• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Oleh: IRVANTA SITEPU NIM: Departemen Hukum Keperdataan. Program Kekhususan Hukum Perdata BW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI. Oleh: IRVANTA SITEPU NIM: Departemen Hukum Keperdataan. Program Kekhususan Hukum Perdata BW"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Serta Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

IRVANTA SITEPU NIM: 130200060

Departemen Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Perdata BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

OK.Saidin**

ABD. Haris***

Hukum perlindungan konsumen mendapat cukup perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat. Undang-Undang Perlindungan konsumen ini memang sengaja dibentuk dengan beberapa pertimbangan, antara lain karena ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai. Selain itu, dalam era globalisasi, pembangunan perekonomian nasional harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.. Transaksi jual beli secara online pada prakteknya banyak diartikan dengan perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan internet. Perkembangan transaksi jual-beli secara online juga didukung oleh peningkatan produktifitas dari industri yang menyediakan berbagai macam produk untuk dipasarkan melalui media internet yang memicu maraknya usaha jual beli melalui media online karena mudah untuk dijalankan, tidak memerlukan modal yang besar dan tidak harus membutuhkan sistem manajemen yang rumit untuk mengelolanya.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normative adalah “suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.” Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis asas, kaidah dan doktin-doktrin hukum dengan menggunakan data sekunder dan didukung oleh data primer.

Beradasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa Pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap konsumen dalam jual beli melalui internet memang secara spesifik belum diatur baik dalam Undang -Undang Perlindungan Konsumen. Perlu ada regulasi dan aturan yang mengatur secara detail terhadap transaksi jual-beli online, dimana banyak dampak kerugian ataupun modus penipuan yang akan menjerat atau menimpa konsumen dalam transaksi jual-beli online tersebut.

Pengaturan prosedur penyelesaian sengketa konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, secara tertulis telah memadai. Tetapi dalam implementasinya bagi konsumen pencari keadilan untuk memperoleh hak-haknya, ternyata tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dibentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Kata Kunci :

Pelaku Usaha, Jual-Beli Online, Perlindungan Konsumen.

______________________

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(4)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat Islam dan nikmat kesempatan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul skripsi ini adalah “Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha Pada Transaksi Jual-Beli Online yang Mengakibatkan Kerugian Konsumen Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Untuk penulisan skripsi ini penulis berupaya agar hasil dari penulisan skripsi ini bisa lebih baik seperti yang diharapkan, meskipun demikian penulisan ini masih terdapat kekurangan-kekurangan, karena manusia tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan penulis terima dari siapa saja dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak sehingga dalam kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati, S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(5)

6. Bapak Prof.Dr.Saidin, SH.,M.Hum sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah banyak membantu dan membimbing saya untuk menyelesaikan skripsi;

7. Bapak Dr.Abd.Harris, SH.,M.Kn selaku dosen pembimbing II yang telah membantu berupa pikiran dan waktunya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada saya sehingga memudahkan saya dalam menyelesaikan skripsi ini;

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta staf yang telah memberikan banyak sekali ilmu yang sangat berharga kepada penulis selama menjadi mahasiswa;

9. Kepada Teman-teman penulis yang memberikan semangat khususnya Ardo Damanik, William Damanik, Novi Sulistina, Muhammad Ilza, bang Imam Nasution, Iqbal Manurung, Devi Silaen, Luthfi Mahfuzh, Dimas Anugrah;

10. Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa di sebutkan satu per satu.

Akhir kata kepada yang teristimewa kedua orang tua Penulis, Tiorim Beru Sembiring yang selalu mendoakan, menasehati, dan mengingatkan penulis untuk tetap semangat dalam menyelesaikan perkuliahan, Saudara penulis Jeprimsa Sitepu dan Basrido Sitepu, yang selalu mengomelin sekaligus memberi semangat kepada penulis untuk cepat menyelesaikan perkuliahan dan mengerjakan skrispi ini.

Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, dan menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya masukan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan

(6)

iv

datang. Penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua masyarakat yang membaca dan membutuhkannya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan, Desember 2020 Penulis

IRVANTA SITEPU

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(7)

ABSTRA K ... i

KATA PEN GA NTAR ... ii

DAFTAR I SI ... vi

BAB I PENDAHULUA N 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1. Tujuan Umum ... 10

1.3.2. Tujuan Khusus ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 11

1.4.1. Manfaat Teoritis ... 11

1.4.2. Manfaat Praktis ... 11

1.5. Keaslian Penulisan ... 11

1.6. Metode Penelitian ... 12

1.6.1. Jenis Penelitian ... 12

1.6.2. Sumber Data ... 12

1.6.3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 14

1.6.4. Analisa Data ... 14

1.7. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAU AN UMUM TENT AN G PERLIND UN GAN KONSUMEN 2.1. Sejarah Dan Perkembangan Perlindungan Konsumen ... 16

2.1.1. Sejarah Dan Perkembangan Perlindungan Konsumen Secara Global ... 16

2.1.2. Sejarah Dan Perkemb angan Perlindungan Konsumen Di Indonesia ... 19

2.2. Pengertian Konsumen Serta Hukum Perlindungan Konsumen ... 21

2.3. Pengaturan Perlindungan Konsumen ... 25

(8)

vi

2.4. Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen ... 27

2.5. Hak Dan Kewajiban Konsumen ... 29

2.6. Pengertian Pelaku Usaha ... 30

2.7. Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 32

2.8. Tanggung Jawab Pelaku Usaha ... 33

BAB III TINJAU AN Y URI DIS TE RHADA P TRANSA KS I JUAL-BELI O NLINE D I IN DON ESIA 3.1. Ketentuan Hukum Terhadap Transaksi Jual-Beli Online Di Indonesia 36

3.2. Legalitas Usaha Jual-Beli Online Di Indonesia ... 38

3.3. Hubungan Hukum Antara Pelaku Usaha Dengan Konsumen Dalam Peristiwa Transaksi Jual-Beli Online ... 39

3.4. Mekanisme Hukum Terkait Pengawasan Bisnis Jual-Beli Online ... 42

3.4.1. Pengawasan Terhadap Standarisasi Produk Jual-Beli Online 42

3.4.2. Pengawasan Terhadap Legalitas Pelaku Usaha Jual-Beli Online 44

3.4.3. Pengawasan Transaksi Jual-Beli Online Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Indonesia ... 46

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI JUAL-BELI ONLINE DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 4.1. Proses Terjadinya Jual-Beli Secara Online ... 48

4.2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Yang Dirugikan Akibat Transaksi Jual-Beli Online ... 53

4.3. Pilihan Penyelesaian Sengketa Yang Dapat Ditempuh Konsumen ... 59

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 67

5.2. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(9)

1.1. Latar Belakang

Saat ini, peran internet dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi secara global sangat dan semakin penting. Perkembangan internet terus mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga tidak dapat disangkal teknologi telah berhasil merubah peradaban dunia dengan cepat. Kecenderungan terhadap internet telah menjadi kebutuhan pokok setiap orang, termasuk pada aktivitas dan kegiatan peekonomian. Nyaris semua kebutuhan seseorang dapat terpenuhi melalui internet, sehingga fluktuasi peningkatan pengguna internet terus bertambah.

Para ahli berpendapat, bahwa konsumen telah menjadi lebih banyak informasi mengenai product knowledge suatu produk ataupun jasa, karena meningkatnya penggunaan internet terutama melalui media sosial.1 Sebagai bentuk perwujudan inovosi, tekonologi informasi sekarang telah mampu melakukan pengumpulan, penyimpanan, pembagian dan penganalisaan data.

Aktivitas tersebut telah mengakibatkan berbagai sektor kehidupan memanfaatkan sistem teknologi informasi, salah satu nya adalah penyelenggaraan electronic commerce (e-commerce) dalam sektor perdagangan.2 Dalam penyelenggaraan e-commerce, melibatkan pelaku usaha selaku penyelenggara bisnis, konsumen selaku pembeli, dan pemerintah selaku regulator. Semua pihak

1 Singh, Veron et al. (2008). “A New Play in Your Marketing Game Plan”. The Business Horizons. Ed 51. Halaman 281-292. Lihat Juga dalam Kaplan dan Haenheim. (2010). “User of the World, United! The Challenges and Opportunities of Social Media. The Business Horizons. Ed 5.

Halaman 59-68.

2 Dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Privasi. (2016).

Diakses dari https://www.bphn.go.id/data/documents/na_perlindungan_data_pribadi.pdf. Diakses pada Desember 2020.

(10)

2

tersebut perannya sama-sama penting, namun konsumen dianggap sebagai pihak yang berada di posisi yang paling lemah.

Maka diperlukan suatu sistem hukum perlindungan konsumen. Hadirnya hukum di masyarakat akan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan perbedaan kepentingan dengan membatasi serta melindungi seluruh kepentingan para pihak.3 Hukum sebagai respon kebutuhan masyarakat disebut sebagai hukum responsif yang sangat dibutuhkan sebab tuntutan kebutuhan masyarakat yang dinamis.4

Sistem hukum perlindungan konsumen adalah setiap langkah yang dilakukan negara untuk melindungi kesejahteraan serta kepentingan konsumen.

Upaya perlindungan konsumen di Indonesia diregulasi dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK)5, dan beberapa turunan regulasi UU PK. Terkait dengan hal tersebut, Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 memberikan kewajiban kepada negara, bahwa:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Mengacu juga kepada preambule UUD 1945 Alinea IV, yang bertuliskan:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa...”

Oleh sebab itu, akomodasi hukum perlindungan konsumen harus mendapatkan perhatian negara yang cukup. Karena menyangkut aturan-aturan jaminan kesejahteraan masyarakat. Peran pemerintah untuk mengatur, mengawasi,

3 Satjipto Rahardjo. (2007). Membedah Hukum Progresif. Citekan Kedua. (Jakarta:

Penerbit Kompas). Halaman 267.

4 Ibid.,

5 Republik Indonesia (UU PK). Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU No.

8 Tahun 1999. LN Tahun 1999 No 22. TLN No 3821.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(11)

dan mengontrol, dan aktivitas pasar bertujuan untuk menciptakan suatu sistem perlindungan konsumen yang kondusif, efektif dan efisien. Dengan demikian tujuan mensejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.6

Fokus sistem perlindungan konsumen sebenarnya masih paralel dengan gerakan pertengahan abad ke-20. Di Indonesia, gerakan perlindungan konsumen mengikuti eksistensi gerakan serupa di Amerika Serikat. Diawali dengan kemuculan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)7 yang dikenal secara luas sebagai perintis advokasi konsumen di Indonesia. Sejak itu, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia dapat dianggap cukup responsif, bahkan mendahului resolusi United Nations Economic and Social Council (ECOSOC)8 No.2111 tahun 1978 tentang perlindungan konsumen.9

Diundangkannya UU PK memiliki beberapa pertimbangan, antara lain karena ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai. Selain itu, dalam era globalisasi, pembangunan perekonomian nasional harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang dapat meningkatkan

6 Celina Tri Siwi Kristiyanti. (2016). Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta: Sinar Grafika). Halaman 1.

7 YLKI merupakan sebuah organisasi masyarakat yang bersifat nirlaba dan independen yang didirikan pada 11 Mei 1973. Keberadaan YLKI diarahkan kepada usaha meningkatkan kepudilian kritis konsumen atas hak dan kewajibannya. YLKI memiliki tujuan untuk memberikan bimbingan dan perlindungan kepada masyarakat konsumen menuju kesejahteraan keluarga.

Diakses dari http://ylki.or.id/profil/tentang-kami/. Diakses pada Desember 2020.

8 Pada hakikatnya ECOSOC merupakan suatu organ PBB yang salah satu tugasnya terfokus kepada pemajuan perempuan dibidang ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan. Dalam D.W.

Bowett. (2007). Hukum Organisasi Internasional. (Jakarta: Sinar Grafika). Halaman 82.

Berdasarkan hasil pemilihan yang dilakukan oleh majelis umum PBB, pada 17 Juni 2020.

Indonesia terpilih sebagai anggota dewan ECOSOC untuk periode 2021-2023. Keanggotaan Indonesia sebagai salah satu yang mewakili Kelompok Asia Pasifik (KAP). Diakses dari https://kemlu.go.id/newyork-un/id/read/indonesia-terpilih-sebagai-anggota-ecosoc-2021-

2023/3702/etc-menu. Diakses pada Desember 2020.

9 Shidarta. (2000). Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. (Jakarta: Grasindo).

Halaman 29.

(12)

4

kesejahteraan masyarakat yang bersamaan dengan terciptanya kepastian hukum dalam iklim usaha tersebut.10

Perkembangan perdagangan dunia yang di dukung dengan kemajuan teknologi, menandakan keberadaan era globalisasi dalam dunia bisnis itu benar adanya. Hal tersebut mengakibatkan memunculkan sistem transaksi jual beli secara online. Bukan hanya perdagangan yang dilakukan melalui media internet saja sebagaimana yang dipahami banyak orang selama ini, tetapi juga meliputi setiap aktivitas perdagangan yang dilakukan melalui dan/atau menggunakan media elektronik lainnya. Pada transaksi jual beli secara online, dalam implementasi penggunaannya banyak diartikan sebagai perdagangan yang dilakukan dengan menggunakan internet.11

Transaksi jual beli secara online menghubungkan pelaku usaha, konsumen dan komunitas lainnya melalui transaksi elektronik untuk melakukan perdagangan barang, jasa dan informasi lainnya. Kondisi ini menyebabkan jarak bukan lagi hambatan dalam dunia bisnis. Perkembangan mencolok yang dimiliki teknologi internet, membuat suatu produk dapat dipasarkan secara global dalam situs web, sehingga setiap orang dimanapun berada dapat langsung mengakses situs tersebut untuk melakukan transaksi secara online.12

Pengguna internet diseluruh dunia baik mobile maupun fixed mengalami kenaikan terus menerus. Berdasarkan laporan International Telecommunication Union (ITU) yang merupakan badan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) jumlah pengguna internet dunia 2018 sebesar 3,9 miliar melebihi setengah populasi

10 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. (2003). Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia). Halaman 98.

11 Grace Joice S. N. Rumimper. (2013). “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Dalam Jual Beli Melalui Internet”. Jurnal Publikasi. Vol I No.3. Halaman 57.

12 Ibid.,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(13)

dunia. Kenaikan jumlah itu juga dialami oleh Indonesia. Hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2018, jumlah pengguna internet di indonesia sebesar 171,1 juta naik sebesar 27,9 juta dari tahun lalu yang berjumlah 143,2 juta.13

Hasil survei APJII periode 2019-kuartal II/2020 mencatat, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 23,5 juta atau 8,9% dibandingkan pada 2018 lalu (katadata.id, 2020).14 Kenaikan jumlah pengguna internet itu dialami Indonesia salah satu penyebabnya adalah terbangunnya konstruksi teknologi yang mumpuni, yaitu telah selesainya jaringan palapa Ring yang menambah koneksi diseluruh Indonesia.15

Adapun instrumen social media16 menjadi mayoritas pilihan pelaku usaha untuk memasarkan produknya kepada konsumen. Suatu survei yang terangkum dalam website “We Are Social”, menyatakan bahwa pengguna media sosial aktif di seluruh dunia saat ini mencapai 2,2 miliar. Pertumbuhan yang signifikan

13 Dalam laporan survei 2018, APJII merangkum terdapat 64,8% penetrasi internet, dengan jumlah pengguna internet 171.176.716,8 jiwa dengan interval jumlah penduduka kala itu 264.161.600 jiwa. Sehingga dinyatakan oleh APJII dalam 1 tahun presentase pertumbuhan pengguna sebesar 10,12%. Diakses dari https://www.apjii.or.id/content/read/39/410/Hasil-Survei- Penetrasi-dan-Perilaku-Pengguna-Internet-Indonesia-2018. Dikutip pada Desember 2020.

14 Jumlah pengguna internet paling banyak berasal dari provinsi Jawa Barat, yakni 35,1 juta orang. Posisi itu disusul Jawa Tengah dengan 26,5 juta orang. Lalu Jawa Timur, jumlah dengan 23,4 juta orang. Jumlah pengguna internet di Sumatera Utara mencapai 11,7 juta orang dan di Banten mencapai 9,98 juta orang. Adapun, jumlah pengguna internet di Jakarta mencapai 8,9 juta orang. Survei APJII melalui kuesioner dan wawancara terhadap 7.000 sampel, dengan tingkat toleransi kesalahan (margin of error) 1,27%. Riset dilakukan pada 2-25 Juni 2020. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/11/11/jumlah-pengguna-internet-di-indonesia- capai-1967-juta. Dikutip pada Desember 2020.

15 Palapa Ring adalah proyek pembangunan jaringan kabel serat optik nasional yang

menghubungkan 90 kabupaten/kota di seluruh Indonesia,

dengan 57 kabupaten/kota layanan dan 33 kabupaten/kota interkoneksi. Jaringan ini berupa kabel serat optik sepanjang 12.148 kilometer yang terdiri dari kabel optik darat dan bawah laut, serta segmen jaringan radio microwave sebanyak 55 hop. Diakses dari https://aptika.kominfo.go.id/2020/01/palapa-ring/. Dikutip pada Desember 2020.

16 Media Sosial yaitu sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun berdasarkan fondasi ideologis dan teknologi dari web 2.0, yang memungkinkan terjadinya penciptaan dan pertukaran konten yang diciptakan oleh penggunanya. Lihat Kaplan, Andreas M, Michael Haenlein. (2010). “Users of the World, Opportunities of Social Media”. Bussines Horizons.

(14)

6

ditunjukan oleh pengguna media sosial melalui platform mobile. Adapun pengguna jenis tersebut meningkat hingga 23,3%.17

Apabila mengacu kepada data yang dihimpun oleh lembaga survei yang berbasis di Amerika Serikat, yaitu Emarketer, trend akses Facebook di Indonesia sebesar 87,5% dilakukan pada perangkat ponsel, dengan para penggunanya yang mayoritas berusia 16-35 tahun. Setelah Facebook, trend penggunaan media sosial selanjutnya paling banyak adalah Instagram.18

Dari narasi di atas terlihat bahwa, terus terjadi pertumbuhan bisnis yang signifikan, baik dari segi kuantitas pelaku usaha maupun konsumen. Sehingga dianggap wajaran bila intervensi dan dampak perkembangan teknologi dan informasi dalam dunia digital yang tersedia di jaringan internet telah menyebabkan perubahan kebiasaan bisnis yang awalnya memasarkan dengan cara tradisional, beralih sebagian besar kepada pemasaran digital. Bersamaan dengan itu, disertai juga dengan perubahan persepsi konsumen.19

Pada hakikatnya, UU PK telah menetapkan hal-hal yang kewajiban pelaku usaha, melalui Pasal 7 huruf (a-g). Dengan tujuan untuk mencapai iklim usaha yang sehat dan menetapkan tanggungjawab keberlangsungan bisnis pelaku tetap memperhatikan aspek perlindungan konsumennya. Banyak ketentuan di dalam UU PK, yang bermaksud mengarahkan pelaku usaha untuk berperilaku

17 Karina. (2018). “Tren Belanja Pacu Impor”, Media Massa Kompas. Edisi Terbit 30 Juli.

Halaman 13.

18 Emarketer diakses dari. http://www.emarketer.com/Article/IndonesiaFacebook-Remains- Most-Popular-SocialSite/1014126. Dikutip pada Desember 2020.

19 Sweeney, S. (2005). 101 Ways to Promote Your Website, 5 Ed. (Canada: Maximum Press).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(15)

sedemikian rupa dalam rangka menyukseskan pembangunan ekonomi nasional, khususnnya di bidang usaha.20

Permasalahan mengenai perlindungan konsumen seiring perkembangannya tetap belum teratasi dengan optimal. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal, faktor eksternal salah satunya adalah pengaruh globalisasi yang menyebabkan konsumen diberikan banyak pilihan dan pelaku usaha semakin di tuntut untuk memproduksi barang yang sesuai kebutuhan dan diminati oleh masyarakat namun kurang memperhatikan kualitas bahan produksi yang dapat dipertanggung jawabkan.21

Kehadiran entitas bisnis di bidang e-commerce memiliki aspek positif dan negatif. Misalnya banyaknya barang-barang impor yang masuk ke Indonesia yang mengakibatkan konsumerisme atau perilaku konsumtif terhadap barang tersebut.

Dampak lainnya adalah terkait law enforcement apabila terjadi sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen, karena proses terjadinya kesepakatan didominasi oleh peristiwa dan interaksi yang di jembatani teknologi.22

Namun, eksistensi e-commerce juga memberikan dampak positif bagi pelaku usaha maupun konsumen, sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.23 Apabila meninjau aspek yang lebih teknis lagi, maka dalam pengantar penilitian ini perlu membahas sehubungan dengan pertanggunggjawaban dalam transaksi jual beli melalui

20 Aulia Muthiah. (2018). “Tanggung Jawab Pelaku Usaha Kepada Konsumen Tentang Keamanan Pangan Dalam Persfektif Hukum Perlindungan Konsumen”. Jurnal Publikasi.

21 Ibid.,

22 Lutviana et al. (2019). “Electronic Commerce (e-commerce) Dalam Perspektif Ekonomi Pertahanan”. Jurnal Ekonomi Pertahanan. Vol 5 No 2. Halaman 282.

23 Prasetyo Budi Widagdo. (2016). “Analisis Perkembangan e-commerce Dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di Indonesia”, Jurnal Mimbar Hukum.

(16)

8

internet. Pelaku usaha tetap dapat dituntut pertanggungjawaban, apalagi kalau produk yang ditransaksikan itu cacat dan merugikan konsumen.

Terdapat beberapa hal yang mungkin akan menjadi kendala ketika konsumen melakukan yang transaksi jual atau beli melalui internet meminta pertangungjawaban. Misalnya terkait perbedaan/jarak antara pelaku usaha dengan konsumen, perbedaan hukum yang dipakai jika transaksi yang terjadi melintasi negara (cross border), estimasi waktu ganti rugi, dan permasalahan sistem pengaduan atau keluhan konsumen yang harusnya terintegrasi dengan permirintah. Apabila di tinjau dari substansi historisnya UU PK, maka dapat di klaim bahwa, UU PK sebagai undang-undang pokok (lex genaralie) terhadap undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen namun diundangkan setelah UU PK ada. Terlihat taraf efektifitas penegakan hukum perlindungan konsumen. Lawrence Friedman menetapkan beberapa faktor efektifitas penegakan hukum perlindungan konsumen, yaitu:24

“Efektifitas penegakan hukum ditentukan oleh faktor materi (isi Undang-Undang), culture (budaya) dan lembaga termasuk prosesnya.Secara materi (isi) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen belum secara tegas mengatur tanggung jawab pelaku usaha dalam jual beli melalui internet yang melampaui batas-batas negara yang diatur hanyalah perdagangan secara tradisional konvensional.”

Masalah lainnya, UU PK kurang memberikan perhatian khusus pada tahap pemeriksaan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai institusi pertama yang menangani masalah pelanggaran terhadap hak-hak konsumen.

Dalam UU PK juga cenderung mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan peran lembaga peradilan. Pengaturan peran lembaga peradilan tidak diatur

24 Grace Joice S. N. Rumimper, Op.cit., Halaman 64.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(17)

secara jelas, padahal pengaturan tersebut mempunyai implikasi hukum yang signifikan. Karena tidak diikuti baik dengan petunjuk teknis maupun penjelasan yang cukup, hal ini berpotensi menimbulkan kendala, yang sebenarnya perlu segera diselesaikan agar UU PK dapat berjalan dengan baik.

Tidak jarang ditemukan terjadinya konflik norma yang satu dengan norma yang lain, pertentangan terkait penentuan hukum acara mana yang dipakai, seperti ketentuan acara yang dipakai selama ini, atau dengan hukum acara yang lain, sehingga kepastian hukum sulit dicapai.25

Berdasarkan latar belakang yang telah tertulis diatas, maka fokus penelitian ini ditetapkan pada aspek pertanggungjawaban pelaku usaha dalam melaksanakan kewajibannya berdasarkan UU PK. Dengan judul penelitian

“Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha Pada Transaksi Jual-Beli Online Yang Mengakibatkan Kerugian Konsumen Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, talah ditentukan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut:

1) Bagaimana tinjauan umum perlindungan konsumen di Indonesia?

2) Bagaimana tinjauan yuridis terhadap jual-beli online di Indonesia?

3) Bagaimana ketentuan peraturan perundang-undang terhadap pertanggungjawaban transaksi jual-beli online pelaku usaha yang mengakibatkan kerugian kepada konsumen?

25 Tami Rusli. (2012). “Penyelesaian Sengketa Antara Konsumen Dan Pelaku Usaha Menurut Peraturan Perundang-Undangan”. Jurnal Publikasi. Vol 3 No 1 (Fakultas Hukum:

Universitas Bandar Lampung). Halaman 90. Tersedia akses online pada http://jurnal.ubl.ac.id/index.php/KP/article/view/71/68.

(18)

10

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan utama dalam penulisan penelitian ini adalah untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan juga sebagai tambahan pengetahuan. Adapun Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan diatas, maka telah ditetapkan beberapa tujuan lain yang dibagi menjafi tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu sebagai berikut:

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan secara umum yang hendak dicapai dari penelitian ini antara lain:

a. Mendeskripsikan dan mengidentifikasi aspek umum terkait sistem perlindungan konsumen;

b. Mengidentifikasi relasi antara hak dan tanggung jawab pelaku usaha dengan konsumennya; dan

c. Memberikan prekripsi kebijakan untuk mendorong efektifitas norma terkait perlindungan konsumen e-commerce.

1.3.2. Tujuan Khusus

Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk memantik diskursus kritis terkait produk kebijakan yang terfokus kepada sistem hukum perlindungan konsumen, terkhusus kepada bidang usaha e-commerce. Penelitian ini juga dilakukan dalam rangka usaha meningkatkan minat masyarakat selaku konsumen agar dapat terlibat aktif dalam perencanaan, penyusunan, pengawasan, produk kebijakan yang mengatur kegiatan usaha e-commerce.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(19)

1.4. Manfaat Penulisan

Dari tujuan yang telah tertulis diatas, maka penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1.4.1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk karya ilmiah dan dapat menambah literatur dan bahan kepustakaan untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta menambah wawasan dan pengetahuan mengenai teori, konsep, dan kaidan-kaidah hukum bagi para mahasiswa, kalangan akademisi/dosen.

1.4.2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat sebagai pelaku usaha maupun konsumen.

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sumber informasi bagi pihak-pihak yang memerlukan seperti korporasi, konsultan hukum, pelaku usaha, produsen, distributor, konsumen dan masyarakat secara umum.

1.5. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha Pada Transaksi Jual-Beli Online Yang Mengakibatkan Kerugian Konsumen Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.” Setelah dilakukan penulusuran digital maupun tradisional, materi yang dibahas dalam skripsi ini belum pernah dijadikan judul maupun pembahas dalam skripsi yang dilakukan terdahulu, sehingga judul serta permasalahan yang telah ditentukan untuk dijadikan sebagai pembahasan dalam penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan keorisinalitasnya.

(20)

12

1.6. Metode Peneltian

Metodelogi penelitian hukum merupakan suatu cara yang teratur (sistematis) dalam melakukan sebuah penelitian.26 Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Adapun metode penelitian yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan, yaitu:

1.6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Karena penelitian ini ditujukan untuk menganalisis asas, kaidah dan doktin-doktrin hukum dengan menggunakan data sekunder dan didukung oleh data primer.

Penelitian yuridis normatif yaitu adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.27 Pada penelitian hukum normatif sering kali hukum dikonsepkan sebagai sesuatu yang tertulis dalam peraturan perundang- undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas atau sesuai.28

1.6.2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu UU PK; Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

26 Abdulkadir Muhammad. (2004). Hukum dan Penelitian Hukum. Cetakan I. (Bandung:

Citra Aditya Bakti). Halaman 57.

27 Jhonny Ibrahim. (2008). Teori & Metode Penelitian Hukum Normatif. (Malang:

Bayumedia Publishing). Halaman 47.

28 Amiruddin, Zainal Asikin. (2004). Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

Rajawali Press). Halaman 118.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(21)

tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE)29; Undang-Undang No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan)30; Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE)31; Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP PMSE)32; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksaaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Kepmenperindag BPSK)33; Peraturan Menteri Perdagangan No 06/M-DAG/PER/2/2017 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Permendag BPSK)34; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Kitab Undang-Undang Hukum Dagang; dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat menunjang penjelasan mengenai bahan hukum premier seperti buku-buku hukum, jurnal publikasi, artikel dan hasil penelitian; dan

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan lebih mendalam terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini

29 Republik Indonesia (UU ITE). Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik. UU No 19 Tahun 2016. LN Tahun 2016 No 251. TLN No 5982.

30 Republik Indonesia (UU Perdagangan). Undang-Undang tentang Perdagangan. UU No 7 Tahun 2014. LN Tahun 2014 No 45. TLN No 5512.

31 Republik Indonesia (PP PSTE). Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. PP No 71 Tahun 2019. LN Tahun 2019 No 185. TLN No 6400.

32 Republik Indonesia (PP PMSE). Peraturan Pemerintah tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. PP No 80 Tahun 2019. LN Tahun 2019 No 222. TLN No 6420.

33 Republik Indonesia (Kepmenperindag BPSK). Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang Pelaksaaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Kepmenperindak BPSK No 350/MPP/Kep/12/2001.

34 Republik Indonesia (Permendag). Peraturan Menteri Perdagangan tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Permendag No 06/M-DAG/PER/2/2017. BN Tahun 2017 No 291.

(22)

14

seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum dan Ensiklopedia dan data resmi dari media massa.35

1.6.3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Library research adalah metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.36 Diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, artikel, data resmi dan hasil penelitian. Kemudian diuraikan dengan sistematis dan terstruktur, guna menjawab permasalahan.

1.6.4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan pada penulisan skripsi ini adalah pendekatan normatif kualitatif. Pendekatan normatif kualitatif yaitu suatu analisis data yang secara jelas diuraian dalam bentuk kalimat dengan menganalisis data dengan mengumpulkan data primer dan menghubungkan dengan bahan-bahan pustaka secara komprehensif yang berhubungan dengan skripsi ini, dan dirangkum dan disusun secara sistematis.

1.7. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terbagi dalam beberapa bab, sistematika bab dibagi menjadi:

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini, mengemukakan latar belakang penelitian, rumusan permasalahan masalah, tujuan dan manfaat penelitian

35 Bambang Sunggono (2010). Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010). Halaman 113.

36 Bambang Waluyo. (1996). Penelitian Hukum Dalam Praktek. (Jakarta: Sinar Grafika).

Halaman 50.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(23)

ini, keaslian penulisan, metode penelitian serta sistematika penulisan. Yang dimaksudkan sebagai pengantar penelitian;

BAB II TINJAUAN UMUM TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN Dalam bab ini, pembahasan akan difokuskan kepada pandangan umum terkait sistem perlindungan konsumen.

BAB III TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TRANSAKSI JUAL-BELI ONLINE DI INDONESIA

Dalam bab ini, akan dibahas tentang tinjauan yuridis terkait pengaturan hukum terhadap jual-beli online, legalitas jual-beli online dan hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen dalam peristiwa jual-beli online.

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKU USAHA YANG

MENGAKIBATKAN KERUGIAN KONSUMEN PADA

TRANSAKSI JUAL-BELI ONLINE DITINJAU

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dalam bab ini, akan diuraikan mengenai proses terjadinya jual- beli online, pertanggungjawaban pelaku usaha pada transaksi jual beli online yang mengakibatkan kerugian konsumen, dan upaya hukum yang dapat ditempuh jika konsumen dirugikan;

BAB V PENUTUP

Bab terakhir ini, berisikan kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas. Juga disertai dengan saran dari hasil penelitian yang dimaksudkan untuk dapat dipergunakan sebagai sarana penambah wawasan di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terkait aspek hukum perlindungan konsumen dalam transaksi jula-beli online.

(24)

16 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

2.1. Sejarah Dan Perkembangan Perlindungan Konsumen

Dalam pembahasan sub-bab ini akan dibagi menjadi 2 (dua) bagian, pembagian sub-pembahasan akan membahas tentang sejarah dan perkembangan perlindungan konsumen secara global, dan sub-pembahasan lainnya akan menjelaskan sejarah dan perkembangan perlindungan konsumen di Indonesia.

2.1.1. Sejarah Dan Perkembangan Perlindungan Konsumen Secara Global Secara historis perlindungan konsumen diawali dengan adanya gerakan konsumen diawal abad ke-19 di New York pada tahun 1891. Kemudian muncul gerakan perlindungan konsumen (consumer movement). Pemicunya akibat kepanikan publik saat itu yang disebabkan novel karya Upon Sinclair yang berjudul “The Jungle”.37 Novel tersebut menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging yang tidak memenuhi standar kesehatan.

Amerika Serikat memberikan banyak sumbangsih terkait perlindungan konsumen. Pada tahun 1891, dibentuk liga konsumen untuk pertama kalinya, dan pada tahun 1898 terbentuk liga konsumen nasional (the national consumers league) di Amerika Serikat.38 Pada tahun 1903 liga konsumen nasional Amerika Serikat telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliputi 20 negara bagian.39

37 Celina Tri Siwi Kristiyanti. (2016). Op.,Cit., Halaman 2-3.

38 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit., Halaman 13.

39 Ibid.,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(25)

Pada tahun 1914, direklarasikan komisi yang bergerak dalam perlindungan konsumen, yaitu Federal Trade Commision (FTC).40 FTC memiliki legal standing yang mengacu kepada Undang-Undang yang dikenal dengan The Federal Trade Commission Act.41

Pada tahun 1937, terjadi tragedi elixir sulphanilamide di Amerika Serikat, sejenis obat berbahan sulfa yang menyebabkan 93 orang konsumennya meninggal dunia. Tragedi tersebut yang mendorong dilakukannya amandemen The Food and Drugs Act 1906, diubah menjadi The food, Drug and Cosmetics Act 1938.42

Pada 15 Maret 1962, terdapat kejadian penting terkait gerakan perlindungan konsumen di Amerika Serikat. Presiden John F. Kennedy menyampaikan pidato kenegaraan berjudul “A Special Message of Protecting the Consumer Interest”

dihadapan kongres Amerika Serikat. Dalam pidato tersebut, Kennedy mengemukakan formulasi terkait pokok-pokok pikiran yang sampai sekarang dijadikan sebagai hak-hak konsumen (consumer bill of right).43

40 FTC adalah lembaga perlindungan konsumen Amerika Serikat. FTC bertujuan untuk melindungi konsumen. Fungsi lain FTC adalah mempromosikan persaingan dalam bentuk persaingan harga, pilihan, dan layanan. Hal ini menunguntungkan konsumen karena dapat mempertahankan harga tetap rendah namun kualitas barang dan jasa tinggi. Dikutip dari https://www.menpan.go.id/site/berita-terkini/mengenal-lembaga-perlindungan-konsumen-as-dan- kesamaannya-dengan-lapor. Diakses pada Desember 2020.

41 Donald P.Rothschild dan David W.Carrol. (1989). Consumer Protecting; Reporting Service, Vol. 1 (Maryland: National Law Publishing Corporation), Halaman17. The Federal Trade Commission Act adalah suatu produk kebijakan Amerika Serikat pemberian kewenangan kepada FTC selaku komisi perdagangan untuk menjalankan fungsi pencegahan infair business yang berugikan konsumen, sebagai regulator, sebagai pegawas, dan sebagai lembaga literasi. Lihat juga dalam https://www.ftc.gov/enforcement/statutes/federal-trade-commission-act. Diakses pada Desember 2020.

42 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit., Halaman 186.

43 Vernon A. Musselman, Jhon H. Jackson. Introduction to Modern Business. Terjemahkan Kusma Wiriadisastra. (1992). (Jakarta: Erlangga). Halaman 294-295. Kennedy menetapkan 4 (empat) hak konsumen, yaitu the right to safety; the right to be informed; the right to choose; and the right to be heard. Lihat Dalam Shidarta. (2004). Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia.

(Bandung: Grasindo). Halaman 44-45.

(26)

18

Perkembangan sosialisasi perlindungan konsumen terus meningkat di berbagai negara baik Eropa maupun benua lainnya. Hal ini ditandai dengan di deklarasikannya lembaga pemerhati yang bergerak di bidang perlindungan konsumen yang bersifat internasional, yakni International Organization of Consumer Union (IOCU) pada tanggal 1 April 1960.

Lembaga IOCU berpusat di Den Haag Belanda, yang kemudian berpindah ke London/Inggris pada tahun 1993. Dalam Perkembangannya selanjutnya IOCU ini berubah nama menjadi Consumers International (CI).44

Pada tahun 1967 Amerika Serikat mengundangkan The Uniform Trade Practices and Consumer Protection Act 1967, dan Unfair Trade Practices and Consumer Protection Law (Lousiana) 1973.45 Pada era setelah itu, perkembangan aspek perlindungan konsumen terjadi di beberapa negara lain. Ditandai dengan pembentukan Undang-Undang perlindungan konsumen di masing-masing negara yang ada dibawah ini:46

1) Inggris: The Consumer Protection Act 1961;

2) Kanada: The Consumer Protection Act, and The Consumer Protection Amendment Act 1971;

3) Singapura: The Consumer Protection (Trade Protection Safety Requirement Act 1975);

4) Finlandia: Consumer Protection Act 1978;

5) Thailand: Consumer Act 1979;

6) Jepang: The Consumen Protection Fundamental Act 1968;

7) Australia: Consumer Affairs Act 1978;

8) Irlandia: Consumer Information Act 1978;

44 Shidarta. (2004). Op.,Cit., Halaman 37.

45 F.D, Rose. (1999). Blackstone’s Statues on Commercial and Consumers Law, (London:

Blackstone Press Limited).

46 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit., Halaman 15.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(27)

Perlu diketahui bahwa pada masa itu, PBB menciptakan sejarah dalam perkembangan hukum konsumen. Ketika mengadopsi United Nations Guidelines for Consumer Protection 1985, yang untuk pertama kalinya ditetapkan sebagai prinsip hukum konsumen Internasional.47 Konstribusi PBB sangat signifikan terhadap perkembangan hukum konsumen Internasional, yaitu dengan panduan Resolusi PBB Nomor A/RES/39/258 tanggal 16 April 1985 tentang The Guidelines for Consumer Protection. Sebelumnya telah banyak kelompok konsumen yang mendukung instrumen Internasional semacam itu, khususnya terkait peran utama terkait konstribusi saran regulasi perlindungan konsumen.48

2.1.2. Sejarah Dan Perkembangan Perlindungan Konsumen Di Indonesia Perlindungan konsumen di Indonesia telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda, kendatipun sebagian besar peraturan-peraturan dahulu pada saat ini sudah tidak berlaku lagi. Hiruk pikuk gerakan perlindungan konsumen di Indonesia mulai terdengan dan popular pada tahun 1970-an, yakni dengan berdirinya lembaga swadaya masyarakat (non-governmental organization).

Berdirinya YLKI pada bulan Mei 1973, yang bertindak sebagai organisasi lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen.

Dalam aktivitasnya bertindak selaku perwakilan konsumen (consumer representation) yang bertujuan untuk melayani dan meningkatkan martabat dan

47 I. Benohr. (2020). The United Nation Guidelines for Consumer Protection: Legal Implications and New Frontiers. Journal of Consumer Policy. Vol 43. (London: Queen Mary University). Halaman 105.

48 Consumer International. (2013). the state of consumer protection around the world.

(London: Consumer International). Dikutip dari https://ulsafetyindex.org/library/consumers- international-state-of-consumerprotection-2013.pdf. Diakses pada Desember 2020.

(28)

20

kepentingan konsumen.49 Setelah lahirnya YLKI, muncul beberapa organisasi yang berbasis perlindungan konsumen. Pada Februari 1988, berdiri Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang dan bergabung sebagai anggota CI tahun 1990.50

Disamping itu, dukungan media massa nasional baik cetak maupun eletronik yang secara rutin menyediakan kolom khusus untuk membahas keluhan- keluhan konsumen, juga turut menggalakkan pergerakan perlindungan konsumen di Indonesia. Hasil-hasil penelitian YLKI yang dipublikasikan dimedia massa juga membawa dampak terhadap konsumen. Demikan juga dalam berbagai pertemuan ilmiah dan pembahasan peraturan perundang-undangan, YLKI dianggap sebagai mitra representatif. Keberadaan YLKI juga sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atas hak-hak konsumen.51

Gerakan konsumen Indonesia termasuk yang diprakarsai YLKI mencatat prestasi besar setelah naskah akademik UU PK karena berhasil dibawa ke DPR, yang pada akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang pada 20 April 1999.52 Pembentukan UU PK, tidak terlepas dari dinamika politik Indonesia, kehidupan yang lebih demokratis mulai diperjuangkan, dan tuntutan mewujudkan UU PK semakin menguat. Selain itu, faktor yang mempengaruhi pembentukan UU PK di Indonesia adalah munculnya beberapa kasus yang merugikan konsumen dan diakhiri dengan penyelesaian yang tidak memuaskan konsumen.

49 Yusuf Sofie. (2003). Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Bandung: Citra Aditya Bakti). Halaman 7.

50 Shidarta. (2004). Op.Cit., Halaman 40.

51 Zulham. (2013). Hukum Perlindungan Konsumen. (Jakarta: Kencana). Halaman 35.

52 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Op.Cit., Halaman 16.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(29)

Kasus Republik Indonesia vs Tan Chandra Helmi dan Gimun Tanno,53 yang dikenal dengan kasus biskuit beracun, gugatan konsumen hanya dilihat dari aspek pidana dan administratif saja, sehingga korban atau konsumen tidak mendapatkan kompesasi atau ganti kerugian atas dasar tuntutan perdata.

Kasus lain yakni Janizal dkk vs PT Kentamik Super International,54 yang dikenal dengan kasus Perumahan Naragong Indah, pihak pengembang dimenangkan bahkan pihak pengembang menggugat balik konsumen, karena dinilai telah melakukan pencemaran nama baik.55

Dilain hal, yang menjadi faktor pendorong pembentukan UU PK di Indonesia adalah perkembangan sistem perdagangan global yang dikemas dalam kerangka World Trade Organization (WTO), maupun program International Monetary Fund (IMF), dan Program Bank Dunia. Keputusan Indonesia untuk meratifikasi perjanjian perdagangan dunia diikuti dengan dorongan terhadap pemerintah Indonesia untuk melakukan harmonisasi hukum nasional dengan hukum Internasional di bidang perdagangan.56

2.2. Pengertian Konsumen Serta Hukum Perlindungan Konsumen

Permulaan istilah „konsumen‟, berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer ataupun dalam bahasa Belanda yaitu consument. Apabila ditinjau secara harfiah, konsumen adalah orang yang memerlukan, membelanjakan, menggunakan atau

53 Putusan Pengadilan Negeri Tangerang No.30/Pid.B/1990/PN/Tng.

54 Pututsan Pengadian Negeri Jakarta Pusat No.3138/K/Pdt/1994/PN.Jkt.Pst. dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No.3138/K/Pdt/1994.

55 Zulham. (2013). Op.Cit., Halaman 37.

56 Inosentius Samsul. (2001). Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. (Jakarta: Universitas Indonesia). Halaman 131.

(30)

22

pemakai.57 Apabila menurut tinjauan harfiah makna consumer adalah setiap orang yang menggunakan barang. Sedangkan Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberikan makna kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.58

Namun, di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai

“korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai, karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai.59 Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary, konsumen adalah:60

“ a person who buys goods or service for personal, family, or house hold use, with no intention or resale; a natural person who use products for personal rather than business purpose”.

Sedangkan dalam Text Book on Consumer Law, konsumen adalah “one who purchase goods or service”. Defenisi tersebut menghendaki bahwa konsumen adalah setiap orang atau individu yang harus dilindungi selama tidak memiliki kapasitas dan bertindak sebagai produsen, pelaku usaha.61

Menurut Munir Fuady, konsumen adalah pengguna akhir (end user) dari suatu produk yaitu setiap pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun tidak untuk diperdagangkan.62

57 N. H T. Siahaan. (2005). Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Cetakan I. (Bogor: Grafika Mardi Yuana). Halaman 23.

58 Az. Nasution. (2001). Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. (Jakarta: Diadit Media). Halaman 3.

59 Agus Brotosusilo. (1998). Makalah: Aspek-Aspek Perlindungan terhadap Konsumen dalam Sistem Hukum di Indonesia, Editor Yusuf Shofie (Jakarta: YLKI-USAID), Halaman 46.

60 Bryan A.Garner. (1999). Black’s Law Dictionary. Seventh edition. (St.Paul, Minnesota:

West Publishing). Halaman 311.

61 David Oughton dan John Lowry. (1977). Textbook on Consumer Law. (London:

Blackstone Press Limited). Halaman 2.

62 Munir Fuady. (2008). Pengantar Hukum Bisnis-Menata Bisnis Modern di Era Global.

(Bandung: Citra Aditya Bakti). Halaman 17.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(31)

Menurut YLKI, konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.63 Pengertian konsumen menurut YLKI ini tidak jauh berbeda dengan pengertian konsumen dalam UU PK Pasal 1 Angka (2) yakni:

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

Dari materi muatan definisi konsumen dalam Pasal 1 Ayat (2) UU PK tersebut, terlihat bahwa secara teoritis, hal tersebut dipandang sebagai upaya mempersempit ruang lingkup definisi konsumen. Walaupun sulit untuk menentukan batasan tersebut. Pengertian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga jenis, yaitu:64

1) Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu;

2) Konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial.

Konsumen antara ini sarna dengan pelaku usaha; dan

3) Konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan.

63 Az. Nasution. (1999). Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. (Jakarta: Daya Widya). Halaman 10.

64 Az. Nasution. (2002). Perlindungan Konsumen; Tinjauan Singkat UU 8/1999-LN 1999 No 42. Jurnal Hukum Pembangunan. Universitas Indonesia. No 2. Halaman 116.

(32)

24

Berdasarkan penjelasan tentang penegertian konsumen diatas, terlihat perbedaan antara konsumen sebagai orang atau pribadi dengan konsumen sebagai perusahaan atau badan hukum. Pembedaan ini penting untuk membedakan konsumen tersebut menggunakan barang untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan komersial (dijual, diproduksi lagi).65

Menurut Az. Nasution menyebutkan pengertian hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang/jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.66

Sedangkan menurut Johanes Gunawas, perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan pada saat sebelum terjadinya transaksi (no conflict purchase/pre purchase) dan/atau pada saat setelah terjadinya transaksi (conflict/post purchasei).67

Secara eksplisit, hukum perlindungan konsumen merupakan keseluruhan peraturan perundang-undangan, baik undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya serta putusan-putusan hakim yang substansinya mengatur mengenai kepentingan konsumen.68 Pengertian Perlindungan Konsumen menurut UU PK, bisa ditemukan dalam Pasal 1 Angka (1) yakni, “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen.”

65 Az. Nasution. (1994). Hukum dan Konsumen Indonesia. Cet ke I. (Jakarta: Citra Aditya Bakti). Halaman 9.

66 Ibid., Halaman 10.

67 Johannes Gunawan. Hukum Perlindungan Konsumen. (Bandung: Universitas Katolik Parahyangan). Halaman.3.

68 Inosenstius Samsul. (2001). Op.Cit., Halaman 34.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(33)

2.3. Pengaturan Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan konsumen diatur dalam UU PK mulai berlaku efektif pada 20 April 2000, yang berarti satu tahun setelah disahkan. Diundangkannya UU PK, bukan berarti menjadi awal ataupun akhir dari hukum yang fungsinya diperuntukan untuk melindungi konsumen.

Sebelum Indonesia merdeka, telah ada beberapa peraturan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen, seperti Undang-Undang No 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 1961 tentang Barang Menjadi Undang-Undang; Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1964 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang No 10 Tahun 1961; Surat Ketentuan Gubernur DKI Jakarta No Ib.3/2/32/68 tentang Ketentuan Syarat-Syarat Pengujian Bagi Hasil Industri Sabun, Minyak Goreng, Tapal Gigi, dan Sirup; Selain itu aspek perlindungan konsumen juga ada pada Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang No 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Namun, sebagian besar regulasi tersebut sudah tidak berlaku lagi.69

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dapat ditemukan ketentuan yang bertedensi melindungi konsumen yaitu dalam beberapa Pasal Buku III, Bab V Bagian II yang dimulai dari Pasal 1365.70 Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), juga terdapat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen, ketentuan ini terdapat dalam Buku I dan II.71

69 Az Nasution. (1975). “Perlindungan Konsumen (Suatu Tinjauan dari Sudut Hukum)”.

Makalah yang disampaikan pada seminar perlindungan konsumen 15-16 Desember 1975).

70 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit., Halaman 18.

71 Az Nasution. (2002). Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Cet II. (Jakarta:

Diadit Media). Halaman 38.

(34)

26

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga ada ketentuan yang menyinggung aspek perlindungan konsumen, seperti pada KUHP Pasal 204 Ayat (1-2); Pasal 205; 359; 360; 382; 383; dan 390). Terkait tentang pemalsuan, penipuan, pemalsuan merek, persaingan curang, dan sebagainya.72 Tidak hanya itu didalam ketentuan UU PK juga memuat ketentuan sanksi pidana, seperti yang ada dalam Pasal 62 UU PK.

Setelah pemberlakuan UU PK, terdapat beberapa contoh ketentuan peraturan perundang-undangan yang juga bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen, antara lain Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan),73 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK),74 Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU Jaminan Produk Halal).75 Keberadaan undang-undang yang baru ini juga terintegrasi dengan UU PK sebagai ketentuan perundang- undangan pokok terkait perlindungan konsumen di Indonesia. Namun perlu ditekankan bahwa, berdasarkan Pasal 64 UU PK, bahwa:

“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang- undang ini.”

Pasal 64 UU PK tersebut, dapat dipahami juga sebagai penegasan bahwa UU PK merupakan ketentuan khusus (lex specialis) terhadap ketentuan perundang-undangan yang sudah ada sebelum UU PK diundangkan. Artinya

72 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit., Halaman 19.

73 Republik Indonesia (UU Kesehatan). Undang-Undang tentang Kesehatan. UU No 36 Tahun 2009. LN Tahun 2009 No 144. TLN No 5063.

74 Republik Indonesia (UU OJK). Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan. UU No 21 Tahun 2011. LN Tahun 2011 No 111. TLN No 5253.

75 Republik Indonesia (UU Jaminan Produk Halal). Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal. UU No 33 Tahun 2014. LN Tahun 2014 No 295. TLN No 5604.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(35)

peraturan perundang-undangan yang juga mengatur dan melindungi konsumen baik sebelum maupun sesudah diberlakukannya UU PK, maka UU PK dapat berkedudukan sebagai ketentuan umum (lex generalis)76 atau dapat juga berkedudukan sebagai ketentuan khusus (lex specialis)77.

Pada umumnya, sampai saat ini orang bertumpu pada frasa “segenap bangsa” yang ada di preambule UUD 1945 Alinea IV, sehingga frasa tersebut diambil sebagai asas persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas persatuan bangsa).

Akan tetapi didalamnya terkandung pula asas perlindungan hukum terhadap segenap bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap bangsa tentulah bagi segenap bangsa tanpa terkecuali.78 Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, perlindungan konsumen tidak hanya didasarkan kepada UU PK saja.

Namun, juga meliputi peraturan peundang-undangan yang sifatnya mengatur aspek perlindungan konsumen.

2.4. Asas Dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam implementasi untuk ditinkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang ditetapkan dengan jelas,

76 UU PK sebagai lex generalis, berarti bahwa ketentuan-ketentuan umum dalam UU PK pada dasarnya dapat diterapkan terhadap ketentuan undangundang khusus yang mengatur perlindungan konsumen. Contohnya adalah dalam UU OJK. Walaupun secara khusus dalam UUOJK telah ditentukan perlindungan konsumen khusus bagi konsumen di sektor jasa keuangan, tetapi ketentuan-ketentuan umum dalam UU PK dapat digunakan untuk melindungi konsumen di sektor jasa keuangan, sepanjang sesuai dengan pengertian konsumen dalam UU PK.

77 UU PK sebagi lex specialis, berarti bahwa ketentuanketentuan dalam UU PK dapat diberlakukan menyimpangi ketentuan undangundang yang mengatur dan melindungi konsumen.

Contohnya adalah UU PK sebagai ketentuan lex specialis dari KUH Perdata, di mana dalam pengajuan gugatan konsumen yang diajukan oleh konsumen diajukan di tempat kedudukan konsumen bukan di tempat kedudukan pelaku usaha (tergugat). Selain itu, dalam hal gugatan konsumen, yang harus membuktikan adanya unsur kesalahan adalah beban dari pelaku usaha dan bukan pada konsumen (penggugat).

78 Celina Tri Siwi Kristiyanti. (2016). Halaman 47.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaturan PERUM DAMRI diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Perusahaan Umum (PERUM) DAMRI. PERUM DAMRI berpedoman pada Undang-Undang

Penyelesaian perselisihan yang terjadi di PT Gunung Garuda Group dapat digolongkan kedalam dua aspek hukum yaitu penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha PT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019.. Dalam Undang-Undang tersebut terdapat khusus Pasal-Pasal yang membahas tentang pembiayaan bagi para pelaku UMKM. Adapun permasalahan

Di dalam Hukum Adat masyarakat Karo dalam hal pewarisan banyak sekali mengalami kontroversi yang aman banyak sekali masyarakat adat Batak Karo mengajukan gugatan kepada

Pemerintah telah menjamin adanya perlindungan hukum terhadap suatu ciptaan sebagai produk dari Hak Kekayaan Intelektual seorang individu, tidak terkecuali pada

Berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan diatas, maka jelas bahwa meskipun suatu perkawinan sudah putus karena perceraian, tidaklah mengakibatkan hubungan

1) Bahwa Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat suatu ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama dan atau kepercayaan

Antara Para Penggugat dan Tergugat juga tidak mencantumkan syarat batal maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata “ Hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan,