tidak mempunyai kekuatan;

c. Pasal 1337 BW, yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum;

d. Pasal 1338 (3) BW, yang menetapkan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik;

e. Pasal 1339 BW, menunjuk terikatnya perjanjian kepada sifat, kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Kebiasaan yang dimaksud dalam Pasal

26 Sutan Remi Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,1993), hal. 47.

27 Agus Yudho Hernoko, Op.Cit., hal 117

(32)

1339 BW bukanlah kebiasaan setempat, akan tetapi ketentuan-ketentuan yang dalam kalangan tertentu selalu diperhatikan;

f. Pasal 1347 BW mengatur mengenai hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak (bestandig gebruiklijk beding).

Sehingga dengan demikian yang mesti dipahami dan perlu menjadi perhatian adalah bahwa asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1338 (1) BW tersebut hendaknya tidak dipahami sebagai bentuk kebebasan yang tanpa batas (absolut), tetapi harus dipahami dalam kerangka berpikir yang menempatkan posisi para pihak dalam keadaan seimbang- proporsional. Asas ini secara filosofis melarang apabila dalam suatu perjanjian terdapat ketidakseimbangan, ketidakadilan, ketimpangan, posisi berat sebelah dan lain-lain, yang pada intinya menempatkan salah satu pihak di atas pihak yang lain.

Apabila hal itu terjadi, maka justru merupakan pengingkaran terhadap asas kebebasan berkontrak itu sendiri. Oleh karena itu dengan terwujudnya proporsionalitas dalam hubungan para pihak akan membuat kontrak menjadi bernilai.28 Tujuan dari diadakannya pembatasan terhadap asas kebebasan itu sendiri adalah untuk menghindarkan para pihak dalam kontrak mengalami kerugian.

b) Asas Konsensualisme (Persetujuan para Pihak)

Asas konsensualisme ini berasal dari bahasa latin yaitu consensus yang berari sepakat. Menurut asas ini, perjanjian itu lahir sejak tercapainya kesepakatan antara para pihak. Kesepakatan yang dicapai tersebut dapat berbentuk lisan maupun tulisan. Kesepakatan yang telah dicapai tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Sepatutnya, suatu perjanjian haruslah lahir karena

28 Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak Cetakan-2, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal.3.

(33)

memang adanya keinginan para pihak untuk mengikatkan diri satu sama lain.

Keinginan tersebut kemudian melahirkan hak dan kewajiban sebagai akibat dari lahirnya perjanjian. Perwujudan daripada Asas Konsensualisme ini dapat dilihat pada Pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata yang juga merupakan pasal yang memuat syarat-syarat sah nya suatu perjanjian. Tidak tercapainya penerapan asas konsensualisme ini di dalam suatu perjanjian berakibat perjanjian tersebut menjadi batal sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1322 sampai dengan Pasal 1325 KUHPerdata. Pembatalan perjanjian sendiri dapat dilakukan apabila perjanjian tersebut dibuat karena unsur paksaan, penipuan maupun kekhilafan. Dengan kata lain, asas konsensualisme menjadi tolak ukur dalam menentukan lahirnya tidaknya sebuah perjanjian.

c) Asas Pacta Sun Servanda (Asas Kepastian Hukum)

Asas Pacta Sun Servanda ini dapat ditemukan dalam Pasal 1338 (1) KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang yang membuatnya, dengan demikian para pihak harus melaksanakan apa yang telah mereka sepakati. Dalam pelaksanaan nya keterikatan para pihak dalam perjanjiann tersebut tidak semata- mata hanya terbatas pada isi perjanjian yang telah mereka sepakati tersebut, melainkan juga tetap memperhatikan hal-hal lain yang terkait dengan nilai-nilai kepatutan, kebiasaan dan kesusilaan dalam masyarakat.

d) Asas Itikad Baik (Good faith)

Asas ini terdapat pada Pasal 1338 (3) KUHPerdata yang mengkehendaki bahwa didalam melaksanakan suatu perjanjian agar dilaksanakan dengan itikad baik. Mengenai itikad baik (good faith, geode trouw) itu sendiri hingga kini tidak

(34)

mempunyai defenisi yang universal, namun secara dogmatis itikad baik ini dapat dipahami sebagai29 :

1) Bentuk kejujuran para pihak dalam sebuah kontrak 2) Patuh dan memegang teguh janji, serta

3) Tidak mengambil keuntungan dari tindakan yang menyesatkan.

Penafsiran yang diberikan oleh doktrin terhadap arti dari asas ini adalah bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut. Adapun makna pantas dan patut tersebut adalah sebagai berikut :

Pantas : Maksudnya sesuai dengan ukuran kewajaran dalam masyarakat Patut : Merupakan ukuram yang ditentukan hubungannya berdasarkan rasa keadilan dalam masyarakat.

Asas ini penting terutama dalam penyelesaian permasalahan yang terdapat dalam perjanjian, karena itikad baik ini juga sangat penting dalam hal penyelesaian sengketa. Demikian juga menurut Ridwan Khairandy, penerapan asas itikad baik ini terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu30 :

1. Itikad Baik Subjektif

Merupakan bentuk kejujuran yang sudah harus ada pada para pihak dalam tahap negoisasi (fase pra kontraktual) yakni ketika terjadinya pertemuan kehendak yang dimotivasi adanya perbedaan kepentingan.

2. Itikad Baik Objektif

Merupakan bentuk itikad baik yang ada dalam substansi kontrak itu sendiri yang secara bersamaan harus disesuaikan dengan kepatutan dan keadilan. Tujuan itikad baik objektif ini semata-mata hanya untuk menyelesaikan sengketa tentang hak dan kewajiban dalam substansi kontrak tersebut.

Pada saat ini doktrin itikad baik telah diterima sebagai suatu doktrin pembatas kehendak bebas didalam kebebasan berkontrak, sehingga dengan demikian kebebasan didalam suatu perjanjian pada dasarnya dibuat dengan tidak

29 Ibid hal. 132

30 Ibid hal.190

(35)

ada maksud merugikan orang lain. Apabila suatu pihak menginginkan perjanjian itu dilanggar dan dari pelanggaran pihak lain tersebut akan mendatangkan keuntungan baginya, maka dapat dipastikan perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang tidak mengandung unsur itikad baik.

e) Asas Keseimbangan Para Pihak

Kata “keseimbangan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti keadaan seimbang (seimbang-sama berat, setimbang, sebanding, setimpal).

Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa asas ini mengkehendaki bahwa dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak, muatan hak dan kewajiban itu haruslah seimbang dalam artian hak salah satu pihak tidak boleh mendominasi hak pihak lain sehingga pihak tersebut dirugikan. Begitu juga dengan halnya kewajiban para pihak, kewajiban para pihak tidak boleh terlalu berat dibangdingkan pihak lainnya sehingga pihak tersebut merasa sangat terbebani yang berakibat pada ketidak mampuan pihak tersebut dalam melaksanakan kewajibannya.

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Setiap perjanjian dapat dinyatakan sah menurut hukum apabila telah memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, mengenai syarat sahnya perjanian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif. Berikut akan diuraikan penjelasan akan syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut :

(36)

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Menurut Soedikno Mertokusumo, kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain.31 Adanya kata sepakat ini haruslah didasari oleh kehendak bebas para pihak dan tidak boleh berdasarkan unsur paksaan (1324 KUHPerdata), unsur penipuan ( Pasal 1328 KUH Perdata) dan unsur kekeliruan

(Pasal 1322 KUH Perdata). Jika terbukti kontrak tersebut dibuat atas dasar salah satu unsur tersebut, kontrak dapat dibatalkan.32

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.

Cakap melakukan perbuatan hukum maksudnya kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, seperti halnya dalam pembuatan perjanjian, yang dilakukannya bedasarkan kehendak bebas dan subjek hukum tersebut mampu mempertanggung jawabkan segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan hukum tersebut.

Dalam KUHPerdata, setiap orang sebagai subjek hukum dianggap cakap melakukan perbuatan hukum kecuali oleh undang-undang dikatakan lain. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 1329 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang- undang dinyatakan tidak cakap”. Isi dari pasal ini sepintas terkesan membingungkan karena tidak ada pasal dalam KUHPerdata yang menjelaskan secara jelas dan spesifik apa ukuran bagi subjek hukum untuk dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum termasuk membuat perjanjian. Namun dalam Pasal

31 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,2003), hal 23

32 Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 14

(37)

1330 KUHPerdata disebutkan bahwa yang tak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yakni :

1. Orang-orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang berada dibawah pengampuan;

3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.

Dari isi pasal ini dapat ditafsirkan bahwa selain yang disebutkan dalam pasal tersebut dianggap cakap melakukan perbuatan hukum, termasuk dalam hal pembuatan perjanjian. Kemudian untuk mengetahui secara lebih jelas dan spesifik subjek hukum mana saja yang dianggap cakap hukum, akan diuraikan satu persatu makna dari isi Pasal 1330 tersebut, sebagai berikut :

1) Orang-orang yang belum dewasa

Dalam hukum positif di Indonesia terdapat pluralisme batasan usia seseorang dikatakan dewasa. Dalam KUHPerdata sendiri, tidak ada disebutkan secara langsung berapa usia seseorang dikatakan dewasa, namun dalam Pasal 330 menegaskan bahwa belum dewasa adalah mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau tidak lebih dahulu telah kawin. Terkait dengan hal tersebut maka dapat ditafsirkan bahwa menurut KUHPerdata usia sesorang dikatakan dewasa adalah 21 tahun ataupun telah kawin.

Selanjutnya, apabila perkawinan subjek hukum itu berakhir walaupun usianya belum mencapai 21 tahun, maka ia tetap akan dianggap sebagai orang yang telah dewasa. Dengan demikian, menurut KUHPerdata orang yang cakap melakukan perbuatan hukum adalah yang telah berumur 21 tahun ataupun telah menikah. Lain halnya dengan KUHPerdata, dalam Undang-Undang No. 1 Tahun

(38)

1974 tentang Perkawinan juga diatur mengenai usia seseorang dikatakan dewasa yakni untuk laki-laki 19 tahun dan untuk perempuan 16 tahun. Namun, ketentuan dewasa menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini juga menimbulkana keragu-raguan karena hanya menyangkut tentang perkawinan, bukan perbuatan hukum pada umumnya sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata33 begitupun halnya dengan peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang batas usia dewasa.

2) Mereka yang dibawah pengampuan

Orang-orang yang diletakkan dibawah pengampuan adalah mereka yang dalam keadaan dungu, sakit otak, mata gelap, serta pemboros. Hal ini diatur dalam Pasal 433 KUHPerdata.

3) Orang-orang Perempuan

Ketentuan ini telah direvisi oleh Mahkamah Agung RI berdasarkan Surat Edaran No. 3/ 1963 tanggal 4 Agustus 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia bahwa perempuan adalah cakap sepanjang memenuhi syarat telah dewasa dan tidak di bawah pengampuan.34

c. Suatu Hal Tertentu

Suatu perjanjian haruslah mempunyai objek (bepaald onderwerp) tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek perjanjian itu harus tertentu, sekalipun masing-masing objek tidak harus secara individual. KUHPerdata menentukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi terhadap obyek tertentu dari

33 Agus Yudho Hernoko dalam Muhammad Syaiffudin, Op.Cit, hal.162

34 Muhammad Syaifuddin, Op. Cit., hal. 124

(39)

kontrak terutama sekali bilamana obyek perjanjian tersebut berupa barang sebagai berikut:

1. Barang tersebut haruslah merupakan barang yang dapat diperdagangkan.

(Pasal 1332 KUHPerdata)

2. Barang tersebut dapat juga terdiri dari barang yang baru akan ada dikemudian hari atau disebut sebagai jual beli barang yang absolut belum ada. Sedangkan jual beli terhadap barang yang relatif belum ada jelas dilarang (Pasal 1334 Ayat 1 KUHPerdata)

3. Barang tersebut dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333 Ayat 1 KUHPerdata)

4. Jumlah barang boleh tidak ditentukan pada saat kontrak dibuat akan tetapi jumlah tersebut dikemudian hari dapat ditentukan atau dihitung. (Pasal 1333 Ayat 2 KUHPerdata)

5. Barang-barang yang digunakan untuk kepentingan umum tidak dapat dijadikan objek perjanjian.

d. Suatu sebab yang halal

KUHPerdata tidak memberikan rumusan terhadap pengertian “sebab yang halal” meskipun kata “sebab” itu sering kali digunakan dalam ketentuan pasal-pasal seperti dapat dilihat dalam Pasal 1335, 1336 dan 1337 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata. Tetapi jika diartikulasikan muatan pasal pasal tersebut maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “sebab atau kausa yang halal”

antara lain adalah perjanjian yang dibuat : bukan tanpa sebab, bukan sebab yang palsu, dan/atau bukan sebab yang terlarang.

(40)

Dengan kata lain “sebab” atau kausa” di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,35 sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Subekti36, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian.

Demikian juga menurut yurisprudensi tentang kausa halal ini ditafsirkan terhadap isi atau maksud dari perjanjian itu. J. Satrio37 berpendapat:

“Bahwa tujuan perjanjian tidaklah sama dengan isi perjanjian. Hal ini karena apabila isi dan tujuan perjanjian sama, maka semua perjanjian bernama tidaklah mungkin mempunyai tujuan yang terlarang karena isinya telah sesuai dengan isi perjanjian yang khusus”.

Namun secara praktek dalam kehidupan sehari hari masih sering ditemukan bentuk perjanjian yang isinya sudah sesuai dengan ketentuan perundang- undangan tetapi tujuannya mengandung unsur yang terlarang. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau terlarang tidaklah memiliki kekuatan38 yang mengikat dan dinyatakan batal (nietig), sehingga para pihak dianggap telah kembali ke keadaan semula tanpa perlu mengadakan tuntutan pembatalan.

Kedua syarat yang pertama dalam Pasal 1320 KUHPerdata dinamakan sebagai syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan kedua syarat terakhir disebutkan syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian, dan apabila syarat syarat subjektif atau syarat objektif didalam

35 Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, , (Yogyakarta: Liberty ,1980), hal. 319

36Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa , 2003), hal.18

37 J. Satrio, Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku Ke-1 , (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 24-27.

38 Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal.

172

(41)

pembentukan perjanjian tidak terpenuhi maka terhadap perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau bahkan batal demi hukum.

1) Jika Tidak dipenuhinya unsur subjektif

Apabila suatu Perjanjian lahir terdapat adanya cacat kehendak (wilsgebreken) atau karena ketidak cakapan (onbekwaamheid) sehingga berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar).

2) Tidak dipenuhinya unsur objektif

Apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat objek tertentu atau tidak mempunyai kausa yang halal sehingga berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig).

Dengan demikian, makna pembatalan lebih mengarah pada proses pembentukan perjanjian. Akibat hukum pada pembatalan perjanjian adalah

‘pengembalian kepada keadaan posisi semula atau hubungan hukum tersebut dianggap tidak pernah ada. Konsekuensi lanjutan dan efek atau daya kerja pembatalan ini, apabila setelah pembatalan salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya (mengembalikan apa yang telah diperolehnya), maka pihak yang lain dapat mengajukan gugat revindikasi (Pasal 574 KUHPerdata) untuk pengembalian barang miliknya, atau gugat perorangan atas dasar pembayaran yang tidak terutang (onverschuldig betaling) seperti tercantum dalam Pasal 1359 KUHPerdata.

B. Pengertian Perjanjian Kerjasama

1. Pengertian Umum Perjanjian Kerjasama

Perjanjian kerjasama tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, perjanjian ini merupakan perjanjian yang lahir berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Namun meskipun tidak diatur dalam KUHPerdata berdasarkan definisi

Referensi

Dokumen terkait

Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan hak istri. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut diatas para pencari keadilan yang selalu

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dijelaskan bahwa benda (yang ada diwilayah Negara RI atau diluar Negara RI) yang dibebani dengan jaminan

Pendapat demikian juga sesuai dengan pertumbuhan hukum Anglo Amerika menurut sistem common law, di mana pemegang hipotek (mortgagee) dianggap memperoleh hak eigendom atas benda

Perusahaan Sewa Guna Usaha (leasing) kegiatan utamanya adalah bergerak di bidang pembiayaan untuk memenuhi keperluan barang-barang modal oleh debitur. Pemenuhan pembiayaan

76 Wawancara dengan Bapak Hasan Amin, tanggal 5 Agustus 2016 di kantor PT. Rahmat Jaya Transport.. Indofood di dalam proses penyelenggaraan pengangkutan dengan PT. Rahmat Jaya

Direksi salah satu organ PT yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Namun,

1) Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku untuk mediasi yang perkaranya diproses di Pengadilan. 2) Setiap hakim, mediator, dan para pihak wajib mengkuti prosedur medisi yang

Dampak meningkatnya perkara perceraian yang terjadi di Mahkamah Syar’iyah Meulaboh dan dampak terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dikurangi ataupun