• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI OLEH YOLANDA MARTINA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI OLEH YOLANDA MARTINA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK PANGAN YANG TIDAK DILABEL OLEH PELAKU USAHA BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA (STUDI PADA BEBERAPA USAHA DAGANG

DI KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH

YOLANDA MARTINA 130200535

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK PANGAN YANG TIDAK DILABEL OLEH PELAKU USAHA BERDASARKAN HUKUM

POSITIF DI INDONESIA

(STUDI PADA BEBERAPA USAHA DAGANG DI KOTA MEDAN)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi tugas dan memperoleh geral sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

YOLANDA MARTINA NIM : 130200535

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

Dr. Rosnidar Sembiring, SH.M.Hum.

NIP. 196602021991032002

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. H. hasim purba, SH., M.Hum Dr. Dedi Harianto, SH. M.Hum NIP. 196603031985081004 NIP. 196908201995121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih karuniaNya yang tiada berkesudahan dan telah memberikan penulis kekuatan dan kemampuan untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis persembahkan kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perlindungan Konsumen terhadap Produk Pangan Yang Tidak Dilabel oleh Pelaku Usaha Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia (Studi pada Beberapa Usaha Dagang di Kota Medan)

Penulisan skripsi ini juga merupakan salah satu syarat bagi setiap mahasiswa untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa skripsi ini banyaknya kekurangan, baik itu disebabkan literatur maupun pengetahuan penulis sehingga pembuatan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, motivasi, dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum USU.

2. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum USU.

(4)

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum USU.

5. Ibu Dr. Rosnidar, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.

6. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum USU.

7. Bapak Prof. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan waktu Beliau kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi dalam proses pengerjaan skripsi ini.

8. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan waktu Beliau kepada penulis untuk membimbing, memberi nasehat dan motivasi dalam proses pengerjaan skripsi ini.

9. Bapak Sunarto Ady Wibowo S.H., selaku Dosen Penasehat Akademik penulis.

10. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum USU seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama tujuh semester dalam menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum USU.

11. Teristimewa untuk kedua orang tua yang sangat penulis sayangi yaitu Bangun Lumbantobing (papa) dan E. Situmorang, S.E. (Mama), kepada abang Harry Christian Tobing, S.H. dan kakak dr. Devy Eryn Tobing.

Terima kasih atas seluruh kasih sayang, motivasi, kesabaran, pengorbanan,

(5)

bantuan dan terutama doa yang kalian semua berikan pada penulis selama ini yang sangat berarti bagi penulis, khususnya dalam proses penyelesaian skripsi ini.

12. Kepada Bapak Mangandar Marbun, S.Si., Apt., selaku Kepala seksi Penyidik Balai Besar POM Medan dan Bapak Denny Purba, S.Si., Apt., selaku fungsional Pengawasan Farmasi Obat dan Makanan Balai Besar POM Medan dan kepada Bapak Nico Gabriel selaku pemilik usaha roti bohong yang beralamat di jalan perumahan milala rumah tengah blok c.3 nomor 2 Namo bintang pancur batu Medan, yang telah menyempatkan diri untuk memberitahukan informasi-informasi yang penulis butuhkan dalam penyelesaian skripsi ini.

13. Kepada keluarga penulis,tua Poltak Lumbantobing, S.H., dan tua Rita Simangunsong dan sepupu-sepupu tersayang “Dorms Member” (Kak Tika, Kak Dedek, Kak Ingrid, Kak Cristin, Kak Ageth, Naomi dan Vanana), Rico, Theresia, Ivan, kak Ira dan ponakan tersayang Cicia, Mandy, Acel dan kepada seluruh keluarga besar penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan doa dan dukungan serta semangat yang luar biasa bagi penulis dalam pengerjaan skripsi ini;

14. Kepada sahabat-sahabat tersayang “Lirik” (Rahmadani Fitri, Ulfah Batubara, An Nisa Dian Rahma, Naura Lamsari, Ivo Yolanda, Isfa Khusyani), “Perawan” (Sheren Sagala, Grace Hutahaean, Ruth Gabriella, Tessalonika Tampubolon), Shanta Ginting, Desy Saragih, Dessy Farnanda, Christ Imanuel, Ihsan Farizi, Rahmat Manurung, Raja Pratama, Samuel

(6)

Rajagukguk, Benny, Jefri Manurung yang telah banyak membantu penulis dalam segala hal dan selalu memberikan dukungan, motivasi, dan doa kepada penulis dalam proses penyelesian skripsi ini;

15. Kepada sahabat-sahabat terbaik yang sekaligus teman seperjuangan penulis di Fakultas Hukum Sumatera Utara yaitu, “BICA” (Ire Tanari, Nur afni, Inka Yulita, Tri Wahyuni Limbong, Aini Nirzani, Syarafina Rahayu Fitri), Muhammad Syarif, Alfi Syahrin, Ruth Diyantika, Siti Marlina, Rommana, Tamiarissa, yang selalu memberikan dukungan serta motivasi kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini;

16. Kepada kakanda dan abangda selaku guru penulis, Irma Sika Ginting, S.Si dan Clinton Simanungkalit, S.H, yang tanpa lelah, membimbing, mengajari, memberi dukungan dan doa kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

17. Kepada semua teman-teman kelas Grup D, teman-teman Departemen perdata BW, teman-teman satu kelompok klinis dan teman-teman stambuk 2013 Fakultas Hukum Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungan yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungan semangat yang diberikan kepad penulis selama perkuliahan ini;

18. Dan segenap pihak yang membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas doa dan dukungan semangat yang dibagikan bersama;

(7)

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Maret 2017

YOLANDA MARTINA 130200535

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI………... vi

ABSTRAK……… viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………... 1

B. Rumusan Masalah……… 7

C. Tujuan Penulisan………. 8

D. Manfaaat Penulisan………. 8

E. Keaslian Penelitian………... 9

F. Metode Penelitian……… 11

G. Sistematika Penulisan ………. 17

BAB II TINJAUAN UMUM A. Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Perlindungan Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen……… 19

2. Pengertian Pelaku Usaha dan Konsumen……… 21

3. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ……… 26

4. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen……….. 40

B. Produk Pangan 1. Pengertian Produk Pangan………... 43

2. Pengaturan Produk Pangan……….. 46

BAB III PENGATURAN PELABELAN PRODUK PANGAN A. Pelabelan Produk Pangan……….. 50

1. Pengertian Label Pangan………. 50

2. Pengaturan Pencantuman Label Pangan ………. 53

3. Pentingnya Label Sebagai Sarana Informasi Produk Pangan………. 61

B. Manfaat Label……… 63

1. Manfaat Label bagi Produsen……….. 63

2. Manfaat Label bagi Konsumen……… 64

(9)

BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK PANGAN YANG TIDAK DILABEL BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Pengaturan Perlindungan Konsumen terhadap Produk Pangan

yang Tidak Dilabel……… 67 B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Produk Pangan yang

Tidak Dilabel………. 77 C. Upaya Pengawasan Pemerintah terhadap Produk Pangan

yang Tidak Dilabel………. 85 D. Bentuk Perlindungan Konsumen dalam Bentuk Penyelesaian

Sengketa………..……... 92 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……… 97 B. Saran ………. 98 DAFTAR PUSTAKA

1. Surat Keterangan Tanda Riset 2. Hasil Wawancara

(10)

ABSTRAK Yolanda Martina*

Hasim Purba**

Dedi Harianto***

Pemberian label pada produk pangan sangatlah penting karena merupakan sarana informasi dari produsen ke konsumen mengenai produk yang akan dijualnya. Pemberian label yang benar, jujur dan lengkap akan membantu terciptanya perdagangan yang sehat, jujur dan bertanggungjawab sehingga mempermudah dalam pengawasan keamanan pangan dan melindungi konsumen dari itikad buruk pelaku usaha. Pada kenyataannya masih banyak pelaku usaha yang belum mencantumkan label pada pangan olahannya. Adapun skripsi ini akan membahas mengenai pengaturan perlindungan konsumen terhadap produk pangan yang tidak dilabel, tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk pangan yang tidak dilabel, pengawasan pemerintah terhadap produk yang tidak dilabel.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yakni penelitian hukum normatif dan penelitian yuridis empiris. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999. Sedangkan penelitian yuridis empiris yaitu dengan melakukan penelitian berupa wawancara di Balai Besar POM Medan.

Kesimpulan menunjukkan bahwa, Pencantuman label pada produk pangan sudah diatur di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Tetapi, implementasi peraturan perundang-undangan ini masih kurang diterapkan di kota Medan terbukti dari masih banyaknya produk pangan yang belum diberikan label.

Kemudian masih banyak produsen yang tidak bertanggungjawab atas kerugian yang dialami konsumen, karena tidak adanya informasi berupa alamat dalam produk pangan tersebut. Pemerintah sebagai fungsi pengawasan produk pangan telah menjalankan tugas dan fungsinya melalui BPOM dan apabila terjadi sengketa, maka penyelesaiannya dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu penyelesaian sengketa konsumen di luar maupun melalui pengadilan.

Kata kunci : Label, Informasi, Pengawasan, Hak Konsumen dan Perlindungan Konsumen

* Mahasiswa Fakultas Hukum USU

** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembibing II

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari tidak pernah terlepas dari produk pangan, karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai sumber energi yang dibutuhkan manusia untuk dapat menjalankan aktivitasnya. Pangan yang aman, bermutu, dan bergizi merupakan syarat utama yang harus terpenuhi dalam upaya mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas ditentukan dengan tingkat konsumsi pangan yang bergizi, serta tidak mengandung zat-zat kimia yang membahayakan manusia.1

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman.2

Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi oleh Pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan (selanjutnya disebut UU

1 Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pangan

2 Pasal 1 angka 1 UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

(12)

2

No.7 Tahun 1996 Tentang Pangan). Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan dalam Pasal 45 :

“Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, dan pengawasan, sementara masyarakat menyelenggarakan proses produksi dan penyediaan, perdagangan, distribusi serta berperan sebagai konsumen yang berhak memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah dan mutu, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat”.

Pangan harus memuat informasi-informasi yang jelas mengenai nama produk, daftar bahan/komposisi, berat bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi, tanggal dan kode produksi, tanggal kadaluarsa serta izin peredaran produk pangan itu.

Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan menyebutkan yang dimaksud dengan “Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan yang selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah disebut Label.”

Label merupakan perwujudan dari hak konsumen untuk mendapatkan informasi mengenai suatu produk. Informasi dalam produk pangan harus dibuat secara benar, jujur dan jelas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 33 angka 1 UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan bahwa “Setiap label dan atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan.” Hal ini berarti tidak ada informasi yang ditutup- tutupi oleh produsen. Konsumen berhak mengetahui informasi yang sejelas- jelasnya, selengkap-lengkapnya.

(13)

3

Pemberian label pada produk pangan menjadi penting karena merupakan sarana informasi dari produsen kepada konsumen mengenai produk yang akan dijualnya. Sehingga konsumen dapat mengetahui tentang bahan-bahan yang dipergunakan dan konsumen dapat memilih produk pangan yang akan dikonsumsinya. Pemberian label yang benar, jujur dan lengkap akan membantu terciptanya perdagangan yang sehat, jujur dan bertanggungjawab sehingga mempermudah dalam pengawasan keamanan pangan dan melindungi konsumen dari itikad buruk produsen.

Namun walaupun pengaturan tentang label pangan sudah diatur sedemikian rupa tidak jarang masih sering dijumpai masalah-masalah terkait dengan label, contohnya seperti yang dilansir dalam kompas “makanan tak berlabel kadaluarsa beredar di Kediri”3, kasus terigu beracun yang dilansir di halaman kompas.com pada tanggal 9 november 2012 yaitu mengenai ditemukannya sebanyak 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) ton terigu asal Sri Lanka yang diindikasikan mengandung bahan berbahaya yang tidak memiliki izin edar serta tidak memiliki label.4 Kasus yang terjadi di daerah Mataram yang dilansir pada liputan6.com tanggal 23 September 2016 mengenai beredarnya makanan dan minuman yang berlabel halal yang disablon. Dalam kasus ini terjadi pemalsuan label halal pada produk makanan tersebut5, dan juga seperti kasus penjualan roti bohong yang

3http://nasional.kompas.com/read/2012/07/19/14224320/makanan.tak.berlabel.kadaluarsa .beredar.di.kediri, diakses 18 Oktober 2016

4http://news.kompas.com/read/2012/1/09/04520184/terigu.beracun.mengancam?utm_sour ce=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd , diakses 18 Oktober 2016

5http://liputan6.com/regional/read/2609309/awas-beredar-makanan-minuman-berlabel- halal-sablon , diakses tanggal 18 Oktober 2016

(14)

4

tidak memiliki label yang diproduksi oleh Bapak Nico Gabriel di perumahan milala rumah tengah blok c.3 nomor 2 Namo bintang pancur batu Medan.

Kasus-kasus ini ini merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh produsen yang berkaitan dengan Pasal 8 angka 1 huruf g dan i Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) yang menyebutkan:

“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

g)Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut.

i)Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat”.

Hal ini tentu sangat meresahkan konsumen karena dikhawatirkan akan menimbulkan kerugian yang besar bagi konsumen. Untuk mengatasi hal tersebut maka konsumen perlu mengetahui tentang apa sebenarnya perlindungan konsumen itu.

Perlindungan konsumen merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan produsen dalam hal pemberian label mengingat bahwa label adalah hak dari konsumen.

Selain diatur dalam Perlindungan Konsumen masalah label ini juga diatur di dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 111 angka 3 menyebutkan bahwa :

(15)

5

“Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi :

a. Nama Produk;

b. Daftar bahan yang digunakan;

c. Berat bersih atau isi bersih;

d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan minuman kedalam wilayah Indonesia;

e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa”.

Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan Pasal 97 angka 3 menyebutkan bahwa :

“Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai:

a. nama produk;

b. daftar bahan yang digunakan;

c. berat bersih atau isi bersih;

d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor;

e. halal bagi yang dipersyaratkan;

f. tanggal dan kode produksi;

g. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa;

h. nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan i. asal usul bahan Pangan tertentu”

Ketentuan mengenai pemberian label ini juga ditegaskan di dalam Pasal 3 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan menyebutkan bahwa:

1) Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan.

2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya : a. nama produk;

b. daftar bahan yang digunakan;

c. berat bersih atau isi bersih;

d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia;

e. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa”

Hal-hal itu disebut secara jelas didalam UUPK Pasal 8 angka 1 huruf g, dimana produsen produk pangan dilarang untuk tidak mencamtukan tanggal

(16)

6

kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan atau pemanfaatan yang paling baik atas produk pangan tersebut.

Sehingga dapat dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut sebenarnya telah mengatur mengenai ketentuan tentang hal-hal apa saja yang harus dicantumkan oleh produsen produk pangan didalam produk pangannya demi memberikan informasi yang jelas tentang kandungan-kandungan yang terdapat didalam produk pangan tersebut. Hal ini merupakan bentuk perwujudan dari perlindungan terhadap konsumen dari segi kejelasan informasi mengenai produk pangan tersebut.

Bagi konsumen yang kurang kritis hal itu akan tetap berpotensi untuk mengakibatkan terjadinya kerugian akibat penggunaan produk. Kerugian yang dialami akibat kurang kritisnya konsumen terhadap barang yang ditawarkan tersebut tidak terlepas dari tingkat pendidikan konsumen yang rendah. Kondisi inilah yang dimanfaatkan produsen yang kurang mempunyai tanggung jawab sosial yang tidak taat pada kode etik profesionalisme, untuk melakukan persuasi kepada konsumen tidak dengan cara memberikan informasi yang benar tentang produk yang dipasarkan, melainkan menggunakan berbagai cara agar masyarakat mau membeli barang-barang produknya.

Bagi konsumen, informasi tentang barang memiliki arti yang sangat penting.6

Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk pangan. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara,

6 A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 76.

(17)

7

seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan berbagai media atau mencantumkannya dalam atau diluar kemasan produk pangan (label pangan).7

Dengan adanya label, konsumen akan memperoleh informasi yang benar, jelas dan baik mengenai kuantitas, isi, kualitas barang beredar dan dapat menentukan pilihan sebelum membeli atau mengkonsumsi pangan. Selain itu, di dalam Pasal 4 huruf c UUPK yang menyatakan bahwa konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulisan skripsi ini diberi judul

“Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan yang Tidak Dilabel oleh Pelaku Usaha Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia”

B. Perumusan Masalah

Sehubungan dengan latar belakang penulisan dan judul skripsi ini maka pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan perlindungan konsumen terhadap produk pangan yang tidak dilabel oleh pelaku usaha?

2. Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk yang tidak memiliki label?

3. Bagaimana upaya pengawasan pemerintah terhadap produk yang tidak dilabel?

7 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014) hlm. 33

(18)

8

C. Tujuan Penulisan

Setiap pelaksanaan suatu kegiatan penelitian memiliki tujuan dan manfaat yang akan dicapai dari penelitian tersebut. Adapun yang menjadi tujuan pembahasan ini adalah:

1. Untuk mengetahui upaya perlindungan terhadap konsumen produk pangan yang tidak dilabel

2. Untuk mengetahui tanggungjawab pelaku usaha terhadap produk yang tidak dilabel

3. Untuk mengetahui pembinaan dan pengawasan pemerintah terhadap produk pangan yang tidak dilabel

D. Manfaat Penulisan

Bertitik tolak pada perumusan masalah di atas, manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Manfaat teoritis

a. Bahwa penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai wawasan hukum di bidang perlindungan konsumen.

b. Menjadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang pada gilirannya dapat memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai perlindungan konsumen yang berkaitan dengan produk pangan.

(19)

9

2. Manfaat praktis

a. Bahwa penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembuat kebijakan, penegak hukum, guna melengkapi peraturan perundang-undagan yang masih diperlukan, memberi dan lebih memahami perlindungan hukum bagi konsumen berkaitan dengan penerapan label produk pangan.

b. Bahwa penulisan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan dalam mengkonsumsi produk pangan yang tidak dilabel.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran dan penelitian di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa tidak ada menemukan skripsi yang berjudul Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan yang Tidak Dilabelisasi Pelaku Usaha Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia. Penulisan skripsi ini disusun berdasarkan data yang dikumpulkan dari beragai sumber literature seperti buku- buku, media cetak dan elektronik.

Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum USU bahwa penulisan skripsi yang berkaitan dengan judul ini adalah :

1. Indah Pradini Naska/100200357” Perlindungan Hukum Terhadap konsumen Pada Produk Olahan Kopi” (Studi Pada Opal Coffe Medan)

a. Bagaimana perlindungan hukum bagi pelaku usaha terhadap produk olahan kopi dari Opal Coffe Medan?

(20)

10

b. Bagaimana tanggungjawab pelaku usaha terhadap pelanggaran produksi olahan kopi dari Opal Coffe Medan?

c. Bagaimana penyelesaian sengketa konsumen dalam pelanggaran produksi olahan kopi dari Opal Coffee Medan ?

2. Alex Immanuel Tobing/060200146 “Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Produk Pangan Teknologi Rekayasa Genetika”

a. Bagaimanakah pengaturan peredaran produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika dalam kerangka hukum perlindungan konsumen?

b. Bagaimanakah peran pemerintah dalam melindungi konsumen terhadap peredaran produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika?

c. Bagaimanakah penanganan atas keluhan-keluhan konsumen berkaitan dengan peredaran produk pangan hasil teknologi rekayasa genetika?

3. Martina Lestari Ritonga/09020091 “Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Konsumen terhadap Pelabelan Produk Pangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999

a. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen dalam pelanggaran pelabelan produk pangan di Indonesia berdasarkan UU No.

8 Tahun 1999?

b. Bagaimana aspek perdata, pidana maupun administasi dalam pelanggaran pelabelan produk pangan berdasarkan UU No. 8 tahun 1999?

c. Bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap pelanggaran pelabelan produk pangan berdasarkan UU No. 8 tahun 1999?

(21)

11

d. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dalam pelanggaran pelabelan produk pangan di Indonesia berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999?

Dengan demikian dilihat dari permasalahan serta serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain yang diperoleh melalui pemikiran, referensi buku-buku, makalah-makalah, media elektronik yaitu internet serta bantuan dari berbagai pihak. Dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional serta terbuka. Semua, ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian dapat dipertanggungjawankan kebenarannya secara akademis

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan dalam mengerjakan skripsi ini meliputi:

1. Jenis dan pendekatan penelitian

Jenis pelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan pembahasan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturang perundang- undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.8

8 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 105.

(22)

12

Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif, yakni penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada peraturan tertulis dan bahan-bahan referensi lainnya.9

Nama lain dari penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum doktriner. Disebut penelitian hukum doktriner karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain. Sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan deskriptif analisis yaitu penelitian yang didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan yang didasarkan pada teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparansi ataupun hubungan seperangkat data dengan seperangkat data lainnya.10 Penelitian ini juga mendeskripsikan data yang diperoleh secara normatif lalu diuraikan untuk melakukan suatu telaah terhadap data tersebut secara sistematik.

2. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan. Termasuk dalam sata sekunder yaitu dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian,

9Ammiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 118.

10 Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal. 38.

(23)

13

surat kabar, makalah dan sebagainya.11 Data sekunder ini dapat bersifat pribadi atau publik. Yang bersifat pribadi misalnya surat-surat surat-surat, sejarah, kehidupan seseorang, buku-buku harian dan lain-lain. Sedang yang bersifat publik meliputi data resmi pada instansi pemerintah, data arsip, yurisprudensi Mahkamah Agung dan sebagainya.

Berdasarkan kekuatan mengikatnya bahan hukum untuk memperoleh data terbagi 3 (tiga), yaitu :

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturang perundang-undangan.12 Dalam penelitian ini bahan hukum primernya yaitu undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer13 yang berupa buku, hasil- hasil penelitian, dan atau karya ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, pendapat pakar hukum yang erat kaitannya dengan objek penelitian.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap

11 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Bahan Ajar Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Medan: Fakultas Hukum USU, 2011), hal. 29.

12 Soerjono Soekanto dan Sri Mulyadi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tujuan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 55

13 Ibid, hal. 55

(24)

14

bahan hukum primer dan sekunder14, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum, dan kamus hukum, surat kabar, internet serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

a. Studi kepustakaan (library research) : yaitu dengan membaca, mempelajari, dan menganalisa buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini.

b. Studi lapangan (Field research) : yaitu dengan mengadakan wawancara kepada pegawai BPOM, pelaku usaha.

Adapun alat pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:

a. Studi dokumen

Studi dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya15. Dengan menggunakan teknik dokumentasi ini, peneliti mendapatkan dokumen berupa:

1) Brosur (selebaran).

14 Ibid, hal. 55

15 Sugiyono, “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D”, (Bandung:

Alfabeta.2009) hal.231

(25)

15

2) Beberapa foto yang digunakan sebagai bahan referensi sekaligus sebagai objek pembahasan yang dikaji dalam penelitian ini.

3) Serta berbagai dokumen penting lainnya yang sekiranya dibutuhkan dalam penelitian ini.

b. Pedoman wawancara

Wawancara (interview) adalah dialog antara dua pihak di mana pihak yang disebut pewawancara (interviewer) mengajukan pertanyaan kepada pihak yang disebut narasumber (interviewer) dengan tujuan mendapatkan data atau informasi. Wawancara termasuk salah satu metode pengumpulan data (fact-finding), yang lain adalah sampling, penelitian, observasi, kuesioner, dsb. Metode-metode tersebut cenderung diperlukan dalam analisis kebutuhan informasi, sebagai contoh.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam wawancara terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk terbuka (pertanyaan tanpa jawaban yang dipikirkan secara khusus) dan tertutup (terstruktur dengan kemungkinan jawaban yang terbatas).

Wawancara terdiri dari :

1) Wawancara tidak terstruktur: wawancara (instructured interview) wawancara ini dibedakan atas :

a) Wawancara berfokus, terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak mempunyai struktur tertentu, tetapi selau terpusat pada satu pokok permasalahan tertentu.

(26)

16

b) Wawancara bebas, yaitu wawancara yang tidak terpusat, artinya pertanyaannya tidak terpusat pada satu permasalahan pokok, pertanyaannya dapat berahli-ahli dari satu pokok permasalahan ke pokok permasalahan lain. Akibatnya, data yang terkumpul dapat beraneka ragam dan jenis sifatnya.

2) Wawancara terstruktur: wawancara jenis ini walaupun tak berencana, tetapi mempunyai struktur yang rumit, seperti metode wawancara psikoanalisis, psikoterapi, wawancara untuk mengumpulkan data pengalaman seseorang.16

c. Analisis data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.

Kegiatan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menginventarisasikan peraturang perundang-undangan yang terkait dengan persoalan yang menjadi objek kajian. Data yang terkumpul akan diidentifikasikan kemudian dilakukan penganalisisan secara kualitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata- kata dan bahasa, pada suatu kontekst khusus yang alamiah dan dengan

16 Ammiruddin dan Zainal Asikin, Op.Cit hal. 84.

(27)

17

memanfaatkan berbagai metode alamiah.17 Penelitian ini berupa pembahasan antara berbagai data sekunder yang terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang telah diinventarisir dan pada tahap akhir akan ditemukan hukum secara kongkretnya, sehingga penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berpikiran deduktif18 berpikiran deduktif adalah suatu metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian- bagian yang khusus.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab, di mana masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab. Urutan bab tersebut tersusun secara sistematis dan saling berkaitan satu sama lain. Uraian singkat atas bab-bab dan sub bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan, merupakan uraian dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Umum Mengenai Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam bab ini berisi tentang gambaran umum mengenai Hukum Perlindungan Konsumen, pengertian konsumen, pengertian pelaku usaha, hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

17 Meleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Offset, 2007)

18 Noor, Juliansyah Metodologi penelitian, (Jakarta : Kencana, 2012) hal.22

(28)

18

Bab III : Pangan dan Peraturan Pemberian Label, bab ini menguraikan tentang pengertian produk pangan, pengertian label, penentuan pencantuman label, pentingnya label sebagai informasi.

Bab IV : Perlindungan Konsumen Terhadap Produk Pangan yang Tidak Diberikan Label Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindugan Konsumen, bab ini merupakan inti dari tulisan ini yaitu mengenai perlindungan konsumen terhadap produk yang tidak dilabel, tanggungjawab pelaku usaha atas kerugian konsumen yang mengkonsumi produk yang tidak dilabel, dan upaya pengawasan pemerintah terhadap produk pangan yang tidak dilabel.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Merupakan bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian dan pembahasan.

(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PRODUK PANGAN

A. Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

Perlindungan Konsumen menurut Pasal 1 UUPK yaitu :

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen” rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat pada Pasal 1 angka 1 UUPK tersebut cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.19

Perlindungan konsumen telah diatur di dalam UUPK adalah “Perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada konsumen sebagai akibat dilanggarnya hak- hak konsumen oleh pelaku usaha”.20

Perlindungan konsumen berfungsi untuk menyeimbangkan kedudukan konsumen dan pengusaha. Keadaan yang seimbang di antara para pihak yang

19 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo,Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,2011), hlm 1

20 Abdul Hakim Siagian, Komentar atas Undang-Undang perlindungan Konsumen, (Medan : Jabal Rahmat, 2014) hlm.2 (Selanjutnya disebut sebagai Abdul Hakim Siagian I)

(30)

20

saling berhubungan akan menciptakan keserasian dan keselarasan materil di antara keduanya.21

Tidak jauh berbeda dari pengertian konsumen, hukum perlindungan konsumen diartikan oleh A.Z Nasution sebagai "keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen.Dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen”.22

Dari pemahaman diatas, yang menyebutkan bahwa perlindungan konsumen mempersoalkan perlindungan (hukum) yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memperoleh barang dan jasa dari kemungkinan timbulnya kerugian karena penggunaannya, maka hukum perlindungan konsumen dapat dikatakan sebagai hukum yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban itu.

Hukum perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang”.23

21 Adrian Sutendi, Tanggung Jawab Hukum Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hlm 6

22 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2010) hlm 45.

23 Ibid.

(31)

21

2. Pengertian Pelaku Usaha dan Konsumen

Dalam membicarakan hukum perlindungan konsumen, tidak terlepas dari istilah pelaku usaha. Pelaku usaha atau produsen sering diartikan sebagai

“pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, laveransir, dan pengecer professional.”24 Yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan demikian pelaku usaha/produsen tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen.

Dalam hubungan dengan produk makanan hasil industri (pangan olahan), maka produsennya adalah setiap orang yang terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industri (pangan olahan) itu hingga sampai ke tangan konsumen.

Pelaku usaha/produsen itu adalah : Pabrik (pembuat), distributor, eksportir atau importir, pengecer, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum.25

Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK, pelaku usaha diartikan sebagai berikut:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

24 Ibid., hlm 16

25Ibid.

(32)

22

Pada Bab penjelasan tentang Pasal 1 angka 3 UUPK ini dijelaskan bahwa pelaku usaha dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain - lain.26 Pengertian pelaku usaha dalam pasal ini cukup luas karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha menurut UUPK tersebut memiliki persamaan pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama Negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah :

“Pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan, pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan”.27

Dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar negeri, karena UUPK membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia28

Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut akan memudahkan konsumen untuk menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan produk tidak akan begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan dapat diajukan, karena banyak pihak yang dapat digugat, namun akan

26Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 8.

27 Ibid.

28 Ibid., hlm.9

(33)

23

lebih baik apabila UUPK memberikan rincian sebagaimana dalam Directive, sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika dirugikan akibat penggunaan produk29.

Dalam Pasal 3 Directive ditentukan bahwa30 :

a. produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang, dan setiap orang yang memasang nama, mereknya, atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen;

b. tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka setiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan, atau untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam Masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti Directive ini, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen;

c. dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap leveransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita kerugian dalam waktu yang tidak terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yang menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku pada kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukkan identitas importir sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat 2, sekalipun nama produsen dicantumkan.

Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk/jenis usaha sebagaimana yang dimaksud dalam UUPK, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen apabila dirugikan oleh pelaku usaha. Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut31:

a. Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan.

b. Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha di luar negeri.

c. Apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.

29Ibid.

30Ibid.

31Ibid, hlm.10

(34)

24

Urutan-urutan di atas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu produk mengalami cacat pada saat diproduksi, karena ada kemungkinan barang mengalami cacat pada saat sudah berada di luar kontrol atau di luar kesalahan pelaku usaha yang memproduksi produk tersebut.

Selain produsen di dalam membicarakan hukum perlindungan konsumen juga berkaitan dengan konsumen. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika, atau consument/konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.32

Pengertian konsumen secara yuridis formal ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 UUPK yaitu : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”

Selanjutnya dalam Bab Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK dinyatakan bahwa :

Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen antara.

konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa pengertian konsumen dalam UUPK adalah konsumen akhir.

Pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 UUPK mengandung unsur- unsur sebagai berikut :33

a. Konsumen adalah setiap orang

32 Celine Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hlm.22

33 A. Hakim Siagian, Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Terhadap Konsumen dalamPerjanjian Baku, (Medan : Jabal Rahmat 2012) hlm.12 (Selanjutnya disebut sebagai Abdul Hakim Siagian 2)

(35)

25

Maksudnya adalah orang perorang dan termasuk juga badan usaha (badan hukum atau non badan hukum).

b. Konsumen sebagai pemakai

Pasal 1 angka 2 UUPK hendak menegaskan bahwa UUPK menggunakan kata “pemakai” untuk pengertian konsumen sebagai konsumen akhir (end user). Hal ini disebabkan karena pengertian pemakai lebih luas, yaitu semua orang mengkonsumsi barang dan/ atau jasa untuk diri sendiri.

c. Barang dan/jasa

Barang yaitu segala macam benda (berdasarkan sifatnya untuk diperdagangkan) dan dipergunakan oleh konsumen. Jasa yaitu layanan berupa pekerjaan atau prestasi yang tersedia untuk digunakan oleh konsumen.

d. Barang dan/jasa tersebut tersedia dalam masyarakat. Barang dan/jasa yang akan diperdagangkan telah tersedia di pasaran, sehingga masyarakat tidak mengalami kesulitan untuk mengkonsumsinya.

e. Barang dan/jasa digunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain atau makluk hidup lain. Dalam hal ini tampak adanya teori kepentingan pribadi terhadap pemakaian suatu barang dan/jasa.

f. Barang dan/jasa tidak untuk diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dipertegas, yaitu hanya konsumen akhir, sehingga maksud dari pengertian ini adalah konsumen tidak memperdagangkan barang dan/jasa yang telah diperolehnya namun untuk dikonsumsi sendiri.

Selain itu, Az Nasution juga mengklarifikasian pengertian konsumen menjadi tiga bagian:34

a. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen antara yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk diproduksi menjadi barang dan/jasa lain untuk memperdagangkannya (distributor) dengan tujuan konmersial. Konsumen antara lain sama dengan pelaku usaha.

c. Konsumen akhir yaitu pemakai pengguna dan/atau pemanfaat dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen akhir inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UUPK.

Bukan hanya di Indonesia, pengertian konsumen pada intinya mengandung makna yang sama seperti di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan sebagai “the person who

34Ibid.

(36)

26

obtains goods service for personal or family purposes.” Definisi itu terkandung dua unsur :

a. Konsumen hanya orang dan,

b. barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarga.

Di Amerika Serikat dan MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa), kata

“konsumen” yang berasal dari Consumer sebenarnya berarti bukan “pemakai”.

Namun, di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli atau bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga bukan pemakai karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai. 35

3. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

Pembangunan dan perkembangan perekonomian di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang/jasa yang dapat dikonsumsi. Ditambah dengan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi kiranya memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/jasa.Akibatnya barang dan/jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi seperti ini disatu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar, karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa

35 Abdul Hakim Siagian 1, Op.Cit., hlm.9

(37)

27

sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Tetapi dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang.36

Konsumen berada pada posisi yang lemah, oleh sebab itu untuk melindungi konsumen maka terdapat beberapa hak-hak konsumen yang secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen. Hak-hak dasar umum tersebut pertama kali dikemukakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat, pada tanggal 15 Maret 1962, melalui pidato kenegaraan di hadapan Kongres Amerika Serikat yang berjudul “Special Message for the Protection of the Consumer Interest”atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen”

(Declaration of Consumer Right).37

Selanjutnya, Bob Widyahartono menyebutkan bahwa deklarasi tersebut menghasilkan empat hak dasar konsumen (the four consumer basic rights) yang meliputi hak-hak sebagai berikut38 :

a. Hak untuk Mendapat atau Memperoleh Keamanan (The Right To Be Secured)

Setiap konsumen berhak mendapatkan perlindungan atas barang/jasa yang dikonsumsi. Misalnya, konsumen merasa aman jika produk makanan atau minuman yang dikonsumsinya dirasa aman bagi kesehatannya. Artinya, produk makanan tersebut memenuhi standar kesehatan, gizi, dan sanitasi, serta tidak mengandung bahan yang membahayakan bagi jiwa manusia. Di Amerika Serikat, hak ini merupakan hak tertua yang tidak kontroversial karena didukung oleh masyarakat ekonomi.

b. Hak untuk Memperoleh Informasi (The Right To Be Informed) Setiap konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas dan komprehensif tentang suatu produk barang/jasa yang dibeli atau

dikonsumsi. Akses terhadap informasi sangat penting karena konsumen bisa mengetahui bagaimana kondisi barang/jasa yang akan dibeli atau

36Ahmad Miru dan Sutarman Yodo Op.Cit hlm. 37

37 Dedi Herianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Periklanan yang Menyesatkan, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 11

38Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, 2008), hlm.

24-25

(38)

28

dikonsumsi. Jika suatu saat ada resiko negatif dari barang/jasa yang telah dikonsumsinya, konsumen telah mengetahui hal tersebut sebelumnya.

Artinya, konsumen memiliki hak untuk mengetahui ciri/atribut negatif dari suatu produk, seperti efek samping dari mengonsumsi suatu produk atau adanya peringatan dalam label atau kemasan produk.

c. Hak untuk memilih (The Right To Choose)

Setiap konsumen berhak memilih produk barang/jasa dengan harga yang wajar. Artinya, konsumen tidak boleh dalam kondisi tertekan atau paksaan untuk memilih suatu produk tersebut yang mungkin bisa merugikan hak- haknya. Ia harus dalam keadaan atau kondisi yang bebas dalam

menentukan pilihannya terhadap barang/jasa yang akan ia konsumsi.

d. Hak untuk Didengarkan(Right To Be Heard)

Konsumen harus mendapatkan haknya bahwa kebutuhan dan klaimnya bisa didengarkan, baik oleh pelaku usaha yang bersangkutan maupun oleh lembaga-lembaga perlindungan konsumen yang memperjuangkan hak-hak konsumen.

Empat hak dasar sebagaimana disampaikan oleh Presiden Amerika, John F. Kennedy tersebut memberikan pemikiran baru tentang perlindungan hak-hak konsumen. Empat dasar tersebut sering digunakan dalam merumuskan hak-hak dan perlindungan konsumen.

Berdasarkan Pasal 4 UUPK, ada hak-hak yang dimiliki konsumen.

Sebagai penjabaran hak-hak tersebut dapat diuraikan kembali secara sistematis:

a. Hak konsumen mendapatkan keamanan

Hak atas kenyamanan mengandung pengertian bahwa konsumen berhak mendapatkan produk yang nyaman, nyaman dan yang memberi keselamatan. Oleh karena itu, konsumen harus dilindungi dari segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa, dan harta bendanya karena memakai atau mengonsumsi produk (misalnya makanan). Dengan demikian, setiap produk, baik dari segi komposisi bahannya, dari segi desain dan konstruksi, maupun dari segi kualitasnya harus

(39)

29

diarahkan untuk mempertinggi rasa kenyamanan, keamnana dan keselamatan konsumen.39

b. Hak untuk memilih

Hak untuk memilih, dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya.Ia tidak boleh mendapatkan tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia pun jadi membelinya, ia juga berhak menentukan produk mana yang akan dibeli. Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seorang atau suatu golongan diberikan hak monopoli untuk memproduksi dan memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk yang lain.40

c. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar

Hak untuk mendapatkan informasi yang benar, bahwa setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar.Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak samapi mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara seperti lisan kepada konsumen, malalui iklan berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).41

Hak untuk mendapatkan informasi, menurut Hans W. Micklitz, seorang ahli hukum konsumen dari Jerman, dalam ceramah di Jakarta, 26-30 Oktober 1998

39 Janus Sidabalok, Op.Cit, hlm 40

40 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, hlm 36

41 Ibid., hlm 34

(40)

30

membedakan konsumen berdasarkan hak ini.42 Hans menyatakan sebelum melangkah lebih detail dalam perlindungan konsumen, terlebih dulu harus ada persamaan persepsi tentang tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan.

Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan 2 (dua) tipe konsumen, yaitu : a. Konsumen yang terinformai (well-informed)

b. Konsumen yang tidak terinformasi

Ciri-ciri konsumen yang terinformasi sebagai tipe pertama adalah43 : a. Memiliki tingkat pendidikan tertentu

b. Mempunyai sumber daya ekononomi yang cukup, sehingga dpat berperan dalam ekonomi pasar

c. Lancar berkomunikasi

Ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasi sebagai tipe kedua memiliki ciri-ciri sebagai berikut44 :

a. Kurang berpendidikan

b. Termasuk kategori kelas menengah ke bawah c. Tidak lancar berkomunikasi

Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khusunya menjadi tanggung jawab Negara untuk memberikan perlindungan. Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan, karena hal-hal khusus dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang tua, dan orang asing (yang tidak dapat

42 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm.20

43 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, hlm 35

44 Ibid.

(41)

31

berkomunikasi dengan bahasa setempat) sebagai jenis konsumen yang wajib dilindungi oleh Negara. Informasi ini harus diberikan secara sama bagi semua konsumen (tidak diskriminatif)45

d. Hak Untuk Didengar

Hak untuk didengar ini merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan produk-produk tertentu b apabila informasi yang diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai, ataukah berupa pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan suatu produk, atau yang berupa pernyataan/pendapat tentang suatu kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Hak ini disampaikan baik secara perorangan, maupun secara kolektif, baik yang disampaikan secara langsung maupun diwakili oleh suatu lembaga tertentu, misalnya YLKI.46

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Mengingat bahwa produsen berada dalam kedudukan yang kuat, baik secara ekonomis maupun dari segi kekuasaan (bargaining powe, bargaining position) dibanding dengan konsumen, maka konsumen perlu mendapat advokasi, perlindungan, serta upaya penyelesaian sengeketa secara patut atas hak-haknya.

45 Ibid., hlm 35

46 Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Op.Cit. hlm.44

(42)

32

Perlindungan itu dibuat dalam suatu peraturan perundang-undangan serta dilaksanakan dengan baik.47

f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen

Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen, masalah perlindungan konsumen termasuk hal yang baru, oleh karena itu,wajar masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-haknya, kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan kesadaran hukum. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain.

Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus melalui jenjang pendidkan formal, tetapi dapat melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat. 48

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif

Dalam memperoleh pelayanan, konsumen berhak juga untuk diperlakukan secara benar dan jujur serta sama dengan konsumen lainnya, tanpa ada pembeda- bedaan berdasarkan ukuran apapun, misalnya suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosial lainnya.49

h. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian

Hak untuk mendapatkan ganti kerugian artinya jika konsumen merasakan, kuantiatas atau kualitas barang dan/atau jasa yang dikondumsi tidak sesuai dengan niali tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas.

47 Janus Sidabolok, Op.Cit., hlm. 42

48 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, hlm. 40

49 Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 42

(43)

33

Jenis dan jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak.

Untuk mengindari dari kewajiban memberikan ganti kerugian, sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausul-kalusul eksonerasi di dalam hubungan hukum antara produsen/penyalur produk dan konsumennya. Klausul seperti

“barang yang diblei tidak dapat dikembalikan” merupakan hal yang lazim ditemukan pda took-toko. Pencantuman secara sepihak demikian tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapat ganti kerugian.50

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Konsumen berhak mendapatkan hak-hak lainnya sesuai dengan kedudukannya sebagai konsumen berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini membuka kemungkinan berkembangnya pemikiran tentang hak-hak baru dari konsumen di masa yang akan dating, sesuai dengan perkembangan zaman.

Adapun hak-hak lain yang diatur di luar UUPK adalah :

a. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima sebagai salah satu dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di dunia.

Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini dinyatakan

50 Celine Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hlm 37

(44)

34

secara tegas. Desakan pemenuhan konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat semakin mengemuka akhir-akhir ini.Misalnya munculnya gerakan konsumerisme hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan.51

b. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang

Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Persaingan curang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disebut dengan “persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berhasil menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarkan dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan iktikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian. Hak konsumen untuk terhindar dari akibat negatif persaingan curang dengan dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khusunya oleh pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan konsumen.52

Dari beberapa uraian mengenai hak-hak yang dimiliki oleh konsumen, terlihat bahwa hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling penting dan paling utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan terlebih lagi yang tidak aman atau membahayakan keselamatan

51 Ibid., hlm. 39

52 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

3.1. Ketentuan Hukum Terhadap Transaksi Jual-Beli Online Di Indonesia Sebagaimana kegiatan jual-beli antara penjual dan konsumen secara konvensional perlu diawasi, tentu

c. Dokumen-dokumen yang dianggap berharga. Sebelum timbulnya suatu resiko tersebut, masyarakat selalu berusaha mencari langkah-langkah untuk menghindari resiko. Salah satu

1) Bahwa Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat suatu ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama dan atau kepercayaan

Direksi salah satu organ PT yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Namun,

1) Peraturan Mahkamah Agung ini berlaku untuk mediasi yang perkaranya diproses di Pengadilan. 2) Setiap hakim, mediator, dan para pihak wajib mengkuti prosedur medisi yang

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dijelaskan bahwa benda (yang ada diwilayah Negara RI atau diluar Negara RI) yang dibebani dengan jaminan

M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I penulis yang telah banyak membantu penulis

Penulisan skripsi ini berjudul Perlindungan Hukum terhadap Nasabah sebagai Konsumen Kartu Kredit yang dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan Fakultas Hukum Universitas Sumatera